Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Clara tidak pernah menyangka bahwa pameran seni "Persepsi Tersembunyi" akan mengubah hidupnya. Itu adalah malam yang dingin, tapi ruangan galeri dipenuhi kehangatan lampu sorot yang menyoroti kanvas-kanvas. Aroma cat minyak dan kopi yang baru diseduh menyatu, menciptakan suasana yang akrab dan merangsang. Clara, seorang seniman muda dengan bakat yang tak terbantahkan namun dihantui oleh keraguan diri, berdiri di depan salah satu karyanya—sebuah potret abstrak yang menggambarkan badai emosi dalam palet warna biru dan ungu gelap. Karya itu adalah cerminan jiwanya yang sedang bergejolak, dan Clara merasa telanjang di hadapan setiap orang yang melihatnya.
Dia merasa cemas. Karyanya dipajang di samping seniman-seniman yang lebih mapan. Dia mengamati orang-orang yang lewat, berharap bisa mendengar satu komentar positif. Namun, yang dia dengar hanyalah bisik-bisik yang tidak dia mengerti, atau tatapan sekilas yang membuatnya merasa tidak berarti. Dia merasa ingin melarikan diri, kembali ke studio kecilnya yang penuh dengan bau terpentin, di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut dihakimi.
"Karya itu... sangat jujur," sebuah suara berat namun lembut membuyarkan lamunannya.
Clara berbalik dan menemukan seorang pria berdiri di sampingnya. Dia tinggi, dengan bahu lebar yang pas di jas abu-abu gelapnya. Rambutnya hitam legam, ditata rapi, dan matanya... matanya adalah hal pertama yang menarik perhatian Clara. Mata itu berwarna cokelat tua, seolah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Ada kerlingan nakal di sana, namun juga kehangatan yang meyakinkan. Dia tersenyum, dan senyum itu menjangkau matanya, membuat Clara merasa seolah-olah dia adalah satu-satunya orang di ruangan itu.
"Saya Leo," katanya, mengulurkan tangannya yang hangat.
"Clara," jawabnya, sedikit terkejut. Tangan mereka bersentuhan, dan untuk sesaat, Clara merasa seolah-olah arus listrik kecil mengalir melalui dirinya.
"Aku sangat menyukai caramu menggunakan warna. Biru itu... ada kesedihan yang indah di sana, tapi juga kekuatan. Seperti ombak yang siap menelan segalanya, namun juga menahan dirinya. Itu... sangat puitis," Leo melanjutkan, tatapannya tidak pernah lepas dari kanvas.
Pujian itu bukan pujian yang biasa. Bukan sekadar "bagus" atau "menarik." Leo melihat sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang hanya Clara sendiri yang tahu ada di sana. Keraguan Clara perlahan mencair, digantikan oleh rasa penasaran dan kelegaan. Seseorang akhirnya melihatnya, bukan hanya melihat karyanya.
"Terima kasih," bisik Clara, suaranya hampir tidak terdengar. "Itu... itu yang ingin aku sampaikan."
"Aku bisa merasakannya," Leo mengangguk, lalu menoleh padanya. "Kau tahu, banyak orang yang melihat seni hanya dari permukaannya. Mereka melihat bentuk, warna, tapi tidak melihat jiwa di baliknya. Tapi karyamu... karyamu memiliki jiwa yang bergejolak. Aku suka itu."
Mereka berbicara selama hampir satu jam. Leo tidak hanya berbicara tentang seni. Dia berbicara tentang kehidupan, tentang kota, tentang buku-buku yang dia baca. Dia berbicara dengan pengetahuan yang luas dan semangat yang tulus. Dia membuat Clara merasa cerdas, menarik, dan berharga. Dia memberinya validasi yang Clara damba-dambakan selama bertahun-tahun.
"Aku harus pergi," kata Leo, dengan nada penyesalan yang terlihat jelas. "Tapi aku akan senang jika kita bisa bertemu lagi. Aku ingin melihat lebih banyak karyamu, dan mendengarkan lebih banyak ceritamu."
Dia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya. Kartu itu sederhana, hanya nama dan nomor telepon, tanpa jabatan yang mencolok. "Hubungi aku kapan saja," katanya, dengan senyum terakhirnya yang menghangatkan.
Set...