Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Vya menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Di luar jendela, langit mulai memerah, seperti ingin ikut menyimak cerita yang selama ini tersembunyi dalam dadanya. Jantungnya berdebar tak menentu, dipacu oleh kenangan yang sudah delapan tahun ia pendam rapat-rapat.
Nama Adam tersebar di setiap detik, di setiap sudut hatinya. Sosok yang ia cintai diam-diam, sementara ia menjalani hubungan dengan Riki, yang ia kira adalah pilihan yang benar.
Tapi kenyataannya, Riki bukan pilihan. Ia adalah belenggu.
Dahulu, kata-kata manis Riki terasa seperti janji. Sekarang, kata-kata itu hanya tali tak terlihat yang mengikat pergelangan kakinya. Vya tak boleh pergi sendirian ke mana pun, tak boleh membalas pesan dari rekan kerja pria, dan suara getaran ponsel selalu membuat perutnya mual karena takut Riki akan memeriksa. Rasa takut itu adalah udara yang ia hirup setiap hari.
Setiap detik yang dihabiskan bersama Riki terasa berat dan penuh beban. Di sisi lain, Adam hadir dalam angan-angan, memberikan kehangatan yang tak pernah bisa ia raih.
Hari ini, di ruang aman pikirannya, Vya memutuskan untuk menghadapi semuanya. Ia membayangkan Adam duduk di depannya, menatapnya dengan mata penuh perhatian, mendengar semua kata yang selama ini tak pernah terucap.
“Aku ingin minta maaf, Adam… karena dulu aku tidak pernah membalas perasaanmu. Aku mencintaimu dalam diam,” batinnya.
Air mata menetes, hangat, membasahi pipinya. Rasa lega dan sakit bercampur, membuat hatinya sesak sekaligus damai.
Adam dalam bayangannya menatap lembut.
“Vya… aku menyesal karena tidak ada di sana untukmu. Aku hanya bisa datang dan pergi. Jangan pernah merasa bersalah, karena yang kulihat adalah hatimu. Aku tahu kau sedang terikat, dan itu bukan salahmu.”
Kata-kata itu seperti menyapu debu yang menumpuk di hati Vya. Selama ini ia merasa bersalah, merasa tidak layak, merasa menjadi pengkhianat karena hatinya selalu condong pada Adam. Padahal ia tidak pernah mencintai Riki. Ia memilih bertahan karena ketakutan, karena kungkungan yang diciptakan Riki membuatnya tak bisa bergerak.
Rasa marah muncul, bukan pada Adam, tapi pada situasi yang menjeratnya. Marah karena ia tidak bisa berkata “tidak” saat hatinya sebenarnya ingin bebas. Marah karena ia tidak bisa memilih dengan jujur. Tapi di balik kemarahan itu, ada satu hal yang terasa jelas: Adam, dengan kepergiannya dan pertunangannya, telah menjadi cermin yang membuat Vya sadar bahwa ia harus memilih dirinya sendiri.
“Seandainya kamu lebih berani mempertahankan aku…” batinnya pelan.
Adam menunduk, wajahnya tersirat sesal yang dalam.
“Seandainya… ya, Vya. Seandainya aku lebih membela kita. Aku pengecut waktu itu. Aku terlalu takut kehilanganmu, tapi juga terlalu takut menghadapi keadaanmu. Aku datang dan pergi sesuka hati. Aku salah.”
Vya menunduk, menerima kenyataan itu. Ia tahu, sebagian rasa sakitnya bukan hanya karena Riki, tapi juga karena ia dan Adam sama-sama tidak berani mengungkapkan perasaan. Tapi sekarang ia mengerti, dan yang terpenting: ia bisa melepaskan semua itu.
“Kalau aku bilang semuanya padamu dulu, aku takut kamu akan benar-benar pergi,” bisiknya.
Adam menatapnya lembut.
“Aku tidak akan pergi, Vya. Aku tidak pernah berhenti peduli. Yang kucintai itu kamu, hatimu… bukan keadaanmu.”
Vya menarik napas, merasakan beban bertahun-tahun perlahan mencair. Ia tahu, ia harus memaafkan dirinya sendiri, menerima bahwa ia dulu terperangkap dalam ikatan yang menyiksa, dan akhirnya berani memilih dirinya sendiri. Ia memandang Adam satu kali lagi dalam angannya:
“Aku pernah menyayangimu begitu besar… maaf aku hanya mencintaimu dalam diam. Terima kasih karena keputusanmu bertunangan dengan wanita lain membuatku sadar bahwa aku harus memilih diriku sendiri. Aku memaafkan kita berdua. Semoga kita bahagia dengan jalan kita masing-masing.”
Adam tersenyum tipis, damai.
“Selamat tinggal, Vya. Kamu selamat, dan itu yang terpenting.”
Flashback
Ia mengingat awal hubungannya dengan Riki, semua janji manis yang ternyata kosong, malam-malam ketika ia menahan tangis agar tidak tampak lemah, hari-hari di mana hatinya menjerit meminta kebebasan. Lalu ia teringat Adam. Kedekatan yang tulus, kontak yang hangat, rasa yang pernah begitu jelas tapi tidak diungkapkan. Semua itu kini berputar di kepalanya, tapi tidak lagi membuatnya sesak.
Ia mengingat bagaimana ia pernah berdiri di depan pintu, tangan gemetar di gagangnya. Ia ingin lari, kabur. Tapi bayangan teriakan Riki, atau yang lebih buruk, wajah Riki yang dingin dan mendiamkannya selama berhari-hari, membuat kakinya terpaku di tempat. Ia tidak bisa kabur karena ia terjebak. Ia tidak punya kebebasan. Ia bukan pengkhianat, ia adalah korban keadaan yang luar biasa sulit.
Rasa sakit itu kemudian berubah menjadi pengakuan yang lembut pada diri sendiri. Ia mengingat bagaimana Adam pernah datang dan pergi tanpa bisa berjuang demi dirinya, dan bagaimana itu membentuk keberaniannya untuk memilih diri sendiri. Ia tersadar bahwa setiap luka, setiap kesalahan yang ia kira miliknya, telah mengantarkannya ke titik ini. Ke titik di mana ia bisa berdiri tegak, melepaskan masa lalu, dan memeluk dirinya sendiri.
Pelepasan dan Pemulihan
Vya membuka mata, merasakan kelegaan yang dalam. Semua emosi: marah, sedih, rindu, bersalah, telah berubah menjadi sesuatu yang ia kenal sebagai rescue. Ia terselamatkan. Tidak oleh orang lain, tapi oleh keberanian dan kesadarannya sendiri. Ia menyelamatkan hatinya, tubuhnya, dan hidupnya.
Suaminya yang sekarang, adalah tempatnya pulang. Di sisi suaminya, yang saat ini dengan sabar merapikan rambutnya yang berantakan, dan mencium puncak kepalanya dengan sentuhan yang tak pernah menuntut apa pun, Vya merasa dicintai, dihargai, dan paling penting: bebas.
Dahulu, Riki selalu memeriksa ponsel dan dompetnya, menuntut setiap detail aktivitas. Kini, suaminya hanya tersenyum damai ketika Vya pulang larut, dan berkata, "Bagaimana harimu? Aku sudah menyiapkan teh hangat untukmu."
Ia tidak pernah bertanya tentang masa lalu atau menuntut penjelasan. Ia memberi Vya ruang, dan ruang itu adalah cinta yang sesungguhnya.
Bebas dari belenggu Riki. Bebas dari rasa bersalah yang dulu menjeratnya. Bebas dari perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan kepada Adam.
Ia tersenyum, merasakan air mata terakhir jatuh, kali ini hangat, damai, dan menenangkan. Vya tahu, cerita ini selesai. Tidak ada dendam, tidak ada penyesalan yang harus ditanggung lagi, hanya rasa lega yang menenangkan.
Dan dalam hati, ia berbisik pelan:
“Good bye, Adam… terima kasih sudah hadir di hidupku, meski hanya dalam diam. Terima kasih karena menjadi alasan aku akhirnya memilih diriku sendiri. Semoga kita bahagia dengan jalan masing-masing.”
Ia lalu merasakan keberadaan suaminya, dan berbisik lagi, lebih tulus: "Terima kasih, kasihku. Terima kasih karena tempat aman itu bukan lagi di angan, tapi nyata, bersamamu. Aku memilih kita."
Ia menarik napas panjang, menatap ke depan, dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, merasa benar-benar bebas dan terselamatkan.