Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sinar bulan masih hidup dan pantulkan cahayanya pada jejak-jejak basah hujan yang masih menggenang di jalanan setapak menuju sebuah gubuk kecil. Bunga Adas, Snowdrop, Cornflower dan Lantana mendominasi taman di sisi kiri dan kanan halaman gubuk. Tidak terlalu luas tapi asri sekali meski hanya diterangi cahaya bulan.
Kuhirup udara segar. Tercium bau tanah, air yang terjebak di batang pepohonan dan tentu saja harum bunga semerbak. Paduan wangi alam itulah yang mengisi hidung begitu aku membuka pintu pagar setinggi betis. Kerikil-kerikil kecil halus disusun rapi mengekor dari pintu pagar ke teras. Pintu lusuh namun tegap bertengger indah lengkapi kesan damai di gubuk kecil. Kesan damai dan tenang menyeluruh lingkupi area. Pantas saja Bumi, sahabatku, betah berlama-lama mengasingkan diri di sini.
"Bumi, sebenarnya aku menyukaimu."
"Bumi, aku menyukaimu," ucapku berkali-kali sebelum membuka pagar.
"Bumi ayo menjalin hubungan."
"Menjalin hubungan? Dih! Bahasa apa itu? Ck!"
Aku putus asa. Harus bagaimana caranya agar tidak terlihat memaksa, murahan, konyol atau kekanak-kanakan saat ungkapkan perasaanku ini. Aku seorang wanita yang tidak pernah sebelumnya melakukan ini. Tidak pernah. Kecuali pada kucing cantikku yang pasti dibalas dengan wajah datarnya. Aku tahu sebenarnya dia mengerti ucapanku tapi memilih mengabaikannya. Ya, memang begitulah kucing diciptakan. Untuk mengabaikan. Untung saja dia menggemaskan.
"Ayolaah Rika. Ini bukan saatnya membahas kucingmu. Ayo pikirkan bagaimana cara mengatakan cintamu ke Bumi. Ayolah!" Kkupukul-pukul pelan kepala sambil berjalan memasuki pekarangan.
Cahaya kuning lembut tampak jelas terlihat dari jendela. Gorden biru pastel sutra melambai-lambai pelan seakan-akan ingin bantu tenangkan detak jantung ini. Tampaknya ada orang di dalam, sebab tidak mungkin lampu menyala dan jendela terbuka begitu saja. Tidak akan ada juga, sih yang akan mencuri di tengah-tengah hutan begini, tapi intinya Bumi pasti ada di dalam. Maka tekadku harus yakin dan siap.
Hari ini, malam ini, malam sebelum Bumi, sahabat masa kecilku, akan berangkat ke luar negeri, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Dia harus tahu bahwa aku telah mengkhianati persahabatan kami dengan cinta. Cinta ini tidak bisa kutenangkan lagi. Biarlah jika itu akan merusak semuanya. Aku yakin persahabatan kami lebih kuat dari badai cinta ini. Aku yakin tidak akan ada yang berubah meski apapun hasilnya. Dia orangnya sangat sabar dan maklum, pasti tidak akan menjauh atau illfeel denganku sekali pun apa yang kutuju ini tidak berakhir baik.
Itulah pemikiran egoisku. Ego yang membawaku sampai ke depan pintu ini. Belum berani tanganku untuk mengetuknya sedari tadi. Aku masih sibuk mencari pembelaan untuk membuat egoku terlihat normal-normal saja. Kubuat banyak alasan agar manusiawi sekali rasa cinta yang berbuah dari persahabatan.
"Rika?"
"Ya?!"
Suara itu mengejutkanku hingga refleks menarik tangan dari gagang pintu dan membalikkan badan. Bumi!
"Ternyata benar kamu ada sini."
"Bumi? Aku kira kamu ada di dalam."
"Aku tadi ke rumahmu tapi kamu tidak ada. Kata mamamu kau pergi ke rumahku."
"Iya, aku ke rumahmu tapi karena kamu tidak ada, jadi aku ke sini. Ke gubuk tempat bertapamu ini," jawabku sedikit bercanda mencairkan suasana.
Sudah dua puluh tahunan kami bersama tapi tidak pernah suasana aneh ini ada di antara kami. Di depan gubuk kayu, di tengah hutan tak jauh dari kota, tempat dia biasa menyendiri ini, untuk pertama kalinya ada jeda diam di pembicaraan kami.
"Makanya aku langsung ke sini karena di rumahku pun kau tidak ada," sambungnya lagi masih dengan topik yang sama.
"Kemarin-kemarin ... kau yang bilang sebelum berangkat mau menyendiri. Jadi aku langsung ke sini juga setelah tahu kau tidak ada di rumahmu."
Hanya dugaanku saja atau tidak, tapi pembicaraan kami berputar-putar. Padahal, biasanya mudah bagi kami melompat ke topik berikutnya. Seringnya malah salinng mengejek atau mengungkit kejelekan masing-masing. Banyak hal yang harusnya bisa tutupi jeda, namun lidahku saja kelu. Otakku pun beku. Kemana semua canda tawa perginya? Perasaanku ini akankah berbalas jika suasananya saja begini, padahal belum kuungkap semua?
"Ri ...."
"Ya," jawabku pelan.
Dia menggaruk-garuk kepala belakangnya dan bertingkah gelisah. Cahaya bulan membuatnya indah dari sisiku. Manusia yang sering sekali buatku cemberut lalu tertawa di detik yang sama itu, bertingkah aneh. Gelagat gelisah bisa kubaca sebab aku juga sama gelisahnya. Ditambah, cahaya bulan terangi arti gelisahnya itu dan mungkin juga arti gelisahku.
Kuharap tanpa kuungkap pun dia dapat baca arti gelisahku sebab dia sahabatku. Aku tahu arti gelisahnya, tanpa ragu aku tahu, karena aku sahabatnya.
"Bumi ...," panggilku akhirnya memberanikan diri lebur segala ragu.
"Ya?"
Menatap dua mata indah yang sejak lama kukagumi diam-diam itu, aku pun berucap lembut, "Aku menyukaimu, Bumi. Bukan menyukai sebagai sahabat. Lebih dari sahabat. Rasa suka ini rasa suka seorang wanita pada seorang pria."
Di usia yang hampir kepala tiga, aku menorehkan sejarah baru di perjalanan hidup. Mengutarakan cinta. Hal yang dulu selalu kutekankan untuk tidak melakukannya demi gengsi wanita. Sampai akhirnya dia, sahabatku ini, mendapatkan promosi jabatan, dan akan menetap di benua Eropa. Tidak bisa kutahan lagi bendungan rasa mengingat tidak akan leluasa lagi bertemu dengannya. Cintaku ini menggedor-gedor, protes keras tidak terima tidak akan bisa melihatnya lagi setiap hari. Aku menangis saat itu di kamarku, saat aku benar-benar telah sadar penuh bahwa sungguh-sungguh cinta ini untuknya. Tak sanggup walau hanya membayangkan saja jika harus hidup tanpa Bumi, sahabatku.
Di depannya pun saat ini, aku tak kuasa menahan air mata setelah mengutarakan cinta. Aku telah ungkap semua. Lalu ternyata tidak siap jika semuanya akan berakhir berantakan.
"Ri ...."
Tak kujawab panggilannya. Aku sibuk menghapus air mata. Entah kemana rasa percaya diri dan egois tadi pergi. Yang kutahu, aku takut jika persahabatan kami jadi tidak bermakna lagi nantinya.
"Kalau kita sepakat membawa persahabatan ini ke tangga yang berbeda, maukah kau berjanji bersamaku, Ri. Kita berjanji jika nanti ternyata tidak berjalan sesuai harapan, kita tetap bisa pindah lagi ke tangga persahabatan ini?"
Aku menurunkan tanganku dan menatapnya tidak percaya.
"Aku mencintaimu, Ri. Dari awal bertemu di halaman rumahmu saat kita baru saja jadi tetangga, dari awal sebelum akhirnya keluarga kita dekat, sebelum kau memintaku menautkan jari kelingking persahabatan kita, aku sudah menyukaimu. Tidak hanya menyukai ... tapi aku juga mencintaimu."
Ucapan Bumi seluruhnya telah hapus rasa takut. Aku menangis lebih dalam lagi. Air mata pun semakin deras hingga kututup dengan ke dua telapak tangan. Pelukan Bumi menekanku lembut buat air mata menempel ke bajunya.
Pengakuan itu legakan hati. Pengakuannya itu jelaskan firasat dan kegelisahan. Pengakuannya itu yakinkanku, meski selama ini kami sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan orang lain, pada akhirnya rasa cintaku membawaku kembali padanya. Juga, rasa cintanya membawanya kembali padaku.
Ternyata selama ini cinta itu ada di hadapan kami berdua. Di hadapan dua orang insan yang sekuat tenaga berusaha menekan cinta dengan jalinan tangan persahabatan. Akulah yang tegaskan persahabatan itu di awal, maka tak akan kusia-siakan cinta ini.
***
Persahabatanlah yang menjadi tiang dermaga kokoh mengapa kami masih tetap bersama. Alasan mengapa kami akhirnya berani saling mengakui rasa. Cinta dari persahabatanlah yang akan penuhi ruangan hati, kuharap selamanya.
Selamanya kami bisa menautkan tidak hanya jari kelingking persahabatan, tapi juga cinta dalam persahabatan.
***