Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menjelang malam, kurapatkan kain yang menutup tubuhku dengan kerap, menyeberangi hampar pasir di tengah deru angin yang menyisir, lantas menderapkan langkahku lekas-lekas. Menurut dongeng leluhur sukuku, perempuan tak dilahirkan untuk berkelana membelah ombak, dan mengais tangkapan di pesisir. Ia ditakdirkan di pesisian, menunggu suami datang membawa jala dan ikan dalam kelongnya. Namun, aku bukan perempuan penunggu kebanyakan. Jemariku terlatih untuk menebar kail atau memanggul jangkar. Tubuhku tak terbuat dari emas dan perhiasan yang dijaga erat-erat, ragaku dibiarkan berkelana mengarungi alam raya dan membelah samudera.
***
Ia adalah Rawallangi, perempuan legam yang membelah ombak dengan kedua kakinya yang kokoh. Mengarungi pesisir Sulawesi bagian Tenggara dengan cengkeraman tangannya pada biduk kayu, dan berangkat melaut bersama kaum lelaki berbagai usia.
Tiga belas belas jam sehari, ia berangkat dengan perbekalan arah mata angin yang membawanya mengarungi hampar samudera biru, lantas menyisi menuju pulang ke pesisir pantai tempat kapalnya berlabuh, membawa puluhan ikan yang menggelepar liar hasil tangkapannya.
Rawallangi bukan perempuan pertama yang melabuhkan dirinya di sisi pantai malam ini. Sudah tiga perempuan yang mendarat dan berlabuh dengan kelong di punggungnya, tersenyum lebar hingga matahari tak lagi sembunyi, siap menukar hasil ikan di pasar Wameo menjelang fajar.
“Banyak nian, ikan yang ingkoo bawa, Langi?”
Rawallangi terkekeh, mengibas rambut panjangnya yang terjulai di punggung, tertutupi secarik kain mirip kerudung. Lengannya mengayun melindungi wajah dari terpaan angin malam. Tubuh bagian depannya hanya dilapisi kaus putih pinjaman.
“Tak ada ikan yang t...
Sebagaimana wanita yg seolah dikodratkan cenderung bergerak dalam intuisi, ia menjalani takdirnya dengan baik untuk membaca pertanda seberapa jauh ia harus bertahan, dan seberapa dekat ia harus berjalan ke tepian, hingga tiba waktunya melepaskan dan membiarkan laut membawanya menjadi guna di belahan bumi yang berbeda.
Sebuah tulisan yang indah dengan riset yang (lagi-lagi) kuat. Tetap lugas meski puitis, tetap menoreh meski ringan dibaca.
Tetaplah menulis dengan berani, Teh! Meski bukan dengan "ewo", penamu tak kalah kuat dari ayunan tangan Rawallangi.
Menyala! π₯π₯π₯
Bahasa Bugisnya sama settingnya pas banget.