Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Jiwa 101, kamu sudah siap untuk kembali ke bumi,” jelas seorang petugas. “Apakah ada yang kamu inginkan sebelum pergi ke bumi?”
Gumpalan energi itu bergetar. Dengan resonansi yang pelan, ia mengatakan, “Aku ingin bertemu dengan Dewa.”
Dewa adalah pasangannya di kehidupan sebelumnya, dan di kehidupan sebelumnya lagi, Dewa bernama Dika, lalu Saka. Fenomena ini bukan hal aneh. Banyak jiwa yang bereinkarnasi cenderung mencari atau merindukan koneksi mendalam yang pernah mereka jalin. Entah jiwa yang menjadi keluarga atau pasangan mereka.
“Kau akan bertemu dengannya, bersabarlah,” ucap petugas itu sambil tersenyum. Gumpalan energi itu melayang menuju gerbang. Saat melewati gerbang ia akan terlahir sebagai seorang manusia.
Jiwa 101 terlahir sebagai seorang perempuan bernama Sinta. Hari ini dia resmi menjadi seorang mahasiswi.
Apakah Sinta mengingat keinginan terakhirnya sebelum terlahir? Tentu saja tidak. Perjanjian No. 1477 berlaku: Jiwa yang lahir tidak akan mengingat kehidupan di alam roh.
Sinta duduk di depan ruang kelas, menunggu kelas berikutnya. Dia melamun, pikiran jomblo yang berusia delapan belas tahun itu berkelana, ”Kapan ya aku punya pacar”
Bukan sekadar ingin punya pacar. Sinta kerap merasa ada ruang kosong di dalam dirinya, sebuah kebutuhan untuk utuh. Bisa dibilang di jam-jam rawan dia adalah perempuan yang kesepian. Secara tidak sadar mencari separuhnya yang hilang.
“Ayo, Sin. Kita ke kelas,” ajak Sela, temannya.
“Kamu udah tahu kelasnya di mana?” tanya Sinta.
“Belum, kita muter-muter dulu aja.”
Minggu pertama kuliah adalah minggu penuh teka-teki. Sinta, Sela, dan Putri berjalan menyusuri lorong panjang.
“Kayaknya ruangan 503 di wilayah akuntansi, deh,” ucap Putri.
“Ke arah sana, enggak sih?” tunjuk Sinta ke arah lorong sebelah kanan.
Saat mereka berjalan, ada seorang laki-laki yang mendahului. Laki-laki itu berjalan dengan langkah panjang, membawa buku tebal.
“Eh itu kan dosen kita?” tanya Putri.
Sinta dan Sela melihat laki-laki itu. Perasaan aneh menusuk dada Sinta. Rasanya seperti deja vu.
“Pak Yasa?” panggil Sinta. Suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia duga.
Laki-laki bernama Yasa itu menoleh. Saat tatapan mata mereka bertemu, bagi Sinta, waktu seperti melambat, dan detak jantungnya yang selalu berlebihan tiba-tiba terasa tenang. Tatapan itu terasa akrab.
“Ya?” jawab Pak Yasa.
“Bapak sudah tahu ruang kelasnya?” tanya Sinta, sedikit grogi namun rasa akrab yang ia rasakan mengalahkan kecanggungan.
“Belum, saya juga lagi nyari,” jawab Pak Yasa sambil tersenyum tipis.
“Udah kita ngikut saja,” bisik Sela.
Akhirnya mereka bertiga memilih mengekor Pak Yasa. Dan ajaibnya, Pak Yasa langsung menemukan ruang 503. Logika Sinta berkata, ”Memang laki-laki lebih pandai tentang pemetaan.”
Kuliah mereka berlangsung lancar. Sinta duduk di baris nomor dua dari belakang. Namun, kini, fokusnya terpecah. Ia tak tahu bahwa pertemuan singkat itu akan menjadi kisah yang lebih dari sekadar perkuliahan.
Kini, hari Selasa menjadi waktu yang dia tunggu-tunggu. Semakin sering bertemu, semakin kuat perasaan yang tidak dapat ia jelaskan: kenyamanan yang tidak perlu dipertanyakan. Hatinya menjadi sangat gembira, bibirnya mengembangkan senyuman alami, dan ia mendapati dirinya tidak perlu berusaha untuk menjadi Sinta yang sempurna. Di dekat laki-laki berumur dua puluh delapan tahun itu, ia hanya menjadi dirinya sendiri. Seolah-olah dia telah menemukan kunci untuk keutuhannya.
***
Aku berjalan menyusuri lorong, mencoba mengingat peta kampus. Seseorang yang kutemui tadi mengatakan aku harus jalan lurus dan naik ke lantai 5 lalu ke kanan.
Belum kutemui tangga yang dimaksud, aku mendengar suara seorang perempuan memanggilku. Suara itu, suara itu terdengar begitu akrab. Seolah aku mengenalnya dari dunia lain.
Aku menoleh. Aku melihat tiga perempuan. Aku yakin bahwa perempuan yang lebih tinggi dari teman-temannya itu yang memanggilku.
Mata kami bertemu. Pada detik itu, lorong ramai yang tadi kupijak seolah lenyap. Tatapannya sangat meneduhkan seperti aku baru saja menemukan pelabuhan setelah badai yang panjang. Aku sempat terlena dengan keindahan parasnya. Tidak, bukan sekadar paras tapi kehangatan yang terpancar darinya hingga akhirnya kesadaranku kembali.
“Ya?” jawabku.
“Bapak sudah tahu ruang kelasnya?” tanya perempuan itu.
“Belum, saya juga lagi nyari,” jawabku sambil tersenyum tipis. Entah mengapa, aku merasa gembira tanpa alasan yang jelas. Seolah beban yang selama ini kupanggul tiba-tiba menghilang.
Aku melanjutkan jalanku. Aku merasakan bahwa ketiga perempuan itu mengikutiku di belakangku. Rasanya tidak canggung. Justru terasa aman, seolah aku sudah terbiasa memimpin jalan dan dia mengikuti di belakangku seperti yang sudah-sudah.
Pertemuan itu menjadi pertemuan pertama kami. Sejak saat itu, aku sering melihat perempuan itu berjalan sendiri. Perempuan itu bernama Sinta. Namanya sederhana, namun di telingaku namanya terdengar begitu indah dan penting.
Aku sering mencuri-curi pandang untuk menatapnya, bahkan saat aku sedang mengajar. Perasaan aneh ini tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Sinta sangat terlihat akrab dengan temannya yang bernama Sela. Namun saat matanya melihat ke arahku sekilas, ia memancarkan ketenangan yang mendalam.
Sinta adalah mahasiswi yang manis di mataku. Walaupun dia sering duduk jauh dari tempatku, mataku tetap bisa memandangnya. Di mata kuliahku, dia sangat aktif dan bisa dibilang cerdas. Tapi bukan kecerdasannya yang menarikku.
Yang menarikku adalah kenyamanan yang ia berikan hanya dengan keberadaannya. Ia seperti potongan puzzle yang tidak pernah aku sadari hilang. Setelah bertemu dengannya aku merasa utuh. Seolah-olah seluruh perjalanan panjangku akhirnya berakhir di lorong kampus ini. Aku hanya dosennya, tapi perasaanku mengatakan kami lebih dari itu. Kami adalah dua jiwa yang akhirnya bertemu kembali.
Aku menatap laptop di mana layar menampilkan email yang masuk: tawaran untuk melanjutkan studi S3 di Belanda. Tempat yang sangat jauh.
Perasaan di dadaku bercampur. Di satu sisi, ini adalah pencapaian tertinggi dalam karir yang telah kurintis bertahun-tahun. Di sisi lain, ini berarti aku harus meninggalkan Sinta.
Walau kami tidak pernah berbincang mendalam di luar kelas, aku tahu bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Setiap kali bertemu, mata kita seperti berbicara. Percakapan yang jauh lebih jujur dan tua daripada kata-kata. Aku telah menemukan rumah yang kurindukan selama hidup. Hanya untuk segera dipaksa pergi dan melanjutkan perjalanan ini sendirian.
Aku tahu ini akan menyakitinya sama seperti ini menyakitiku. Tapi inilah takdir yang harus kutempuh untuk menjadi yang terbaik, untuk menjadi layak bagi jiwa yang akhirnya kutemukan kembali. Aku hanya bisa berharap koneksi yang terasa abadi ini akan sanggup melampaui waktu dan jarak yang akan membentang di antara kami.
***
Perkuliahan dengan Pak Yasa hari ini terasa berbeda. Udara di ruang kelas terasa tipis dipenuhi ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. Setelah minggu lalu perkuliahan berubah menjadi online. Sekarang, Pak Yasa menyampaikan bahwa perkuliahan hari ini adalah perkuliahan terakhir kami.
“Saya akan melanjutkan studi S3 di Belanda,” ucapnya dengan suara yang tenang, namun nada suaranya sedikit bergetar.
Hatiku terasa retak. Retakannya bukan berasal dari cinta remaja yang berlebihan, melainkan perasaan kehilangan. Seolah aku kehilangan sesuatu yang esensial untukku bernapas. Aku tidak bisa menemuinya lagi. Aku tidak bisa lagi duduk di depan ruang dosen, berpura-pura menunggu Sela. Hanya untuk melihatnya dan merasa utuh. Suara yang menenangkan itu, yang selalu terasa seperti melodi dari kehidupan lampau, tidak bisa kudengar lagi.
Perpisahan hari itu terjadi begitu saja, cepat dan tanpa seremonial. Dia semakin sering tidak terlihat di kampus. Sepertinya dia sibuk melengkapi berkas-berkasnya.
Pagi ini hatiku terasa berat. Kerinduan ini menyiksa. Kerinduan yang datang dari memori yang tak bisa kuingat. Rasanya aku sangat merindukannya. Aku menarik napas, rasanya sesak di dadaku. Seolah separuh jiwaku sudah lebih dulu terbang menyeberangi lautan, meninggalkanku dengan separuh yang kosong ini.
”Separuh yang kosong itu harus belajar untuk utuh sendiri lagi," Pikir Sinta sambil memaksakan dirinya bangkit dan melanjutkan hidup. Ia tahu, tugasnya sekarang adalah menunggu. Entah menunggu kabar atau menunggu takdir.
***
Sementara itu, di dunia yang tidak bisa dijangkau oleh Sinta maupun Pak Yasa. Seorang petugas menatap layar besar yang menunjukkan jalur-jalur takdir.
“Jiwa 101 telah menemukan Dewa,” gumamnya, membaca data energi yang baru saja berinteraksi di Bumi.
“Tapi bukan dia, kan?” petugas lain menyahut sambil membenarkan letak kacamatanya.
Petugas itu melihat rekannya, sambil menatap heran. “Jodohnya,” lanjut rekannya, menunjuk ke timeline takdir yang lain.
Petugas pertama tersenyum tipis. “Iya, mereka memang bertemu lagi, tapi bukan sebagai jodoh.”
Petugas itu mematikan layar, meninggalkan misteri di udara. Dua jiwa telah bertemu. Keduanya telah mengisi kekosongan, dan keduanya kini harus berpisah untuk menemukan takdir sejati mereka.