Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Rembulan dan Mentari
1
Suka
71
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Rembulan dan Mentari

"Dengarkan aku."

"Lepaskan!”

"Bulan, ibuku pasti akan mendengarkanmu. Tolong, percaya padaku.”

Aku menunduk, menggenggam erat jemariku sendiri, seolah itu satu-satunya pegangan yang kumiliki. "Aku tahu," lirih suaraku, nyaris terhempas oleh sunyi. "Ibumu akan mendengarkanku. Tapi—"

Kata-kataku menggantung, menguap dalam udara yang penuh debar. Ada sesuatu yang menahan, entah rasa takut atau kenyataan yang tak pernah sanggup aku akui. Aku mengangkat wajah, menatapnya sejenak, hanya untuk segera mengalihkan pandang. Matanya, penuh cahaya, seolah mengundangku untuk percaya, namun aku hanyalah bayangan yang takut akan terang.

"Aku bahkan tak akan pernah bisa menjadi seperti ibumu, Adam. Lantas, bagaimana bisa ia mengerti?" Suaraku bagai nyala lilin yang hampir padam, gemetar di antara riak luka.

Mataku menggenang, menggigil dalam pergulatan yang tak seorang pun bisa pahami. Tanpa menunggu jawabannya, aku membalikkan badan. Aku tidak ingin melihatnya, tidak ingin mendengar kata-kata yang mungkin hanya akan menjadi luka baru bagiku.

Adam, seterang mentari yang tak henti-henti mengejar cakrawala. Sedangkan aku? Aku hanyalah bulan yang seharusnya tak pernah bertemu matahari. Aku dan dia—dua entitas yang berada dalam garis takdir berbeda, tak seharusnya bersanding.

Namun Adam tak membiarkanku hanyut dalam ketakutanku sendiri. Ia meraih tanganku, memaksaku kembali, menahan kepergianku seakan di sanalah jawaban yang dicarinya. Tatapannya, setajam belati, namun bukan untuk melukai—melainkan untuk menembus dinding yang kubangun di sekeliling hatiku.

Perlahan, jemarinya berpindah ke bahuku. Kehangatan yang ia berikan hampir membuat pertahananku runtuh.

"Aku pergi dulu... Sepertinya kau sedang tak ingin membicarakan ini sekarang," Suaranya lirih, seolah kata-kata itu lebih berat dari langkah kakinya. "Aku akan berbicara dengan ibuku. Meyakinkannya."

Ia menatapku begitu lama, seolah ingin mengabadikan sosokku dalam ingatannya sebelum akhirnya melangkah pergi. Suara pintu yang terbuka menyadarkanku, membuatku menoleh tanpa sadar. Di ambang pintu, ia masih berdiri di sana, menatapku dalam diam, seakan masih ingin mengatakan sesuatu.

Lalu, sebelum akhirnya benar-benar pergi, suaranya kembali hadir—membekas lebih dalam dari yang seharusnya.

"Bulan, setidaknya kau harus tahu. Memilihmu berarti menerimamu apa adanya."

—0—

“Adam, lihatlah ini.” Suara lembut ibunya melayang di udara, sehalus angin yang membelai kenangan. Di tangannya, sebuah layar ponsel memancarkan bayangan masa lalu.

“Ini kamu saat kecil dulu,” lanjutnya, matanya berkilat nostalgia. “Lucu sekali, bukan?”

Adam menatap layar itu, tersenyum tipis. “Ibu masih menyimpan ini rupanya.”

“Tentu saja,” Suaranya bagai senandung rindu yang menelusuri waktu. “Ini, lihatlah… saat kau jatuh dari sepeda. Ibu masih ingat air matamu, tangisan kecilmu yang dulu selalu mengisi rumah.”

Ia tertawa kecil, namun matanya berbinar-binar, seperti seseorang yang kembali menghirup aroma hari-hari yang telah pergi. Adam sesekali menimpali, tapi lebih sering membiarkan ibunya larut dalam ingatan. Aku hanya mengamati mereka, duduk di seberang meja berhadapan dengan dua insan sedarah, seolah menjadi bayangan yang terabaikan.

Lalu, Adam menoleh ke arahku. Tatapannya penuh kehangatan, seolah memahami keresahan yang sejak tadi membuncah di dadaku.

“Ibu…” suaranya mendesah pelan, mengurai perhatian ibunya dari masa lalu. “Bukankah aku sudah bilang, ada sesuatu yang ingin kami bicarakan hari ini?”

Ibunya tersadar, segera meletakkan ponsel di atas meja. “Oh, iya! Maaf, Nak Bulan, tante terlalu larut dalam kenangan.” Senyum itu kembali menghiasi wajahnya, dan sekali lagi, ponsel itu terulur ke arahku. “Coba lihat ini. Adam yang dulu, bocah kecil yang tak pernah lelah berlari. Dulu, ia begitu aktif… Ah! ibu jadi rindu menggendong anak kecil seperti Adam lagi. Jadi tak sabar.”

Aku tersenyum, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirku. Rasanya seperti menelan kepahitan tanpa bisa meludahkan. Kata-kata ibunya mengiris sesuatu yang rapuh di dalamku. Kurasa ia tak tahu… atau mungkin kini ia tahu, tapi harapan itu tetap meluncur tanpa sadar, menjangkau sesuatu yang tak bisa kugapai.

Aku duduk di antara kebisuan dan harapan yang melayang-layang di udara. Adam menatap ibunya, lalu suaranya yang lirih namun tegas menyela,

"Ibu, aku ingin menikah dengan Bulan."

Ucapannya bagaikan pedang yang mengiris perlahan, membawa serta luka yang tak kasat mata. Harapan yang ia genggam erat namun ternyata begitu menekanku.

"Menikah? Kamu bilang kalian hanya teman?" suara ibunya terdengar, separuh ragu, separuh terkejut.

"Benar, Bu, tapi Adam percaya bahwa hidup bersama Bulan—teman yang telah lama Adam kenal, akan membawa kebahagiaan untuk Adam,” Adam tersenyum menatapku namun garis bibirku terlalu sulit untuk terangkat.

Hening. Sunyi yang bergema di antara kami terasa begitu berat. Aku menatap meja, jari-jariku saling bertaut, mencari pegangan dalam lautan kegelisahan. Aku tahu, aku tak akan diterima semudah itu. Aku tahu, perjalananku menuju hatinya tak semulus kisah cinta dalam dongeng.

"Baiklah," akhirnya ibunya berujar, meski terdengar ada sesuatu yang menggantung di antara kata-katanya. "Itu kabar baik. Kabar seindah ini seharusnya disampaikan kepada keluarga besar di rumah."

"Tentu, Bu, aku akan membicarakannya lebih lanjut. Tapi sebelum itu—"

Nada nyaring dari ponsel ibunya memotong ucapannya. "Ah, maaf! Ibu angkat panggilan dulu, ya," katanya sambil mengangkat telepon dan pergi agak menjauh. Adam menghela napas, menoleh padaku dengan senyum tipis yang ia kira bisa menenangkanku.

"Aku bilang apa? Ibu pasti akan mengerti," bisiknya.

Aku mengangkat alisku, membalasnya dengan suara lirih, "Ini bahkan baru permulaan, Adam. Kita tak tahu nanti."

Ibunya kembali, meletakkan ponselnya. "Maaf ya, tadi teman lama ibu menelepon. Katanya— Oh, Itu dia!" ucapnya sambil mengisyaratkan seseorang di pintu masuk. Aku menoleh, dan saat itu juga, dadaku terasa lebih sesak. Perasaan tak nyaman yang sedari tadi mengendap kini meledak dalam diam.

"Bu Laras, bagaimana kabarnya?" seorang wanita paruh baya melangkah masuk, diiringi seorang gadis muda yang tampak begitu anggun. Mata ibunya berbinar, menyambut mereka dengan hangat.

"Alhamdulillah baik," jawabnya, memeluk tamu itu erat. Adam dan aku ikut berdiri, menyambut dengan senyum yang kusematkan hanya sebagai formalitas.

"Oh, ini Hawa, ya? Masyaallah, sudah lama ya kita tidak bertemu."

"Siang, Tante."

"Adam, ini Tante Mey dan putrinya, Hawa. Kemarin mereka bilang akan pulang ke Surabaya, jadi Ibu ajak mampir. Kebetulan Ibu sedang berada diluar bersama Adam.”

Aku menunduk, tersenyum tipis. Aku tahu, sejak awal ini bukan panggung untukku. Aku hanyalah penonton di antara mereka, menunggu kapan aku boleh beranjak, atau mungkin sekadar meluruh dalam kesunyian.

Adam menoleh padaku, sorot matanya meraba kegelisahanku. Ia tahu aku tersudut.

"Ibu..." panggilnya pelan.

Tapi sebelum ia sempat berkata lebih jauh, suara lain menyela.

"Oh, siapa gadis ini?" tanya Tante Mey, menatapku dengan mata penuh tanya.

Adam tersentak, lalu buru-buru menjawab. "Ini cal—"

"Teman Adam," potongku cepat. "Saya Bulan."

Aku bisa merasakan Adam menatapku, mungkin kecewa, mungkin tak mengerti mengapa aku menolak kata yang hendak ia ucapkan.

"Oh, saya kira pacarnya Adam. Saya Tante Mey, teman Bu Laras. Ini anak saya, Hawa. Sepertinya kalian seumuran."

"Salam kenal, Tante. Salam kenal, Hawa," ucapku, menyunggingkan senyum yang kupaksakan. Gadis itu, seputih salju, membalas senyumku dengan kelembutan yang tak bisa kumiliki.

Aku tahu, batas keberadaanku di sini sudah hampir habis. Maka, di antara obrolan yang mengalir tanpa menyisakan ruang untukku, aku menyela dengan suara yang hampir tak terdengar, "Maaf, Tante Laras, Adam... Saya permisi dulu. Baru ingat, ada janji dengan teman saya."

"Bulan..." Adam berbisik, seolah ingin menahanku, tetapi aku sudah memutuskan.

"Aduh, cepat sekali, Nak Bulan," ujar Tante Laras.

"Benar cepat sekali, jangan buru-buru, nanti kami merasa tidak enak seolah kedatangan kami membuat Nak Bulan pergi."

Aku menggeleng pelan. "Tidak, Tante. Saya memang harus pergi." Benar, aku harus pergi secepat mungkin sebelum senyum ini tak bisa lagi tertaut.

Adam kembali berusaha menahanku, "Bulan... sebentar saja?"

Tapi sebelum aku sempat menjawab, tangan ibunya sudah lebih dulu meraih lengannya.

"Adam, sini geser sedikit. Hawa, duduklah di sebelah Adam. Apa kabar, Nak Hawa?"

Itu adalah batasanku. Aku tak ingin mendengar lebih banyak. Aku berbalik, melangkah menjauh tanpa menoleh lagi. Hanya suara Adam yang memanggil namaku, yang semakin samar di antara langkah-langkahku yang gemetar.

Sejak awal aku tahu, aku hanyalah Bulan, yang tak akan pernah mampu bersanding dengan langit birunya. Sebab realitanya, aku hanyalah cahaya redup yang hadir di gelap, sementara ia selalu menginginkan fajar yang bersinar terang. Aku telah menolak, tetapi Adam tetap berusaha merengkuh sesuatu yang tak mungkin ia genggam.


"Bulan!"

Aku tak sanggup menoleh, namun langkahku tertahan oleh suara yang begitu kukenal. Sosok itu berlari, meraih lenganku dengan gemetar dan membalikkanku.

"Maafkan aku..." ucapnya, tatapan matanya begitu pilu, seakan menanggung langit yang runtuh.

Aku menarik napas panjang, menekan gumpalan luka yang hampir tumpah. "Sudah cukup, Adam. Kembalilah."

"Tidak," suaranya bergetar. "Jika kau menyuruhku kembali, maka kau juga harus ikut kembali denganku."

Mataku panas, kelopak yang sejak tadi menahan derasnya sungai kesedihan mulai bergetar. Namun, aku tetap berdiri tegak, menatapnya dengan sisa keberanian yang kupunya. "Tidak, Adam."

"Kumohon, Bulan... Aku akan berbicara lagi dengan Ibu. Jika perlu, aku akan pulang sekarang juga, aku akan menegaskan kepada semua keluargaku!" suaranya nyaris putus asa.

Aku menggeleng, menatapnya dengan luka yang tak dapat kusembunyikan lagi. "Hentikan, Adam... Menurutmu, setelah kau berbicara dengan keluargamu, apa yang akan berubah? Kau tak melihat tadi? Bagaimana ibumu seolah menolakku dengan tatapan yang tak pernah bisa ia sembunyikan? Aku yakin, Adam, ibumu sudah tahu."

"Aku belum memberitahunya, Bulan!" sergahnya, hampir seperti sebuah keyakinan yang ingin ia paksakan.

Aku tersenyum getir. "Kau yakin? Atau kau hanya ingin percaya bahwa ia masih belum mengetahuinya? Apa kau yakin kakakmu belum membisikkan semuanya lebih dulu? Kau yakin ibumu akan menerimaku setelah tahu kenyataan yang sesungguhnya? Bahkan kakakmu, yang sudah tahu, terang-terangan menolakku di hadapanmu."

"Hentikan, Bulan..." suaranya memohon, nyaris berbisik.

"Tidak, Adam! Kaulah yang seharusnya berhenti! Kita sama-sama tahu, seorang gadis yang tak sempurna sepertiku tak akan pernah bisa bersanding denganmu."

"Kita belum mencobanya..." katanya, mencoba berpegang pada serpihan harapan yang ia genggam erat.

Aku tertawa lirih, begitu getir hingga nyaris menyayat jiwaku sendiri. "Adam, sadarlah... Kita sudah mencobanya. Hanya saja, kau belum ingin melihat kenyataan."

Ia terdiam, tapi tatapan matanya masih dipenuhi harapan yang enggan padam.

Aku menarik napas dalam, menyusun keberanian terakhir yang tersisa. "Apa kau pikir, jika aku diterima, aku bisa menanggung beban ekspektasi keluargamu? Aku bahkan... tak bisa mengandung seorang anak. Lantas bagaimana aku bisa melahirkan penerus keluargamu?"

Dan di sanalah segalanya runtuh. Kata-kata itu, kenyataan yang tak bisa kuhindari. Terkutuklah menopause dini! Dari sekian banyak kekurangan yang bisa menimpaku, mengapa harus ini? Mengapa ketidaksempurnaanku justru terletak pada kodratku sebagai seorang perempuan?

Adam terdiam, seolah angin telah merenggut suaranya. Namun aku tahu, dalam dadanya masih ada ribuan kata yang ingin ia sampaikan.

"Bulan... aku sudah bilang, kita bisa hidup berdua. Aku tak peduli...," katanya, suaranya melemah di ujung kalimat.

Aku tersenyum lagi, kali ini dengan air mata yang hampir tumpah. "Mungkin kita bisa, Adam. Tapi mereka tidak. Mereka tak akan pernah bisa menerima perempuan sepertiku. Kau adalah penerus keluargamu, begitu pula anakmu kelak. Aku... aku hanya Bulan yang kau coba gapai, tapi takdir kita bukan untuk bersanding. Maafkan aku."

Aku berbalik, melangkah pergi. Adam mencoba menahanku lagi, tapi aku melepaskan genggamannya. Aku tahu, jika aku bertahan lebih lama, jika aku menatapnya sekali lagi, luka ini akan semakin dalam. Maka aku memilih untuk pergi. Aku memilih menuntaskan perpisahan ini sebelum harapan kembali berani mengetuk pintu hatinya.

Dan di bawah langit yang menjadi saksi, air mata yang kutahan pun akhirnya jatuh.

—0—

“Mau apa kau kemari?” tanyaku, saat pintu terbuka, menyingkap sosok yang tak kuduga kedatangannya.

“Kau menghapus nomorku. Lantas, bagaimana bisa aku berbicara denganmu?”

“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.”

“Kau yakin?”

Aku tak menjawab. Hanya mencoba menutup pintu, menyingkirkan kehadirannya dari pandanganku. Namun, ia menahan dengan kakinya, menolak kepergian yang seharusnya sudah menjadi akhir.

“Tunggu, ada satu hal yang ingin kusampaikan.”

“Apa lagi?” tanyaku, menatapnya tajam.

“Setidaknya, biarkan aku masuk.” Langkahnya maju, seolah ingin menembus batas yang telah kutetapkan.

Aku segera berdiri menghalanginya. “Sejak kapan kau boleh melewati pintu ini?”

Ia terdiam, lalu berbisik, “Maafkan aku.”

Aku tersenyum tipis, getir. “Kau tak salah. Jadi, untuk apa meminta maaf?”

“Lalu kenapa kau tak mau mendengarkanku?”

Aku menarik napas panjang. “Aku akan mendengarkanmu. Di sini. Bukan di dalam.” Benar. Ia tak lagi berhak melewati ambang pintu ini—tak lagi berhak memasuki dunia yang telah kutinggalkan untuknya.

Adam terdiam di ambang pintu. Tatapannya masih sama—penuh permohonan, seakan berharap aku akan menyerah, seakan aku masih bisa berubah pikiran.

“Bulan…” suaranya lirih, hampir tenggelam dalam keheningan di antara kami. Ia menarik napas panjang sebelum mengulurkan sebuah amplop putih. “Aku harap kau menerimanya.”

Aku memandangnya tanpa ekspresi. Tanganku enggan bergerak. Aku tahu apa isi amplop itu. Aku tahu ini adalah akhir yang sebenarnya.

“Undangan?” tanyaku, meski tak perlu jawaban.

Ia mengangguk, perlahan.

Aku menerimanya, tapi tak segera membukanya. Aku hanya menatap benda itu, terasa begitu berat dalam genggaman. Jemariku bergetar.

“Jadi, akhirnya…” suaraku tercekat. Aku menelan kepedihan yang membakar tenggorokanku. “Hawa, ya?”

Adam tidak langsung menjawab. Ada kebisuan yang menggantung di antara kami, sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. “Ya.”

Aku tersenyum. Bukan karena bahagia, tetapi karena aku harus. Aku harus terlihat kuat.

“Selamat.”

Namun, Adam tidak membalas dengan terima kasih. Ia justru menatapku dengan tatapan yang sama seperti hari itu—hari ketika aku pergi meninggalkannya, hari ketika aku memilih untuk mundur sebelum luka ini semakin dalam.

“Bulan… ini bukan keputusan sepihak.” Ia menarik napas dalam. “Jika kau mengatakan satu kata saja… satu kata yang membuatku tetap tinggal, maka aku akan membatalkan semuanya. Aku akan memilihmu. Meninggalkan keluargaku, begitu pula posisi yang selalu menekanmu.”

Dadaku seketika sesak. Aku menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang sudah berada di ujung mata. Kenapa? Kenapa ia masih memberiku harapan ketika semuanya sudah hampir usai?

“Itu tidak adil, Adam.”

Ia menggeleng. “Cinta tidak pernah adil.”

Tanganku mengepal di sisi tubuhku. Hati dan pikiranku bertarung, saling tarik-menarik antara keinginan dan kenyataan. Aku bisa saja mengatakannya. Aku bisa saja memanggil namanya, menghentikan semuanya. Aku tahu ia akan menepati janjinya.

Tapi aku juga tahu… aku tak bisa. Aku tak bisa merebut keluarga yang sudah bertahun lebih lama dari ia mengenalku.

Aku menarik napas, berusaha meredam air mata yang mulai jatuh tanpa bisa kutahan. Aku tersenyum, meski perihnya lebih tajam dari pisau.

“Pilih dia, Adam.”

Mata Adam membelalak, seolah tak percaya dengan jawabanku. Aku bisa melihat hatinya hancur—sama seperti hatiku yang kini berkeping-keping.

“Aku mohon… jangan lakukan ini, Bulan…” suaranya bergetar, hampir putus asa.

Aku menggeleng, satu-satunya cara agar aku tidak goyah. “Kau tahu jawabannya sejak awal.”

Air mata yang tadinya kutahan akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Aku menunduk, menggigit bibir untuk meredam suara isakan yang hendak pecah.

Adam masih berdiri di sana. Namun, perlahan, aku melihat harapannya memudar. Aku melihat bagaimana cahaya yang selama ini menyinari matanya mulai meredup, tergantikan oleh kegelapan yang sama seperti yang kurasakan.

Aku melangkah mundur. “Pergilah, Adam.”

Adam masih menatapku, seakan berharap aku berubah pikiran di detik terakhir. Namun aku tidak melakukannya.

Ia menarik napas dalam, lalu akhirnya menundukkan kepala. “Aku mencintaimu, Bulan.”

Seketika, tangisku pecah. Aku menutup mulut, menahan suara yang hampir melarikan diri dari tenggorokanku. Aku ingin mengatakan bahwa aku juga mencintainya. Aku ingin berlari ke pelukannya, ingin menjerit bahwa ini bukan keinginanku.

Tapi yang kulakukan hanyalah berdiri di sana, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.

Adam akhirnya berbalik.

Aku melihat punggungnya yang perlahan menjauh, membawa serta seluruh impian yang pernah kami bangun bersama.

Ketika pintu tertutup, aku jatuh berlutut, menggenggam undangan pernikahan itu erat-erat, seakan itu satu-satunya bukti bahwa aku pernah menjadi bagian dari hidupnya.

Dan di malam yang sepi ini, aku menangis seorang diri, meratapi cinta yang harus aku relakan… demi seseorang yang lebih pantas berdampingan dengannya.

—Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Rembulan dan Mentari
Glory
Novel
Gold
Lady Susan
Mizan Publishing
Skrip Film
The Tale of Piano: Neige de Printemps
Nice McQueen
Skrip Film
Semoga Sampai
Rainzanov
Cerpen
Bronze
BAWANG MERAH BAWANG PUTIH 2 - THE TRUE HEART
Alvin Suhadi
Novel
Sepi dan Emosi
Senna Simbolon
Novel
Bronze
Lingkaran SMA
junedd juna
Novel
Diary Alyssandria
dilahamid
Novel
Gold
Menikahlah Denganku
Bentang Pustaka
Skrip Film
Nge-Band! 103
Yorandy Milan Soraga
Flash
Bronze
Tak Sampai
Yuliani
Cerpen
Akhirnya Terjawab Sudah
Yovinus
Cerpen
Sehabis Hujan
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Tugas Amin dan Aroma Wangi Bu Bos
Habel Rajavani
Novel
Bronze
Janji Allah~Novel~
Herman Sim
Rekomendasi
Cerpen
Rembulan dan Mentari
Glory
Cerpen
Fragmen Dialisa
Glory