Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rasa yang Tak Diizinkan Hidup
Prolog,
“Beberapa rasa tak pernah lahir untuk dirayakan, tapi hanya untuk dikenang dalam diam.”
Beberapa rasa tidak lahir untuk dirayakan.
Ada yang hanya tumbuh diam-diam,
kemudian dibiarkan layu tanpa pernah diberi nama.
Begitulah rasaku padanya—
cinta pertama yang tak pernah benar-benar selesai,
karena aku sendiri yang memintanya berhenti.
Sejak kepergian itu, aku hidup dengan dua versi diriku.
Yang satu tersenyum dan melanjutkan hidup,
yang satu lagi duduk diam di ruang terdalam,
memanggil namanya dalam bisu,
berharap waktu bisa sesekali mundur walau hanya sebentar.
Aku pernah mencintainya,
dengan ketakutan yang tak bisa kuterjemahkan.
Kupilih pergi saat aku seharusnya tinggal,
kupilih diam saat aku seharusnya jujur,
kupilih hidup…
tanpa dia.
Dan sejak hari itu,
aku belajar hidup bersama rasa yang tak lagi diizinkan tumbuh.
Rasa yang tak kubiarkan hidup,
tapi juga tak pernah mampu kubunuh sepenuhnya.
Di dunia luar, aku baik-baik saja.
Tapi di dalamku,
masih ada satu nama yang berdenyut pelan,
seperti luka yang tak pernah benar-benar kering.
Bab 1. Setelah Kepergian itu
“Beberapa luka tak terlihat, tapi menetap di tubuh kita seperti bayangan yang enggan pergi.”
Sudah bertahun-tahun sejak hari itu.
Tapi pagi-pagi tertentu masih terasa seperti perpisahan yang belum selesai.
Yuana menyeduh kopinya seperti biasa—hitam, pahit, tanpa gula. Tapi bukan karena ia menyukai rasa itu, melainkan karena ia percaya: hidup kadang perlu diterima tanpa manis-manisannya.
Ia tinggal sendiri di sebuah apartemen kecil, di kota yang tak pernah benar-benar ia pilih. Dinding putih, tirai abu-abu, dan rak buku yang lebih sering menyimpan kenangan ketimbang cerita baru. Tidak ada foto di ruang tamunya. Tidak ada suara selain detak jam dan kadang, suara hujan yang menggantikan segalanya.
Yuana menjalani hidupnya seperti seseorang yang hafal setiap luka—bukan karena ingin, tapi karena tak ada yang benar-benar sembuh. Ia bekerja, berbicara secukupnya, tertawa seperlunya. Tapi malam selalu datang sebagai pengingat: bahwa ada bagian dari dirinya yang tertinggal di waktu yang tak bisa ia datangi lagi.
Dan nama itu…
Masih hidup di antara halaman-halaman buku yang tak pernah ia pinjamkan pada siapa pun.
Masih terucap diam-diam ketika ia menatap hujan, ketika angin meniupkan bau tanah basah yang terlalu mirip dengan sore terakhir itu.
Namanya...
Masih ada.
Tidak disebut, tidak dicari, tapi juga tidak pernah benar-benar hilang.
Seperti bayangan yang tidak bisa dihapus cahaya, hanya bisa diajak hidup berdampingan.
Yuana tidak pernah menikah.
Bukan karena tidak ada yang datang, tapi karena tidak ada yang benar-benar membuatnya ingin bertahan.
Ia bukan menutup diri. Ia hanya pernah membuka pintu terlalu lebar, lalu kehilangan segalanya saat ia menutupnya kembali.
Dan sejak itu, ia belajar hidup dengan perasaan yang tidak diberi izin untuk tumbuh.
Ia tidak memberinya ruang. Tapi anehnya, rasa itu tetap bertahan.
Hidup dalam diam.
Bernapas dalam diam.
Bab 2. Kala Hujan Turun
“Beberapa nama tetap tinggal di dada, meski tak lagi disebutkan.”
Tak ada yang benar-benar bisa menjauh dari masa lalu.
Ia bukan bayangan,
karena bahkan dalam gelap pun,
ia tetap ada.
Bagi Yuana, hujan adalah waktu yang paling jujur.
Ketika langit mulai abu-abu dan udara mengembun pelan di jendela,
ia tahu dirinya tak akan bisa lari ke mana pun.
Hujan, selalu punya cara untuk membongkar yang telah ia simpan bertahun-tahun.
Dan di antara ribuan tetes yang jatuh ke bumi,
selalu ada satu yang mengingatkannya pada cinta yang dulu ia tinggalkan… begitu saja.
Namanya tak pernah disebut lagi.
Tapi suara hujan selalu mengucapkannya dalam diam.
Lirih, lirih sekali,
hingga rasanya seperti bisikan dari ruang yang dulu pernah penuh tawa,
dan kini hanya menyisakan gema.
Sore-sore seperti ini,
Yuana tak butuh banyak hal untuk runtuh.
Cukup satu percik hujan di kaca jendela,
dan semua kenangan itu datang tanpa aba-aba.
Ia teringat bagaimana tangan itu dulu menggenggamnya dengan ragu,
bagaimana tatapan itu menahannya saat ia memilih pergi,
dan bagaimana lelaki itu tidak berkata apa-apa… hanya menerima.
Yuana yang dulu terlalu takut,
terlalu keras kepala,
terlalu yakin bahwa cinta bisa ditinggalkan begitu saja tanpa kehilangan apa pun.
Tapi ia salah.
Dan tak ada yang lebih menyakitkan
daripada menyadari kesalahan
di saat segala sesuatu tak bisa diulang.
Sejak hari itu,
setiap kali hujan datang,
Yuana kembali menjadi gadis yang menyesal.
Bab 3. Novel yang tak pernah di tinggalkan
“Yang tertinggal bukan hanya buku, tapi perasaan yang tak pernah selesai dibaca.”
Hari itu hujan turun lebih deras dari biasanya.
Langit seperti membuka seluruh lukanya, dan bumi menampungnya dalam diam.
Yuana tidak ke mana-mana.
Ia hanya berjalan perlahan ke rak buku lamanya—rak yang sudah lama tak ia sentuh, tempat segala hal yang terlalu berat untuk dibaca kembali ia simpan rapi… atau pura-pura rapi.
Tangannya berhenti pada sebuah novel bersampul coklat kusam.
Tidak istimewa. Tidak tebal. Tidak populer.
Tapi tak pernah sekalipun ia pindahkan, apalagi dipinjamkan.
Judulnya sudah agak pudar, tapi hatinya masih hafal:
"**Tentang Seseorang yang Pernah Hampir Aku Miliki.**"
Ia menarik buku itu perlahan.
Dan benar saja, di halaman kesepuluh,
terselip selembar kertas kecil yang mulai menguning.
Tulisannya masih jelas.
Tinta biru yang sedikit pudar, dengan tulisan tangan yang pernah sangat ia kenali.
Tulisan milik seseorang yang pernah memegang hatinya… dan tak pernah ia beri kesempatan untuk tinggal.
“Kalau suatu hari kamu membaca ini lagi…
mungkin aku sudah bukan siapa-siapa.
Tapi aku ingin kamu tahu,
aku tak pernah menyesal mencintaimu dalam diam,
meski akhirnya kau memilih pergi sebelum aku sempat bicara apa-apa.”
Yuana terdiam.
Matanya basah bahkan sebelum ia sempat sadar.
Bab 4. Kota yang tak pernah di tinggalkan sepenuhnya
“Beberapa orang tak pernah benar-benar kita tinggalkan, hanya tak lagi kita temui.”
Yuana tak pernah kembali ke kota itu,
Kota kecil tempat ia menghabiskan masa remaja—tempat ia belajar jatuh cinta,
dan tempat ia juga belajar bagaimana cara kehilangan tanpa benar-benar siap.
Ia meninggalkannya pelan-pelan,
seperti seseorang yang keluar dari kamar kenangan,
tanpa menutup pintu. Bukan karena ingin pergi,
tapi karena tak sanggup tinggal.
Sudah bertahun-tahun,
dan ia tahu ia tak bisa kembali.
Bukan karena tak tahu jalan pulang,
tapi karena yang ia cari di sana sudah tidak ada.
Sejak hari itu,
Yuana hidup dalam bentuk yang berbeda.
Ia belajar bagaimana tersenyum di tengah keramaian,
bagaimana berbicara tanpa menyebut nama yang ingin sekali ia panggil,
dan bagaimana mencintai seseorang…
tanpa pernah bisa memberi seluruh hatinya.
Surat yang tak pernah terkirim
“Beberapa surat tak untuk dikirimkan, hanya untuk melegakan apa yang tak terucap.”
Untuk kamu,
yang pernah kutinggalkan sebelum sempat kita mulai,
Bagaimana kabarmu?
Pertanyaan sederhana yang tak pernah bisa kutanyakan dengan suara.
Terlalu banyak waktu yang sudah kita lewatkan sendiri-sendiri,
hingga rasanya tak tahu lagi bagaimana menyapamu
tanpa membuat luka lama berdarah ulang.
Aku sering memikirkanmu,
bukan dengan cara yang menyakitkan,
tapi dengan cara yang sunyi—seperti doa yang tak pernah selesai,
seperti nama yang kusebut pelan setiap kali hujan turun terlalu lirih.
Maaf…
karena aku pergi begitu saja.
Karena aku memilih diam saat kamu bertahan.
Karena aku terlalu takut pada rasa,
dan terlalu pengecut untuk mencintaimu dengan jujur.
Epilog - Ruang yang Tetap kosong
“Kita tidak pernah benar-benar melupakan, hanya belajar hidup berdampingan dengan yang hilang.”
Hidup tidak selalu tentang yang kembali.
Kadang, hidup hanya tentang berdamai dengan apa yang tidak pernah pulang.
Yuana tahu, ia tidak bisa kembali ke masa lalu.
Ia juga tahu, seseorang itu tak akan pernah muncul di hadapannya, bahkan jika ia menunggu seumur hidup.
Dan entah sejak kapan,
ia berhenti menunggu.
Bukan karena tidak lagi mencintai,
tapi karena cinta pun, pada akhirnya, harus tahu kapan harus duduk tenang dan tidak meminta apa-apa.
Hari-hari berjalan seperti biasa,
dan pada suatu waktu yang tidak ia sadari kapan mulainya,
Yuana akhirnya mengizinkan hatinya untuk terbuka kembali.
Ia tidak mencari pengganti,
karena tak ada yang benar-benar bisa menggantikan.
Tapi ia belajar mencintai seseorang yang kini memilih tinggal bersamanya—
dengan sederhana, dengan sabar, tanpa banyak tanya tentang masa lalu yang tak ingin ia ceritakan.
Mereka berbagi pagi, berbagi senja,
dan kadang-kadang, berbagi diam yang tidak perlu dijelaskan.
Ruang kosong itu masih ada.
Ia tidak mencoba menutupnya.
Tidak juga berusaha mengisinya.
Ia hanya berdamai.
Menerima bahwa di dalam dirinya akan selalu ada satu nama,
satu kenangan,
satu luka yang tak bisa dijelaskan pada siapa pun.
Dan itu tidak membuatnya kurang dalam mencintai yang sekarang.
Itu justru membuat cintanya lebih utuh—karena kini ia mencinta bukan untuk melupakan,
tetapi untuk memilih hadir sepenuhnya,
meski ada bagian kecil di dalam dirinya yang tetap tinggal di masa lalu.
Yuana tidak lagi berjalan dalam bayang-bayang.
Ia berjalan dalam cahaya yang ia ciptakan sendiri.
Dengan hati yang pernah luka,
tapi kini belajar menjadi rumah—untuk seseorang yang datang,
dan untuk dirinya sendiri.