Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siho akhirnya menyempurnakan penemuan gilanya, mesin waktu. Dia bisa mendapatkan tubuh remaja SMA dekade lalu, dengan pengetahuan saat ini. Tepat di permulaan semua hal, gagalnya pertandingan bisbol sekolah menembus nasional.
Siho ingin memperbaiki semua, mendapatkan medali emas di pertandingan bisbol sekaligus menghalau Han mendekati Kyoya seperti dulu lagi sehingga tak perlu menyaksikan peristiwa kecelakaan yang sama.
Pada kesempatan kedua, apakah Siho berhasil membawa tim menembus pertandingan nasional? Lalu, mungkinkah Han diam saja ketika posisinya di hadapan Bae Kyoya terancam?
"Ribuan akal serakah.
"Sanubari menggiring menuju rekaan.
"Demi kenangan di lapangan dan pohon sakura dekade lalu."
Siho dan Bae Kyoya—nama diambil dari kata 기억들 (gieogdeul) yang berarti kenangan, di Kota Daejeon.
Re-decade, cerpen keenam dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Mereka bilang sisi buruk dan baik selalu seimbang. Seorang ilmuwan yang disegani, menyembunyikan teori-teori dan penemuan gila. Di rumah yang terkesan biasa saja, ada ruang bawah tanah penuh rahasia.
Siho memastikan seluruh fungsi berjalan semestinya. Alas berbentuk lingkaran dari besi setinggi tiga puluh sentimeter, sekelilingnya terdapat beberapa pilar menyangga tombol-tombol di atas kotak.
Sesungguhnya Siho tak ingin menyempurnakannya. Namun, usai menyambangi Bae Kyoya dan Han Jisung di rumah sakit, dia merasa tak bisa berdiam diri lebih lama lagi.
Penemuan jenius tergila oleh seorang ilmuwan, Siho, perangkat keras yang bisa mengembalikannya ke sepuluh tahun lalu dengan pengetahuan dan ingatan saat ini.
Siho benar-benar akan menggunakannya sekarang.
Hatinya telah jatuh pada Bae Kyoya sejak bunga sakura di dekat lapangan bisbol sekolah bermekaran. Kelopak merah muda bisa berguguran, tetapi tidak dengan perasaan Siho. Kala itu dia membiarkan Kyoya bersama Han, atas keinginan gadis itu.
Siho pikir tak apa merelakannya, asal Kyoya bahagia. Namun, melihat Han berani mengendarai mobil bersama gadis itu secara kurang baik hingga kecelakaan, Siho tak akan membiarkannya.
Saat dimana semua bermula, Siho masih ingat persis. Waktu itu, tim bisbol SMA Jeonmin, sekolahnya, gagal melaju ke nasional. Rasa putus asa sudah sangat membuatnya jatuh, ditambah mengetahui Han dan Kyoya menyukai satu sama lain sehingga Siho memilih mundur.
Namun pada kesempatan kedua, Siho ingin membawa tim menuju nasional, sekaligus menarik Kyoya ke pelukannya. Tak peduli, meski mungkin dia akan bertengkar dengan Han.
Siho membuka mata perlahan. Suara bersahut-sahutan di sekitar terdengar tak asing. Dia mengangkat kepala dari meja. Semua orang mengenakan seragam sekolah, termasuk dirinya. Di papan tulis masih ada catatan materi jam pelajaran lalu serta tanggal hari ini.
“Tahun dua ribu …,” Siho melirihkan suara ketika membaca dua angka terakhir. Perlahan senyum mengembang lebar. “Tepat satu dekade sebelum aku membuat mesin waktu.”
Setelah berhasil mendapat tubuh remaja khas anak SMA kembali, Siho perlu melancarkan rencana.
Tim bisbol sekolah memiliki dua pelatih. Pertama, Pak Song, guru olahraga yang merangkap atlet bisbol. Kedua, Siho. Dia dipercaya menyusun strategi dalam permainan, baik ketika menyerang atau bertahan.
“Kubilang SMA Cheonan akan mencetak home run dua kali berturut-turut dan yang terakhir sekaligus grand slame. Setelah itu, kita kalah telak!”
“Bagaimana kau bisa menjamin itu, Siho?” Pak Song dan kebanyakan anggota tim juga meragukan.
Siho menghela napas. Tak mungkin dia mengatakan datang dari masa depan dan telah menyaksikan pertandingan, justru akan dianggap gila. “Baiklah, baiklah …. Kita gunakan strategi semula. Tapi, jika gerakan tim SMA Cheonan sesuai dengan apa yang kukatakan, kalian harus mengikuti strategi baru yang kubuat.”
Sebelum pertandingan berlangsung, Siho mengambil kesempatan untuk menenangkan pikiran dengan pergi ke Maninsan Natural Recreation Forest. Keindahan alam Kota Daejeon tak pernah gagal mengembalikan kesegaran tiap pengunjung.
Jembatan kayu berlapis semacam aluminium mengkilap di sepanjang pegangan tangan. Menyusurinya sama dengan menjelajah hutan semakin dalam. Beragam tumbuhan menjulang tinggi. Bebungaan turut menghias, salah satunya sakura.
“Jika masuk ke nasional, kami diwajibkan tinggal di asrama dekat stadion. Sayang sekali, aku tak bisa melihatmu untuk sementara waktu, Kyoya.”
Kalimat Han membuat Siho yang berjalan paling depan, melirik sesaat.
Kyoya tepat di belakang Siho, dia tertawa kecil.
Siho menyahut, “Aku masih bisa keluar asrama. Misalnya untuk membeli barang keperluan anggota tim atau … yah, aku dibolehkan pulang sebentar … sekaligus menemuimu, Kyoya.”
Kyoya meraih bunga sakura. Melepas tiap kelopak, lantas menaburnya ke atas. Bertebaran bak hujan. “Ketika pertandingan usai, kalian juga akan kembali. Itu bukan waktu yang lama, ‘kan?” Dia menengah sebelum keadaan memanas.
Maninsan Natural Recreation Forest juga menyediakan makanan kecil yang populer, hotteok, sejenis pancake berisi pasta kacang.
“Tunggu.” Han menahan Siho agar tak beranjak dari terlalu jauh dari kedai hotteok.
Semenatara Kyoya duduk di bangku agak jauh dari mereka. Menerima panggilan telepon dari sang ayah yang memintanya pulang dan hendak datang menjemput.
“Aku menyukai Kyoya, jadi jangan dekat-dekat dengannya.” Dia menurunkan tangan kanan Siho yang membawa kotak hotteok.
Dekade lalu Siho menurut. Terlebih, dia tahu Kyoya lebih condong ke Han daripada dirinya. Siho tak akan membuat kesalahan sama dan membiarkan Han mencelakai gadis itu lagi.
“Itu seharusnya kata-kataku.” Siho mengangkat tangan kanan yang membawa kotak hotteok kembali, seolah hendak memberikannya pada seseorang. “Berhenti berpikir bahwa aku akan menyerahkannya padamu begitu saja.”
“Siho!” Nada bicara Han meninggi.
Masa bodoh dengan tatapan sinis Han, Siho berlalu meninggalkannya. Kemudian menghampiri gadis di kursi panjang. “Kyoya!” Dia menyodorkan kotak hotteok. “Berikan pada ayahmu juga, beliau pasti akan suka.”
Han memandang mereka dari kejauhan. Gemuruh dalam dada membuatnya sesak. Bak duri tajam menusuk-nusuk. Dia mendengus, merasa terusik.
Pertandingan bisbol tingkat provinsi telah datang. Meski Daejeon sebagai kota metropolitan dan Sejong sebagai kota otonomi khusus berpisah dari Provinsi Chungcheong Selatan, pertandingan bisbol tetap menyatu dengan kota-kota lain di provinsi tersebut.
Daejeon beruntung menjadi tuan rumah. Hanwha Life Insurance Eagles Park atau disebut juga Daejeon Hanbat Baseball Stadium, salah satu yang terbesar di Korea, menjadi tempat melaksanakan pertandingan.
Hamparan hijau di tengah bangku penonton—berkapasitas tiga belas ribu—menggugah semangat. Jalur base dan posisi pelempar sama-sama berupa tanah, sekilas tampak keemasan memantul cahaya matahari, menambah kesan elegan.
Lampu-lampu besar menyorot dari segala sisi. Layar besar menunjukkan perolehan poin pada inning pertama. SMA Jeonmin melawan SMA Cheonan. Poin sementara 1-0, SMA Jeonmin memimpin.
Pak Song terus menyemangati para pemain agar mempertahankan kedudukan. Sayang, ketika inning kedua, permainan beralih dipimpin SMA Cheonan.
Sebelum memasuki inning ketiga, Siho mengingatkan, “Sejauh ini strategi lawan persis dengan detail yang kusampaikan minggu lalu, kalian menghafalnya, ‘kan? Jika selanjutnya masih sama, kalian harus berganti strategi baru. Mengerti?”
Siho menarik napas dalam. Memperhatikan permainan seksama. Seharusnya dia bisa sudah bisa menjamin kemenangan untuk tim, tetapi Siho khawatir bila rencana tak berjalan lancar.
Benar saja, Han terus berlari melewati second base, sedangkan pemain tim bertahan yang membawa bola berada di dekatnya. Padahal menurut strategi, Han seharusnya sudah berhenti.
“Han, hentikan! Itu berbahaya, kau tidak boleh out!” pekik Siho. Mereka sudah mendapat dua out. Jika ditambah satu lagi, maka akan terjadi pergantian inning dan keadaan bisa kacau.
Syukur, Han masih aman.
“Han.” Siho memanggilnya ketika jeda pergantian inning. Namun, lelaki itu tak menggubris. Rautnya berbalut emosi.
Pak Song memberi arahan sebentar pada tim. Setelahnya, Han menghampiri Siho. Tatapannya sinis. “Ini demi tim, bukan berarti aku mau menurut padamu!”
Inning keempat dimulai. SMA Jeonmin mencetak satu poin sehingga imbang dua sama. Siho terus mengawasi dan memberi saran. Ketika inning kelima, diam-diam tim mencoba menyusun trik untuk mendapat grand slam.
“Kurasa akan berhasil … grand slam.” Han menatap Siho lekat, aura profesional memancar.
Siho memandang lapangan, lantas berganti ke para pemain. “Lakukan!”
Pada permulaan inning keenam, Han menjadi pemukul pertama. Menghadap pemain populer SMA Cheonan, sang pitcher terhebat.
Han mengeratkan pegangan pada tongkat. Tiga pelari di tiap base sedetik pun enggan lekang dari dua tokoh utama lapangan.
“Play ball!”
Pitcher dengan cepat bersiap, lantas melempar bola. Tak diduga sebuah trik bola, seolah lurus, padahal mengarah ke bawah.
Han sekilas tampak tertipu, tetapi tidak. Konsentrasi tinggi membuat kecepatan luar biasa bola bisbol terlihat lambat. Han mengayun sambil menggeser posisi tongkat, memukul bola dengan kekuatan penuh dan arah presisi.
Bunyi khas terdengar, bola melambung melewati pagar di belakang halaman luar.
“Grand slam!” Teriakan Han menggema seisi lapangan.
Tim lawan tak bisa melakukan apa pun. Sementara pemain SMA Jeonmin dapat berlari mengelilingi lapangan tanpa menerima out. Empat poin diberikan, masing-masing untuk tiap pelari.
Senyum Siho merekah lebar. Sorak sorai untuk SMA Jeonmin menjadi-jadi. Grand slam sangat jarang terjadi dan tentu saja menarik ditonton.
“Jangan lengah!” Siho mengambil botol air, meneguk usai duduk di sebelah Pak Song. Menikmati permainan dengan lebih percaya diri.
Rencana Siho berjalan mulus, meski Han nyaris mengacau. Dekade lalu dia berdiam diri di kamar setelah mendapati kekalahan. Kali ini, Siho bisa melakukan tos dengan seluruh anggota tim.
Poin akhir 10-2. SMA Jeonmin memenangkan permainan dan berhak mengikuti pertandingan nasional yang akan diselenggarakan tiga bulan lagi.
Pak Song berkata beberapa siswa sedang menyusul untuk ikut merayakan kemenangan. Siho bertanya apakah Bae Kyoya ikut, Pak Song mengiyakan. Seketika tatapannya dan Han beradu tajam.
Para rekan bersorak gembira, tak sabar melihat teman-temannya datang. Berbeda dengan Han, dia memilih pergi.
Daejeon Hanbat Baseball Stadium berada di seberang jalan. Lapang luas beserta bangunan megah tempat para penonton duduk, terlihat jelas dari balkon asrama.
Paras manis Siho bercahaya oleh layar ponsel. Sesekali surainya berayun akibat terpaan angin, tak terlalu dingin meski malam telah datang. Dia memilih-milih daftar restoran. “Kyoya harus mencoba hidangan terbaik di Daejeon.”
Tiba-tiba sesuatu melintas di benak Siho. “Tunggu, Han!”
Siho bergegas menyusuri lorong sambil memeriksa sekeliling, tak kunjung menemukan seseorang yang dicari. Dia mengambil jalan memutar, menuju taman kecil di bagian belakang asrama.
Kali ini, Siho melambatkan langkah, lantas berhenti dan memandang seseorang dari kejauhan.
Han membawa sekuntum bunga. Dia merapikan beberapa kelopak warna-warni. Senyumnya terbentuk lebar. Sayang, tak bisa memancing raut yang sama pada Siho.
Siho menghampiri, lantas merebutnya. Dia memegang dua sisi erat-erat, kemudian memutar ke arah berlawanan. Membuat kertas berbalut plastik menjadi buruk rupa, tangkai-tangkai patah, dan seluruh kelopak tak karuan.
Masa bodoh dengan tatapan dan wajah penuh amarah Han, dengan berani Siho melempar sekuntum bunga rusak tersebut. Membiarkannya jatuh ke tanah begitu saja. Kemudian menginjak seolah tanpa dosa.
“Aku tahu kenapa kau bergegas pergi sesaat setelah Pak Song berkata bahwa teman-teman akan menyusul.”
“Siho!” Han memperingati.
Sama seperti dekade lalu. Han telah menyiapkan bunga untuk Kyoya, berniat mengucap perasaan, tetapi tiba-tiba mengurungkan niat setelah tim kalah. Mengetahui Kyoya terus memberi semangat, Han memutuskan untuk kembali mengejar Kyoya.
Namun, kali ini tim menang. Apa yang dilakukan Han pasti berbeda.
Siho tak mau melihat drama yang sama dua kali. “Jangan katakan apa pun pada Kyoya.”
Gemuruh dalam dada melunjak. Han spontan meraih kerah baju Siho kasar. “Dasar … apa yang kau lakukan?”
Siho menggenggam lengan Han yang berada padanya, lantas mencengkeram kuat. “Kau menghalangi jalanku!”
Amarah Han kain terpancing. Dia menyeret Siho semakin dekat. Jemari kanan menguat dan merenggang beberapa kali, menyiapkan pukulan.
Benar perkiraan Siho. Pertengkaran terjadi antaranya dengan Han. Dia mungkin tak akan baik-baik saja setelah berhadapan dengan lelaki temperamen buruk satu ini. Namun, itu jauh lebih baik daripada membiarkan hubungan Kyoya dan Han yang akan membawa menuju peristiwa buruk seperti dulu.
Han mengangkat tangan kanan yang mengepal. Tenaga dikumpulkan, lantas melayang menuju wajah pemuda di depannya.
Mendadak Han mengurungkan niat.
“Apa yang kalian berdua lakukan di sini? Aku mencari sejak tadi!” Pak Song datang. “Asal kalian tahu, bus yang dikendarai anak-anak kemari … mengalami kecelakaan!”
Siho bergegas melepas tangan Han darinya. Berlari kian mendekat pada Pak Song. “Sekarang mereka ada di rumah sakit mana? Aku akan langsung ke sana!”
Pak Song memegang dua lengan atas Siho. Tatapannya melembut. “Tak perlu datang ke rumah sakit. Siapkan pakaian hitam, kita pergi ke pemakaman saat ini juga.”
Bola mata Siho melebar. Seluruh tubuh mati rasa. Panah tajam menghujam dada. Perih luar biasa terlalu menyakitkan, sampai membuatnya tak sanggup berteriak sama sekali.
“Mustahil ….” Siho memegang kepala kuat-kuat. Napas berangsur berantakan. Dia ingin menangis kencang, melepas semua beban. Namun, air mata menolak keluar, seakan melarangnya merasa baikan.
SMA Jeonmin mengenang tragedi pilu di saat kabar gembira datang belum lama itu. Kecelakaan naas sebuah bus, memakan lima puluh korban jiwa. Seluruhnya merupakan siswa sekolah tersebut.
Keadaan sekolah berubah total. Sebagian meja siswa berubah menjadi tempat vas dan sebuah bunga bertengger.
Sementara itu, dalam pertandingan, Tim Bisbol SMA Jeonmin bisa saja mendapat posisi pertama. Namun, setelah Siho tiba-tiba mengundurkan diri dari posisi pelatih, performa pemain menurun.
Meski begitu, aura positif dari Pak Song masih bisa mendorong semangat tim. Setidaknya, mereka berhasil memperoleh juara dua. Sayang, tak ada perayaan khusus untuk medali perak tersebut. Seisi sekolah masih sulit bangkit dari ingatan kelam. Suasana duka menutup seluruh senyuman.
Tiap kali Siho melirik meja di ujung depan kelas, sanubari seakan tercabik-cabik. Walau begitu, dia tak henti memandangnya. Mengabaikan rintihan batin. “Aku terlalu serakah dan egois dengan berusaha mengotak-atik masa lalu. Aku menyesal, sungguh meminta maaf … Kyoya.”