Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Felix lelah melihat Myun Yoo-an tergeletak di atas ranjang kamar rumah sakit. Dia benar-benar tak ingin kehilangannya. Malam itu, pohon sakura mendengar permintaan Felix.
Felix jatuh ke era Joseon, dia melihat Putri Dokhye beserta tunangannya Kim Jang Han memiliki wajah sama dengan dua temannya, Yoo-an dan Changbin. Sementara dia sendiri, mempunyai sebuah pedang terikat di pinggang serta panggilan Lee Yongbok oleh orang-orang.
Itu takdirmu, Felix. Kau perlu menyelesaikan sesuatu yang belum dilakukan Lee Yongbok. Tenang saja, pohon sakura akan membimbingmu.
"Satu napas dua jiwa.
"Hanya diriku bisa mengendalikan.
"Demi tiga ratus tahun lalu kuulang sejarah takdir."
Felix dan Myun Yoo-an—nama diambil dari kata 운명 (unmyeong) yang berarti takdir, di Kota Seoul.
Delution Memories, cerpen kedelapan dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Alat bantu napas, pendeteksi detak jantung, selang infus, dan beragam peralatan medis terpasang. Seseorang di atas ranjang tergeletak tanpa sedikit pun gerakan. Dua pemuda di kiri kanan tampak lesu.
“Pulanglah tak apa, Felix.” Suara Eunwoo memecah keheningan beriring bunyi berulang-ulang monitor pemantau detak jantung.
“Kalau begitu, kau juga harus pulang.”
Eunwoo memandangnya miris. “Kau sudah berjaga dari pagi, sedangkan aku baru datang. Aku juga akan pulang setelah orang tua Yoo-an kembali.”
Helaan napas terdengar. Felix perlahan bangkit dari kursi. Mengucap salam pada gadis yang terbaring di atas ranjang, juga Eunwoo, sebelum meninggalkan ruang.
Sesampainya di rumah, Felix asal meletakkan buku di atas meja belajar. Halaman dibalik beberapa kali, mencari materi yang akan diajarkan guru di kelas besok.
Dinasti Joseon. Dalam hati, Felix membaca judul bab. Namun, pikirannya sulit sekali fokus. Bayang-bayang ruangan penuh peralatan medis, aroma khas, dan tubuh Yoo-an terbaring lemah di atas ranjang terus berputar dalam angan.
Felix menunduk sambil memegang kepala erat. “Aku tak ingin kehilangannya ….”
Deru angin menjadi-jadi. Kelopak merah muda terlepas dari pohon, bertebaran ke segala arah. Seiring gorden berayun, sebagian sakura memasuki kamar melewati jendela.
Permintaanmu diterima, Nak. Bersiaplah.
Felix merintih. Memegang kepala kian erat ketika mendadak pusing. Pandangan buyar, sesekali muncul gambaran orang-orang memakai pakaian adat Korea, bahasa agak kuno, bangunan-bangunan sejarah terlihat nyata.
“Lee Hyeon ….”
Sensasi tusukan di kepala semakin menjadi-jadi. Felix tak ingat pernah mendengar suara dan nama barusan. Namun, entah kenapa dia merasa familiar.
Pandangan Felix perlahan bergeser ke pohon sakura yang terlihat dari jendela kamar. Sesaat kemudian, semua mendadak hitam. Tak ada suara apa pun. Seluruh tubuh mati rasa. Seolah melayang-layang di ruang kosong.
Berselang sebentar, Felix membuka mata. Sekeliling jauh berbeda dari apa yang biasa dilihat tiap hari. Bangunan besar persis seperti istana utama Dinasti Joseon, Gyeongbokgung, yang ada di buku sejarah.
Deru angin membuat ranting-ranting bergesekan, menimbulkan suara khas. Felix mendongak, terdapat pohon sakura besar—kering tanpa bunga—di belakangnya, di mana cabang mencuat ke segala arah, melindungi Felix dari terik matahari.
Semua berawal dari sini.
Felix beralih memandang salah satu ruangan di istana. Pintu terbuka sedikit. Memperlihatkan beberapa orang di sana. Kurang lebih dia mengenal peristiwa ini, Kaisar Gojong berusaha melindungi putrinya melalui pertunangan diam-diam pada tahun 1919 setelah kehadiran Jepang di sekitar Joseon terasa semakin mengkhawatirkan.
Gambar di buku sejarah sedikit berbeda. Jika ini memang masa lalu, maka Felix bisa menyimpulkan alasan logis mengapa dia ada di sini. Wajah-wajah di ruang pertunangan, sama dengan orang yang dilihat di kamar rumah sakit.
“Putri Dokhye adalah Yoo-an dan tunangannya, Kim Jang Han adalah Eunwoo.” Pandangan Felix bergeser pada dirinya sendiri. “Lalu aku … Lee Hyeon,” dia memperhatikan hanbok, pedang beserta sarungnya terikat di pinggang, “seorang prajurit?”
Tatapan Felix kembali ke salah satu ruangan di istana. Semua terasa terlalu nyata untuk ukuran mimpi.
Berdasarkan buku sejarah, kelak Putri Dokhye akan mengalami banyak tekanan yang membuatnya terkena gangguan mental.
Melihat kesamaan wajah mereka, apa yang terjadi pada Putri Dokhye kemungkinan tinggi berhubungan dengan kondisi Myun Yoo-an. “Sekarang … bagaimana cara memperbaikinya?”
Tiba-tiba Felix kehilangan kendali atas diri sendiri. Semua yang dia lakukan terasa cepat. Felix hampir tak bisa mengidentifikasi apa yang terjadi.
Pikirkan baik-baik apa yang kau inginkan, Nak.
Samar-samar Felix melihat dia—sebagai Lee Hyeon—menemui Putri Dokhye dan Kim Jang Han. Mengobrol, bercanda tawa beberapa kali. Dia selalu menemukan putri di saat seperti apa pun, lantas saling berbagi kisah menyenangkan satu sama lain.
Semua itu sesuai keinginan Felix, ingin selalu berada di dekat putri dan memastikannya bahagia. Namun, Felix tak yakin apakah memang seperti ini yang terjadi dulu atau masa lalu berubah karena ulahnya. Pasalnya, sejarah tak mencatat hal-hal kecil seperti ini.
Kendali diri kembali ke tangan Felix. Sekeliling berjalan seperti biasa. Jarum jam sebelumnya seolah berputar dengan kecepatan tinggi, sekarang kembali normal. Dia bebas bergerak dan berbicara. “Barusan ….”
Lompatan waktu.
Lagi-lagi Felix mendengar bisikan pohon sakura. Di saat bersamaan, hembusan angin membuat ranting-ranting bergerak dan berbunyi—masih belum ada bunga sakura.
Kau bukan Lee Hyeon sepenuhnya. Sejarah tak mengizinkanmu bergerak bebas terlalu lama karena akan berisiko pada perubahan garis kehidupan.
Felix mengerutkan alis kuat. “Meski begitu aku akan menyelamatkannya … Putri Dokhye dan Yoo-an!”
Suara tangisan seorang gadis mengalihkan perhatian Felix.
Satu dua orang menemani dan berusaha menenangkan Putri Dokhye. Sementara lainnya sibuk mengerumuni seorang pria yang tergeletak tak berdaya.
Suara bersahut-sahutan saling mengabarkan tentang kematian kaisar.
“Aku belum berbuat apapun dan kekacauan sudah sejauh ini?” Felix mematung. Sekujur tubuh gemetaran hebat.
Tanggal 21 Januari 1919, sejarah mencatat meninggalnya Kaisar Gojong secara tiba-tiba, rumornya akibat diracun. Felix masih mengingat bacaan tersebut dengan pasti dan saat ini dia melihat langsung.
Felix tak bisa membiarkan Putri Dokhye begitu saja. Segala hal buruk tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak serupa.
Felix berlari ke arah Putri Dokhye. Baru tiga langkah, lagi-lagi lompatan waktu terjadi.
Tidak! Felix sama sekali tak bisa bergerak, dunia berjalan sangat cepat. Kumohon beri aku kesempatan!
Samar-samar Felix melihat dirinya menemui Putri Dokhye—setelah pemakaman Kaisar Gojong usai—untuk mengobrol sebentar. Lebih dari empat kali terlihat di lain waktu, dia menghampiri putri.
Namun, reaksi gadis itu berbeda. Tak ada lagi canda tawa, hanya sebatas beberapa obrolan singkat. Senyum lebar Lee Hyeon sekali pun tak pernah menular padanya.
Lompatan waktu selesai. Dada terasa sesak, Felix menarik napas dalam-dalam, lantas terengah.
Felix memandang kanan kiri. Lompatan waktu barusan terasa lebih lama dari sebelumnya. Kuncup-kuncup merah muda bermunculan. Suhu udara lebih hangat.
Bisa saja hanya berlalu sekian bulan, tetapi tak menutup kemungkinan ini musim semi di tahun berbeda.
Sekarang saatnya.
Bisikan sakura memaksa Felix menguatkan mental. Dia memperhatikan sekitar sesaat, kemudian beranjak.
Felix berkeliling di halaman istana utama, Gyeongbokgung. Tiba-tiba dia terbelalak begitu mendengar dari prajurit lain yang berjaga bahwa Putri Dokhye akan dipindah dari istana utama dan berpisah dengan Selir Bongnyeong, ibunya.
Hal tersebut juga tertulis di buku sejarah, terjadi pada tahun 1921.
Pergerakan Felix akan semakin terbatas. Sebagai seorang prajurit, dia tidak bisa asal berpindah ke istana mengikuti Putri Dokhye. Di sisi lain, Felix tak yakin masih tersisa banyak waktu sebelum lompatan waktu selanjutnya terjadi.
“Sial! Aku tak punya pilihan lagi!” Felix bergegas pergi. Melewati para prajurit lain berjaga, tak peduli mereka memandang aneh padanya. Dia perlu menemukan seseorang, satu-satu yang bisa diharapkan.
“Tuan Kim Jang Han.” Felix sesungguhnya tak yakin apakah dia menggunakan honorifik yang sesuai atau tidak. Keduanya memang sering bertemu—berdasarkan kilasan dari lompatan waktu—tetapi Felix tak mengingat pembicaraan macam apa yang mereka lakukan.
Anak panah siap dilepas, tetapi Kim Jang Han mengurungkan niat. Menjeda latihan sebentar. “Hyeon? Ada apa?”
Selangkah mempersingkat jarak. Tatapan Felix berangsur serius. “Boleh aku meminta sesuatu? Jika nanti Putri Dokhye dikirim ke Jepang, dengan alasan apa pun, aku ingin kau memastikan dia baik-baik.”
Senyum Kim Jang Han merekah. “Kau khawatir? Tenang saja, aku masih mengingat pesan Kaisar Gojong, beliau juga memintaku untuk selalu melindungi Putri Dokhye.” Dia menepuk pundak Felix. “Tak apa, kau bisa mengandalkanku.”
Sudut bibir Felix memaksa terangkat sedikit. Dia tahu sejarah mencatat Kim Jang Han gagal menyelamatkan Putri Dokhye dan malah membuatnya kian menyendiri. Meski begitu, Felix masih berharap hal itu berubah.
“Bila ingin mengucap perpisahan, segera temui. Putri Dokhye akan berangkat sore ini.”
Bola mata Felix berangsur melebar. Jantung seketika berdetak kencang. Sisa waktu terlalu singkat!
Usai mengucap salam pada Kim Jang Han, Felix bergegas memasuki istana. Mencari salah ruangan penting. “Putri Dokhye.”
Gadis itu menoleh. “Hyeon? Ada apa?”
Tak habis pikir bagaimana bisa gadis itu berbicara seolah tak terjadi apa pun. Padahal rautnya membuat batin Felix terkikis. “A .. ada yang perlu kukatakan.” Dia memandang putri lekat. “Kudengar manusia tidak bisa tersenyum sambil menahan napas.”
Putri Dokhye mengernyit. “Sungguh?” Tanpa sadar dia mencobanya. Sudut bibir terangkat dengan ekspresi agak aneh karena menahan napas.
Felix tertawa kecil. “Aku bercanda … maaf. Aku hanya ingin melihat Putri Dokhye tersenyum.”
Gadis itu berubah cemberut. Tak lama kemudian, dia ikut tertawa kecil. Suara lembutnya nyaman sekali didengar.
Semburat jingga tipis terlihat saat Felix memasuki istana beberapa menit lalu. Dia yakin saat ini matahari kian tergelincir. “Putri ….” Felix tak punya banyak waktu. “Saat musim semi sembilan tahun lagi, kau mungkin akan terluka. Tetapi, ingatlah jika aku di sini, selalu ada di sisimu.” Sorot Felix penuh arti. “Mengerti?”
Senyum Putri Dokhye berbalut paksaan. Dia paham maksud Felix, pun mengerti kondisi Dinasti Joseon memburuk. Kekuasaan Jepang semakin luas dan kekacauan bisa datang kapan saja.
Felix memeluknya. Kumohon, Putri, ingatlah itu, ingatlah …. Selama kau pergi, aku tak bisa berbuat apapun. Sesak menjadi-jadi saat mengetahui Putri Dokhye melingkarkan lengan pada punggungnya, membalas pelukan.
“Kau berjanji?” Putri Dokhye menyandar di pundak pemuda itu.
“Janji!”
Perlahan senyuman mengembang. “Terima kasih, Hyeon.”
Lompatan waktu dimulai. Felix melihat dirinya berjaga di istana bersama prajurit lain. Putri Dokhye sama sekali tak tampak. Samar-samar, dia menyaksikan Kim Jang Han pergi bersama beberapa orang—kemungkinan menyusul Putri Dokhye ke Jepang seperti catatan sejarah.
Lompatan waktu usai. Felix memegang pohon di sebelahnya sambil menstabilkan napas. Mengelap keringat pada dahi menggunakan lengan.
Felix mematung saat mengetahui pemandangan di depan mata. Dia sudah menduga hal ini. Namun, melihatnya secara langsung tetap saja mengerikan.
Prosesi pemakaman Selir Bongnyeong, ibunda Putri Dokhye. Sejarah mencatat peristiwa tersebut pada tanggal 1929. Artinya, hampir satu dekade terlewati.
“Tak mungkin ….”
Waktumu semakin habis, Nak.
Dari kejauhan, terlihat Putri Dokhye menghadiri pemakaman. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia tak menangis. Namun, aura yang memancar sangat mencekam.
Felix menemui Putri Dokhye sesaat setelah pemakaman usai. Gadis itu menoleh saat dia memanggilnya. Senyum lebar Felix mengundang raut serupa di paras manis Putri Dokhye.
“Putri tak apa?”
Gadis itu mengangguk kecil.
“Putri Dokhye!” seseorang berwajah khas orang Jepang menyeru.
Beberapa saat menoleh padanya, lantas Putri Dokhye kembali memandang Felix. “Sampai jumpa.”
Putri Dokhye langsung pergi begitu saja. Rantai duri seolah mengikat Felix saat dia mengetahui lunturnya senyum gadis itu, berganti murung yang bahkan lebih parah dibanding ketika pemakaman barusan.
Felix melangkah, berniat menahan. “Putri Dokhye—”
Lompatan waktu dimulai.
Tunggu sebentar! Felix hanya bisa berteriak dalam batin. Dunia berjalan semakin cepat hingga dia sama sekali tak bisa memahami apa yang terjadi.
Aku akan membawamu pulang, Nak, atau Hyeon akan benar-benar menjadi orang berbeda yang bisa merusak garis kehidupan.
Berkali-kali Felix memekik, mengeram tak mau. Namun, apa daya. Kilasan kian buram, lama-kelamaan menjadi putih, kemudian hitam kosong. Entah sejauh apa perjalanan kali ini.
Begitu sadar, Felix berada di depan meja belajar. Tempat duduk, buku, dan lainnya sama persis seperti terakhir kali.
Felix mendadak bangkit. “Tidak! Masih ada yang perlu kulakukan! Aku perlu memastikan Putri ….”
Kau telah bekerja sangat baik, Nak. Tugas ini memang tanggung jawabmu, menyelesaikan permasalahan di masa lalu. Angin menderu-deru, membawa kelopak sakura berterbangan.
Felix membaca salah satu halaman buku. Pada musim tahun 1930, Putri Dokhye didiagnosis dementia praecox, sebuah gangguan mental.
Tanpa daya Felix menekuk lutut. Sejarah sama sekali tak berubah.
Namun, sejarah tak bisa mencatat segalanya. Ketika Putri Dokhye sendirian, memikirkan seorang pemuda, lekuk bibirnya selalu terangkat. “Aku merindukanmu. Terima kasih selalu tersenyum padaku, Lee Hyeon.”
Orang-orang masa sekarang tak mungkin mengetahui hal itu.
Ponsel Felix bergetar, tetapi dia mengabaikannya. Memilih diam. Duduk di lantai. Sedikit menunduk, membiarkan dahi menyangga kaki meja.
Pohon sakura terlihat dari jendela kamar, bunga-bunganya berayun. Angkatlah, Nak.
Felix melirik pohon sakura. Sesungguhnya dia sudah muak, tetapi pada akhirnya tetap menerima panggilan telepon dari Eunwoo. “Felix, cepat kemari! Yoo-an siuman!”
Felix terkejut. Spontan memandang pohon sakura lekat.
Semoga harimu menyenangkan. Dari nada bisikannya, sakura seolah tersenyum.
Sudut bibir Felix terangkat tinggi. “Aku segera ke sana!”
Dinasti Joseon menjadi sejarah berharga Korea. Segala peninggalannya disimpan sebaik mungkin. Salah satunya Istana Gyeongbokgung, tempat di mana kaisar beserta keluarganya dulu tinggal.
Suhu hangat musim semi, sapuan merah muda di sekeliling bangunan tradisional itu menambah segar mata memandang.
Hari ini, tepat satu minggu setelah Myun Yoo-an diizinkan pulang dari rumah sakit, ketiganya mengunjungi wisata sejarah ini atas saran Felix.
Sebagian detail kecil bangunan terlihat berbeda, tetapi Felix yakin istana itu masih menyimpan banyak kenangan yang tak akan runtuh.
“Felix?” Yoo-an memanggil dari jauh.
“Apa yang kau lakukan di sana? Cepat kemari!” Eunwoo ikut menyeru.
“Iya!” Felix bergegas menghampiri. Sesaat dia kembali memandang istana, senyumnya mengembang penuh arti. Apa Anda bertemu Lee Hyeon lagi, Putri Dokhye? Jika iya, Anda pasti sangat senang.