Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Rembulan Berlesung Pipit
4
Suka
232
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Seharusnya, perasaanku malam ini melambung dan bersinar bersama cahaya bulan yang lembut di balik tirai sana. Namun, kenangan-kenangan itu seolah menggelayuti tiap sudut kamar, mengawasi seorang pengkhianat yang tengah bermesraan dalam rangkulan malam. Sehingga, lubang dalam hatiku pun kembali menganga.

Seorang perempuan yang sejak pagi telah resmi menjadi istriku, kini tergolek lemas dalam selimut yang membaluti hingga buah dadanya. Beberapa saat lalu, tubuh kami yang tak tersaputi sehelai kain tipis pun silih merampas satu sama lain. Sekarang, tinggal aku sendiri termangu dalam perasaan bersalah, mereguk semua kelengangan tengah malam. Akal sehatku seperti tercerabut dan berputar-putar dalam kubangan masa lalu. Semua ini hanya karena sebuah obsesi pada seorang wanita di masa lampau. Sosok yang tak mungkin lekang dalam ingatan hingga sering membuat kerinduan ini menggila.

Kupandangi wajah istriku yang sedang tertidur itu. Jika ada senyum yang mengambang di sana, satu lesung pipit terbit di pipi kanannya. Walau tak pernah diucapkan, tapi aku selalu berharap bisa memindahkan lesung pipit tersebut ke bagian satunya lagi. Sehingga ketika bibirnya merekah, lesung pipitnya itu akan muncul di sebelah kiri—seperti yang dimiliki oleh wanita dari masa laluku itu.

"Kamu belum tidur?" tanyanya ketika membuka mata. "Ada apa? Kamu tampak kebingungan."

"Tidak ada. A-ku hanya ingin membasuh badan. Tak bisa tidur kalau lengket begini."

Sebuah rasa sakit mulai mengoreki dada. Akan seperti apa jadinya kalau istriku tahu bahwa suaminya ini tak akan pernah bisa menyambut cintanya. Hati ini tetap setia mengukir cerita-cerita lalu. Perbuatan dosa macam apa yang tengah kulakukan. Saluran-saluran air dalam mataku pun bocor bersamaan semprotan air yang menggempur tubuh.

"Tuhan, aku belum sembuh. Aku masih menginginkan dia kembali."

Memori-memori lama pun semakin buas menggerayangi dan berputar dengan jelas.

***

Wanita yang menimbulkan obsesi besar itu bernama Aran. Ia punya lesung pipit di pipi kirinya yang akan terlihat kalau dirinya tersenyum. Jangan coba-coba mengusiknya kalau tak ingin kena bogem mentah. Walau perawakannya hanyalah jangat yang membaluti tulang, tapi nyalinya setebal pahlawan-pahlawan dalam film barat. Ia memiliki julukan "berandal cantik". Namun, bagiku Aran adalah sesuatu yang sangat berharga di dunia.

Satu tendangan terakhir telak menghajar pinggul teman kampusku hingga gadis itu terjungkal. Aran menatap kenyang ketiga mangsanya yang mengaduh kesakitan. Sekonyong-konyong ia merampok lenganku menjauhi ketiga gadis yang sebelumnya telah mencoret-coret wajahku secara kurang ajar itu. Hal memalukan seperti ini memang sering terjadi. Perundungan selalu menyerang kaum lemah. Sebagai seorang lelaki, kuakui diri ini memang letoi. Kefeminiman seorang Ibu seharusnya tak diturunkan pada anak lelakinya.

Sambil membantu membersihkan noda-noda lipstik murahan di wajahku—yang lebih mirip mengampelas—Aran bersungut-sungut seperti seorang ibu yang cerewet. Tak sepetik pun kata terlepas dari mulutku. Di hadapan wanita perkasa ini, hilang sudah muka serta harga diriku.

"Lemah! Sekali-kali pakailah ototmu buat menghajar. Tendang sekalian bokong semok mereka." Aran masih mengampelas pipiku dengan gaya ibu-ibu memandikan anaknya yang kecemplung got. "Jangan diam saja! Paham, kan, ucapanku?!"

Aku bagai bocah ingusan yang ketakutan dan hanya bisa mengangguk.

Selanjutnya, kami menjadi sepasang karib yang silih melengkapi. Semenjak kehadiran Aran, perundungan pun selesai. Wanita itu seolah merangsang nyaliku untuk menjotos keparat-keparat sialan yang kerap datang menindas. Mau pria atau para gadis sekalipun, tak segan lagi kuhajar. Aran pula yang mengubah sifat cupu dalam diri ini menjadi sedikit lebih jantan. Kegemaranku pada serial Winxs Club biarlah menjadi masa lalu memalukan. Menurut Aran, lelaki sejati itu lebih baik menonton sepak bola atau berita. Lelaki sejati juga harus suka menjelajah, cetus Aran suatu sore ketika dirinya menangkap basah diriku sedang minum susu stroberi yang menurutnya haram diminum kaum lelaki. Maka, usulannya itu langsung kusetujui. Kami pun merencanakan petualangan tiap hadir waktu senggang. Kadang mendaki gunung atau tak jarang mengunjungi air terjun.

Sering sekali pertanyaan mengenai alasan Aran mau berteman denganku itu mengerubuti tempurung kepala. Hingga pada satu siang yang membahana di sebuah air terjun, Aran mengatakannya sendiri tanpa kutanya. Ia bilang tak menyukai perempuan-perempuan yang berada di kampus. Menurut pikirnya, perempuan-perempuan itu hanya bisa mencari-cari kejelekan orang lain tanpa berkaca terlebih dahulu. "Itulah mengapa aku lebih memilih berteman denganmu. Lagipula, bagiku kamu itu seperti seekor anjing," akunya sambil cengar-cengir.

"Aku? Seekor anjing?"

Aran mengangguk. Menurutnya aku adalah sosok teman yang setia serta penurut. Buktinya, setiap usulan yang melesat dari mulutnya, tanpa berselang lama selalu kupatuhi.

"Hus, hus, jangan marah anak anjing." Tangannya mengacak-acak puncak kepalaku diikuti ledakan tawa.

"Kalau aku anak anjing lantas kamu apa? Macan?"

"Bukan, dong. Aku ini majikanmu," jawabnya masih berkelakar. "Ayo anak anjing, belikan majikanmu ini sebatang rokok. Kamu sudah janji bakal mentraktirku."

"Tapi majikan terhormat, rokok itu tidaklah sehat. Bagaimana kalau permen saja? Guk, guk, guk," sahutku menirukan suara anjing.

"Aihhh, sudahlah, rokok tak akan membunuhku. Jangan membantah sama majikan." Aran menarik lenganku sehingga tak ada pembantahan lagi. "Anak anjing baik," tukasnya memberi tepukkan lembut pada tengkukku.

Perlakuannya yang menggemaskan seperti itu membuat kuncup-kuncup dalam hatiku menjadi bermekaran. Sehari saja batang hidungnya tak nampak, menjadikanku tak berdaya dilanda kerinduan. Lesung pipit di pipi kirinya itu adalah hal yang paling memesona. Aran juga setuju kalau daya tariknya itu berada di sebelah kiri wajahnya. "Jika Tuhan memberiku satu lesung pipit di pipi kananku pun akan kutolak dengan halus. Menurutku, tak ada yang benar-benar sama di dunia ini. Sepasang pipi, tangan, kaki, pantat, bahkan payudara pun tak ada yang sama persis. Pasti ada hal yang berbeda. Lagipula, pipi kananku terlihat bagus tanpa lesung pipit. Sudah ada tahi lalat di sini."

Terkadang, ingin diriku menceburkan diri ke dalam isi kepalanya. Ada saja hal-hal unik yang ia katakan setelah tersedot dalam dunia lamunan beserta asap rokok menthol kesukaannya itu. Pernah ia bertanya apa yang sering kukhayalkan sebelum tidur. Mendadak mulut ini tergegap karena suatu pikiran jorok melintas.

"Eh?"

Aran menanti jawaban dengan mengangkat keningnya. "Macam-macam lah. Kenapa kamu penasaran dengan hal seperti itu?"

"Aku hanya ingin tahu apa yang dilakukan hewan sebelum mata mereka terlelap. Lalu, apa mereka suka memimpikan manusia? Seperti apa bahasa kita dalam mimpi hewan?"

"Kamu ini gila. Mana aku tahu lah. Tanyakan saja pada hewan atau kepada rumput yang bergoyang."

"Justru itu aku bertanya padamu. Kamu, kan, anak anjing."

"Hei, sialan, kau."

Kutarik sebatang rokok dari mulutnya dan mulai melompat ke dalam hujan. Aran pun mengejarku sambil berteriak-teriak. Pada saat itu, di bawah guyuran air langit, semuanya terasa begitu manis dan menghangatkan hati. Aran berhasil membekukku walau berakhir dongkol karena rokoknya sudah basah.

"Kali ini jawab pertanyaanku lebih spesifik lagi." Dengan sengaja Aran menyemburkan asap rokoknya pada wajahku di suatu sore yang suram. Angin yang bertenaga membuat daun-daun pohon cendana di atas kami berjatuhan. Setiap kali wanita itu tersinggung ketika kuceramahi tentang bahayanya rokok, Aran akan menyemburkan asap ke wajahku, kadang membuatku terbatuk-batuk.

"Pertanyaan apa?"

Ia kembali bertanya perihal apa yang sering kubayangkan sebelum tidur. Maka ketika jawabanku sama saja, Aran kesal dan menyemburkan asap rokok lebih banyak lagi sampai kedua mataku berair.

"Bodoh! Aku tahu kamu berbohong," serunya kesal.

"Apa yang harus aku jawab? Berikan pertanyaan yang lebih baik lagi."

"Baiklah." Aran mematikan rokoknya yang membuatku senang, lantas ia memposisikan mata kami untuk saling bertaut. "Apa kamu sering membayangkanku sebelum tidur?"

Pertanyaan macam itu bagai mengandung aliran listrik. Seluruh tubuhku tegang seperti tersengat petir. Tak mengerti apa alasan wanita itu menanyakan hal yang sudah jelas kulakukan tiap malam. Sebagai jawaban, anggukkan kepala adalah hal yang mudah dilakukan.

Saat itu aku yakin sekali kalau Aran tersenyum karena lesung pipitnya menampakkan diri. Sebongkah harapan pun sekonyong tumbuh. Lama kami berpandangan hingga kemudian Aran berkata, "Kenapa kamu diam saja?"

Pada senja yang mulai temaram itu, bibirku merampas bibir merah muda Aran dengan lembut. Embusan angin yang dingin semakin membuat bulu-bulu di sekujur tubuhku menegang. Selama berbulan-bulan kami memadu kasih dengan bahagia. Hari demi hari seolah memiliki rasa yang bisa diecap. Namun, tak ada yang tahu kalau hari-hari yang kami lalui itu adalah hitungan maju menuju petaka.

Langit di awal bulan Februari begitu tersaput bersih, sepadan dengan kemeja biru yang dikenakan Aran. Dari dalam bus, ia menyunggingkan senyuman mesra. Lesung pipitnya makin dalam saja. Libur dua pekan yang didapat dari kampus dimanfaatkannya untuk mengunjungi kampung halaman.

Mata ini terpaku pada bus yang menelan banyak penumpang di dalam perutnya. Entah di mana tranportasi rakus itu akan memuntahkan penumpang berlesung pipit satu. Suatu hari nanti kamu akan naik bus bersamaku dan mengunjungi rumah orang tuaku, katanya begitu yakin sebelum masuk ke dalam perut bus. Hatiku mencelus melepasnya pergi. Dua minggu selanjutnya akan terasa menyesakkan. Wanita itu tak lagi melambaikan tangannya ketika bus sudah cukup jauh melaju. Tak ada yang mengalihkan perhatian ini bahkan ketika kendaraan yang ditumpangi Aran terguling setelah diseruduk sebuah tronton yang hilang kendali.

Pada hari itulah langit seakan ambruk menghantam dinding-dinding pertahanan. Saat-saat ketika kutemukan jasad Aran yang bergelimang darah serta organ dalamnya yang berserakan di atas aspal. Wajahnya hancur dan tampak mengerikan, hingga selalu membayangi hidupku sampai waktu yang tak terhingga.

Setelahnya hidup terasa begitu suram. Aku benar-benar nyaris hilang kewarasan. Keputusasaan menyerang habis-habisan hingga bisikkan untuk bunuh diri sering terjadi. Kemudian, seorang terapis pun datang untuk membantuku pulih.

Setahun berikutnya kudapati diri ini mulai bangkit dari keterpurukan. Kulanjutkan pendidikan hingga berakhir mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Lalu, pada usia yang mulai memasuki kepala tiga, kedua orang tuaku mengenalkan seorang perempuan untuk kunikahi. Dia adalah Hana. Perempuan yang memiliki lesung pipit di sebelah kanan. Tapi, dia sungguh berbeda dengan majikanku dan aku tak mau jadi anak anjingnya.

***

Entah berapa lama waktu yang kupakai untuk merontokkan bulir-bulir keringat ini. Bau tak sedap telah tergantikan aroma sabun. Ketika kubuka pintu kamar mandi, Hana berdiri sambil memasang wajah penuh tanya.

"Aku dengar kamu menangis di dalam. Ada apa?"

Tanpa memedulikan kekhawatirannya, aku mengambil sebatang rokok menthol dan mulai mengisapnya dalam. Semenjak kematian Aran, kuputuskan untuk merokok sebagai perantara untuk mengingat kenangan-kenangan indah bersamanya. Tenyata melamun itu memang enaknya sambil mengisap cerutu. Wanita itu selalu mengajarkan hal yang jantan bahkan hingga akhir hidupnya.

"Kau tidak menjawabku." Hana mulai cemas dan sedih karena tak dianggap.

"Mau merokok?"

Hana menggeleng tegas sambil terbatuk-batuk. "Aku tidak merokok!" Dari kemarahannya baru kuingat kalau wanita itu mengidap bronkitis akut.

"Hana, aku rasa diriku belum sembuh."

"Maksudmu?"

"Aku ingin kita bercerai. Aku tak bisa mencintaimu. Bahkan percintaan yang kita lakukan tak bisa kunikmati. Aku tak bisa jadi anak anjingmu begitu pula kau tak bisa jadi majikanku."

Kuserahkan diri ini pada pekatnya malam. Dari belakang, suara Hana terdengar memanggil-manggil. Bulan bersinar dengan lembut sampai aku berpikir untuk terbang saja ke sana. Kemudian, mata ini seakan melihat bulan tersenyum dengan lesung pipit di sebelah kirinya dan kabut-kabut di sekitarnya adalah semburan asap.

Bandung Barat, 21 Januari 2024

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Selamat! Kisah anda membuat saya nangis sekaligus kecewa. Kecewanya, itu lelaki sudah punya istri juga masih membandingkan dengan masa lalunya😭
@s2o6f0a8 : Terima kasih sudah membaca, Kak. Romantisnya ala-ala drakor, ya. 😆 Semangat juga buat Kakak
Baca cerpen ini serasa ngebayangin kisah cinta di drakor. Keren banget ceritanya, gaya bahasanya mantap 👍 terus berkarya kak
@darmalooooo : Terima kasih sudah membaca, Kak. Anyway, ini bukan kisah nyata. Saya lagi pengen nulis cerita yang sad ending, hehe. 🤧☺️
😭 Akak endingnya sedih! Majikanmu yang kau cintai pergi dan kasian sama Hana😭 apakah ini kisah nyata? Kalau ia, kejam sangat suami Hana dan anak anjing Aran itu😭
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Rembulan Berlesung Pipit
Sofiza
Cerpen
Cateutan Akika Jilid Dua, Yuk Mari
Dillon Gintings
Novel
Bronze
CHRISTABEL QUEENZA
Basmalahku
Novel
Bronze
Someone Like You
Maria Kristi Widhi Handayani
Flash
Penerimaan Rasa
Elysiaaan
Novel
Bronze
Tentang Cika
Diah Puspita Sari
Novel
Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?
Shinta Puspita Sari
Novel
Bronze
Stories of 4 An
nilnaulia
Novel
Bronze
Someday
Ratih Abeey
Novel
Bronze
Noir et Blanc
roomiegallery
Novel
Beda
Rolly Roudell
Flash
Kue Ulang Tahun Istriku
Deden Darmawan
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Novel
Bronze
Lost in Your Heart
Septa Putri
Novel
Bronze
ANGEL WITHOUT WING
Angie Wiyaniputri
Rekomendasi
Cerpen
Rembulan Berlesung Pipit
Sofiza
Cerpen
Perempuan dalam Rangkulan Hujan
Sofiza
Cerpen
Hari Esok Lagi Saja
Sofiza
Cerpen
Sesal
Sofiza
Cerpen
Eroh
Sofiza
Flash
Aku Pernah Hidup
Sofiza