Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
RENDRA sudah berhari-hari berkutat terhadap tulisannya. Tak ditemukan keanehan yang terdapat dalam tulisannya. Bahkan ia sudah berkali-kali meminta pendapat orang-orang di sekitarnya. Jawabannya tetap sama: “tulisanmu terbaca,” jawaban itu didapatkan saat pagi. Malamnya Rendra kembali memeriksa tulisannya lagi: “Tak ada keanehan yang terdapat dalam tulisanku,” ucapnya. Tangannya basah dipenuhi keringat
Saat itu Rendra bermimpi menjadi penulis. Sebenarnya cita-citanya itu sudah tumbuh saat ia masih bersekolah. Kesukaannya terhadap dunia baca-membaca ternyata mendorongnya untuk menjadi seperti penulis-penulis yang sering ia baca bukunya itu. Saat kuliah, ia mulai menulis banyak karangan-karangan berupa cerita pendek. Karangan itu ia tulis mengikuti dorongan gejolak emosinya terhadap perempuan. Meskipun ia tak dapat mengungkapkan perasaannya langsung pada perempuan itu, setidaknya ia bisa menulis puluhan paragraf berisi luapan hatinya. Tapi, hari ini berbeda. Rendra sudah berkeluarga, dan sudah punya dua anak. Ia masih tinggal di rumah kontrakan, dan sudah lewat dua bulan ia menunggak biaya sewa. Sebagai penulis, dan dengan segala keidealisannya, ia kembali menulis lagi. Itupun yang mendasarinya untuk mengirim tulisan-tulisannya ke penerbit.
Ia cukup lamban dalam menulis. Tak heran tulisan-tulisan itu tak bisa ia selesaikan sehari atau dua hari. Butuh berminggu-minggu kadang berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu cerita pendeknya. Selama itu, ia hidup berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah lain. Kadang ke rumah teman-teman terdekatnya. Namun kadang Rendra lebih banyak tinggal di rumah mertuanya sambil menemani istri serta anak-anaknya.
Minggu pertama ia berhasil menyelesaikan satu cerita pendeknya. Tak hanya dirinya, istri dan kedua anaknya pun turut senang. Tanpa pikir panjang, ia kirim tulisan itu ke penerbit. Tak butuh satu hari, ia mendapat surat balasan. Isinya kurang lebih begini: “Maaf, naskah Anda tidak dapat terbaca oleh kami. Mohon kirim tulisan lain yang dapat terbaca.” Rendra terpukul setelah selesai membaca surat pendek itu. Ia tak mau memberitahu istri dan kedua anaknya. Setelah naskahnya dikembalikan, Rendra jadi tak sanggup tinggal lama di rumah mertuanya. Kemudian ia tinggal di rumah temannya yang lain dan kembali menulis.
Minggu berikutnya, tulisannya kedua ini selesai selama dua minggu. Sebelum ia mengirim tulisannya, kembali ia tanyai temannya. “Tulisanmu terbaca,” ucap temannya. Setelah yakin, Rendra baru mengirim tulisannya kepada penerbit. Tak butuh satu hari, ia terima surat lagi. “Mohon maaf, naskah Anda tidak dapat terbaca. Mohon periksa ulang tulisan Anda sebelum mengirimnya, terima kasih.” Hancur hati Rendra. Naskahnya kembali dipulangkan dan ia tinggal ke rumah temannya yang lain. Kali ini demi menjaga harga dirinya.
Kira-kira lewat empat minggu, tulisannya yang ketiga ini selesai. Sebelum ia kirim tulisannya, kembali ia tanyai temannya. Jawabannya masih sama, “Tulisanmu terbaca,”. Tapi kenapa Rendra tak yakin. Maka malamnya kembali ia periksa tulisannya itu, dan beberapa kali ia ubah tulisannya sampai telapak tangannya basah karena kegugupannya. Keesokannya baru ia kirim tulisannya itu kepada penerbit. Tak butuh sehari Rendra mendapat surat lagi. Isinya rupanya masih sama. Tulisan Rendra masih tak dapat terbaca. Setelah membaca surat itu, ia kedatangan tamu. Rupanya itu istri dan kedua anaknya.
“Sudah satu bulan lewat dua minggu kau tak pulang, Mas. Kapan kau pulang?”
“Nanti saja aku pulang, Mar.”
“Tapi di rumah Ibu, kita kehabisan bahan makanan, Mas.”
Rendra akhirnya memutuskan untuk pulang saja ke rumah mertuanya. Tak melanjutkan menulis. Ia sudah tak mau memikirkan penerbit, atau nasib tulisannya selesai atau tidak. Rendra hanya ingin keluarganya tetap hidup berkecukupan. Tapi bagaimana caranya mereka dapat hidup berkecukupan, sementara ia tak pernah mendapat bayaran dari tulisannya. Maka, ia mencari berbagai cara lain. Ia baca buku-buku, majalah, poster, serta media suara manapun. Apapun informasinya, supaya ia dapat membawa uang ke rumah mertuanya. Namun seperti jalan hidup manusia, semakin ia cari informasi itu semakin kecil rasanya peluang yang didapatkan.
Suatu sore, ketika ia hendak pulang ke rumah mertuanya setelah seharian mengunjungi toko-toko buku atau menjelajahi poster-poster yang terpampang di kota, tak sengaja ia lewati jalan pasar yang dipenuhi dengan bau busuk sepanjang jalan. Karena tubuhnya sudah tak dapat menahan beban rasa malu sekaligus kelelahan yang berkepanjangan, Rendra merebahkan tubuhnya di pinggir jalan itu, tanpa merasa terganggu dengan bau-bau membusuk. Padahal ia tahu bahwa bau busuk itu menusuk hidungnya sampai ia tak mencium bau-bau yang lain.
Setelah beberapa menit ia tertidur, terkejutlah ia tiba-tiba ada seseorang yang membangunkannya. Katanya ia penjaga toko yang halaman depannya terbaring tubuh Rendra yang penuh beban di pundaknya. Seketika Rendra memasang badan untuk pergi meninggalkan halaman itu dan bersedia untuk pulang, meski ia harus pulang dengan tangan kosong.
Malam harinya, ketika Rendra sedang sibuk lagi menulis cerita pendeknya yang lain, ia mendapatkan surat dari orang yang tak dikenal. Amplop surat berisikan lembaran uang. Rendra merasa bingung bahkan sampai ia mengira bahwa kejadian ini hanya sebatas mimpi. Namun, ia yakin bahwa kejadian ini nyata. Tak hanya Rendra, istrinya dan mertuanya pun merasa keheranan.
“Barangkali tulisanmu itu ada yang telah laku, mas,” ucap istrinya. Namun ketika diperiksa dan diingat-ingat, tulisan-tulisannya semuanya berada di tangannya. Tak pernah lagi ia mengirim satu tulisan kepada penerbit. Terakhir kali tulisannya selalu ditolak dan dikembalikan kepadanya.
“Barangkali ini titipan dari Tuhan, nak,” ucap mertuanya. Rendra kurang percaya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan.
Besoknya ia kembali mengunjungi toko-toko buku, menjelajahi penerbit-penerbit, namun tetap usahanya nihil. Tak diterima satu pun naskah, alasannya tetap sama: tulisannya tak terbaca.
Di tengah jalan, jalan menuju pulang, tubuhnya merasa tidak enakan. Ia sudah kelelahan walau baru berjalan lima kilometer. Ini merupakan pertama kalinya ia selalu merasa cepat lelah begini. Ia berniat memotong jalan melewati jalan pasar lagi. Bau tidak sedap masih menyelubungi hidungnya, dan di depan toko pun ia mencoba beristirahat sementara, bau busuk tak ia pedulikan.
Ketika sampai di rumah, istrinya bilang bahwa pikiranlah yang menyebabkan Rendra cepat kelelahan. Malamnya, ia mendapat surat lagi yang berisi uang. Rendra dan istrinya tak memberi komentar. Ada sebuah keganjilan yang tak diketahuinya.
Besok harinya, Rendra jatuh sakit. Namun, meski ia sakit, tak meruntuhkan semangatnya untuk tetap pergi menaruh naskah-naskahnya di penerbit. Mencari informasi pekerjaan di poster-poster di pusat kota. Tapi rencananya tak ia kerjakan dan harus jatuh lagi di jalan pasar yang setiap bangunannya berbau busuk.
Sampai di rumah lagi tubuhnya terkulai lemas berbaring di atas ranjang. Wajahnya membiru dan matanya memerah. Keringat membasahi kaos dan seprai tempat tidurnya. Malamnya, datang lagi amplop berisi uang. “Puji syukur,” katanya.
Karena terlena dengan uang sebanyak itu, pada akhirnya Rendra memutuskan untuk berhenti menulis dan berhenti mengunjungi penerbit-penerbit, toko-toko buku, dan melihat-lihat poster. Setiap pagi ia pergi ke jalan pasar dan berpura-pura tertidur di sana. Rendra kini pulang selalu membawa uang di tangan. Tak pernah lagi ia sentuh kertas-kertas. Tak pernah lagi ia mencari-cari informasi di poster.
Tubuhnya semakin kurus, dan tak lama meninggal dunia karena orga-organ tubuhnya sudah habis tak tersisa.[*]