Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Rawallangi, Si Gadis Angin
13
Suka
717
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Menjelang malam, kurapatkan kain yang menutup tubuhku dengan kerap, menyeberangi hampar pasir di tengah deru angin yang menyisir, lantas menderapkan langkahku lekas-lekas. Menurut dongeng leluhur sukuku, perempuan tak dilahirkan untuk berkelana membelah ombak, dan mengais tangkapan di pesisir. Ia ditakdirkan di pesisian, menunggu suami datang membawa jala dan ikan dalam kelongnya. Namun, aku bukan perempuan penunggu kebanyakan. Jemariku terlatih untuk menebar kail atau memanggul jangkar. Tubuhku tak terbuat dari emas dan perhiasan yang dijaga erat-erat, ragaku dibiarkan berkelana mengarungi alam raya dan membelah samudera.

***

Ia adalah Rawallangi, perempuan legam yang membelah ombak dengan kedua kakinya yang kokoh. Mengarungi pesisir Sulawesi bagian Tenggara dengan cengkeraman tangannya pada biduk kayu, dan berangkat melaut bersama kaum lelaki berbagai usia.

Tiga belas belas jam sehari, ia berangkat dengan perbekalan arah mata angin yang membawanya mengarungi hampar samudera biru, lantas menyisi menuju pulang ke pesisir pantai tempat kapalnya berlabuh, membawa puluhan ikan yang menggelepar liar hasil tangkapannya.

Rawallangi bukan perempuan pertama yang melabuhkan dirinya di sisi pantai malam ini. Sudah tiga perempuan yang mendarat dan berlabuh dengan kelong di punggungnya, tersenyum lebar hingga matahari tak lagi sembunyi, siap menukar hasil ikan di pasar Wameo menjelang fajar.

“Banyak nian, ikan yang ingkoo bawa, Langi?”

Rawallangi terkekeh, mengibas rambut panjangnya yang terjulai di punggung, tertutupi secarik kain mirip kerudung. Lengannya mengayun melindungi wajah dari terpaan angin malam. Tubuh bagian depannya hanya dilapisi kaus putih pinjaman.

“Tak ada ikan yang takut padaku, Akaa. Mereka bermain-main dengan jalaku, seperti sedang kucing-kucingan.”

“Mereka ikan, bukan kucing. Bagaimana ingkoo ini?” La Manambung dari pesisir timur –si pemilik perahu, cuma bisa geleng kepala. “Besok, sepertinya akan ada hujan besar. Apa menurutmu kita akan berangkat melaut?”

Rawallangi mengernyitkan dahinya. “Kau bertanya padaku, Akaa? Mana aku tahulah.”

La Manambung mendengkus, ia menggulung jalanya yang besar, melebihi besar perahunya. “Ingkoo ini anak angin, Rawallangi. Semua orang tahu itu.”

Gadis berkulit legam itu mengepalkan jemarinya. Kedua tinju menggantung di sisi tubuhnya. Amarah yang membuncah ditahannya agar tak tumpah ruah. Tak ada lagi celoteh tentang bagaimana ia terlahir, dan entah kenapa ia dibuang. Semua seperti menguap di udara, sampai La Manambung membahasnya lagi barusan.

Ingkoo marah, Langi?”

Rawallangi menggeleng. “Mana sangguplah aku marah padamu, Akaa. Besok-besok aku tak diajak melaut lagi. Bisa mati kelaparan nanti.”

Kini, La Manambung yang terkekeh. Kerut di sudut matanya membentuk akar-akar usia, meski tubuhnya kekar dan liat seperti pohon mangrove, tetapi rambut perak itu tak bisa mengelabui. “Rawallangi, anak dewa angin. Sudah lama tak kudengar cerita ini.”

Gadis itu tak mau mendengar lagi kalimat berikutnya. Ia memilih pergi, dan memilah ikan-ikan tangkapannya yang besar untuk dibawanya pergi. Kampung Bale Tasi, adalah tempatnya bermukim. Sebelum berangkat ke pembaringan, Rawallangi akan memulai pergulatannya menghadapi pembeli di pasar pelelangan ikan. Di situlah nasib baiknya ditentukan oleh banyak tidaknya pesaing yang hadir berjualan. Jenis ikan yang ia tangkap, menentukan harga jual yang akan ditawar pembeli. Semakin banyak tangkapannya bersama pedagang ikan lain, semakin murah harga yang ditawarkan.

Tuna dan Cakalang memiliki daya tariknya sendiri. Orang akan rela bergumul dengan bau amis dan transaksi yang alot, demi bisa menebus ikan cakalang dan tuna yang Rawallangi tangkap.

“Berapa?” Seorang ibu tambun bergelang emas gemerincing, menawar dengan wajah dilipat seperti kerang. “Jangan mahal-mahal, aku tak punya uang.”

“Ditukar dengan gelang pun tak apa,” jawab Rawallangi tanpa menoleh. Ia membersihkan cakalangnya dengan air mengalir dari keran.

Si ibu memicingkan mata. “Hei, ingkoo yang tempo hari menjual tuna basi, hah?”

“Tuna?” Ia mencoba mengingat-ingat. “Aku rasanya pernah melihat ibu, tapi tak ingat pernah menjual tuna.”

Perempuan dengan gelang melingkar seperti ular itu mendelik gemas. Urat-urat di lehernya menonjol berwarna hijau, berdenyut setiap kali ia mendengkus. “Tunanya basi,” ulangnya.

“Bukan aku, Bu. Minggu lalu ku tak pergi melaut. Sakit perut,” jawab Rawallangi.

“Kualat ingkoo nanti, kalau menjual barang tak layak santap.”

“Hei, Bu. Aku pergi melaut diterjang badai. Takutlah aku, kalau sembarangan menjual hasil laut pada pembeli, bisa hilang ditelan ombak nanti,” kekeh Rawallangi sambil membungkuskan seekor cakalang besar. “Yang ini kuberi harga murah, untuk ibu.”

“Tuh, benar kataku. Ingkoo merasa bersalah.”

Rawallangi hanya mengembus napas kesal dari lubang hidungnya. Ia tak lagi menanggapi.

“Ada apa ini?” La Manambung tiba-tiba datang menghampiri. Jala di punggung kekarnya bergoyang-goyang.

“Anak ini menjual ikan basi padaku, Akaa.” Perempuan lanjut usia itu menunjuk wajah Rawallangi, dengan telunjuknya yang gemuk. “Aku mungkin tua, tapi otak ini masih ingat wajah cekingmu itu,” umpatnya.

“Langi?” La Manambung mengangkat alisnya. Ia tak perlu banyak berucap, untuk membuat Rawallangi menunduk, sorot di matanya mengancam.

“Aku tak berani, Akaa. Minggu lalu ingkitaa kan tak melaut, aku kena diare.”

La Manambung tak bisa menahan seringainya, gigi kuning itu menyembul. “Ingkoo mungkin salah, Ina. Si Langi, minggu lalu berak-berak tak berhenti. Habis makan kabuto[1] basi dia.”

Perempuan itu mengerutkan hidungnya, tampak jijik. “Ah, ingkoo orang susah tapi banyak tingkah.” Ia mendengkus lalu berlalu.

Rawallangi hanya menatap punggung perempuan itu sampai menghilang. Ia menggelengkan kepalanya. “Siapa dia, Akaa? Kenapa ia berbuat semena-mena padaku?”

Laki-laki berjenggot tipis itu merapikan jala yang dipanggulnya, ia melipat searah pola kawat yang sudah karatan, jemarinya yang kapalan tak lagi merasa kesakitan akibat gesekan besi. Ia lalu berdehem. “Ia rentenir di kampung sebelah, Langi. Hati-hatilah, tetangga ingkoo banyak yang berhutang padanya. Mungkin ia tak suka, karena ingkoo tak tertarik pada jualannya.”

Rawallangi tertegun. “Jualan uang?”

“Jualan utang.” La Manambung kembali tergelak, dengan jala yang kini ia kalungkan di leher kokohnya.

Ikan berkecipak di dalam ember di hadapan Rawallangi, kini salah satunya makin bergerak liar. Makhluk itu berenang memutar di ember plastik, bergerak seperti hendak memberi tahu sesuatu. Rawallangi tengah menunggu calon pembeli, untuk menawar ikan-ikannya. Namun, si ikan yang berwarna perak gelap dengan garis-garis di siripnya ini, mungkin merasa kalau tubuhnya tak besar seperti kawanannya yang lain, ia seolah memohon pada Rawallangi agar tak menjualnya.

“Kau lelah, hai ikan?” Rawallangi menyentuhkan jemarinya ke ujung kepala cakalang berukuran kecil itu. “Aku pun sama, kau mau pulang bersamaku rupanya.” Mata gadis itu mengerjap, maniknya berbinar-binar.

Menjelang fajar, saat pembeli mulai menyusut. Rawallangi menghitung hasil penjualannya, yang kali ini tak terlalu banyak seperti kemarin. Lantas, ia akan beristirahat di rumah kontrakan sang nenek, untuk berangkat lagi di sore hari, melakukan meti-meti [2]Berbekal panah sepanjang satu meter, parang pendek, jerigen untuk menampung ikan. Sore nanti, Rawallangi akan berangkat bersama para perempuan lainnya.

“Hei, Langi. Kenapa ikannya tak ingkoo jual?” La Manambung berteriak dari warung kopi sambil menyelonjorkan kakinya yang berbulu lebat.

“Tidak, Akaa. Ikannya masih bayi, nanti kujual kalau dia sudah besar,” balas Rawallangi dengan suara lantang.

“Kau dapat bisikan gaib, hei, gadis angin?” La Manambung tergelak. Lalu mengibaskan tangannya. “Pulanglah, istirahat. Jangan lupa makan, Langi. Tubuhmu makin ceking nanti.”

Rawallangi tak menjawab. Ia hanya melenggang, dengan jerigen berisi anak cakalang.

***

Deretan rumah sepetak yang memisahkan satu dapur dengan dapur lainnya, berbanjar centang- perenang seperti kardus. Satu atap menjulai, bersentuhan dengan atap lainnya. Rumah neneknya berada di paling ujung, jauh dari hiruk pikuk keluarga nelayan yang lain.

“Kupinjam uang ingkoo dululah, Langi. Untuk bayar utangku, bunganya sudah amat besar.” Ambo Cenning mengunjurkan kakinya di hadapan Rawallangi.

Tubuhnya yang sintal, hanya berbalut daster usang, ia tampak sedang letih. Padahal, suaminya memiliki 2 buah kapal. Suami Ambo Cenning, sudah dikaruniai 4 orang anak dari istri mudanya, bukan lewat rahim Cenning.

“Aku tak ada uang, sekarang ini. Cukup untuk makan dan menabung bayar kontrakan,” kilah Rawallangi sambil menjejalkan sesendok sinonggi[3] ke mulutnya.

“Kupinjamlah. Ingkoo bisa pakai uang untuk bayar kontrakan sebulan lagi nanti. Aku pasti bayar pinjamanku.”

Rawallangi beringsut, ia tak menoleh ke arah Ambo Cenning yang masih menyenderkan punggungnya di dipan. “Bagaimana ceritanya, Cenning? Kau kan punya utang pada Kaaka Mori. Sekarang kau bayar bunganya, dengan berutang padaku? Bulan depan, utangmu bukan cuma pada dia, tapi juga ditambah utang padaku.” Rawallangi memicingkan mata, dengan sebelah kaki di angkat ke atas kursi, ia memeluk lututnya.

Ambo Cenning menggaruk kepalanya. “Ah, iya. Aku tak berpikir sampai sana. Belakangan, suamiku sudah tak membawa uang hasil tangkapan ikannya lagi. Setoran berakhir di Si Rani, istri mudanya.”

“Kau tak marah, Cenning?” Rawallangi mengerjap-ngerjapkan matanya, ia sama sekali tak paham cara berpikir perempuan yang jauh terpaut usia dengannya itu. “Buatku, beristri satupun sudah memusingkan, apalagi ditambah dua, lalu punya anak pula.”

Ingkoo masih terlalu muda untuk memikirkan itu, Langi. Lagipula, ingkoo lebih baik bermain-main dengan angin laut saja, daripada mengurus urusan rumah tangga.”

Rawallangi mendengkus. “Rumah tangga membuatku pusing.”

Ambo Cening membuka mulutnya, lantas mengatup lagi. Ia tampak ingin menyampaikan sesuatu, tetapi tak berani.

“Apa?” Rawallangi terkekeh. “Aku tahu yang ada di pikiran kau, Cenning. Tak hanya sekarang, orang-orang menghubungkanku dengan dewa laut.” Ia kini tergelak, bubur sagu mencuat dari liurnya.

Perempuan dengan daster tipis itu lantas berdiri, mematutkan wajahnya di depan kaca buram di dinding. “Aku ini sudah tua, Langi. Mau tahu, apa yang ingkoo layak dapatkan?”

Ia tak ingin menyakiti perasaan Ambo Cenning yang seringkali baik hati padanya. Rawallangi menggeleng, lalu mewadahi semangkuk kecil sinonggi dan menaruhnya di meja. “Ingkomiu Cenning, makanlah sinongginya.”

Ingkoo butuh cinta, bukan rumah tangga.” Cenning lalu mendelik genit. “Ingkoo masih punya makanan untuk malam nanti?” Ia lantas merenggut mangkuknya. “Harusnya ingkoo masak pakai tuna.” Sambil menyeruputnya dengan lahap.

Rawallangi hanya memutar bola mata, lantas menelungkupkan kepalanya di atas pembaringan. “Aku tidur dulu. Nanti sore, ikut meti-meti dengan mereka.” Ia menguap. “Nanti sore, air surut.”

“Ba-bagaimana ingkoo bisa tahu?” Sendok menggantung di mulut Cenning. “Dari kemarin meti-meti tak ada hasil.”

Ingkoo bilang, aku anak dewa, kan?” Mata gadis itu lalu terpejam, kantuk dan perut kenyang menewaskan kesadarannya.

***

Para perempuan berjalan satu kilometer menuju pantai, untuk melakukan meti-meti hingga tiga jam sampai air pasang kembali naik. Mereka kerap mengumpulkan kerang, cumi, gurita, kepiting, ikan karang, mollusca yang bersembunyi di balik batuan atau di hamparan padang lamun. Rawallangi berbaris bersama para ibu-ibu. Sebagian dari hasil tangkapan, mereka konsumsi sendiri, dan sebagian lainnya dijual ke pasar untuk ditukar sembako atau uang. Selain sebagai penopang kebutuhan ekonomi rumah tangga, para perempuan ini mengais hewan laut untuk menghibur diri mereka selagi para suami melaut.

Lain halnya dengan Rawallangi. Ketika meti-meti selesai, ia ikut bersama rombongan para lelaki yang berangkat dalam rombongan tengah malam, untuk melaut menggunakan jala dan mencari ikan besar. Rombongan yang membawa Rawallangi turut serta, adalah rombongan yang beruntung. Karena mereka percaya, Rawallangi sanggup menghitung perputaran arah angin.

Ia membungkuk, dengan sigap menghunus tombaknya ke arah ikan yang menggelepar-gelepar di pasir.

“Kenapa ingkoo masih ikut meti-meti, Kaa?” Seorang gadis yang Rawallangi tak tahu namanya berjongkok, sambil memperhatikan caranya mengupas kulit ikan.

Rawallangi menyunggingkan senyumnya. “Kalau tak meti-meti, aku tak makan.”

Gadis itu terdiam, sambil mengasah parangnya, menciduk mollusca dengan ujung besinya yang tajam. “Inaku tak bilang begitu tentang ingkoo, Kaa.”

Ina kau bilang apa tentangku?”

Gadis itu tertunduk malu-malu. Ia lalu mengumpulkan molluscanya ke dalam jerigen, sambil menatap Rawallangi penuh kekaguman. “Kalau tak ada ingkoo dalam meti-meti ini, kita mungkin tak punya tangkapan.”

Rawallangi tergelak hingga terbatuk-batuk. Tali tombaknya ia sampirkan di atas bahu. “Kau percaya dengan itu?”

Gadis muda itu mengangguk malu-malu. “Aku percaya, ingkoo orang baik, Kaa. Tapi aku tak percaya, ingkoo titisan dewa angin.”

“Janganlah percaya, Dik. Aku membawa ewo (tombak) ini, sama sepertimu, sama-sama manusia yang mencari makan.” Rawallangi lalu memicingkan matanya ke ujung pantai. “Sebentar lagi air pasang, kita segera naik ke daratan.”

Gadis itu terkesiap. “Kaa....”

Rawallangi menempelkan telunjuknya di bibir. “Aku banyak belajar dari alam. Alam mengajarkan banyak hal pada ingkitaa, Dik. Jangan sia-siakan ilmu semesta ini.”

Gadis itu menyeret langkahnya menjauh dari angin yang tiba-tiba mengencang. Pasir yang tadinya kering mulai basah, tandanya ombak besar telah membawa sebagian air kembali datang. Sorot mata gadis itu masih penuh takjub, mulutnya setengah terbuka, ia lantas menatap langit dan mengerjap melihat gumpalan awan yang berputar mencipta pusaran. Badai kan datang.

Rawallangi bergegas mengungsikan kawanan meti-metinya kembali ke kampung nelayan. Beberapa perempuan yang sudah renta masih berdiri takjub menatap awan yang gelap.

Ingkoo lihat itu, Langi?” Seorang tetua di Bale Tasi menunjuk ke pusaran awan mendung, yang menggelap kelabu. “Moyangmu sedang marah pada manusia di daratan.”

Nene Ina, ayolah ingkitaa pulang. Tak baik berada di sini, sebentar lagi badai kan tiba.”

Perempuan senja itu menoleh, lantas menyunggingkan senyumnya yang tak bergerigi. “Kita pulang,” ucapnya mengulang kata-kata Rawallangi. “Bagaimana kaum lelaki di laut sana, Langi?”

Rawallangi tak menggubrisnya, ia hanya berjalan cepat-cepat menuju barisan yang hendak pulang. Diapitnya tangan si perempuan tua, di ketiaknya.

Gadis muda yang tadi berjongkok dengannya menatap Rawallangi dengan khawatir. “Inaku masih di pinggir pantai, Kaa. Aku tak menemukannya.”

“Kau bergegaslah ke pinggir, Dik. Biar Inamu, aku yang cari.”

Beberapa perempuan dengan tali tombak masih menggelantung di bahu, berdiri berjajar menuju arah pulang. Sementara Rawallangi berlari ke arah berlawanan.

Tak berapa lama, petir yang melintasi lapisan awan berkelebatan, dan membuat udara di atas kian panas. Rawallangi merasakan itu, ia tahu pemanasan udara di atas akan mengembang, dan ketika mendingin akan mencipta gelegar guntur yang keras. Ia selalu mengamatinya di lautan lepas, kemampuannya melaut mencipta radar yang mampu mengenali setiap gejala alam di sekitarnya. Ia tahu, sebentar lagi akan ada badai besar, yang sanggup menelan banyak benda mengapung di pesisir pantai. Rawallangi berlari ke tengah gelombang yang meninggi, mencari perahu dan biduk yang bisa ia pakai.

“Langi, ingkoo sudah gilakah?” Ambo Cenning berteriak-teriak memanggilnya. “Nene Ina kan marah, kalau tahu ingkoo melaut di tengah badai.”

“Aku harus pergi, Cenning.”

Ambo Cenning tak bisa mencegahnya. Ia hanya menatapnya ngeri, berpindahan dari langit yang kelam. “Langi, ingkoo hati-hatilah di sana.”

Rawallangi hanya mengangguk. “Jaga Nene Ina, Cenning.”

Ketika ia menyuruk di tengah pusaran pasir yang memutar seperti tornado. Rawallangi melihat sesosok tubuh perempuan tengah bertahan melawan deru angin.

“Anakmu mencari, ayo, pegang tanganku,” teriaknya dalam desing kegaduhan.

Perempuan yang sudah tak kelihatan bentuknya itu meraih tangan Rawallangi, dan menggenggamnya erat. Ia merapatkan tubuhnya, menyusuri sisi-sisi ruang yang seolah memiliki rongga udara. Sebuah labirin menuju sisi pantai. Rawallangi seperti membuka jalan untuknya.

“Aku harus kembali ke tengah badai, Bu. Aku harus berangkat melaut,” teriak Rawallangi sambil lekas menjauh. “Selamatkanlah dirimu. Anakmu menunggu di Bale Tasi.”

“Rawallangi! Hati-hatilah!” Suara perempuan setengah baya itu tertelan deru angin. Ia pun berlari menjauh ke arah pemukiman nelayan, badai di sekitar mereka semakin mengganas.

Pandangan Rawallangi mulai mengabur. Ia kembali berlari menerjang angin besar yang meliuk mencipta topan raksasa, tubuhnya terombang-ambing di antara renik pasir. Hingga tatapannya menemukan perahu kecil milik La Manambung. Rawallangi mendorong perahu kayu itu dengan segenap kekuatan yang ia miliki, napasnya terengah, pandangannya tertutupi oleh kabut pasir yang berputar menghalangi tilikannya.

Ketika perahu telah menyentuh air. Degup di dadanya mulai mengencang, ia harus bersiap melawan kekuatan angin dengan daya di lengannya. Tubuh legam itu kemudian merunduk, ia menjejakkan betis kokohnya di lantai perahu. Saat perahu sudah menyentuh air, Rawallangi lantas mengembangkan layarnya dengan susah payah, menuju ke tengah perairan.

Awan gelap yang menggulung, deru angin yang membusung, menentang segenap kekuatan tubuhnya yang berusaha membelah ombak. Napasnya terengah-engah, ia menerabas amuk badai yang berputar menelan perahu kecilnya. Rawallangi memiliki keyakinan, kekuatan kecilnya bisa menyelamatkan sebagian pelaut yang ada di tengah pusaran topan.

***

Di tengah gelombang air yang menggulung perahu reotnya, Rawallangi merapal doá pada sang penguasa alam, memohon keselamatan tetangga-tetangganya yang sedang pergi melaut. Ia beruapaya menggunakan setiap pengetahuan baharinya selama ini.

Tetangga-tetangga Rawallangi, yang berangkat sore tadi, adalah mereka yang seringkali menoreh kebencian padanya, dan menganggap Rawallangi hanya manusia buangan, karena tak pernah punya orang tua yang melindungi. Rawallangi hanya sesosok bayi, yang ditemukan Nene Ina di pesisir pantai. Bayi mungil yang hanya mengenakan dedaunan di tubuh tengkesnya, dengan tali pusat yang masih menjuntai berbau boreh darah. Namun, Nene Ina mengurusnya bak anaknya sendiri, putri pantai yang tumbuh bersama gadis-gadis pesisir lainnya. Bukan anak sial, yang dibuang karena membawa malu nama keluarga. Rawallangi dianggap manusia keramat, sekaligus manusia sial yang tak bisa dinaungi cinta kasih orang tuanya.

Betis kokoh itu menjejak dasar perahu dengan kekuatan maha besar. Ia memicingkan matanya, menatap ombak yang menggulung. Di atasnya guntur bersahutan, petir berkilatan.

Ia tahu, angin akan menyisakan celah bagi perahunya untuk berkelok dan menyisir permukaan air. Ia selalu tahu, alam akan berbaik hati padanya dengan memberi ilmu melaut yang tak banyak orang miliki. Masyarakat salah menamainya Anak Dewa Angin. Rawallangi hanyalah seorang pelaut tangguh nan cerdas, yang belajar dari mengamati alam di sekitarnya.

Di kejauhan, ia bisa menemukan setitik cerah ruang udara tanpa badai di sekitarnya. Ia tengah menembus garis antara udara dingin dan panas dalam lapisan angin. Rawallangi tahu, angin memiliki lapisan depan dan lapisan belakang, seperti juga ia tahu suhu yang meliputi tubuhnya pun mulai berubah. Langit mulai cerah, ia telah sampai ke pusat lautan. Kemungkinan besar, kawanan nelayannya terdampar di sana.

“Lihat! Itu Langi!” Pekikan di kejauhan menyadarkannya akan keberadaan manusia di tengah laut. “Hei, Langi! Kami di sini. Bagaimana bisa ingkoo menembus badai, hei... anak dewa?” Suara gelak bahagia menyambutnya.

Beberapa nelayan yang mulai menyadari keberadaannya pun bersorak. “Tunjukkan jalan pulang pada kami, Langi!”

Rawallangi berkacak pinggang, satu kakinya menumpu di penghujung perahu. Ia menengadah menatap langit, mencecap rasa udara yang meliputi tubuhnya. “Sebaiknya kita berada di sini dulu sampai senja tiba. Aku kira, badainya masih menyisir hingga timur laut.” Lalu jarinya mengacung, merasakan permukaan kulitnya yang tertiup angin. Matanya memejam, merasakan desir angin yang bergerak. “Ke sana,” tunjuknya. “Anginnya bergerak ke sana.”

Semua tertegun memandangi tingkah Rawallangi yang ganjil. Tubuhnya yang hanya dibalut kain tolaki, menegak dengan tegapnya. Ada binar kekhawatiran di pelupuk mata itu.

“Hei, Langi, ingkoo tak apa?”

Rawallangi mengenali suara La Manambung. Ia lantas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kupinjam perahumu, Akaa.”

Ingkoo, minta maaf karena hendak menyelamatkan ingkitaa di sini, hah?” La Manambung tampak murka. “Hei, kalian yang ada di sini! Gadis itu pelaut gaga[4], lebih hebat dari ingkitaa semua jadi satu. Berterima kasihlah padanya!”

Rawallangi tertegun mendengar reaksi La Manambung, yang berteriak-teriak di tengah lautan yang mulai tenang. Ia mengerjap kebingungan.

Kaaka Mori! Istri ingkoo menuduh Langi menjual tuna basi tempo hari, ingkoo minta maaflah padanya!” La Manambung memelintir jenggot halusnya. Ia berteriak seperti kesetanan. “Aku minta maaf karena sering membuat ingkoo marah, Langi,” ucapnya pelan tertiup angin laut yang berembus silir-semilir.

Rawallangi tak menjawab. Ia masih tertegun dan memandangi kawanan pelaut itu dengan tubuh kaku. “A-aku....”

“Aku dan istri minta maaf, Langi.” Kaaka Mori lalu menunduk dan bicara dengan lantang. “Ingkitaa semua di sini minta maaf karena sering mengatai ingkoo.”

Seberkas sinar mentari senja, menyembul di atas langit merah. Desir angin yang mengembus perlahan, menggerakkan awan kelabu pergi. Arah angin pun berubah. Perahu mereka mulai bergerak terbawa gelombang yang mulai mengalir.

“Kita bergerak sekarang, Langi?”

Rawallangi memejamkan matanya. Menghitung arah, dengan kemampuannya menebak peta cuaca permukaan laut. “Kita ke arah sana,” tunjuknya menuju barat daya. “Badai telah menjauh menuju selatan, kita harus segera ke daratan.”

Semua bergerak dengan cekatan. Jangkar ditarik dengan tangkas, beberapa lelaki bertubuh besar menaikkan layar dan bergerak dengan sauh sebelum motor kembali dijalankan.

Ingkoo lekas berpindah ke mari, Langi!” La Manambung memerintah. Ia menjulurkan tangannya.

“Aku pakai perahu ini, Akaa. Kalian ikuti arahku.” Rawallangi bergerak cepat. Ia tak mengindahkan tatapan para nelayan yang melongo melihat kecakapannya mengendalikan layar. Tubuh kurusnya berdiri dengan kaki menjejak ujung perahu bagian depan, punggungnya dibungkukkan menentang desir angin yang menerpa wajah, di atasnya, layar mengembang bak panji yang berkibar. Rawallangi memimpin nelayan Bale Tasi pulang.

***

Kecipak kawanan lummu[5] mengitari kapal bermotor yang bertolak menuju dermaga, mereka berenang dan bergerak beriringan, seolah menjaga agar kapal tak berbelok arah. Salah satu lummu yang berenang di depan tiba-tiba meloncat, dan berenang berlainan arah, memanggil kawanannya agar menjauh dari keramaian pesisir yang mulai terlihat.

“Lihat Akaa, gawu [6] sudah lewat, kita sudah hampir menyentuh daratan.” Seorang nelayan paling muda, yang berdiri di atas kapal itu berteriak kegirangan. Ia menepikan kapalnya.

“Tapi, Akaa. Kemana si Langi pergi? Perahunya tak kelihatan sejak kita menembus ombak besar tadi.”

La Manambung menjulurkan lehernya, ia mencari keberadaan Rawallangi di kegelapan. Tiba-tiba, hatinya diliputi kecemasan akan keberadaan gadis itu. Sesuatu telah terjadi, pikirnya. Pantas saja, Langi sedari tadi diam tak menanggapi kawanan nelayan itu berbicara dengannya. Ia seperti tengah mendengarkan sesuatu di kejauhan. Gadis itu seperti tersihir oleh suara-suara di tengah lautan, La Manambung meyakini itu.

Ketika rombongan nelayan turun dari kapal mereka. Sekelompok orang menghambur mendatangi mereka. Termasuk di antaranya Ambo Cenning dan Nene Ina.

“Mana Langi, Akaa? Kenapa dia tak terlihat?” Cenning menyisir setiap nelayan yang turun dari kapal. Tak ada satu pun perahu yang mengekori kapal bermotor itu menepi. Di kegelapan, yang terlihat hanya ujung buih ombak, sisanya cuma dersik angin dan suara debur ombak berkejaran.

“Rawallangi, cucuku?” Nene Ina berbisik. Ia menatap pekatnya langit dan ujung air di kejauhan, tatapannya nanar.

Ambo Cenning lekas berlari meraih bahu perempuan tua itu, ia memeluk bahu ringkihnya. “Ingkitaa tunggu Langi pulang, Ina. Ingkitaa tunggu.” Cenning tampak khawatir, gurat di keningnya kian dalam. “Mungkin dia tersesat.”

“Rawallangi itu pelaut, Cenning. Ia diambil garura[7] ke tengah laut.” Nene Ina begitu yakin, cucunya tak akan kembali. Ia pun terisak.

“Ina....” La Manambung menghampiri dengan bahu yang terkulai lemas. “Esok pagi, biarkan kami mencarinya ke tengah laut. Langi mungkin tersesat di kegelapan.” Ia terdengar tak yakin dengan ucapannya sendiri.

Nene Ina hanya berdiri terpukau menatap langit yang bahkan tak menyisakan bintang. Desir ombak bagai kidung yang melantun, membawa tangisannya terbang ke kejauhan, ke tempat cucunya berada. Dersik angin mengiringi kepedihan yang dirasakannya.

“Lihat, Ina! Itu perahunya!” Cenning berteriak kencang, menunjuk ke arah pantai yang gelap. Sebuah perahu koyak, terbawa ombak hingga menepi ke daratan. Perahu La Manambung, yang dinahkodai Rawallangi. Bahkan biduknya pun masih tersampir di dalamnya.

“Mana cucuku?”

La Manambung dan beberapa orang nelayan lelaki berlarian menghampiri, dan menggiring perahu ke tengah-tengah kerumunan. Rawallangi tak terlihat berada di mana pun saat itu. Perahunya telah menepi, tapi tubuh gadis itu tak ditemukan.

Bale Tasi berduka, Rawallangi Si Gadis Angin hilang ditelan kegelapan.

***

Semburat lembayung di ufuk senja adalah kasih sayang semesta, pada umat manusia yang beranjak ke peraduan. Sang pawana silir semilir membawa kesejukan di antara tubuh makhluk hidup yang mendamba ketentraman. Ia berada di antaranya, menatap keramaian dengan manik rindu di bola matanya. Namun, takdir berkata lain. Tubuhnya tersanggat di keterasingan. Bermandikan cahaya purnama, gadis ombak itu kini hidup bersama harmoni alam yang lain.

Nun jauh di sana, keluarganya menunggu. Namun, hidup tak selalu berupa guratan lurus. Rawallangi menambatkan kisahnya di pesisir lain muka bumi, bersama kepak camar dan celoteh gadis-gadis pantai pengolah rempah. Meski semua bertanya, apakah Rawallangi gadis yang tak tahu arah pulang? Ia selalu yakin, selama dirinya terikat bersama deru ombak dan dersik angin, semesta kan menyelamatkannya.

Ia kembali menyulam kisahnya, di pesisir lain bumi Nusantara. Rawallangi si Gadis Angin, memulai kisahnya kembali di sisi pantai bagian utara. Menebarkan kecintaannya pada dunia bahari dan ilmu semesta yang ia miliki, pada kaumnya para nelayan bestari.

[1] Singkong parut kering dikukus hingga matang. Makanan dapat ditambah gula merah jika menginginkan rasa manis atau parutan kelapa jika menginginkan rasa guruh.

[2] aktivitas menangkap ikan dan hewan laut di pesisir pantai saat saat air laut surut yang dilakukan hampir setiap sore.

[3] Sinonggi adalah makanan pokok orang Sulawesi Tenggara yang terbuat dari pati sari sagu.

[4] Pemberani (bahasa wolio)

[5] Ikan lumba-lumba di perairan Wakatobi

[6] Kabut (dalam bahasa wolio)

[7] Angin kencang (bahasa wolio)

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : Makasiih, Nur yang baik 🤍🤍🤍
@denhenry23 : Ya, ampun. Sampai bikin akun Kwikku. Terima kasih apresiasinya, Henry. Senang sekali, bisa diapresiasi dan dibaca oleh putra daerah (meski Jawamu medhok sekali) ☺️ Kamu bisa menafsirkan dengan sangat piawai, ini sangat aku apresiasi. Nggak salah ibu suri memiliki kamu sebagai die hard reader nomor wahid 🔥 Semoga setiap rintangan tidak membuat aku berhenti nulis. Tinggal ini, suarku dalam hidup 🔥🔥🔥
@kebunanggur99 : Wah, terima kasih, Kak. Saya orang Bandung 🙈 Terima kasih sudah mampir dan mengapresiasi 🙏
No komen, Kak. Cerpennya sangat menarik 👍❤️❤️❤️
@donnymr : Nuhun, Don ☺️🙏🙏
Kisah Rawallangi tak hanya bicara tentang kekuatan dan kepiawaiannya menunggang ombak, membaca angin, bahkan menembus badai. Lebih dari itu, ia mewakili sosok wanita cerdas yang mampu menyerap sempurna tutur dari alam, menerjemahkannya dalam relung batin, lalu mengejawantahkannya dalam tindakan terukur.
Sebagaimana wanita yg seolah dikodratkan cenderung bergerak dalam intuisi, ia menjalani takdirnya dengan baik untuk membaca pertanda seberapa jauh ia harus bertahan, dan seberapa dekat ia harus berjalan ke tepian, hingga tiba waktunya melepaskan dan membiarkan laut membawanya menjadi guna di belahan bumi yang berbeda.
Sebuah tulisan yang indah dengan riset yang (lagi-lagi) kuat. Tetap lugas meski puitis, tetap menoreh meski ringan dibaca.
Tetaplah menulis dengan berani, Teh! Meski bukan dengan "ewo", penamu tak kalah kuat dari ayunan tangan Rawallangi.
Menyala! 🔥🔥🔥
Bahasa wolionya lancar kali, kaa! Dari Sultra?
Sami-sami, Dek.
Bahasa Bugisnya sama settingnya pas banget.
Mantap! 👍🏻 gak komen deh. Dah purrrfect! 😁
@nimasrassa : Hehe... padahal pindah ke pulau penghasil remoah, ya Teh 🤭 Nuhun, Teh Nimas udah baca 🤍
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Rawallangi, Si Gadis Angin
Foggy F F
Novel
I'm a Writter, Not an Actress
meoteaas
Flash
Di Balik Kaca Mobil
Dhea FB
Flash
Kembali
Arwis Pitha
Novel
Shagara
Dita
Novel
Bronze
KALA CINTA
Yeni Lestari
Novel
Bronze
25 TAHUN PERNIKAHAN
Lisnawati
Novel
Gold
The Eccentric School
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Arti Senyum
B12
Novel
L O V A L E S H A
maretha ramadani
Novel
Gold
KKPK Hari-Hari Akari
Mizan Publishing
Novel
Alfameria
kumiku
Novel
Bronze
PATAH HATI SEORANG AKTIVIS
Embun Pagi Hari
Novel
Sepasang Sayap yang Tak Sempurna
Wardatul Jannah
Cerpen
Cerita yang Dilupakan
Kwikku.com
Rekomendasi
Cerpen
Rawallangi, Si Gadis Angin
Foggy F F
Cerpen
Save the Last Dance
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Babi Ngepet
Foggy F F
Novel
Bronze
Sulur Waktu
Foggy F F
Cerpen
Bronze
The Legacy
Foggy F F
Novel
Bronze
Kue Lumpur Kayu Manis dan Rancang Bangun
Foggy F F
Cerpen
Jingga dan Pelangi di Manik Matanya
Foggy F F
Cerpen
Pesawat Kertas
Foggy F F
Cerpen
Bronze
CINTA SAJA SEHARUSNYA CUKUP
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Ohrwurm
Foggy F F
Cerpen
Mengadili Sengkuni
Foggy F F
Flash
Bronze
Merindu di Safarwadi
Foggy F F
Cerpen
Bronze
Cikgu Cleo
Foggy F F
Cerpen
Milo dan Silo
Foggy F F
Flash
Bronze
Aku, Dirimu, dan Palung Mariana
Foggy F F