Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Rame ya yang datang ke acara kita”, ucap si mempelai suami yang sudah syah kemarin siang.
Di atas panggung hajatan, istrinya duduk di samping menggunakan kursi yang sama melihat ke arahnya.
Si suami tersenyum memandangi wajah-wajah orang yang datang satu persatu memasuki area acaranya.
Istrinya berkata, “Syukur ya... aku kira hanya segelintir orang yang peduli pernikahan kita. Ternyata ya.., langkah-langkah itu berdatangan, lebih banyak dari yang kupikir”.
“Bagaimana ibu mu?” tanya si suami sambil berbisik, sembari merapikan songkok yang berada di kepalanya, “Sudah mulai senyum ya sekarang? apa dia sudah setuju dengan hubungan kita?” kata si suami.
Istrinya menjawab dengan senyum seadanya, istrinya diam sebentar. Kepalanya menoleh, tapi matanya tidak ikut “aku anaknya jadi aku tau gimana dalam pikiran ibuku” kata si istri.
Setelah mendengar ucapan istrinya, si suami membalas dengan senyum yang hampir tidak bisa disebut dengan senyum.
Seorang ibu tahu yang terbaik untuk anaknya. Apalagi anak ini, anak mereka satu-satunya. Cahaya matahari terang masuk dari lubang-lubang kecil terpal yang bolong, jatuh tepat di baju adat yang si suami pakai.
Ia sangat bangga memamerkan pernikahan mereka kepada tamu yang datang. Di sekelilingnya suasana acara berjalan seperti kemauan mereka, tamu-tamu berantrian menunggu giliran mengambil hidangan prasmanan itu, musik dangdut klasik berkumandang dari awal hingga akhir acara. Di bawah terpal besar itu kursi-kursi plastik hijau berbaris disusun rapi, sebagian sudah di duduki dan sebagian lain kosong, tapi terisi oleh bekas piring sisa makanan tamu.
Ia si suami duduk berdampingan di samping mertua yang kursinya berbeda dengan kedua mempelai, dengan raut muka yang bahagia seperti orang tua pada umumnya disaat anak mereka menikah.
Garis-garis halus di wajahnya tampak lebih tajam, dan meski bibirnya melengkung ramah, matanya tidak ikut tertawa. Ia tampak seperti seseorang yang sedang meminjam wajah bahagia milik orang lain.
Sesekali, ia menyeka keringat dari lehernya dengan sapu tangan kecil, lalu kembali menatap ke arah tamu-tamu yang mulai berdesakan di dekat meja makanan. Tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang tak benar benar ia harapkan terjadi.
“Aku kan sudah jadi menantunya sekarang”, ucap si suami kepada istrinya.
Si istri menoleh sedikit ke arah suaminya. Suaranya lembut, namun matanya tajam menatap.
“Emang... kalau kita direstui, apa sih yang kamu harapkan?”
Si suami menarik napas pelan. Jemarinya merapikan lipatan kecil di kain bajunya, lalu menatap istrinya dalam-dalam. Di balik tawa-tawa para tamu dan dentuman musik dangdut yang bising yang terus berputar, ia berkata:
“Pertama-tama... aku ingin bisa manggil ibu kamu ‘Bu’ tanpa ada jeda di dadaku. Tanpa takut suara itu cuma masuk telinga tapi nggak sampai ke hatinya.”
Ia berhenti sebentar. Cahaya lampu panggung yang hangat menyinari wajah mereka, tapi angin kecil pagi itu tak juga membuat udara jadi lebih ringan.
“Kedua... aku pengen kalau suatu saat nanti kita ribut, dan kamu pulang ke rumah ibu kamu, dia bukain pintu buat kamu tanpa bilang, ‘Makanya kamu tu dulu jangan nikah sama dia’ ”
Si istri terdiam. Matanya mulai berkaca. Tapi ia tetap mendengarkan dan tidak mengubah posisi duduknya.
“Ketiga…” si suami melanjutkan dengan suara yang nyaris pelan, “Aku pengen, di hari nanti kalau kita punya anak, ibumu nyuapin cucunya sambil bilang, ‘Bapaknya dulu keras kepala, tapi baik orangnya’.”
Si suami menoleh perlahan ke arah istrinya. Tangan mereka masih saling menggenggam, tapi genggamannya kini lebih erat, lebih dalam, seolah ingin menamatkan segalanya didetik itu.
“Itu aja. Nggak banyak, kan?” katanya dengan senyum.
Si istri menahan nafasnya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.
“Enggak banyak,” jawab si istri sambil senyum. “Tapi gede….”
Si istri melihat ke arah suaminya. Ia bertanya balik, “Kalau nanti semua itu nggak kejadian, kamu masih mau tetap di sini? Sama aku?”
Si suami terdiam. Suara musik dangdut perlahan mereda, suara anak kecil yang berlarian menjauh dari pendengaran mereka, seperti memberi ruang bagi sunyi yang baru saja hadir di antara mereka. Tawa tamu-tamu masih terdengar, tapi seolah suara mereka tenggelam oleh angin pada pagi itu.
“Aku di sini bukan karena sudah kejadian atau belum kejadiannya,” jawab si suami pelan, “Aku di sini... karena kamu.”
Ia menatap wajah istrinya, yang kini mulai basah oleh air mata kecil yang jatuh pelan, satu persatu seperti embun yang membasahi kursi tamu waktu pagi.
“Dan kamu itu sudah buat aku cukup. Bahkan di waktu dunia belum siap terima kita.”
Si istri menghela nafas. Kali ini, ia tak menahan air matanya lagi.
“Tapi aku nggak mau kamu cukup-cukup aja. Aku pengen kamu diterima. Aku pengen kamu disayang. Sama ibuku.”
Si suami mengangguk pelan.
“Pelan-pelan ya… mungkin bukan hari ini, bukan besok, tapi siapa tahu... nanti. Aku percaya jika nanti itu ada.”
Si istri tersenyum. Suaminya melihat dia dengan mata sendu, dia berkata, “maaf ya kalau aku kecewain kamu”
“aku gak pernah kecewa sama kamu. Gak pernah,” kata si istri, pelan.
Si suami menatap ke arah pohon yang di tiup oleh angin sepoi-sepoi. Matanya mulai berkaca kaca, ia melamun sendiri, istrinya membiarkannya.
Di tengah gemuruh suara tamu dan dentuman musik yang mulai mereda, ia seperti ditarik masuk ke ruang sunyi yang hanya berisi suara-suara masa lalu suara yang dulu ia anggap angin lalu.
Dulu semua orang ngomong.
Ibunya bilang, “Pacaran itu nggak boleh, Nak. Kalau sudah niat serius, langsung aja lamar. Jangan main-main sama perasaan.”
Guru ngajinya pernah menasihati, “Jangan terlalu dekat sebelum halal, nanti salah jadi. Setan itu nggak tidur.”
Bahkan gurunya di sekolah menengah sempat menegur halus, “Pacaran boleh aja, asal jangan berlebihan. Ingat, batas itu ada supaya kalian nggak jatuh.”
Tapi saat itu… semua itu terasa seperti ceramah yang terlalu tua untuk dimengerti oleh anak muda sepertinya. Ia hanya ingin mencintai. Dan ketika cinta mulai menuntut pembuktian, ia merasa tak ada yang perlu ditunda.
Sekarang, di atas panggung ini, dengan lampu hangat dan cahaya matahari menembus terpal jatuh ke karpet melewati robekan, dengan tamu-tamu yang datang memberi selamat dan musik dangdut yang nyaring mengiringi jalannya acara, ia duduk di samping perempuan yang ia perjuangkan. Tapi ada sesuatu yang menggantung. Bukan rasa menyesal karena menikah, tidak, ia mencintai istrinya. Tapi karena ia tahu, cinta saja tidak cukup untuk menghapus cara yang salah dalam memperjuangkannya.
Ia mengusap wajah pelan.
“Kayaknya aku pernah salah langkah ya…” ucap si suami dengan lirih .
Istrinya menoleh. “Apa?”
Si suami tersenyum kecil. “Nggak. Cuma kepikiran aja. Semua kejadian ini cepet banget ya.”
Mata istrinya menangkap kecemasan kecil di balik senyum itu.
“Cepet banget,” jawabnya, “tapi kita udah sampai.”
Si suami menunduk sebentar.
“Aku takut... aku terlalu nurutin apa yang kupikir benar, sampai nggak mau dengerin orang-orang yang sebenarnya sayang kepada kita.”
Ia menatap istrinya, dan lanjut dengan suara lebih pelan, “Padahal mereka nggak ngelarang semua ini karena benci. Tapi karena nggak pengen melihat kita terluka.”
Istrinya menggenggam tangannya erat.
“Memamg cara kita itu salah. Tapi sekarang kita nggak boleh salah langkah lagi ya...”
Si suami mengangguk. Dalam hati, ia mencoba menata ulang semuanya. Bukan untuk menghapus, tapi agar tidak terulang lagi.
Sore menjelang. Matahari mulai tenggelam di balik tenda besar berwarna biru pudar. Tamu-tamu berangsur pulang. Gelas plastik dan sisa nasi berserakan di atas meja panjang. Si suami dan istri masih duduk di atas pelaminan, seperti enggan beranjak dari detik ini. Mungkin karena tahu, setelah ini, semuanya benar-benar dimulai.
“Capek?” tanya istrinya sambil memijat pelan bahu suaminya.
“Enggak juga. Cuma... badan aku kayak nyimpen sesuatu yang belum ingin aku katakan.”
Istrinya tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tapi mata itu seperti sedang membaca sesuatu dari dalam dada suaminya.
Beberapa kerabat mulai membereskan kursi. Lampu panggung dimatikan satu per satu. Suasana berganti menjadi teduh. Tak ada musik lagi. Hanya suara angin yang menyentuh terpal.
Lalu, si istri berdiri perlahan. Ia menepuk lembut tangan suaminya.
“Ayo. Kita masuk. Udah malam.”
Si suami mengangguk. Ia berdiri, menatap panggung itu sekali lagi panggung yang jadi saksi, bahwa cinta bisa berjalan meski jalannya tidak selalu mulus.
Saat mereka berjalan melewati tenda menuju rumah kecil di samping, si istri berhenti sejenak. Tangannya meraba perutnya sebentar, gerakan kecil dan cepat, lalu kembali menggenggam tangan suaminya.
Tak ada kata. Tapi si suami melihatnya. Dan dari caranya menggenggam balik, terlihat bahwa ia tahu. Ia mengerti. Ia sudah bersiap.
Malam itu, sebelum pintu rumah tertutup, suara lembut si istri terdengar:
“Mulai hari ini... kita bukan cuma berdua.”
Si suami menoleh. Tidak kaget. Hanya menatap dengan tenang, seperti seseorang yang akhirnya tahu apa yang harus ia jaga.
“Aku tahu,” jawabnya pelan, “dan aku nggak akan ke mana-mana.”