Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Reuni di Villa Angker
0
Suka
106
Dibaca

Aku tahu, mimpi buruk bisa saja cuma bunga tidur. Tapi yang ini... beda.

Tiga malam berturut-turut, mimpi itu datang lagi: vila tua, lapangan luas, api unggun, dan... teman-teman yang satu per satu hilang. Selalu di akhir mimpi, aku sendirian. Dikelilingi kabut. Suara-suara aneh. Aku tak tahu asalnya dari mana. Suara itu tidak nyata. Tapi sangat terasa dalam tubuhku, menggetarkan tulang dan membuat perutku berdebar.

Dan yang bikin makin nggak tenang, mimpi itu... mulai kejadian di dunia nyata.

Beberapa hari lalu, aku mimpi berdebat sama Amara soal acara reuni. Kita ribut soal vila yang katanya angker. Aku tetap maksa mau ikut.

“Aku nggak yakin kita semua bakal pulang dengan selamat,” kata Amara di mimpi itu. Matanya tajam banget, menusuk ke dalam.

Pas bangun, aku cuma nyengir. “Dramatis amat,” gumamku.

Tapi siangnya, Amara beneran nelepon.

“Fio... lu beneran mau ikut ke vila itu?” suaranya pelan, ada ragu yang aku dengar, meski dia berusaha sembunyikan.

“Ya iya lah. Masa enggak?” aku ketawa kecil. “Lo takut, Mar?”

Dia nggak langsung jawab. Ada jeda panjang. Suasana jadi hening. “Fio...” suaranya akhirnya terdengar kembali, lebih rendah, hampir seperti bisikan. “Gue nggak yakin... kita semua bakal pulang.”

Deg.

Aku langsung duduk. Jantungku kayak diremas. Badanku terasa kaku, seolah-olah udara di sekelilingnya mendadak berat. Aku tahu ada yang nggak beres, tapi... kenapa cuma aku yang bisa merasakannya?

Amara adalah tipe orang yang selalu menutupi ketakutannya dengan logika. Dulu kami sering bertengkar soal hal-hal kecil, seakan-akan dia lebih tahu tentang dunia ini daripada siapa pun. Tapi ada sesuatu tentang suaranya yang membuatku tak bisa mengabaikan kekhawatirannya. Aku mengenalnya terlalu lama. Dia nggak pernah berbicara seperti itu.

Akhirnya, reuni itu tetap terjadi. Kami nginep di vila tua di Lembang. Katanya, tempat itu dulu pernah dipakai buat acara uji nyali. Tapi temen-temenku—yang skeptis dan terlalu logis—malah excited banget.

Waktu kami tiba, vila itu tampak kosong dan terlantar. Butuh waktu lama sebelum akhirnya kami mendapatkan kunci untuk masuk. Tempat ini sepertinya sudah lama tak terawat. Semua terasa kuno dan berdebu, tapi aku merasa ada sesuatu yang mengawasi.

Teman-temanku, Andra dan Dita, memutuskan untuk menjelajahi vila lebih dulu, sementara aku dan Amara memilih duduk di teras, menikmati udara malam yang sejuk. Andra—si ahli sejarah dan penggila cerita mistis—sembari menertawakan ketakutan kami, terus menceritakan kisah-kisah lama tentang vila ini, membuat suasana jadi sedikit lebih santai. Tapi, aku tahu, di balik semua candaannya, ada kegelisahan yang sulit disembunyikan.

Dita, meskipun terlihat tenang dan penuh percaya diri, sebenarnya sangat mudah terpengaruh oleh suasana. Dia selalu terlihat ceria, seperti matahari yang selalu bersinar, tetapi itu cuma cara dia melindungi dirinya. Dita selalu berusaha menunjukkan sisi positif, bahkan saat dia sendiri tak yakin.

Malam pertama, suasananya seru. Kita ketawa-ketawa, main truth or dare, nostalgia zaman SMA, dan tentu aja... bikin api unggun. Namun, ada sesuatu yang nggak beres dengan malam ini. Langit malam itu kelam, langit seperti menekan dengan warna hitam yang padat. Udara terasa semakin berat, semakin dingin, meski api unggun di tengah kami membakar.

Aku yang tadinya udah mulai santai, tiba-tiba ngerasa aneh. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Seperti ada sesuatu yang mengamati kami dari jauh. Aku nengok ke belakang vila. Lapangan yang harusnya gelap... ada cahaya oranye berkedip.

“Heh, kalian lihat itu nggak?” tanyaku, nunjuk ke arah sana.

Andra ngelirik sebentar. “Apaan sih? Ah, paling juga pantulan lampu doang.” Dia nepuk pundakku santai, tapi aku bisa lihat ekspresinya yang sedikit gugup, walaupun dia berusaha menutupi.

Tapi aku tahu itu bukan pantulan.

Langkahku terasa berat. Kulitku merinding, hawa dingin merayap di leherku. Aku berjalan pelan ke arah cahaya itu, merasa tubuhku semakin kaku, seolah ada sesuatu yang menahan setiap gerakan. Suara kaki yang menjejak tanah basah itu terasa semakin keras, gemeretak, seolah mengingatkanku bahwa aku tidak sendiri.

Pas aku lihat lebih dekat... aku berhenti. Langsung. Terhenti.

Di sekitar api unggun itu, ada kami. Tapi bukan kami yang sekarang. Versi lain. Duduk melingkar. Wajah mereka kosong. Mata menatap lurus, kosong, seperti patung yang tak bergerak. Rasanya seperti sesuatu yang buruk sedang mengintai di belakang mereka, dan aku bisa merasakannya—seperti hawa dingin yang merayap, menembus kulit.

“Fio! Lo ngapain?” suara Amara bikin aku nengok. Suaranya terdengar terputus-putus, seolah jauh sekali.

Aku noleh balik ke lapangan.

Kosong. Gelap. Semua hilang.

“Gue... barusan lihat—” suaraku patah, tenggorokanku tercekat. Aku merasa seperti ada bola yang menghalangi tenggorokanku, berat, sesak, dan nggak bisa dikeluarkan.

Amara natap aku lekat-lekat, matanya melebar. Ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. “Gue juga lihat mereka,” bisiknya, sangat pelan, seolah takut suara itu bisa membangunkan sesuatu yang tak seharusnya terbangun.

Kami melangkah mundur, seiring langkah-langkah berat yang semakin mendekat. Aku bisa merasakan jantungku berpacu lebih cepat. Amara, yang biasanya tenang dan rasional, kini memegang tanganku erat-erat. Tangan dinginnya menambah kecemasan yang sudah melanda.

Malam makin larut. Satu per satu temen-temen masuk ke kamar. Tapi aku? Nggak bisa tidur. Badanku tegang, otakku terus berputar, tidak bisa berhenti. Setiap suara, setiap langkah di luar kamar terasa mengganggu. Seperti ada sesuatu yang bergerak di balik pintu.

Aku keluar kamar. Mau ke toilet. Tapi pas balik...

Sunyi banget. Terlalu sunyi. Aku bahkan nggak bisa dengar napasku sendiri.

“Akbar?” aku panggil. “Dita?”

Nggak ada jawaban. Cuma hening... yang nggak wajar. Seperti ada tekanan udara yang menyelimuti ruang ini, membungkam setiap suara.

Lalu... mereka muncul lagi.

Duduk melingkar di sekitar api. Wajah-wajah kosong. Temen-temenku semua. Tapi... bukan mereka.

Aku berdiri terpaku. Tubuhku serasa membeku. Terperangkap dalam ketakutan yang mengalir melalui setiap pori-pori kulit. “Tapi... kenapa cuma aku yang...”

“Fio.”

Aku kaget. Noleh.

Amara.

Mukanya pucat. Napasnya ngos-ngosan. Ia tampak seperti baru saja lari sejauh-jauhnya. Keringat dingin mengalir di dahinya. Ada kegelapan yang menyelimuti matanya.

“Kita harus pergi. Sekarang,” katanya cepat, suaranya penuh urgensi, ada ketegangan yang jelas terasa di nada suaranya. Suara itu penuh dengan keputusasaan, seolah ia sudah kehabisan harapan.

“Hah? Tapi... yang lain—”

“Itu bukan mereka lagi.” Suaranya penuh penekanan, seperti berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang sedang kami hadapi bukan lagi sesuatu yang bisa kami lawan.

“Apa sih maksud lo? Lo denger diri lo ngomong apa barusan?” aku mulai panik, nafasku semakin cepat, setiap kata terasa berat keluar dari tenggorokanku.

Amara menatapku, dalam. Seolah-olah dia mencari sesuatu dalam diriku, “Lo percaya gue, kan?”

Aku diem sebentar. Ada ketegangan yang mencekam, menyesakkan dadaku. Lalu aku angguk pelan, meskipun rasa takut itu makin merambat ke seluruh tubuhku.

Kita lari ke parkiran.

“Mana mobilnya?” aku mulai panik, tubuhku terasa ringan, tetapi langkahku lambat, seolah terhenti oleh sesuatu yang tak terlihat.

Amara geleng pelan. “Udah nggak ada.”

Aku buka HP. “Sinyal juga nggak ada...”

“Kita harus ngumpet. Sebelum mereka sadar kita belum ikut,” katanya tegas, menatap lurus ke depan.

Aku natap dia, bingung setengah mati. “Kita ini sebenernya... di mana sih?”

Amara narik napas. “Di antara yang hidup... dan yang enggak.”

Dan saat itu juga... aku kebangun.

Napasku berat. Dada sesak. Keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhku. Kamarku. Rumahku.

Mimpi.

Cuma mimpi.

Tapi... kenapa ada tanah basah di lantai?

Aku jalan pelan ke meja.

Ada foto reuni kami.

Di baliknya, ada tulisan tangan.

"Mereka tak pernah pulang."

Tanganku gemetar. Aku lihat fotonya satu-satu. Wajah-wajah itu... tapi ada bayangan hitam di belakang mereka. Sosok tinggi. Kayak lagi ngintip dari balik pohon.

Aku buru-buru meraih HP. Jam di layar menunjukkan 01.04.

Ada pesan masuk.

"Fio, lo beneran udah sampai rumah? Jawab, please." Kata Amara.

Aku langsung ngetik cepat. "Iya. Lo di mana?"

Tapi belum sempat kukirim...

Satu pesan lagi muncul. Dari akun tanpa nama.

"Lo nggak pernah pulang, Fio."

HP jatuh dari tanganku.

Gelap.

Suara kayu terbakar... terdengar samar dari luar jendela. Suara itu nyaring, menusuk telinga, hampir seperti teriakan yang terkubur.

Aku pelan-pelan nengok.

Api.

Teman-temanku.

Mereka berdiri, menatapku. Senyum lebar di wajah mereka.

Di belakang mereka... sosok tinggi. Kabur. Tapi aku tahu, dia melihatku.

Amara nunjuk ke arahku. Bibirnya bergerak pelan.

"Jangan lawan. Biarkan kami menjemputmu."

Aku lari.

Nabrak vas.

Jatuh. Bangun lagi. Buka pintu rumah selebar-selebarnya—

Tapi yang kulihat...

Bukan halaman rumah.

Hutan.

Kabut.

Dan di tengahnya... api unggun.

Mereka berdiri melingkar.

Termasuk... aku.

Diriku sendiri, ada di sana. Di lingkaran itu.

"Apa... ini?" aku bisik, suara tercekat.

Amara tatap aku. Matanya basah.

"Lo udah mati, Fio. Sejak malam itu."

"Nggak...! Gue bangun! Gue di rumah! Gue hidup!" aku teriak.

Dia geleng pelan.

"Yang lo lihat sekarang... bukan dunia lo lagi."

Aku lari masuk rumah. Ambil laptop. Cari berita. Jari-jari gemetar. Keringat mengucur deras.

Satu artikel muncul.

"Kecelakaan Perkemahan: Lima Remaja Dinyatakan Hilang."

Namaku... ada di daftar itu.

Tiba-tiba, folder video kebuka sendiri.

Sebuah rekaman main otomatis.

Aku.

Wajahku pucat. Mata kosong. Bibirku bergerak: "Kalau kalian nonton ini... berarti gue udah keluar. Tapi yang keluar... bukan gue."

Layar mati.

Aku noleh ke cermin dengan senyuman menyeringai dengan tatapan menyelidik.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Reuni di Villa Angker
adinda pratiwi
Flash
REMEMBER ME
Ocha
Flash
SCANDAL CAT
Xielna
Novel
Justin & Misteri Puding Merah (bagian 1)
Arzen Rui
Novel
The Painting On The Wall
Ma'arif
Cerpen
Bronze
ALIENS PURBA DARI SOLITER
Drs. Eriyadi Budiman (sesuai KTP)
Novel
Bronze
Imajiner
Renii Aru
Cerpen
Bronze
Agnosia
godok
Cerpen
Bronze
Dua Perempuan
Venny P.
Flash
RUN!
Alviona Himayatunisa
Cerpen
Bronze
Misteri Catatan yang Terkoyak
Rosa L.
Flash
(Bukan) Rumahku Istanaku
Rexa Strudel
Cerpen
Sumur Tua di Kampung Kami
Sofa Nurul
Cerpen
Bronze
Teror Pocong Si Nina
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Dua Dunia Selina
Mxxn
Rekomendasi
Cerpen
Reuni di Villa Angker
adinda pratiwi
Cerpen
Persahabatan dan Obsesi
adinda pratiwi
Cerpen
Tenggelam di Ombak Kematian
adinda pratiwi
Cerpen
Pesan Antar Dimensi
adinda pratiwi
Cerpen
Penumpang Tak Diundang
adinda pratiwi
Cerpen
Firasat
adinda pratiwi
Novel
Dinara
adinda pratiwi
Cerpen
Temani Aku Malam Ini
adinda pratiwi
Cerpen
Makam Keramat
adinda pratiwi
Novel
The Hidden
adinda pratiwi
Cerpen
Rantai Dendam
adinda pratiwi
Cerpen
Misteri Liontin Biru
adinda pratiwi
Cerpen
Pertarungan Dua Darah
adinda pratiwi
Cerpen
Sisi Lain Dimensi Mimpi
adinda pratiwi
Cerpen
Danau kelam Enarotali
adinda pratiwi