Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku merapikan buku-buku yang tersusun di rak buku milikku, ada beberapa buku yang ku pinjam dari temanku dan seniorku untuk pengerjaaan skripsi beberapa waktu lalu. Skripsiku telah selesai, aku harus mengembalikan buku-buku yang telah kupinjam. Sambil memilah buku-buku tersebut, aku juga merapikan buku-buku milikku yang berantakan.
Sembari aku merapikan buku-buku milikku, aku menemukan sebuah buku yang berhasil mencuri perhatianku. Buku Tahunan Sekolah semasa aku di SMA. Aku mengambil buku tersebut dan meletakkannya di atas meja belajar, lalu aku melanjutkan merapikan buku-buku lainnya. Aku menyusun satu persatu buku milikku di rak buku dengan rapi, juga memasukkan buku-buku pinjaman ke dalam dua buah totebag.
Aku menghela napas, aku memandangi rak buku milikku yang telah rapi dengan buku-buku yang tersusun dengan baik. Aku beralih dari rak buku menuju meja belajar. Aku memandangi Buku Tahunan Sekolah yang tadi ku taruh di atas meja. Aku menarik kursi yang ada di depan meja belajar, lalu duduk sambil memegang buku tersebut. Aku membuka buku itu.
"Yearbook SMA Harapan Bangsa"
Judul buku yang pertama ku lihat dalam buku itu. Aku membuka tiap-tiap halamannya, memandangi foto-foto para guruku. Ah, tiba-tiba aku rindu dengan guru-guruku di masa SMA. Aku rindu pada wali kelasku yang sangat ramah dan supel kepada anak didiknya, aku juga teringat guru fisika yang terkenal sering memberikan tugas yang susah, aku teringat guru biologi yang tegas namun tekun dalam menjelaskan materi ke anak didiknya, dan...masih banyak kenangan semasa aku di bangku SMA.
Aku membuka halaman berikutnya satu persatu, lalu berhenti di bab kelasku. XII IPA 3. Aku memandangi foto-fotoku bersama teman-teman sekelasku 5 tahun yang lalu. Ada satu foto yang berisikan aku dan teman-teman dekatku, yaitu Ratih, Tasya, dan Erica. Mataku beralih ke sebuah foto lainnya, menatap seorang laki-laki yang berada di dalam foto tersebut. Aku terdiam beberapa saat, sekumpulan kenangan terlintas dalam pikiranku. Perasaan yang dahulu aku rasakan juga terlintas di dalam hatiku.
-
4 tahun yang lalu...
Aku memiliki teman dekat seorang laki-laki, dia bernama Fazri. Dia lebih akrab disapa dengan nama Aji. Sejak kelas 11, aku berteman dekat dengannya, selain berteman dengan ketiga teman dekatku. Saat di kelas 12, lama kelamaan aku menaruh rasa suka padanya. Yah, pertemanan antara perempuan dan laki-laki tidak jarang menimbulkan rasa suka di salah satu pihak. Bahkan bisa saja kedua pihak merasakan perasaan tersebut. Namun, aku berusaha menutupinya karena aku khawatir pertemanan aku dengannya akan hancur disebabkan satu kalimat pengakuan cinta.
Kelanjutan hubunganku dengan Aji ditentukan pada hari ini, tepatnya hari terakhir kami duduk di kelas 12. Hari terakhir bersekolah tidak ada satupun mata pelajaran, kegiatannya hanya mengembalikan semua buku yang dipinjam oleh para siswa dari perpustakaan. Sebagian besar teman kelasku sudah pulang duluan, tersisa aku, Ratih, Tasya, Erica, Fazri, dan Azhar yang masih berada di dalam kelas. Selain Fazri berteman dekat denganku, Azhar juga berteman baik denganku dan ketiga temanku. Kami sering berkelompok dalam kelompok belajar.
"Cepet banget ya, besok kita udah gak ke sini lagi..." Erica membuka obrolan kepadaku, Tasya, dan Ratih.
"Iya ya..sorry ya kalo selama di SMA gua banyak salah sama kalian." Tasya menanggapi ucapan Erica.
"Iya, gua juga minta maaf ya..."
"Me too,"
"Dih kenapa kali, pada sedih gini?!" Azhar yang kebetulan melewati meja kami, terlihat heran.
"Tau dih, alay! Kan abis lulus juga masih bisa ketemuan!" Fazri melanjutkan ucapan Azhar sambil meledek.
"Ah lu! Ngerusak suasana aja!" Tasya memukul lengan Azhar dan Fazri, lalu diikuti suara tawa dari kami berenam.
"Oh iya, gua mau pamerin kartu ah," Azhar menarik sebuah kursi ke arah kami dan mengeluarkan setumpuk kartu dari tasnya.
"Kartu apaan tuh? Bukan judi kan?" Ratih menatap sinis sambil bercanda.
"Kagak lah, sembarangan lu kalo ngomong! Ini kartu Truth or Dare gitu, kado ulang tahun dari sepupu gua. Uji coba lah main sama kalian,"
"Dih jadi kelinci percobaan, gamau ah!" Fazri menjawab penjelasan Azhar dengan nada bercanda.
"Yaudah sono pulang duluan!" Azhar mengusir Fazri.
Fazri pun tertawa dan ikut menarik kursi, mereka berenam duduk mengitari sebuah meja. Azhar menaruh kartunya di atas meja. Dia juga mengambil pulpen dari dalam tasnya dan memutari pulpen tersebut di tengah meja. Pulpen itu berputar, lalu berhenti dengan ujung pulpen menunjuk ke arahku.
"Andini!" Azhar meraih setumpuk kartu miliknya. Diambilnya setumpuk kartu berjumlah 15 dengan dua jenis kartu bertuliskan 'truth' dan 'dare', lalu ditaruhnya di atas meja.
"Tutup mata dulu, Din. Nanti gua acak kartunya, abis itu lu ambil,"
Aku menutup mata, sembari Azhar mengacak posisi kartu tersebut. Azhar memberiku kode untuk memilih kartu tersebut, aku pun menyentuh salah satu kartu.
"TRUTH!"
"Bacain pertanyaannya coba,"
"Apakah kamu sekarang sedang menyukai seseorang? Jika iya, apakah kamu berniat untuk menyatakannya?" Aku membaca pertanyaan dalam kartu tersebut. "Dih males, kok pertanyaannya ini sih?"
"Jawab aja, lah!"
Aku menatap kelima temanku dengan senyum miring, "Suka gak yaa? Hahahah. Iya, gua lagi suka sama seseorang. Soal confess atau nggaknya...gua bingung sih. Semisal confess juga, gua ga dibolehin pacaran. Egois dong kalo gua confess tapi gabisa pacaran sama dia? Lagian, belum tentu juga dia suka balik sama gua,"
"Hmm...iya sih ada benarnya juga. Kalo soal ini, gua juga ga bisa ngasih saran," Ujar Ratih sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan.
"Lah, kenapa dilarang? Udah gede juga!" Azhar menimpali jawabanku.
"Dilarang sama tuhan, Zar!"
"Yeee, lupa ni orang. Ini Andini, taat sama agama. Emangnya lu?!"
"Ngucap, Zar!"
"Astaghfirullah, maafin Azhar..."
Kami pun tertawa, kami terbiasa bercanda satu sama lain dan untungnya kami tidak membawa bercandaan itu ke dalam hati.
"Udah ah, lanjut!" Azhar memutarkan pulpennya kembali. Pulpen itu berputar dan berhenti mengarah ke Fazri.
"Aji! Tutup mata, Ji. Buruan!"
Fazri menutup mata sembari Azhar mengacak kartunya di atas meja. Setelah diacak, Fazri mengambil salah satu kartu. Truth.
"Lah sama pertanyaannya kayak tadi! Curang lu, Zar!"
"Lah kok gua? Kan lu yang milih!"
"Udah jawab aja!"
"Hm...gua lagi suka sama seseorang. Tadinya sih gua mau confess, tapi kayaknya gua gak bisa. Soalnya orang yang gua sukai gak bisa pacaran, dia patuh sama ajaran agamanya." Fazri menjawab dengan dingin.
Kami terdiam, tidak ada yang berani menjawab.
"Gua ada urusan, cabut duluan, ya!" Fazri berdiri dari duduknya dan keluar dari kelas meninggalkan kami berlima.
"Ngg...Gua juga duluan, ya. Hati-hati pulangnya. Oh iya, sepekan lagi pengumuman SBMPTN. Semoga kita semua masuk PTN, ya! Good luck!" Azhar membawa tasnya dan melambaikan tangannya sambil berjalan keluar kelas.
Dua pekan kemudian, aku diselimuti oleh kesedihan. Aku tidak diterima PTN jalur SBMPTN dan Mandiri. Seperti biasa, aku mencurahkan kesedihanku dengan bercerita kepada Fazri melalui chat. Namun, tidak seperti biasa. Fazri lama sekali membalas chat dariku padahal dia sedang online. Harus menunggu berpuluh menit untuk dibalas. Aku berpikir bahwa sikapnya ini karena kejadian dua pekan lalu, tetapi aku tidak yakin. Namun, dia mulai bersikap cuek setelah hari itu, yang biasanya dia sangat ramah dan perhatian kepadaku.
Perasaanku semakin gundah, aku takut jika Fazri sewaktu-waktu meninggalkanku. Aku juga belum menyatakan perasaanku padanya. Aku takut semuanya menjadi terlambat. Dari perasaanku dan pikiranku yang gundah, aku mengambil langkah yang tergesa-gesa. Aku berniat untuk confess perasaanku kepadanya.
Ji, gua mau bilang sesuatu
I have a crush on you...
Send!
Perasaanku tidak karuan. Aku berusaha tenang dengan cara membuka aplikasi Instagram. Aku melihat story milik Fazri. Bagaikan kertas yang digunting secara kasar, perasaanku menjadi sangat hancur. Di story tersebut, Fazri berfoto bersama seorang perempuan dengan caption lambang hati berwarna merah. Aku cepat-cepat unsend chat yang telah ku kirim dan mengganti dengan kalimat yang lain. Kali ini, chat dariku dibalas dengan selang 3 menit.
Widih punya pacar, nih! Congrats, ya...
Thank you.
Oh iya, gua mau bilang sesuatu. Karena gua udah punya pacar, kita gak bisa saling bertukar cerita. Kita udah gak bisa jadi teman dekat...
It's okay
Kalo suatu hari lu perlu gua untuk teman curhat, dateng aja ya. Gua selalu welcome sama lu (:
Aku menaruh handphone di atas meja belajar, lalu aku menutupi wajahku dengan selimut. Dari balik selimut, terdengar suara tangisan dariku. Hari ini, hatiku terasa hancur.
Jalan terakhir, aku kuliah di PTS yang berada di kota tempat tinggalku. Sekitar pertengahan semester, aku bertemu dengan Azhar di salah satu cafe dekat dengan kampusku. Azhar bercerita bahwa Fazri suka denganku dan dia bercerita kepada Azhar. Namun, perasaan sukanya mulai pudar sejak kami bermain 'Truth or Dare' saat itu di kelas. Akhirnya, dia memacari anak dari teman ibunya yang sebelumnya telah dikenalkan oleh ibu mereka masing-masing. Azhar juga tidak sengaja melihat chat dariku saat aku confess perasaanku kepada Fazri, karena akun Fazri masih terhubung dengan laptop milik Azhar dan lupa di-log out.
"Gua pas liat chat dari lu itu ikut sakit hati gua, Din. Gua kebayang perasaan lu..." Azhar perlahan meneguk minumannya yang telah dipesan. "Gua gak ada maksud aneh buat cerita ini, gua cuma mau lu tau semuanya. Gua yakin dia pasti pacaran karena bales dendam, dia gak bisa pacaran sama lu. Jadi dia melampiaskan ke cewe yang lain. Tapi...dia temen baik gua, tapi gua tetep kesel sama keputusan dia... Dia udah jahat sama lu, Din. Argh...Lu harus bahagia dengan cara lu sendiri, lu udah gak anggep dia jadi temen lu juga gapapa..."
"Iya, Zar. Udah...jangan terbawa emosi. Gua paham, gua juga berusaha menghargai keputusannya. Gua harus rela,"
"Sorry ya, gua jadi banyak ngelantur. Intinya, lu jangan sedih terus, ya. Kalo butuh temen curhat, gua terbuka buat lu,"
"Iya, Azhar. Makasih, ya, lu udah cerita semuanya. Gua akan belajar merelakan..."
-
Aku menutup buku tahunan sekolah itu, lalu ku taruh di rak buku. Aku mematikan lampu kamarku dan tidur. Aku hampir lupa bahwa besok pagi aku harus bersiap untuk menghadiri sebuah acara. Pagi besok, Ratih, teman dekatku semasa SMA, akan wisuda.
Keesokan harinya, Aku bersama Tasya dan Erica menghadiri acara wisuda Ratih yang berada di gedung pertemuan. Gedung pertemuan tersebut berada di kota sebelah, butuh perjalanan 1 jam menggunakan mobil untuk sampai di lokasi. Acara wisuda selesai pada pukul 11.00, seluruh wisudawan serta wisudawati mulai keluar dari ruangan utama dan menemui tamunya masing-masing. Aku, Tasya, dan Erica juga menghampiri Ratih yang baru keluar dari ruangan. Kami juga membawa hadiah untuk Ratih.
"Ratiiihh, congrats ya!"
"Alhamdulillah akhirnya jadi sarjana! Lancar yaa buat dapet kerjanya!"
"Semoga ilmunya bermanfaat di kehidupan, Ratiiihh!"
"Guys!! Aamiin...Semoga kalian cepat nyusul wisuda, yaa. Semangat buat kita!" Ratih memeluk kami satu persatu seraya kami meng-aamiin-kan ucapan Ratih.
"Temen SMA Ratih, ya?" Tanya Bu Astika, ibunya Ratih.
"Iya, bu. Udah lama banget ya, bu, gak ketemu. Apa kabar, ibu?" Kami satu persatu menyalami tangan Bu Astika.
"Alhamdulillah sehat. Makin cantik aja yaa, kalian," Bu Astika tersenyum. "Ibu doain, semoga kehidupan kalian selalu dipermudah oleh Allah..."
"Aamiin, bu..."
"Foto bareng dulu, yuk!"
"Yuk! Bu, bapak dimana?"
"Tadi ke toilet dulu sebentar. Udah kalian berempat aja yang foto, sini ibu fotoin,"
Kami berempat berfoto bersama. Setelah itu kami berbincang sebentar sebelum pulang, karena di dalam gedung ini sangat ramai sehingga tidak memungkinkan untuk berlama-lama. Disaat kami sedang berbincang, sekilas aku melihat Fazri yang juga berada di dalam gedung ini. Aku sedikit tersentak, tetapi perlahan aku abaikan.
Tidak mungkin dia berada disini, ini pasti karena ingatanku semalam. Pikirku.
Tepat pukul 12.00, aku, Tasya, dan Erica pamit untuk pulang lebih dulu. Kami satu persatu menyalimi tangan Bu Astika dan Pak Hendra, bapaknya Ratih. Kami juga bersalaman dan memeluk Ratih. Setelah itu, kami berjalan menuju parkiran yang berada di basement. Saat kami melewati basement, aku melihat minimarket. Disaat itu juga, aku merasakan haus.
"Gua mampir ke minimarket dulu, mau nitip gak?" Tanyaku.
"Air mineral dingin,"
"Samain,"
"Oke,"
Aku bergegas menuju minimarket dan membuka pintu depannya. Aku berjalan ke barisan minuman lalu membuka pintu kulkas. Aku mengambil tiga botol air mineral dingin, lalu berjalan ke arah kasir. Aku berdiri di depan meja kasir yang terhalang oleh dua orang. Aku pun mengantre sambil memegang keranjang kecil berisi tiga botol air mineral dingin. Saat aku sedang berdiri menunggu giliran untuk membayar, sebuah kartu debit yang berasal dari belakangku terjatuh dan mendarat di samping kakiku. Aku menunduk untuk mengambil kartu debit itu, lalu memberikan kepada orang yang ada di belakangku tanpa melihat wajahnya.
"Thank you," Ucap seseorang itu.
"No problem," Aku tersentak mendengar suaranya dan mengangkat wajahku untuk melihat wajah seseorang yang berada di hadapanku. Aku terkejut. Fazri, seseorang yang pernah kusukai di masa lalu, berdiri tepat di hadapanku. Haruskah aku menyapanya lebih dahulu? Namun, aku kembali teringat rasa sakit hati yang kurasakan 4 tahun lalu. Akan tetapi, kalimat bisikkan dariku untukku yang telah ku tanam dalam hati selama 4 tahun terlintas di benakku.
"Hai," Aku menyapanya.
"Nggg...hai," Fazri terlihat gugup. "Apa kabar?"
"Alhamdulillah, lu sendiri?"
"Baik,"
Aku mengangguk lalu melangkah ke depan meja kasir untuk membayar belanjaanku, karena giliranku untuk membayar belanjaanku. Saat sedang membayar, Fazri bertanya kepadaku.
"Abis dari mana?" Fazri tetap terlihat gugup.
"Acara wisuda, Ratih wisuda hari ini," Jawabku sambil menoleh ke belakang.
"Oh, Ratih tadi wisuda? Gua gak tau, padahal tadi gua ada disana. Temen deket SMP gua juga wisuda,"
Aku mengangguk kembali sambil tersenyum tipis. Setelah selesai membayar, aku memasukkan uang kembalian ke dalam dompetku. Aku pun keluar dari minimarket tanpa berpamitan lagi dengan Fazri. Di luar minimarket, aku memasukkan dompetku ke dalam tas. Saat aku ingin menyeberang meninggalkan minimarket, Fazri keluar dari minimarket dengan terburu-buru. Fazri memanggil namaku dengan setengah berteriak.
"Din!"
Aku menoleh ke arahnya.
"I'm sorry..."
"For what?"
"Sikap gua saat 4 tahun yang lalu, gua udah jahat sama lu..."
"It's okay, no problem,"
"Okay, thanks..."
Aku tersenyum sambil menundukkan kepala sedikit, mengisyaratkan untuk pergi terlebih dahulu. Aku perlahan meninggalkan Fazri yang masih berdiri di depan minimarket. Aku berjalan menuju mobil milik Erica, tempat di mana teman-temanku menungguku.
Saat ini, udara yang kuhirup terasa lebih segar dari sebelumnya. Hatiku juga terasa lebih tenang. Bukan karena aku dapat berbincang kembali dengan Fazri, melainkan aku tenang karena bisa berdamai dengan masa laluku. Aku juga perlahan memaafkan diriku. Semua ini berkat kalimat bisikan dariku untukku yang telah ku tanam dalam hati selama 4 tahun.
"Relakan, ikhlaskan, lepaskan semua memori buruk masa lalu yang ada di ingatan. Mulailah lembar yang baru, lembar yang lebih baik dari sebelumnya. Berdamailah dengan masa lalu, maafkanlah atas diriku sendiri. Sekali lagi, relakan kenangan buruk itu."
Bisikkan dariku untukku, ternyata berhasil menyembuhkan hatiku.