Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Diarak ke tengah panggung semesta, riak membuat kita berjarak.
...
"Sudah Ibu bilang berkali-kali sama Tugus," ujar Ibu tanpa menoleh ke arah Gangga. Pandangan beliau masih mengarah pada halaman beranda yang basah akibat hujan yang tidak terlalu deras ini masih senantiasa mengguyur Bali. "cari calon harus perempuan Bali asli," Ibu melanjutkan, kemudian sengaja diam untuk memberi jeda. Berpikir kata-kata apa yang lebih sopan untuk mengutarakannya pada anak lelakinya yang paling bungsu. "Gauri sejak lahir tinggal di Jawa. Dia tidak akan paham tradisi Bali walaupun dia belajar. Dia akan kesulitan beradaptasi di sini, Tugus."
"Bu, tapi bahkan orang Bali sendiri ada yang belum sepaham itu dengan budayanya. Kenapa Ibu nggak kasih kesempatan Gauri untuk belajar? Dia bahkan bilang sendiri kalau dia akan belajar cara hidup di Bali dari nol."
"Ibu tetap nggak setuju kalau Tugus sama Gauri tetap lanjut."
Gangga membuang napas kasar. Ia mengatur napasnya supaya tidak terlalu memburu. "Karena Bli Made kurang beruntung dalam pernikahannya?" tembak Gangga tepat. Ibu tercekat kaget, tapi hanya bergerak sedikit. Sisanya, Ibu berusaha tenang, seperti biasa. Ingatan Ibu terputar secara otomatis pada serangkaian kejadian tidak mengenakkan sekian tahun silam dimana pernikahan anak laki-lakinya yang nomor dua, yang akrab disapa Bli Made oleh si bungsu Gangga, tidak berjalan dengan mulus. Ia menikahi seorang perempuan Hindu yang lama tinggal di Jawa karena memang asli Jawa. Ia paham dengan budaya Hindu Jawa, tapi tidak dengan Hindu Bali. Aji tidak mempermasalahkan hal tersebut selama anaknya mau mengemban tanggungjawab saat berumahtangga nanti. Ibu sudah mewanti-wanti anaknya yang nomor dua, tapi Bli Made tetap meyakinkan sang Ibu bahwa pernikahannya akan baik-baik saja. Karena merasa yakin, Ibu mengajarkan pelan-pelan tentang budaya Hindu Bali kepada calon istri anaknya. Mulai dari bagaimana kehidupan bermasyarakat di Bali hingga sesajen apa saja yang harus dibuat ketika ada upacara-upacara keagamaan. Ibu senang karena calon istri Bli Made cepat paham tentang semua yang diajarkan oleh calon mertuanya. Ia punya kemampuan adaptasi yang baik pula dalam bergaul dengan kerabat Ibu di Bali. Keluarga besar pada akhirnya tidak masalah kalau Bli Made menikah dengan Ratih. Mereka menerima Ratih seperti anggota keluarga sendiri. Setelah upacara penikahan telah dilaksanakan, sesuai dengan adat masyarakat Bali, maka pengantin wanita diharuskan tinggal di rumah laki-laki. Mereka tinggal berdua di dalam kompleks griya yang sama dengan tempat tinggal orangtua Bli Made dan saudara yang lain, hanya saja ia telah punya rumah pribadi.
Dua tahun pertama, pernikahan itu berjalan dengan baik. Ratih mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya walaupun cukup kualahan saat harus ikut ngayah ketika ada acara keagamaan. Ia mengakui sendiri pada Bli Made bahwa atmosfer yang ia rasakan antara di Banyuwangi dan Bali sangat beda terasa. Di Bali persiapan menjelang upacara keagamaan lebih detail dan seluruh sesajennya harus lengkap, tidak boleh ada yang sengaja ditinggalkan. Mendekati usia pernikahan yang ketujuh tahun, konflik-konflik mulai terlihat. Dari yang kecil hingga besar yang masalah utamanya adalah cara mendidik anak dan bagaimana mereka berkomunikasi. Ratih cenderung berkomunikasi dengan nada keras, tidak jarang ia meloloskan umpatan kasar pada anaknya ketika tidak becus melakukan sesuatu yang sudah ia ajarkan berulang kali. Sementara Made berkomunikasi dengan nada yang lebih halus kepada sang anak, yang dianggap Ratih sebagai sikap memanjakan sang anak walaupun Made tidak menganggapnya begitu. Made sudah sering memperingatkan Ratih bahwa ia harus belajar mengolah emosi dan kata-katanya supaya anaknya yang masih di bawah umur tidak mendengar kata-kata yang kurang pantas didengar seperti 'goblok' atau 'jelek', tapi Ratih tidak merasa bahwa apa yang ia lakukan salah. Memang beginilah caraku mendidik anakku sebab orangtuaku dulu juga mendidikku dengan cara yang sama, begitu kata Ratih suatu ketika. Made sudah menyarankan Ratih untuk ke psikolog atau psikiater, barang kali ia mengalami baby blues karena ini adalah kali pertama mereka punya dan mengasuh anak, tapi Ratih menolak walaupun Made dengan senang hati akan menemaninya ke tenaga profesional. Kakak nomor dia Gangga itu berusaha sabar menghadapi sikap sang istri yang entah kenapa jadi berubah. Sesekali ia mencubit anaknya kalau tidak mau makan atau tidur siang. Ibu dan Ajinya Gangga yang kerap menjadi tameng bagi anak itu sementara mereka juga berusaha menenangkan Ratih yang semakin lama semakin tidak bisa mengendalikan emosi. Made marah besar sekali waktu karena masalah ini, Ratih juga sama marahnya. Semua yang ditahan oleh Ratih ditumpahkan di hadapan suamimya. Semenjak pertengkaran pertama mereka yang hebat, pertengkaran-pertengkaran selanjutnya semakin sering terjadi. Mulai dari Ratih yang suka mengomel dan mengeluh akan kesalahan sepele yang dilakukan Made atau anaknya, Ratih yang selalu gagal diajak komunikasi oleh Made sebab sudah tidak adanya konektivitas antara komunikasi mereka. Made merasakan lelah yang berkali-kali lipat tiap kali mengajak Ratih berkomunikasi mengenai rumah tangga mereka sebab Ratih menanggapi dengan nada yang keras dan emosi. Made seperti berusaha sendirian untuk mempertahankan rumah tangganya. Pertengkaran-pertengkaran selanjutnya membuat Made naik pitam karena Ratih kerap menjelekkan saudara Ibu atau Ajinya, bahkan orangtua Made sendiri tanpa mau diajak duduk untuk bicara baik-baik sebenarnya salahnya dimana dan siapa yang salah. Ratih menjadi manusia yang hanya ingin didengarkan tanpa mau mendengarkan.
Lama-lama Made muak, dan tepat di usia pernikahan mereka yang kesepuluh tahun, Made menjatuhkan talak pada Ratih. Ratih yang emosi tidak pikir dua kali untuk menerima talak itu. Proses perceraian berjalan hingga selesai dan hak asuh anak jatuh ke tangan Made. Ratih akhirnya pulang ke Jawa ke rumah orangtuanya sementara sang anak tetap tinggal di griya bersama Made.
Lima tahun setelah gagalnya pernikahan kakak kandung Gangga, Made kembali dekat dengan seorang perempuan Jawa yang merantau di Bali. Ia sangat ramah, tutur katanya lembut dan halus. Singkat cerita, Made menikah untuk kedua kalinya. Tapi sayang, pernikahan mereka hanya berjalan selama empat tahun sebab istri baru Made ketahuan sering mencuri barang-barang berharga dari rumah orangtua atau bahkan saudara yang tinggal di griya. Made tidak pikir dua kali untuk langsung menceraikannya, tidak mengindahkan permintaan si perempuan yang menangis-nangis minta dimaafkan dan memulai semuanya dari awal.
Sadar bahwa ia telah gagal dalam rumah tangga dan pernikahan sebanyak dua kali, Made berikrar pada diri sendiri dan di depan kedua orangtuanya bahwa ia tak akan menikah dengan siapapun lagi sekalipun ia jatuh cinta dengan seseorang nantinya. Ikrar yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut anak kandung mereka membuat Aji yang memang punya penyakit jantung seketika langsung pingsan. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Aji mengembuskan napas terakhirnya.
Merasa bersalah, Made akhirnya tenggelam dalam emosi hingga ia harus pergi ke terapis jiwa untuk mengatasi depresi yang dialami. Setelah membaik, ia lebih bisa menerima apa yang sudah terjadi. Rasa bersalah itu ditebus Made dengan berusaha menjadi orangtua yang baik untuk anak lelakinya.
Walaupun Made dan sang anak perlahan bisa bangkit dan beradaptasi dengan suasana hidup yang baru, bahkan mereka berdua kerap menjadi partner dalam bersepeda mengelilingi Bali dan kadang membawa serta sepeda gunung mereka ke beberapa tempat wisata saat travelling ke luar kota, tetap saja Ibu masih terbayang oleh peristiwa tidak mengenakkan itu.
"Tugus benar, kan, Bu?" tanya Gangga karena Ibu belum menjawab pertanyaannya.
"Ya, Tugus benar," balas Ibu. "Ibu nggak mau hal yang sama dialami sama Tugus."
"Ini nggak adil, Bu. Kenapa Gauri harus disamakan dengan Mbok Ratih dan Mbok Ayu? Gauri nggak seperti mereka. Gauri beda. Tugus yakin kalau memang Gauri orang yang tepat."
"Tugus, yang menjalani pernikahan dan rumah tangga memang kamu dan istrimu kelak, tapi pernikahan sejatinya juga menikahkan dua keluarga dan dua budaya. Perbedaan budaya dalam pernikahan itu besar risikonya kalau nggak pandai-pandai mengendalikan ego masing-masing. Sekarang kalian masih pacaran, masih belum tahu sifat aslinya seperti apa, sama seperti Bli Made dan mantan istrinya. Di awal manis, seolah dua budaya yang berbeda bisa bersatu, tapi di tengah jalan apa? Mereka pecah karena ada perbedaan budaya. Kiranya apa Tugus dan Gauri sudah siap menghadapi itu? Inilah kenapa Ibu selalu ingatkan Tugus untuk cari yang asli Bali saja, yang tinggal di Bali sejak kecil, yang tahu bagaimana adat dan budaya di sini, untuk meminimalisir peristiwa yang menimpa Bli Made." Ibu menarik napas dan membuangnya pelan. Ia masih berusaha tenang, sementara Gangga meradang dalam diam. "cepat atau lambat, akhiri saja hubungan Tugus dengan Gauri. Baik Gauri dan Tugus sama-sama berhak mendapat ganti yang lebih baik, yang lebih bisa menerima bukan hanya mereka berdua yang akan menikah, tapi juga keluarganya, karena terus terang, Ibu akan tetap menyuruh Tugus menikah dengan orang Bali asli. Ibu tidak akan menjodohkan Tugus, Ibu membebaskan Tugus mencari jodoh sendiri, dengan syarat satu itu. Mungkin sekarang yang Ibu katakan tidak bisa dipahami oleh Tugus. Ibu memang egois, ya, Ibu akui memang begitulah Ibu, tapi semua ini Ibu lakukan untuk anak sendiri." Setelah mengatakannya, Ibu menepuk lengan Gangga pelan sebelum akhirnya menuju kamarnya. Membiarkan Gangga sibuk sendiri dengan pikirannya. Memikirkan keputusan apa yang harus diambil.
Gangga bingung. Kalau ia dan Gauri harus berpisah, kenapa semesta mengizinkan mereka untuk saling menyayangi.
...
"Putus saja, Gus," ujar Bli Made sembari menekan rokoknya yang telah memendek pada sebuah asbak.
Gangga mendongak menatap sang kakak. Tidak terlalu terkejut dengan jawabannya.
"Bukan karena Bli pernah gagal dalam rumah tangga dengan perempuan yang bukan dari Bali asli," Bli Made melanjutkan segera. Tidak mau kalau jawabannya ambigu untuk Gangga. "tapi karena restu Ibu sangat penting dalam pernikahan. Kenapa? Bli menganggap kalau restu orangtua dan keluarga besar itu seperti doa yang melancarkan rumah tangga untuk ke depannya. Pasti ada orang-orang yang berdoa untuk kebaikan rumah tangga kita ketika dua keluarga sama-sama memberi restu. Restu nggak bisa bekerja kalau diberikan oleh satu pihak. Bli dulu juga mikir, Ibu padahal sudah merestui tiang dan Ratih, tapi kenapa rumah tangga tiang tetap hancur? Bukan salah restu Ibu yang berubah, tiang rasa restunya nggak akan pernah berubah selama dia tahu kita bahagia dengan pilihan sendiri, tapi karena memang ... ada beberapa hal yang ... berubah. Harus berubah, mungkin. Tiang nggak mau menyalahkan Ratih atau Ayu karena mereka nggak bisa beradaptasi dengan lingkungan dan budaya masyarakat Bali. Mereka sudah berusaha. Bukan salah budaya siapa yang paling ribet dibanding siapa. Budaya tetaplah budaya. Manusia tetap manusia. Budaya mengalami perubahan, manusia juga. Bedanya, ada yang siap dengan perubahan dan bisa beradaptasi, ada yang tidak." Bli Made memandang adiknya sejenak, Gangga juga sama. "yang dibilang Ibu benar. Pernikahan dan rumah tangga itu menyatukan dua keluarga yang kulturnya bisa jadi berbeda. Walaupun sama-sama dari Bali, pasti ada beberapa kebiasaan yang berbeda. Dalam rumah tangga, kalau perbedaan budaya ini nggak bisa berjalan berdampingan, dia berubah jadi jarak yang memisahkan dua orang. Mungkin maksud Ibu adalah ... karena Gauri tidak tahu perubahan apa saja yang terjadi di Bali karena sejak kecil dia tidak tinggal di sini, sekalipun dia mau belajar adaptasi, tapi pasti ada culture shock yang dia alami. Kamu mungkin juga akan mengalami hal yang sama ketika tahu bagaimana kultur dari keluarga Gauri. Yang dialami Ratih dan Ayu juga sama. Mereka kaget dengan kehidupan di Bali. Sudah berusaha adaptasi, tapi ternyata nggak berhasil, ternyata mereka masih merasa belum punya ikatan itu. Karena nggak merasa punya ikatan, keinginan untuk belajar tentang budaya tempat dimana dia tinggal pelan-pelan pudar."
"Gauri mau belajar semuanya dari nol, Bli. Dia dan tiang sama-sama ingin mempelajari asal-usul leluhur kami. Kalaupun nanti kami mengalami culture shock, kami sudah berjanji akan saling bantu."
"Ya, Bli paham, tapi kalau Ibu dan keluarga besar nggak setuju, kamu bisa apa?" Bli Made menanggapi, dan Gangga merasa kalah telak. Lidahnya terasa kelu. "kalaupun melawan, apa Gus yakin rumah tangganya akan baik-baik saja? Gini, putus saat pacaran itu nggak masalah. Lebih baik putus saat pacaran daripada nikah. Sekarang kamu mungkin menganggap Gauri adalah orang yang tepat, Gauri juga berpikir kalau kamu adalah orang yang tepat bagi dia, tapi kalau ada peristiwa semacam ini, bukankah Tuhan bermaksud ingin menunjukkan kepada kamu dan Gauri bahwa ada yang lebih baik di depan sana? Klise memang, tapi ... sering sekali dua orang yang sengaja dipertemukan pada akhirnya nggak bisa bersama karena memang bersama bukan takdir mereka, takdir mereka cuma bertemu dan saling memberi pelajaran kepada satu dengan yang lain, lalu sudah, kembali melanjutkan jalan masing-masing. Kadang yang menurut kita tepat, belum tentu tepat."
Kadang yang menurut kita tepat, belum tentu tepat.
Ah, sial. Terlalu banyak paradoks dalam dunia ini.
Kalimat itu terus terngiang di kepala Gangga selama sekian hari setelah diskusinya dengan Bli Made. Hal itu menyebabkan hubungannya dengan Gauri renggang. Mereka belum berkomunikasi semenjak Gangga ditegur oleh Ibu tentang hubungannya. Dan Gauri yang sudah merasakan bagaimana Ibu Gangga kurang bisa menerima hubungan mereka memilih diam. Sebab Gauri tahu bahwa mereka hanya punya dua pilihan; putus atau lanjut tanpa restu. Gauri tidak ada dalam posisi yang siap untuk mengakhiri hubungannya dengan Gangga bahkan ketika persentase berpisah itu semakin besar dan nyata di depan mata.
"Mbok Gauri," panggil keponakan perempuannya yang membuat Gauri mengalihkan pandang dari laptopnya ke arah pintu yang diketuk pelan. "di luar ada Bli Gangga." ia melanjutkan, membuat Gauri mengerutkan dahi, sedetik kemudian memeriksa ponselnya, tidak ada kabar dari Gangga kalau ia akan berkunjung. Gauri mengucapkan terima kasih kemudian bergegas menemui Gangga yang duduk di beranda griya yang Gauri tempati bersama keluarga dari kakak laki-laki Ajinya. Hujan deras telah berubah menjadi gerimis kecil, dan Gauri bisa melihat bahwa bagian atas kemeja yang dikenakan Gangga memang basah. Kedua tangannya juga. Gauri menebak ia lupa bawa payung sehingga menggunakan tangannya untuk melindungi kepala.
Gauri tersenyum pada Aji Rai, kakak laki-laki Ajinya yang nomor dua, yang telah menemani Gangga semenjak ia datang. Aji Rai lalu menepuk pundak Gangga dan Gauri sebelum akhirnya masuk setelah sebelumnya berpesan pada mereka berdua supaya tidak mengobrol sampai larut, yang dijawab anggukan kompak.
Gangga mengalihkan pandangannya kepada Gauri, menepuk sisi kanannya sambil mengulas senyum tipis, Gauri mendekat lalu duduk di sana. Lengan mereka bersentuhan.
Sepersekian detik setelah mereka diselimuti keheningan, Gangga akhirnya buka suara. Ia menceritakan apa yang dialami oleh kakak keduanya pada Gauri. Gangga tidak menganggapnya sebagai aib keluarga, sebagaimana kakak keduanya telah menganggapnya sebagai masa lalu yang memberikan pelajaran berharga. Gauri mendengarkan dengan seksama, mencerna setiap kalimat yang disampaikan Gangga, dan mengolahnya di dalam otak dan benak. Untuk saat ini, bagi Gauri alasan kenapa hubungannya harus berakhir adalah alasan yang cukup konyol, seberapa keras ia ingin memahami alasan itu sekarang, secepatnya, semakin ia tidak paham.
"Aku tahu kamu bingung. Aku juga sama. Mungkin ini kedengaran konyol dan nggak adil, tapi aku sama kamu memang nggak bisa langsung paham sama alasannya sekarang, kan, Ri? Siapa tahu kita baru paham maksud alasan ini di kemudian hari, atau ... biarin aja nggak paham sama alasannya, biarin aja kita lupa kalau kita pernah kenal, punya hubungan, sampai akhirnya selesai dengan cara yang absurd," ujar Gangga setelah memberi jeda selama sepersekian detik usai menjelaskan alasan kenapa hubungannya ditentang oleh sang Ibu. "aku nggak bisa berbuat banyak. Aku juga nggak mungkin melawan Ibu." ia melanjutkan. Nada bicaranya terdengar memelan dan lesu.
"Jangan merasa bersalah," balas Gauri. "dari awal aku sudah bisa membaca akhirnya gimana. Cuma waktu itu aku yakin kalau ini bisa berubah jadi sesuai harapanku, tapi ternyata nggak, jadi ... ya sudah, Ngga. Mau bagaimana lagi? Restu Ibu itu segalanya."
Gangga diam. Tidak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya menunduk sambil menyandarkan kepala pada pilar yang menopang atap griya. Matanya memejam seiring dengan embusan napas kadar berembus. Lelah dan berat sekali rasanya. Gauri melirik lelaki itu, tapi buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Gangga tersenyum miring, kekehan kecilnya yang terdengar pahit terdengar oleh Gauri, membuatnya menoleh. Masih dengan mata yang terpejam, Gangga berujar, "Aku sempat takut buat datang ke sini karena aku pikir kamu bakalan marah atau bahkan nangis. Aku nggak bisa lihatnya. Makanya aku tunda-tunda ke sini, ngomongin soal ini, sampai aku yakin aku siap. Emang kamu nggak marah, Ri?"
Gauri kembali menoleh ke depan, menatap dapur dan kamar mandi yang terletak di luar griya, sengaja dipisahkan dari ruang utama supaya bagian dalam lebih bersih. "Aku nggak marah, cuma ... sedih aja. Tapi mau gimana lagi, ya, kan? Terima aja."
"Kamu sering bilang 'mau gimana lagi'. Aku sampai hapal nadanya gimana."
"Emang gimana?"
Gangga membuka mata kemudian memeragakan bagaimana Gauri mengatakan kalimat yang sering ia ucapkan saat ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapan. "Ya ... ya udah, kan? Mau gimana lagi?"
Gauri tertawa pelan, Gangga juga.
"Ini ceritanya kita udahannya secara baik-baik ya?"
"Ya ... harusnya bersyukur dong?"
Gangga tersenyum masam. "Mau putus baik-baik juga tetap aja judulnya 'putus', Ri." Walaupun ia bergumam, Gauri masih mendengarnya.
"Belajar ikhlas, Ngga."
Gangga tidak menjawab. Ia membuang napas kasar lalu memandang langit malam yang masih mengeluarkan rintik-rintik hujan yang terlihat jelas di bawah lampu jalan pada tiang listrik yang bisa terlihat dari dalam griya.
"Aku pulangnya tunggu hujan agak reda ya, Ri."
"Iya, yang penting kamu udah izin sama Ibumu kalau pulangnya terlambat dan lagi ada dimana."
"Udah, tadi udah izin sama Ibu."
Detik-detik selanjutnya, mereka memilih diam. Seolah kehabisan topik malam ini dan mempersilakan hening mengambil alih waktu yang berjalan lambat.
Tak ada pertanyaan basa-basi, tidak ada kalimat penenang, tidak ada kalimat penyemangat. Keduanya hanya saling diam. Menikmati hening bersama dan rasanya sudah cukup.
Ketika rintik-rintik hujan telah berhenti, Gangga bangkit dari posisinya begitupula Gauri. "Aku pulang dulu," ujar Gangga yang diangguki oleh gadis itu. Keduanya berjalan beriringan menuju gerbang depan griya, menyaksikan bagaimana jalanan besar di depan sana sudah mulai lengang, hanya satu dua kendaraan yang melintas, udara semakin dingin, dan suara anjing jalanan menggantikan jangkrik dan kodok.
"Hati-hati, Ngga."
Gangga mengangguk. Sebelum masuk mobil, ia berbalik menatap Gauri. Gauri baru menyadari kalau kedua mata Gangga memerah dan berkaca-kaca. Sama dengan milik Gauri. Jarak itu dikikis oleh Gangga bersamaan dengan sebuah lengan melingkar merengkuh tubuh mungil Gauri. "Setelah ini ... kita harus lebih bahagia dibanding sebelumnya." Suara Gangga malam itu seperti terdengar sangat jauh, sebab suaranya digantikan oleh isak tangis Gauri.