Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Reruntuhan Malam
4
Suka
665
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Setelah sekian lama hidup di balik dinding aturan yang kokoh, menjulang tinggi dan membayangi setiap sudut kehidupannya, Siwi akhirnya mencapai titik jenuh. Titik di mana desiran kata "katanya" tak lagi mempan meredam gelora pemberontakan di dadanya. Gelora untuk terjun bebas ke dalam jurang yang katanya gelap, yang konon, sekali kau masuki, sulit untuk kembali tanpa menyisakan luka menganga, cap yang tak terhapuskan, dan candu yang melahap jiwa secara perlahan menuju kehancuran yang tak terhindarkan. Malam itu, di bawah selimut pekatnya langit yang bertabur bintang tipis, saat semua orang terlelap dalam nyamannya kasur empuk mereka, saat yang lain sibuk berebut mimpi indah sebagai pelarian dari pahitnya kenyataan, sebuah dorongan gila dari percobaan psikologisnya menyeret Siwi keluar. Keluar dari lingkaran yang mengungkungnya, keluar dari stereotip usang yang membelenggu dirinya sebagai gadis tanpa kehidupan, tanpa gairah.

Namun, saat malam itu tiba, angin dingin yang seharusnya menusuk tulang justru membawa kehangatan yang aneh, kehangatan dari orang-orang kesepian di lorong maut yang sering disematkan masyarakat. Di sana, di antara bayang-bayang dan bisikan samar, Siwi justru menemukan kehidupan yang sesungguhnya. Sebuah kehidupan di mana nama tak lagi penting, asal-usul tak lagi relevan. Mereka, para jiwa-jiwa tersesat itu, saling bertukar secangkir kegundahan, tawa palsu yang memecah keheningan, menutupi kerapuhan masing-masing dengan selimut kebersamaan yang rapuh namun tulus.

Dengan hanya memakai piyama lusuh, rambut acak-acakan yang berantakan seperti sarang burung, dan tanpa alas kaki, Siwi melangkah. Sekilas, jika bertemu dengannya di balik kabut remang-remang lampu jalanan, orang paranoid mungkin akan lari terbirit-birit dan kencing di celana. Namun, di balik siluet yang sedikit menakutkan itu, tersembunyi sepasang mata yang teduh, wajah yang lembut, dan senyum yang manis, tipis namun menghipnotis. Terkadang, orang-orang memujinya cantik, tapi bukan sekadar kecantikan biasa yang mudah dilupakan. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, jiwa yang unik. Liar, namun dengan sentuhan kejam yang tipis, menjadikannya seperti sebotol alkohol beraroma berbahaya, yang akan membuat siapa pun yang mencicipinya dibuat tidak bisa bangkit lagi dari tidurnya, terjerembap dalam kenikmatan yang mematikan.

Gadis itu, yang kini berani melebur dengan anak jalanan, duduk di pangkuan seorang pria asing yang bahkan tidak dikenalnya. Bukan karena dia murahan, bukan karena dia tak punya harga diri. Ini adalah sebuah eksperimen, sebuah upaya ekstrem untuk melepaskan semua aturan yang selama ini mengikatnya, melepaskan diri dari belenggu pandangan negatif yang mungkin akan didapatkannya. Ironisnya, justru tindakan "melanggar" ini membuatnya menjadi dihormati. Orang-orang di sana, para penghuni malam yang dianggap tanpa norma, tak ada yang berani menyentuhnya barang sedikit pun. Mereka justru melindunginya, memperlakukannya seperti sesama jiwa yang tersesat. Mereka bernyanyi di antara letupan kecil bara api, mempermainkan nada-nada sedih dengan cara yang berbeda, menikmati kekosongan diri masing-masing dalam kebersamaan yang aneh namun menghangatkan.

Larut malam merangkak perlahan, hingga fajar tiba, mengalahkan semangat mereka untuk sembuh. Ya, sekuat apa pun dirimu, sehebat apa pun dirimu, sebesar apa pun tubuhmu, kau akan tetap kalah oleh debu peri yang mengaburkan matamu. Debu yang membuatmu lelah, menyerah pada hitungan detik yang akan membuatmu lupa waktu, lupa segalanya, bahkan tak kenal lagi di mana kau berada. Tak peduli betapa bisingnya dunia di sekelilingmu atau betapa tenangnya malam yang memeluk, debu itu akan selalu bisa membuatmu diam dengan tenang. Bahkan sekalipun perang melanda di dalam pikiranmu.

Pagi buta menyumbang perasaannya, menumpahkan oranye keemasan dengan sedikit pantulan gas yang menakjubkan dari lampu jalanan yang masih menyala. Pemandangan itu, dalam keheningannya, terasa seperti pemandangan terakhir seorang warga Hiroshima yang tak sempat mengucapkan selamat tinggal, atau seorang prajurit Jepang yang gugur sebelum sempat menikmati masa pensiunnya. Ada kehampaan sekaligus keindahan yang menusuk, sebuah paradoks yang tak terpecahkan.

Siwi beranjak, meninggalkan reruntuhan malam itu, meninggalkan hamparan kesepian yang tengah terlelap tenang dalam tidurnya. Dia kembali menyusuri hal-hal buruk yang paling mungkin menolak aturan, keluar dari batasan yang selama ini membelenggunya. Bukan untuk terjerumus, melainkan untuk menikmatinya sebagai hiburan, sebagai catatan kehidupan, bahwa pernah ada seorang gadis yang begitu merasa putus asa dengan hidupnya yang sebenarnya baik-baik saja. Namun, gadis itu nekad mencobai setiap luka yang dibuang orang-orang di jalanan, merasakan setiap perih dan kegilaan yang tak pernah ia bayangkan.

Seorang pria, rapi dalam balutan kemeja putihnya yang sedikit kusut, sedang merokok dengan kepulan asap tebal yang membumbung dari suhu tubuhnya yang panas. Entah api macam apa yang membakarnya begitu hebat, hingga ia keluar sepagi ini dan sehampa itu, menyandarkan tubuh tinggi besarnya di sebuah tiang kurus yang bahkan sudah teriak minta dilepaskan. Siwi merapikan sedikit rambutnya yang masih acak-acakan, berdiri di hadapan pria itu. Menggodanya dengan renda-renda rendah berwarna putih di dadanya yang sedikit terekspos. Ada semacam tantangan dalam gerakannya, sebuah provokasi yang tak terucapkan.

Pria rapi ini, yang seharusnya mewakili tatanan dan norma, justru mengejutkan Siwi. Bukan dari pria-pria tanpa rumah dan terlihat tanpa perasaan tadi malam yang menjaganya dengan baik, memperlakukannya seperti teman, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan, yang menerima sinyal keputusasaan dan perasaan ingin bunuh diri itu dengan baik, menerimanya tanpa banyak bicara. Namun pria ini, dia merapatkan tubuhnya, tangannya meremas bagian belakang Siwi, "bantal surga" yang lebih dekat dengan sesuatu yang menjijikkan, namun pria itu menikmatinya. Siwi masih memprosesnya dengan bingung, menerimanya sebagai data baru untuk diingat dan dicatat dalam jurnal kegilaannya.

"Sepertinya kau sedang kehilangan arah," ucap si pria, suaranya serak dan berat.

Siwi mendongak, menatapnya tajam. "Sepertinya kau yang kehilangan arah, aku bahkan tidak menyangka kau melakukan ini."

Pria itu terkesiap, melepaskan dirinya. Kembali melangitkan pandangannya, menyaku kedua tangannya dan diam tanpa memerhatikan lagi Siwi karena malu yang tiba-tiba melingkupinya. Ada semacam kegelisahan yang terpancar dari punggungnya.

"Aku pikir kau tidak punya malu," ucap Siwi, suaranya datar namun menusuk.

Dia kembali berjalan menyusuri pinggiran kota yang semrawut, trotoar yang kotor berdebu dan dingin membuat semuanya semakin jelas kotornya jika menuruti kata hati yang tidak tentu, dan jejak akar pikiran yang kadang hanya penasaran tanpa ingin peduli peringatan di baliknya. Setiap langkahnya adalah jejak kaki di atas batas, melampaui norma.

Dia memasuki sebuah toko kelontong, mencari-cari sebotol air putih dan sebungkus rokok tanpa pemantik. Seorang pemuda berkacamata, yang menjaga toko hari itu, dibuat tidak bisa melepaskan pandangannya. Matanya yang polos menelusuri setiap bagian dari Siwi, mengingat setiap keindahan dan kerutan, juga bekas jerawat yang ada, untuk mencatatnya sebagai ingatan jika tiba-tiba wanita aneh di hadapannya ini lari tanpa membayar tagihannya. Ada kekaguman sekaligus ketakutan yang terpancar dari sorot matanya.

Tanpa ingin mengganggu dan mendengar suara wanita itu yang mungkin akan membuat mimpi di malam-malamnya buruk, pemuda itu hanya menunjuk angka di layar pembayaran. Namun, Siwi malah menatapnya dalam, tajam, dengan senyum tipis yang tak terbaca.

Wanita itu melangkah melewati satu-satunya jalan menuju ke belakang sana, ke balik kasir. Dia berlutut, gerakannya anggun namun penuh misteri, dan terlihat membuka sesuatu. Mata anak lelaki itu perlahan melotot, tidak percaya dengan apa yang dirasakannya di bawah sana. Sensasi aneh itu menyergapnya. Berkali-kali dia hampir jatuh, tubuhnya gemetar, namun tetap berusaha berdiri dengan susah payah. Kata-kata yang terlintas di benaknya mengisyaratkan hal lebih dari sekadar rasa menyenangkan, ada rasa sakit yang tipis, dan keasingan yang memabukkan. Sementara hening di bawah sana begitu mengerikan, hanya desah napasnya yang tercekat. Tangan kurusnya berusaha keras mempertahankan agar sabuk celananya tidak turun, menahan gejolak yang tak terduga.

Tiba-tiba, seorang bapak-bapak masuk dan membeli sesuatu. Pada saat dia hendak membayar, dia sempatkan untuk menengok suasana di bawah sana. Dia tersenyum lebar, senyum penuh pengertian yang justru membuat pemuda itu merasa semakin terpojok.

"Kau beruntung, sepagi ini. Pasanganmu sudah mengerti keinginanmu, bahkan dia rela menyedot semua perasaan tidak menyenangkan itu darimu dan menggantinya dengan perasaan lega juga perkasa," tawanya di akhir memecah keheningan toko yang hanya berisikan mereka bertiga. Suara tawa itu menggema, menambah kegamangan si pemuda.

Bapak-bapak itu pun pergi meninggalkan mereka, dan Siwi semakin menggila di bawah sana. Membuat desir angin yang keluar dari AC menjadi desah lembut yang malu-malu keluar dari barisan gigi kelincinya. Wanita itu akhirnya berdiri, dengan gerakan cekatan, menopang tubuh jangkung kurus si pemuda yang masih lemas.

"Sudah merasa lebih baik?" tanyanya, suaranya serak namun terdengar memabukkan.

"Aku… aku... Tidak pernah merasa sebaik ini," jawab pemuda itu tersengal-sengal, matanya masih memancarkan kebingungan bercampur ekstasi.

Siwi tersenyum, senyum penuh kemenangan. Lalu, dengan gerakan sensual, menyapu bibirnya di sepanjang leher anak lelaki ini. Membuatnya kembali bergejolak, lava di tubuhnya menyembur tak tentu arah. Sensasi itu, anehnya, menciptakan kerak panas di tubuh sang Dewi, menandainya sebagai sebuah kemenangan atas perang yang selama ini dia tahan-tahan.

Siwi membenarkan kacamata si pemuda, merapikan rambut ikalnya yang berantakan. Melahap "jelly bean" tipisnya dengan perasaan bangga, dengan sensasi mahal sisa peperangan yang baru saja usai.

"Sekarang kau bisa hidup lebih baik lagi, begitu juga denganku. Sebab besok, kau tidak akan melihatku lagi. Dalam wujud apa pun, selain penyesalan. Buatlah ini menjadi memori yang akan kau ingat sekaligus ingin kau lupakan, pastikan ini menjadi yang terakhir. Tinggalkan semuanya, kembalilah menjadi normal. Dan itu akan membuatmu hidup," ucap Siwi, suaranya tegas namun penuh teka-teki, sebuah ramalan yang akan menghantui pemuda itu.

Wanita itu pergi, membawa serta sebungkus rokok, sebotol air putih, dan sisa perang yang bahkan tidak dibersihkan, meninggalkan si pemuda polos dengan tatapan kosongnya. Setelah semua aturan dihancurkan, setelah semua batas dilampaui, rasanya tidak lagi seperti bayangan. Indah atau pun menyenangkan, itu jauh sekali dari kesan sebuah pengalaman hidup yang ingin dijalani secara berulang-ulang. Yang tersisa hanyalah kekosongan, sebuah jejak yang takkan terhapus, sebuah "reruntuhan malam" yang akan terus menghantui.

"Ia pernah runtuh. Pernah kehilangan arah. Tapi juga pernah sadar di titik terdalam. Di antara reruntuhan malam, ia menemukan dirinya. Bukan versi yang lebih baik, tapi versi yang lebih jujur."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Reruntuhan Malam
Cléa Rivenhart
Cerpen
Bronze
Singa yang Tak Bisa Menggonggong
Ilham, S.S.
Cerpen
Bronze
Doa yang Nyata
Utia Nur Hafidza Rizkya Ramadhani
Cerpen
Bronze
Persimpangan di Stasiun Kereta
AnotherDmension
Cerpen
Buntu
Albadriyya_haw
Cerpen
Suara Butala
bloomingssy
Cerpen
Bronze
Pisang Goreng
De Lilah
Cerpen
Bronze
Di Bawah Tebing Terjal Pemanjatan
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Sebuah Pilihan untuk Dikenang
I Putu Agus Yoga Permana
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Cerpen
Bronze
Mawar Putih dan Pria Tanpa Kata
Saifoel Hakim
Cerpen
TAPAKAN
thoriq andrian
Cerpen
Cewek itu Gula
Astromancer
Cerpen
Klung!
Zaki S. Piere
Cerpen
Penyebab
Fata Raya
Rekomendasi
Cerpen
Reruntuhan Malam
Cléa Rivenhart
Cerpen
Telaga Cermin
Cléa Rivenhart
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Sampai Akhir
Cléa Rivenhart
Cerpen
Saat Sedang Basah-basahnya
Cléa Rivenhart
Cerpen
Patrick Star
Cléa Rivenhart
Cerpen
One Meal, One Story, One Movie Before Bed
Cléa Rivenhart
Flash
Sarang Tupai
Cléa Rivenhart