Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih ingat jelas, bagaimana hari-hari kelam itu datang. Hidupku, yang dulu seperti dongeng modern di Pondok Indah, mendadak runtuh seperti menara pasir diterjang ombak. Namaku Ayu, dan kisah ini adalah tentang bagaimana aku menemukan kembali diriku, setelah semua yang kupikir abadi hancur berantakan.
Hari itu, aku berdiri di tengah ruang keluarga mansion kami yang megah. Marmer mengilap memantulkan wajahku yang basah oleh air mata, sementara Yudhi, suamiku, mengucapkan kata-kata yang mengakhiri segalanya. "Aku menceraikanmu, Ayu." Tiga kata itu seperti belati yang menusuk ulu hatiku. Bukan hanya karena pengkhianatannya dengan Felicity, tapi juga karena cara ia mengucapkannya, tanpa sedikitpun penyesalan. Ia tak lagi memandangku sebagai istri yang ia nikahi, melainkan seperti barang lama yang sudah usang.
Beberapa hari sebelum vonis cerai itu, Felicity datang menemuiku. Wanita itu, dengan senyum angkuh dan mata penuh kemenangan, berani menunjukkan foto-foto mesra mereka. "Kau tahu, Ayu," katanya, suaranya seperti desisan ular, "Yudhi bilang kau terlalu manja, tidak mandiri. Dia butuh seseorang yang selevel dengannya, yang bisa dia ajak bicara." Dunia terasa berputar. Nafas tercekat di tenggorokan. Aku ingin berteriak, mencakar wajahnya, tapi lidahku kelu. Aku hanya bisa membiarkan air mata ini mengalir, membasahi pipiku yang terasa panas. Harga diriku diinjak-injak sampai remuk.
Aku ingat sekali, Miko dan Lucy, anak-anakku, masih terlalu kecil untuk memahami badai yang menerpa. Mereka asyik bermain di kolam renang dengan pengasuh, seolah tak ada awan mendung di atas kepala mereka. Aku menatap mereka, sepasang mata polos yang akan menjadi alasan aku harus tetap berdiri tegak.
Beberapa minggu kemudian, aku harus meninggalkan rumah megah itu. Tidak ada lagi supir yang mengantarku, tidak ada ART yang membersihkan, tidak ada tukang kebun yang merawat taman. Semua kemewahan yang dulu melingkupiku seperti kepompong, kini berubah menjadi duri-duri tajam yang mencabik-cabik. Aku pindah ke sebuah kontrakan kecil di pinggiran Jakarta, jauh dari hingar bingar Pondok Indah. Dindingnya kusam, catnya mengelupas, dan hanya ada dua kamar tidur yang sempit.
"Mama, kenapa kita pindah? Miko enggak suka rumah kecil ini," rengek Miko, putraku yang berumur lima tahun, saat ia melihat tumpukan kardus di ruang tamu.
Aku berusaha tersenyum, meski rasanya ingin menangis. "Kita petualangan baru, Sayang. Rumah ini akan jadi istana kita sekarang." Aku memeluknya erat, mencoba menenangkan dirinya, tapi sebenarnya aku sedang menenangkan diriku sendiri. Lucy yang baru berusia tiga tahun hanya menatapku dengan mata lebar, tidak mengerti apa-apa.
Malam pertama di kontrakan itu, aku tak bisa tidur. Aku berbaring di kasur tipis, mendengar suara jangkrik di luar, jauh berbeda dari keheningan mewah kamar tidurku yang dulu. Air mata ini kembali mengalir deras. Apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana aku bisa menghidupi kedua anakku? Aku tak pernah bekerja seumur hidupku. Tanganku terbiasa memegang kartu kredit, bukan sapu atau panci. Rasa takut itu melilitku, mencekik setiap harapan. Aku merasa seperti orang asing di tubuhku sendiri, di kehidupan yang sama sekali tidak kukenali.
***
Masa-masa setelah itu adalah neraka. Aku mencoba berbagai cara untuk bertahan hidup. Modal yang tersisa hanya sedikit, hasil dari penjualan beberapa perhiasan yang masih kumiliki. Yang pertama kulakukan adalah mencoba membuka usaha laundry rumahan. Aku ingat bagaimana aku mengiklankan jasaku dari mulut ke mulut, menempel selebaran di tiang listrik komplek.
"Permisi, Bu. Saya Ayu, buka laundry di rumah. Barangkali ibu butuh cuci setrika?" Aku menawarkan diri pada setiap ibu-ibu yang kutemui di warung.
Beberapa tetangga mencoba jasaku. Awalnya lumayan, tapi masalah mulai muncul. Mesin cuciku yang sudah tua sering rewel. Kadang pakaian kotor tetangga bercampur, membuat warnanya luntur.
"Mbak Ayu, ini kok kemeja putih saya jadi agak pink? Padahal saya enggak campur lho sama baju merah," keluh salah satu pelanggan.
Aku mati-matian meminta maaf. "Astaga, Bu, maaf sekali. Mungkin tadi mesin cucinya agak error. Saya ganti saja ya?"
Mengganti kemeja baru berarti tekor. Biaya listrik melonjak, sabun dan pewangi cepat habis. Keuntungan yang didapat tak sebanding dengan tenaga dan kerugian yang kuderita. Usaha laundry itu hanya bertahan dua bulan sebelum aku menyerah. Aku merasa bodoh, tidak becus.
Kegagalan itu tidak membuatku putus asa sepenuhnya. Aku harus cari cara lain. Aku teringat nenekku dulu sering membuat dodol. Dengan resep peninggalannya, aku mencoba membuat dodol rumahan. Aku belajar mengaduk adonan lengket itu berjam-jam di atas api kecil, lenganku pegal luar biasa.
"Ma, ini apa?" tanya Lucy polos, menunjuk dodol yang baru kubungkus rapi.
"Ini dodol, Sayang. Mama mau jual," kataku sambil tersenyum tipis. Aku berharap dodol ini bisa menjadi penyelamat.
Aku menjualnya ke warung-warung dan menawarkan pada tetangga. "Dodol resep asli, Bu. Dijamin enak."
Responsnya tidak buruk, tapi juga tidak istimewa. Beberapa orang membeli, tapi jarang yang kembali membeli lagi. "Enak sih, Mbak, tapi kemanisan buat saya," kata seorang ibu. "Harganya agak mahal ya, Mbak, untuk dodol segini?" ucap yang lain.
Lambat laun, dodol-dodol itu menumpuk. Aku menghitung lagi modal dan hasilnya. Ternyata, keuntungan yang didapat sangat minim, bahkan cenderung merugi karena bahan baku yang tidak murah. Aku tak bisa lagi menipu diri sendiri. Usaha dodol itu pun ikut tumbang.
Miko mulai sering merengek. "Mama, Miko kangen Papa Yudhi. Kenapa Papa enggak pernah datang lagi?" tanyanya suatu sore, matanya berkaca-kaca.
Pertanyaan itu menusuk jantungku. Setiap kali ia menyebut nama Yudhi, amarah dan kepahitan itu membuncah. Aku lelah, fisik dan mental. Malam itu, setelah seharian berjibaku dengan dodol dan keluhan pelanggan laundry, rengekan Miko membuat emosiku meledak.
"Cukup, Miko! Papa Yudhi itu sibuk! Jangan selalu menanyakan dia!" Aku membentaknya, suaraku meninggi.
Miko terdiam, terkejut dengan bentakanku. Mata kecilnya memerah, lalu ia mulai terisak. Lucy yang sedang bermain di sebelahnya ikut terdiam, menatapku takut. Melihat wajah Miko yang ketakutan dan air matanya yang mengalir, aku langsung menyesal. Rasa bersalah itu menyerbu, menggerogoti jiwaku. Aku merasa gagal. Gagal sebagai istri, gagal sebagai pengusaha, dan sekarang, gagal sebagai ibu.
Aku memeluk Miko erat, mencium puncak kepalanya berkali-kali. "Maafkan Mama, Sayang. Mama minta maaf." Aku menangis bersamanya.
Yudhi? Ia hanya mengirim nafkah yang sangat minim, sering terlambat pula. Jumlah itu bahkan tak cukup untuk membayar uang sewa kontrakan, apalagi biaya susu dan sekolah anak-anak. Aku sering merasa sesak. Bagaimana aku bisa terus begini.
Aku merasa seperti berada di dasar sumur yang dalam, gelap, dan tanpa jalan keluar. Suatu siang, saat aku sedang duduk melamun di teras kontrakan, Bu Sri, tetangga sebelah, mendekatiku. Wajahnya yang keriput tapi penuh kehangatan itu menatapku iba. Ia sering melihat perjuanganku, kegagalanku, dan mungkin juga air mataku.
"Ayu," katanya lembut, "saya punya tawaran kerja, barangkali kamu mau."
Aku mengangkat kepalaku, menatapnya penuh harap. "Kerja apa, Bu?"
"Mantan majikan saya, Pak Adhi, sedang butuh ART paruh waktu. Rumahnya besar, tapi orangnya baik sekali. Gaji lumayan, Ayu. Bagaimana?"
Jantungku berdebar. ART? Aku? Aku yang selama ini dilayani, kini harus melayani? Ego di dalam diriku sempat memberontak, tapi melihat Miko dan Lucy bermain dengan baju yang mulai lusuh, ego itu langsung kuredam. Aku membutuhkan pekerjaan ini.
"Mau, Bu. Mau sekali," kataku, air mata mulai menggenang.
Bu Sri tersenyum. "Syukurlah. Besok pagi kamu ikut saya, kita ke sana."
Malamnya, aku tak bisa tidur. Antara gugup, cemas, dan sedikit harapan. Bagaimana jika aku tidak bisa? Aku bahkan tidak tahu cara membersihkan rumah dengan benar. Dulu, ART-ku yang mengerjakan semua.
Keesokan paginya, Bu Sri menjemputku. "Ayo, Ayu. Anak-anakmu biar sama saya dulu di rumah ya. Nanti kamu tenang saja, mereka aman." Kebaikan Bu Sri membuatku sedikit lega. Aku mengecup Miko dan Lucy, lalu melangkah keluar dengan perasaan campur aduk.
Rumah Pak Adhi jauh lebih besar dari rumahku yang dulu di Pondok Indah. Halamannya luas, dengan taman yang terawat indah. Saat aku melangkah masuk, Bu Sri memperkenalkanku pada Pak Adhi. Ia adalah pria paruh baya yang ramah, dengan sorot mata bijaksana.
"Jadi ini Ayu? Jangan sungkan ya, anggap saja rumah sendiri. Bi Narti nanti akan bantu kamu belajar," katanya dengan senyum menenangkan.
Bi Narti adalah ART utama Pak Adhi, seorang wanita paruh baya dengan senyum yang sama hangatnya dengan Bu Sri. Ia segera mengajakku ke dapur untuk memberi pengarahan. Saat itu, aku harusnya mulai bekerja.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka dan Miko serta Lucy muncul, dipegang tangannya oleh Bu Sri. "Aduh, Ayu! Anak-anakmu ini... tadi pas di dapur saya, mereka main-main telur, eh, pecah semua!" seru Bu Sri, wajahnya sedikit cemas.
Aku panik. "Miko! Lucy! Astaga, Bu, maaf sekali. Saya yang salah, tidak menitipkan mereka dengan benar." Wajahku memerah karena malu. Bayangan Miko yang pecahkan telur membuatku merasa sangat tidak enak.
Namun, Bu Sri hanya tertawa kecil. "Sudah, sudah, tidak apa-apa. Namanya juga anak-anak. Telur cuma beberapa butir, bisa dibeli lagi. Yang penting anak-anak enggak apa-apa kan? Mereka cuma penasaran."
Kebaikan dan kesabaran Bu Sri yang tulus saat itu menenangkan hatiku yang tegang. Aku merasa lega, tidak dipermalukan. Di sana, di rumah orang asing yang baru kutemui, aku menemukan secercah harapan. Mungkin, inilah titik balik itu. Mungkin, aku bisa memulai lagi.
***
Hari-hari pertamaku sebagai ART di rumah Pak Adhi sangat berat. Aku tidak terbiasa membersihkan rumah yang begitu luas. Tanganku melepuh karena terlalu sering memegang sapu dan kain pel, punggungku terasa pegal luar biasa.
"Ayu, pegang pelnya begini. Jangan cuma didorong, tapi sedikit ditekan biar kotorannya keangkat," kata Bi Narti sabar, mencontohkan cara mengepel lantai marmer.
Aku mengangguk, berusaha meniru gerakannya. Setiap sudut rumah, setiap perabotan, harus bersih tanpa cela. Aku belajar menyapu, mengepel, mengelap debu, mencuci, menyetrika, bahkan merawat tanaman hias di teras. Tubuhku terasa remuk setiap pulang ke kontrakan, tapi hati ini terasa sedikit lebih ringan. Ada rasa puas setelah menyelesaikan pekerjaan.
Di waktu luang, biasanya saat Pak Adhi sedang istirahat atau tidak ada pekerjaan mendesak, aku sering menghabiskan waktu di dapur bersama Bi Narti. Dapur itu adalah jantung rumah, selalu hangat dengan aroma masakan. Aku melihat ia meracik bumbu, memotong sayuran, dan mengolah berbagai bahan menjadi hidangan lezat.
"Bi Narti, ini bumbunya apa saja ya?" tanyaku suatu sore, penasaran melihat ia membuat gulai ayam.
Ia tersenyum. "Oh, ini rahasia dapur, Neng Ayu. Tapi kalau Neng Ayu mau belajar, saya ajari pelan-pelan."
Sejak itu, aku mulai aktif membantu Bi Narti. Aku belajar memotong bawang tanpa menangis, menggoreng tempe agar renyah, dan mengaduk sayur agar matang sempurna. Aku juga belajar tentang bumbu-bumbu Nusantara yang kaya rasa. Jahe, lengkuas, serai, daun jeruk, kunyit, ketumbar... semua bumbu itu memiliki aroma dan kegunaannya masing-masing. Aku takjub dengan keajaiban yang bisa tercipta dari rempah-rempah itu.
"Neng Ayu ini cepat belajar ya," puji Bi Narti suatu hari. "Padahal dulu katanya enggak pernah masuk dapur."
Aku tersenyum malu. "Iya, Bi. Dulu saya mana pernah. Tapi sekarang, rasanya asyik juga."
Awalnya, aku hanya sekadar membantu, tapi lama-kelamaan aku mulai mencicipi masakan yang kubuat sendiri. Rasa bangga itu muncul. Ternyata, aku punya bakat terpendam di bidang ini. Aroma gurih rendang yang baru matang, pedasnya sambal terasi buatan tanganku sendiri, segarnya sayur asem yang kuolah—semua itu memberiku kebahagiaan yang berbeda dari kemewahan yang dulu kumiliki. Itu adalah kebahagiaan dari hasil kerja keras, dari sebuah pencapaian.
Setiap pulang kerja, aku tak lagi hanya membawa kelelahan fisik, tapi juga ide-ide baru. Bagaimana jika aku mencoba membuat nasi goreng dengan bumbu racikanku sendiri? Atau soto ayam dengan kuah yang lebih kaya? Di dapur kontrakan yang sempit, aku mulai mencoba resep-resep itu. Miko dan Lucy menjadi juri setia.
"Mama, ini enak sekali!" seru Miko dengan mulut penuh nasi goreng.
Lucy mengangguk-angguk semangat. Pujian dari anak-anakku itu adalah bahan bakar paling ampuh bagiku. Aku mulai percaya diri. Mungkin, inilah jalan yang harus kutempuh. Jalan menuju kemandirian sejati.
***
Setahun setelah aku bekerja di rumah Pak Adhi, aku merasa cukup percaya diri. Aku telah menabung sebagian besar gajiku, ditambah dengan sedikit sisa perhiasan yang akhirnya kujual. Cukup untuk modal awal. Dengan restu Bu Sri dan Pak Adhi, aku memutuskan untuk membuka restoran mungil di komplek perumahan dekat kontrakanku. Tempatnya sederhana, tapi bersih dan nyaman.
"Puing Hati, Sajian Harapan" aku menamai restoran itu. Nama itu mewakili perjalananku. Dari puing-puing hati yang hancur, kini aku menyajikan harapan melalui masakan.
Menu andalanku adalah masakan Nusantara, hasil belajarku dari Bi Narti dan eksperimen pribadiku. Rendang Padang, Soto Lamongan, Nasi Goreng Kampung, Ayam Betutu—semua kumasak dengan sepenuh hati. Aroma rempah-rempah yang gurih selalu memenuhi udara.
"Wah, Masakan Mbak Ayu enak sekali! Bumbunya pas," puji salah satu pelanggan tetapku.
Dari hari ke hari, restoranku kian ramai. Pelanggan berdatangan, bukan hanya dari komplekku, tapi juga dari luar. Miko dan Lucy sering membantuku sepulang sekolah, meski hanya sekadar membersihkan meja atau mengantarkan air. Melihat mereka bersemangat, aku merasa sangat bangga. Aku berhasil. Aku mandiri.
Suatu sore, saat aku sedang sibuk mengawasi dapur, seorang pria masuk ke restoran. Aku mendongak, dan jantungku seolah berhenti berdetak. Itu adalah Arman, salah satu teman dekat Yudhi dulu. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang sama saat melihatku.
"Ayu? Astaga, ini kamu? Kok bisa di sini?" Ia menghampiriku, matanya menyapu seisi restoran.
Aku berusaha tersenyum ramah, menjaga nada suaraku tetap datar. "Iya, Arman. Sekarang aku buka restoran di sini."
Ia duduk di salah satu meja, memesan soto ayam. "Tidak menyangka, aku kira kamu masih di Pondok Indah."
"Itu kan sudah lama sekali," jawabku, mencoba mengakhiri obrolan yang tidak nyaman ini.
Tapi Arman sepertinya ingin bercerita. "Kau tahu, Ayu, rumah yang dulu itu... kacau balau sekarang. Felicity ternyata tidak becus mengurus rumah."
Aku hanya mengangkat alis.
"Pembantu dan tukang kebun kalian, yang dulu setia itu, semuanya mengundurkan diri. Katanya Felicity terlalu banyak menuntut dan sering marah-marah," lanjut Arman, seolah tidak peduli dengan ekspresiku.
Aku hanya menghela napas ringan. "Oh ya?"
Tidak ada lagi rasa sakit yang menusuk. Tidak ada lagi amarah yang membara. Berita tentang Yudhi dan Felicity tidak lagi mengusik kedamaian yang sudah kubangun dengan susah payah. Itu adalah masa lalu, sebuah babak yang telah kututup rapat. Aku hanya fokus pada masakanku, pada pelanggan yang menanti, pada anak-anakku yang kulihat sedang tertawa di sudut ruangan. Hidupku terlalu berharga untuk kubuang lagi memikirkan mereka.
***
Usaha rumah makan Puing Hati, Sajian Harapan, terus berkembang pesat. Aku sudah memiliki beberapa pegawai, bahkan aku tidak lagi pusing memikirkan biaya sekolah Miko dan Lucy. Kami sudah pindah ke rumah yang lebih besar, tidak jauh dari restoran. Hidupku, yang dulu kupikir hancur, kini jauh lebih stabil dan bahagia.
Suatu sore, setelah pulang dari restoran, aku duduk di ruang keluarga bersama anak-anak. Lucy sibuk mewarnai, sementara Miko asyik menonton televisi. Aku mengeluarkan ponselku untuk mengecek beberapa hal, tapi mataku terpaku pada berita viral yang muncul di layar televisi. Ada cuplikan video kecelakaan mobil yang mengerikan, diiringi suara pembawa berita yang serius.
"...kami baru saja mendapatkan informasi terbaru mengenai kecelakaan tragis yang terjadi di jalur Puncak, arah Sukabumi. Korban diidentifikasi sebagai seorang pilot maskapai ternama, Bapak Yudhi Hermawan, dan rekannya, Ibu Felicity Indraswari. Keduanya ditemukan tewas di tempat kejadian. Jenazah saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah duka di kawasan Pondok Indah..."
Dunia terasa berhenti berputar. Ponsel di tanganku meluncur jatuh ke lantai. Bapak Yudhi Hermawan. Felicity Indraswari. Namanya. Suara pembawa berita itu mengulang nama itu berkali-kali, menggedor gendang telingaku. Aku terbelalak, kaget bukan kepalang. Kakiku lemas, rasanya sulit untuk bernafas. Miko dan Lucy, yang tadinya asyik, ikut menatapku dengan heran.
"Mama, kenapa?" tanya Miko, melihat wajahku yang pucat.
Aku tidak bisa menjawab. Pikiranku kalut. Kecelakaan? Yudhi dan Felicity? Mati? Seribu pertanyaan berkelebat di benakku, tapi tidak ada jawaban yang bisa kudapatkan. Aku menatap layar televisi yang menampilkan gambar reruntuhan mobil, dengan sebuah berita berjalan di bawahnya. Semua mengonfirmasi apa yang baru saja kudengar.
Ada rasa sedih yang aneh menyelinap di hatiku. Bukan rasa menang, bukan euforia atas karma yang katanya berlaku. Itu adalah kesedihan yang tumpul, kesedihan atas akhir tragis dari seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, dan seorang wanita yang pernah menjadi musuh terbesarku. Aku tidak lagi membenci ia. Semua kepahitan itu telah menguap seiring waktu. Yang tersisa hanyalah bayangan masa lalu yang kelam.
Aku hanya bisa menunduk, menggenggam tangan Miko dan Lucy. Air mataku menetes. Bukan lagi air mata kesedihan atas pengkhianatan, melainkan air mata yang entah bagaimana, terasa seperti pelepasan terakhir. Aku hanya mampu berdoa dalam hati, semoga dosa-dosa Yudhi diampuni, dan Felicity juga. Semoga ia berdua menemukan kedamaian yang tak pernah mereka temukan di dunia ini. Babak terakhir itu, babak yang paling dramatis, akhirnya tertutup.
***
Hidupku terus berjalan, dan aku melanjutkan semua seperti biasa. Restoranku tumbuh, berkembang, dan aku berencana untuk membuka cabang kedua. Miko dan Lucy tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan mandiri, mengisi hari-hariku dengan tawa dan kehangatan. Rumah yang dulu pernah terasa sepi, kini selalu ramai dan penuh kebahagiaan.
Aku telah menemukan kedamaian dan kepuasan sejati. Bukan dari kemewahan atau harta benda yang melimpah, melainkan dari kemandirian yang kuraih dengan jerih payah, dari keberhasilan yang kubangun dengan dua tangan, dan dari kasih sayang tulus yang kupersembahkan untuk anak-anakku. Aku melihat kembali perjalanan hidupku, dari mansion mewah di Pondok Indah, ke kontrakan sempit, hingga dapur orang lain, lalu akhirnya ke restoran mungilku sendiri. Setiap langkah, setiap jatuh, setiap kebangkitan—semuanya membentuk diriku menjadi perempuan yang lebih kuat, lebih bijaksana.
Malam hari, setelah Miko dan Lucy tertidur lelap, aku sering duduk sendiri di teras rumah. Angin malam berdesir lembut, membawa aroma melati dari kebun. Aku memejamkan mata, merasakan kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Masa lalu itu, dengan segala pahitnya, kini terasa begitu jauh. Aku sudah tidak lagi terikat oleh bayang-bayang pengkhianatan. Aku sudah memaafkan, dan yang terpenting, aku telah memaafkan diriku sendiri.
Aku telah menemukan "resep" kebahagiaanku yang sejati. Hidupku, yang dulu kupikir selesai, ternyata baru saja dimulai. Dan aku tahu, perjalanan ini masih panjang, penuh dengan rasa baru yang menunggu untuk kutemukan dan kutuangkan, sama seperti rempah-rempah yang tak pernah habis di dapurku.