Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Tatapan yang Mengusik
Siang itu, taman kota Makassar dipenuhi tawa anak-anak yang berlarian mengejar balon warna-warni, diselingi obrolan santai para orang tua di bawah rindangnya pepohonan flamboyan yang bunganya merah menyala. Aroma tanah basah setelah hujan semalam bercampur wangi bunga kamboja yang gugur di dekat patung pahlawan, menciptakan suasana yang seolah-olah sempurna untuk sebuah sore yang tenang di jantung kota. Namun, bagi Amara, 18 tahun, ketenangan itu adalah sebuah ilusi rapuh yang pecah berkeping-keping saat pandangannya, entah mengapa, tertarik pada dua sosok pria tua yang duduk di bangku paling ujung, di bawah pohon beringin raksasa yang akarnya menjuntai seperti janggut purba.
Awalnya, mereka hanyalah dua orang asing di antara keramaian. Amara sedang duduk di bangku taman lain, sibuk dengan sketsa bangunan-bangunan tua di sekelilingnya, tugas dari mata kuliah Arsitektur. Musik klasik samar-samar mengalun dari earphone-nya, menjadikannya seolah terpisah dari dunia luar. Namun, sebuah desakan aneh, seperti tarikan tak kasat mata, membuatnya mengangkat kepala. Matanya yang tajam langsung menangkap sosok mereka.
Seorang pria berambut putih dengan sorot mata yang terlihat ramah, namun ada sesuatu yang kosong di baliknya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, dan senyum itulah yang menjadi pemicu. Saat mata Amara bertemu dengan Raisal, pria itu, sesuatu terjadi. Tubuhnya sontak bergetar hebat, bukan karena kedinginan atau ketakutan yang bisa dijelaskan secara logis, melainkan dari dalam, dari inti sarafnya. Getaran itu dimulai dari ujung jari kakinya, merambat cepat ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasakan dingin yang membakar. Jantungnya mulai berdebar tak keruan, iramanya melaju kencang hingga terasa memukul-mukul rusuknya, seolah ingin melarikan diri dari sangkarnya. Rasa mual yang tajam melilit perutnya, menjalar hingga ke tenggorokan, membuat kerongkongannya terasa pahit.
Amara ingin lari, seketika itu juga. Sebuah insting purba mendesaknya untuk menjauh. Namun kakinya terpaku, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikatnya pada tempatnya, mengujinya. Ia merasakan kombinasi emosi yang aneh, saling bertabrakan di dalam dirinya: ketakutan yang mencekam, seolah ia berada di ambang bahaya yang tak terlukiskan; kemarahan yang tiba-tiba meluap seperti air bah yang menerjang, membakar dadanya; dan sebuah keinginan tak tertahankan untuk menangis, meratapi sesuatu yang tak ia pahami. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, panas dan pedih, siap untuk tumpah ruah kapan saja. Ia tidak mengenal kedua pria itu, sama sekali tidak. Memorinya tidak menyimpan jejak apapun tentang mereka. Namun, sensasi ini begitu nyata, begitu kuat, seolah ia pernah menghadapi mereka dalam kehidupan lain, dalam wujud yang berbeda.
Pria itu, Raisal, terus tersenyum. Senyumnya kini tampak lebih lebar, namun matanya tetap kosong, tanpa emosi, seperti topeng. Senyum itu bukannya menenangkan, malah semakin memicu kepanikan Amara. Rasa jijik yang pekat merayap, menjalar dari ujung jari kaki hingga ubun-ubun kepala. Ia merasa kotor, tercemar hanya dengan bertukar tatapan. Pria di sebelahnya, Gatot, yang bertubuh lebih kurus dan berwajah lebih keras, hanya mengamati Amara dengan tatapan datar, tanpa ekspresi, seolah ia adalah sebuah objek penelitian. Ada hawa dingin yang menguar dari dirinya, berbeda dengan Raisal yang mencoba menyembunyikan kekejiannya di balik senyum.
Amara akhirnya berhasil me...