Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
RASA DIDUA
Oleh Anjrah Lelono Broto
Terminal beranjak samun. Lalu lalang kendaraan berbadan lebar dengan puluhan nyawa di dalam rahimnya telah berkurang. Satu kendaraan yang melintas masuk akan disusul yang lain ketika jarum panjang jam tangan telah berputar dua puluh atau tiga puluh kali. Tidak hanya langkah malam yang menghadirkan samun. Namun, hujan turun yang tak kunjung berhenti juga berjasa besar dalam kesamunan di terminal ini. Melintas di tanah tanpa atap menuai kuyup. Memaksa melintas juga menuai sengatan dingin di kulit, di tulang. Semua memilih menahan diri, menanti hujan surut.
Sayangnya, hujan belum juga sudi untuk surut. Bulir-bulir airnya mengantan muka tanah tak terputus. Meski telah lama matahari senja hilang dari pandangan dan rembang petang pun berpamitan dengan santun, namun hujan juga belum berkurang mengapak dari langit. Tak terhitung berapa napas panjang yang terhela dari rongga dada ini. Besar kemungkinan juga rongga-rongga dada lain di terminal samun ini. Semuanya tercekau menggigil di bawah guyur hujan tanpa kompromi paksa menanti.
Menanti adalah penghabisan usia yang mencabik hati. Menanti redanya hujan saja telah sedemikian sakitnya, bagaimana jika aku adalah ibuku?
“Nu, jika kelak kau telah beristri, kamu harus bisa menjaga istrimu lahir dan batin,” kata ibu pada suatu malam ketika aku cuti pulang. Waktu itu, ayah tidak datang, jadi aku memilih membunuh waktu dengan menemani ibu. “Perempuan itu makhluk yang lemah. Laki-laki adalah sandaran kokohnya,” imbuhnya.
“Danu ingat selalu pesan ibu,” ujarku melegakan. Ibu terlihat senang. Rona merah di pipinya yang telah dimakan usia bercahaya. Aku bahagia bisa membahagiakannya.
Sesuatu hal lain yang selama ini menggeliat-menggelisahkanku mendesak lahir. Ruyakannya tak dapat kubendung, akhirnya, “tapi, Bu. Pandangan bahwa perempuan makhluk lemah itu yang menghembuskan adalah ayah dan teman-temannya, Bu,”
“Jangan memojokkan ayahmu lagi. Tidak kapok ya kamu, Nu?! Kakekmu di kampung dulu juga suka memberikan wejangan serupa. Perempuan adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan laki-laki sebagai sandaran hidup,”
“Kakek kan termasuk teman-teman ayah, Bu,” aku enggan mereda, “Ini adalah pandangan kaum adam yang ditanamkan ke perempuan, agar mereka bisa dengan mudah memegang dan mengendalikan kaum perempuan, kaumnya ibu,”
“Ini oleh-oleh kuliah di kesenian, mencari pengetahuan agar ibumu terlihat dungu,” suara ibu terdengar tinggi, aku memang kelewatan dalam berujar. “Menjadi laki-laki, menjadi perempuan, itu bukan pilihan. Itu takdir yang harus diterima manusia seperti kita. Menjadi laki-laki dan menjadi perempuan meski bukan pilihan tapi disertai dengan berlaksa konsekuensi. Kita diwajibkan oleh Tuhan untuk nrima ing pandum, menerima apa saja yang ditakdirkan-Nya untuk kita, whatever, whoever, wherever, whenever, juga however bagaimana jalan hidup kita masing-masing. Siapa yang tahu kalau kita berjodoh dengan siapa? Sampai kapankah perjodohan kita? Atau bagaimana perjalanan perjodohan itu sendiri? Pasti kakekmu juga pernah cerita kalau ayahmu memperistri ibu sebagai bagian dari pelunasan hutang kakekmu? Jika kamu bertanya apakah ayahmu benar-benar mencintai ibu dan sebaliknya, apakah ibu juga mencintai ayahmu? Nu, kamu yang harus menemukan jawabannya sendiri,”
“Maaf, Bu. Bukan maksud Danu!! Bukan!”
Aku tak berani beradu pandang dengan ibu ketika nada suaranya meninggi. Sejenak, kami terbunuh dalam samun seperti halnya terminal ini sekarang. Dengan ekor mataku, kulihat ibu kemudian merapikan jarit yang dipakainya, ujung-ujung kebayaknya lalu menjadi muara pelampiasannya. Beberapa saat ditikam diam, lalu ibuku yang berdandan bak perempuan penghuni keputren Taman Maduganda ini menyungging senyum di bibirnya. Aku seperti Abimanyu yang sedang menatap Dewi Sembadra.
Dengan kata terbata lalu aku membagi curah hati, “Hanya saja. Hingga hari ini, Danu masih susah untuk menerima bahwa ibu adalah istri kedua. Mengapa setiap melihat mata Mas Pri, Mbak Hanum, ataupun Dik Ning, saya melihat api?”
Ibu tidak langsung menjawab, justru senyum ibu semakin melebar seperti pelangi di atasku. Aku menjadi anai-anai yang tak sabar menanti tumbuhnya sayap di punggung. Menjelma laron, terbang tinggi, di antara warna-warna pelangi itu.
“Ibu tidak pernah mengajarimu untuk membuat atau memelihara api. Apalagi di dalam keluarga kita. Mereka juga keluarga kita. Mereka anak-anak ayahmu, suami ibu. Jadi, meski kau merasa melihat api di mata mereka, kau tak harus membalasnya dengan api,” suara ibu terdengar berat. Sesuatu yang bagiku mudah diungkap namun sukar dilengkapi dengan lakuan nyata.
“Hari ini ayah tak pulang ke sini, pasti pulang ke rumah ibu mereka. Bu, jika Mas Pri, Mbak Hanum, ataupun Dik Ning melihatku saat ini, Danu yakin, mereka juga melihat api di mataku,”
Ibu beringsut dari tempat duduknya, mendekatiku. Pandang matanya teduh namun menusuk ulu jantung. Tiba-tiba aku yang menjadi begitu lemah dan membutuhkan sandaran dari perempuan seperti ibu. Dielusnya rambutku. Lalu, dibiarkannya aku mengaduh dalam haribaannya. Tapi, tak ada air mata jatuh di pipiku waktu itu. Tidak juga ibu. Beliau justru tersenyum kemudian bersenandung kidung jawa lama. Kidung itu biasanya beliau senandungkan kala menemaniku tidur waktu kecil.
“Nu, kamu akan dewasa dengan banyak belajar,” bisiknya pelan di telingaku.
Blaaaarrrrrrrrr……
Petir menggelegar di langit terminal. Kesamunannya juga lamunanku tentang perbincanganku dengan ibu di sebuah waktu berkeping-keping dihentak gelegarnya. Untuk ke sekian kalinya, aku menghela napas panjang. Rongga dada ini mengurai berat beban pikir. Hingga kepala usiaku menginjak angka tiga, aku masih sulit untuk menerima bahwa ibu yang mengandungku adalah istri kedua ayahku.
Mataku lalu mengitari ceruk-ceruk terminal samun ini. Satu-dua penjual asongan dan calo-calo penumpang berserak di kursi tunggu, di lantai, di dinding-dinding. Serangan lelah karena memerah keringat sepanjang hari menyergap tak terbendung lagi. Di salah satu ceruk terminal, di sebuah toko, kudengar suara musik dangdut campursari mengalir renyah. Di tengah riuh bulir air hujan yang mengantan muka bumi, suara musik tersebut terdengar mengoase di telinga. Aku menghampiri, kering di tenggorokan ini juga yang mendorong langkahku untuk menghampiri.
“Pak!!” seruku pada sosok pria paruh baya yang melipat kepalanya di atas meja, di dalam toko. Pria itu tidak juga membuka lipatan kepalanya. “Minuman yang ini berapa?!” seruku sekali lagi kepadanya. Tetapi, pria itu tetap tidak juga membuka lipatan kepalanya. “Maaf, Pak! Berapa harga minuman ini?!” kali lebih keras aku berseru. Namun, lipatan kepala pria itu tidak kunjung terbuka.
Ingin rasanya melangkahkan kaki ke dalam ceruk toko dan menepuk pundak pria itu, membangunkannya, membuka lipatan kepalanya di atas meja. Separuh diri ini menghalangi tatkala menatap begitu nikmatnya istirahnya. Dia mungkin telah sepanjang hari mengukir hasrat kehidupan. Sekarang adalah waktu baginya untuk mengukir istirah.
Aku memilih menjauhi wajah tokonya di salah satu ceruk terminal yang beranjak samun itu.
Apa mataku tidak salah melihat? Arah jam delapan. Seorang perempuan berjaket biru memeluk tasnya erat. Beberapa anak rambutnya yang ikal, kuyup menjurai ke wajah. Bibirnya pasi. Dia menatap arah ke arah pintu masuk kendaraan-kendaraan berbadan lebar dengan gelisah. Sesekali, gelang kulit yang mengait jam tangannya dielus sarat cemas. Wajah perempuan itu adalah wajah adikku lain ibu, Dik Ning.
Ada sejumput keengganan untuk menyapa perempuan muda itu. Dia adalah saudariku, namun lain ibu. Berulang saat mata kami berserobok dalam beberapa acara keluarga, seperti kakak-kakaknya, dia menyimpan api dalam tatapannya. Baginya, juga kakak-kakaknya, ibukulah yang menjadi penyebab terbaginya kasih ayah. Ibuku adalah perempuan yang layak untuk dibenci oleh mereka. Sedangkan aku hanyalah pesaing ikutan, tak begitu berharga namun sepatutnyalah juga dibenci oleh mereka. Sedikit keberuntunganku, hanya aku yang menjadi anak ibu. Andaikata aku juga punya kakak atau adik maka besar kemungkinan mereka akan lebih membenci kami. Bertambahnya jumlah kami berarti bertambah pula anggaran yang diperuntukkan ayah kepada kami. Sesuatu yang sangat masuk akal menjelma bahan bakar untuk memperbesar api di mata mereka.
Aku memutar tubuhku. Wajahku kusembunyikan ke arah lain. Harapku, pandangan Dik Ning tidak sempat menyambarku. Tak menyapanya bisa menjadi materi gunjingan hangat-hangat tai ayam yang kian meruncingkan kebencian mereka kepada ibuku.
“Mas Nu!!” aku terlambat. Lidahku tercekat. Akhirnya, dengan memasang wajah kaget aku mendekat. “Sini, Mas. Aku sejak tadi melihat. Tapi aku ragu. Apa benar itu Mas Danu?”
Aku tidak menyangka kalau saudariku lain ibu ini kalau bicara selancar itu, apalagi kepadaku. “Benar, ini Mas Danu, Dik Ning tidak salah melihat,” kucoba membalas sapanya yang sederas guyuran air itu. Tapi mengapa, aku sendiri merasa basa-basiku kering seperti jemuran jamur kuping. Kututupi itu dengan cepat menyodorkan tangan sambil duduk di sampingnya.
“Mudik ini, Mas?”
“Iya. Kalau Dik Ning?”
“Idem, Mas Nu. Aku tadi sempat mikir kalau Mas Nu sedang tugas keluar kota. Tapi syukurlah kalau mudik juga. Alamat ada teman seperjalanan. Ada yang jaga. Biasanya laki-laki yang duduk di sebelah, sok akrab, ngajak kenalan, curhat, ujung-ujungnya minta nomor hape. Padahal ayah senantiasa berpesan agar aku hati-hati dengan orang asing,” Ayah. Dia menyebut ayah. Ayahnya adalah ayahku juga. Aku bergumam sendiri dalam hati. “Ralat, Mas Nu!! Ayah kita,”
Aku surutkan badan, aku memandang wajah bulat lonjong dengan mata lebar yang katanya-katanya mengalir deras itu. Rasanya sulit untuk percaya. Dik Ning yang biasa menyimpan api di matanya padaku dan ibuku kini berbicara deras seakan tanpa beban kepadaku. Dik Ning ganti menatapku dengan heran.
“Ada apa, Mas Nu? Apa napasku bau? Permenku terakhirku habis sepuluh menit lalu,”
“Dik Ning,” potongku, “Mas Danu tahu selama ini Dik Ning membenci ibuku. Iya kan? Ibuku memang layak dibenci. Keberadaannya dalam keluarga Dik Ning membuat perhatian ayah, ayah kita, terbagi. Mewakili ibu, saya minta maaf kepada Dik Ning, Mas Pri, Mbak Hanum, terutama ibu kalian,” entah angin apa yang mendorongku untuk bicara seperti itu.
Wajah Dik Ning sontak berubah. Keriangan yang tadi hinggap, sekarang terbang tak tentu rimbanya.
“Mengapa Mas Danu tiba-tiba ngomong seperti itu? Dari mana Mas Nu punya pikiran seperti itu? Dari mana? Ning yakin pasti tidak dari ibu Mas Danu!! Tapi bagaimana pikiran seperti itu bisa ada dalam benak Mas Nu?” saudariku yang lebih muda sepuluh tahun dariku ini seakan tak percaya dengan kata-kataku.
“Dik Ning tidak membenci ibuku?”
“Tentu saja tidak, ibu Mas Nu adalah ibuku juga, ibu Mas Pri, ibu Mbak Hanum. Jadi ini yang membuat selama ini Mas Nu menjauh dari keluarga!!”
“Mas Nu tidak menjaduh dari keluarga. Mas Nu hanya sadar diri, menyadari siapa Mas Nu dan ibu Mas Nu!” entah mengapa aku masih sulit mempercayai ujaran terakhir Dik Ning.
“Maafkan saya, Mas Nu, jika nanti ada kata-kata Ning yang kurang berkenan. Pertama kali ibu Mas Nu hadir dalam keluarga, tentu saja kami semua kurang bisa menerima. Terutama ibuku dan Mas Pri. Sedang Mbak Hanum waktu itu masih es-em-pe, belum memahami tentang poligami, istri tua, istri muda, de el el. Dan, Ning sendiri malah belum lahir. Tapi, lambat laun, justru ibu Mas Nu yang membuat kami belajar tentang nrima ing pandum, sumarah, dan belajar membaca tanda dengan titen. Hidup hanyalah mampir ngombe, siapa yang menebar angin akan menuai badai, siapa sedang yang menyebarkan benih-benih kebaikan akan menuai kebaikan pula. Ini yang membuat ibuku kemudian begitu malu dan menghormati ibu Mas Danu. Meski lebih muda ternyata ibu Mas Danu lebih bijak memandang hidup. Begitu kata-kata ibu kepada kami semua, Mas Nu,”
Terminal semakin samun. Jarum jam yang bergerak di pergelangan tangan detaknya terasa ke nadi, mengalir jauh ke ceruk-ceruk jantung. Hujan yang mengapak dari langit sudi mengurangi guyurannya. Di lantai terminal yang basah oleh sepau air hujan, aku merasa limbung dihantam alun. Mereka lebih bisa membaca ibuku ketimbang diriku sendiri. Sekarang, aku yang sangat malu.
Terasa jemari lentik saudariku melepaskan satu demi satu jari-jariku yang mengiringi telapak tangan menutupi wajah. “Mas Nu tidak harus merasa malu, ibuku perlu waktu bertahun-tahun, Mas Pri lebih lama lagi,”
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirku. Kupeluk erat pundak Dik Ning untuk menebus semuanya. Terutama, semua perasaan tentang diduakan yang selama ini bersinggasana di benakku. Terminal kian samun, tapi tidak dengan hatiku.
*******