Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Rapimnas Desa Gendeng
0
Suka
44
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sebuah negeri yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, terletak sebuah desa kecil bernama Gendeng. Jangan tertipu oleh namanya. Bukan, ini bukan desa gila — meskipun kalau kamu ikut rapat bulanannya, kamu mungkin akan berpikir sebaliknya. Desa Gendeng terkenal bukan karena sawahnya yang subur atau warganya yang rajin, tapi karena rapat rakyatnya yang selalu penuh drama, tawa, bahkan kadang lebih seru dari sinetron nasional.

Di desa ini, setiap bulan diadakan Rapimnas — Rapat Pimpinan Nasional Desa. Namanya saja sudah heboh: nasional. Padahal ya, ini cuma desa kecil yang kalau malam lampunya redup dan sinyal HP-nya suka ngilang. Tapi bagi warga Gendeng, Rapimnas ini penting. Di sinilah mereka memutuskan hal-hal besar: siapa yang jadi ketua RT, siapa yang dapat jatah beras subsidi, sampai ide-ide “brilian” untuk memajukan desa.

Tokoh utama kita adalah Pak Roso, sang kepala desa. Orangnya terkenal pintar bicara, tapi sayangnya sering lupa isi pidatonya. Setiap rapat, dia selalu membawa yang dia sebut “strategi jitu”, tapi hasil akhirnya selalu sama: debat kusir tanpa ujung.

Suatu hari, Rapimnas kembali digelar di balai desa. Semua warga berkumpul. Ada ibu-ibu arisan yang diam-diam membawa jaring-jaring gosip, bapak-bapak petani yang membawa alat pertanian sekadar buat pamer, dan para pemuda yang lebih sibuk main hape daripada mendengarkan rapat. Balai desa riuh, suasananya seperti pesta kecil.

Pak Roso membuka rapat dengan semangat. “Saudara-saudaraku! Hari ini kita harus menentukan kebijakan penting: bagaimana caranya membuat desa Gendeng maju dan makmur! Saya punya gagasan cemerlang yang akan mengubah segalanya!” katanya sambil membuka map penuh kertas.

Tiba-tiba, Pak Roso terdiam. Dia menatap kertas-kertas itu, lalu mengerutkan kening. “Eh… kok ini surat undangan arisan ibu-ibu semua ya?” katanya polos. Seluruh balai desa meledak tertawa, kecuali Bu Sari, ketua arisan, yang mukanya langsung merah padam.

“Pak, ini serius! Kita harus bahas program desa!” desak Bu Sari sambil melipat tangan di dada.

Pak Roso mencoba menguasai panggung lagi. “Baiklah, baiklah. Gagasan saya adalah: kita buat Program Revolusi Digital! Kita kasih laptop ke semua warga supaya bisa belajar online, jualan online, bahkan… ngurus administrasi desa online!”

Laptop? Di desa?!” teriak Pak Jono, seorang petani jagung. “Saya saja sinyal HP di rumah kadang putus-putus, Pak!”

“Ya, itulah tantangannya, Pak Jono,” jawab Pak Roso dengan percaya diri. “Kita harus modernisasi!”

Di pojok, seorang pemuda bernama Dedi, yang selama ini sibuk main hape, tiba-tiba angkat tangan. “Pak, soal sinyal, saya punya solusi! Kita pasang menara BTS sendiri. Tapi modalnya gimana?”

Pak Roso menggaruk kepala. “Modal? Ah, itu urusan belakangan. Yang penting ide dulu!” katanya enteng.

Rapat makin ramai. Ada yang usul beli ayam untuk dikembangbiakkan, ada yang usul bikin kolam ikan, ada juga yang mengusulkan bikin taman selfie supaya desa terkenal di Instagram. Tapi yang paling menyedot perhatian adalah ketika Pak Roso mulai membahas isu politik besar: pemilihan ketua RT.

“Pemilihan ketua RT ini penting sekali! Kalau salah pilih, bisa-bisa desa kita nggak maju-maju!” kata Pak Roso dengan nada penuh semangat.

Tiba-tiba muncul Pak Slamet, tetangga sebelah yang terkenal doyan beretorika. Dia berdiri dan berkata, “Saya mengusulkan supaya pemilihan ketua RT dilakukan secara transparan dan demokratis. Setiap warga harus punya hak suara, tanpa intimidasi atau sogokan!”

Semua warga mengangguk-angguk. Tapi Bu Sari melirik Pak Slamet dengan tatapan sinis. “Itu gampang diomongin, Pak Slamet. Tapi di lapangan nanti kan beda cerita. Kadang yang kuat modal atau yang paling jago ngomong itu yang menang.”

Pak Slamet tersenyum sinis. “Kalau begitu, mari kita bikin debat terbuka antar calon ketua RT supaya warga bisa menilai kemampuan mereka.”

Pak Roso mengangguk-angguk. “Wah, ide bagus itu! Kita bikin debat terbuka, lengkap dengan moderator dan juri dari warga,” katanya sambil tepuk tangan sendiri.

Namun, sebelum rencana debat dilaksanakan, datanglah seorang tamu tak diundang: Pak Mantri, seorang pegawai pemerintah yang terkenal suka korupsi dan selalu bikin ribut di rapat. Dengan langkah santai tapi penuh wibawa, dia berdiri di depan warga.

“Saya punya ide yang lebih praktis,” katanya lantang. “Kenapa kita repot-repot debat kalau bisa langsung dipilih oleh saya?”

Suasana langsung tegang. Semua warga tahu maksud Pak Mantri: dia ingin memilih sendiri ketua RT yang bisa dia kendalikan supaya proyek desa lancar… untuk dirinya sendiri.

Namun, tiba-tiba Dedi berdiri dengan berani. “Pak Mantri, ini desa demokrasi. Kita semua berhak menentukan masa depan kita. Kalau Pak Mantri pilih sendiri, itu namanya diktator kecil!”

Suasana makin panas. Pak Mantri meradang. “Hahaha! Kamu pikir aku takut sama anak muda kayak kamu? Jangan sok pahlawan, nanti kamu tahu akibatnya!”

Pak Roso buru-buru menengahi. “Tenang, tenang. Kita semua warga desa satu keluarga. Mari kita gunakan suara dan akal sehat, bukan ancaman dan intimidasi.”

Namun, suasana lucu justru muncul ketika Bu Sari tiba-tiba angkat suara. “Kalau gitu, saya usul saja: debat ketua RT diadakan di lapangan bola, pakai mikrofon, dan semua warga boleh bawa cemilan supaya suasana santai. Kalau ada yang berantem, kita bubarkan arisan!”

Semua warga tertawa keras. Bahkan Pak Mantri cuma bisa menghela napas panjang, sementara Pak Slamet tersenyum menang.

Hari pemilihan pun tiba. Debat terbuka berjalan seru. Ada calon yang lupa isi pidato, ada yang tiba-tiba kena cegukan, ada juga yang malah ngelawak dan bikin warga tertawa sampai lupa mau milih siapa. Namun, pada akhirnya, Pak Jono — petani jagung yang sederhana tapi jujur — terpilih sebagai ketua RT.

Saat diumumkan, Pak Jono berdiri di depan warga. Dengan suara mantap, dia berkata, “Saya janji akan kerja untuk semua warga tanpa pilih kasih. Kita bangun desa Gendeng bersama-sama.”

Pak Roso menutup rapat dengan pidato singkat, “Desa Gendeng memang kecil, tapi semangat demokrasi kita besar. Dengan humor dan semangat gotong royong, kita pasti bisa maju!”

Semua warga bertepuk tangan. Bu Sari pun tersenyum sambil berbisik ke teman-temannya, “Yah, asal jangan lupa bawa cemilan ke rapat berikutnya ya!”

Cerita di desa Gendeng ini mengingatkan kita semua bahwa politik dan pemerintahan bukan cuma soal kekuasaan, aturan, atau keseriusan. Politik adalah tentang kebersamaan, tentang bagaimana satu komunitas kecil bisa tertawa bersama, berdebat bersama, dan tetap berdiri bersama meskipun penuh kekonyolan.

Kadang kita lupa, demokrasi bukan cuma soal siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demokrasi adalah soal menjaga hati dan pikiran tetap terbuka, mendengarkan satu sama lain, dan tidak menyerahkan keputusan hanya pada mereka yang punya kekuatan atau modal.

Di desa kecil seperti Gendeng, nilai-nilai itu terasa begitu dekat. Mereka mungkin tidak punya gedung megah, tidak punya sinyal internet yang kuat, bahkan kadang tidak punya cukup uang untuk modal. Tapi mereka punya sesuatu yang jauh lebih penting: semangat gotong royong dan kejujuran.

Kalau saja semua pemimpin — dari tingkat desa sampai pusat — bisa belajar dari semangat desa kecil ini, mungkin kita semua bisa melihat wajah politik yang lebih ceria, lebih jujur, dan lebih manusiawi. Bukan politik yang menakutkan, tapi politik yang penuh tawa, cemilan, dan debat lucu di lapangan bola.

Karena pada akhirnya, seperti kata Pak Roso, “Dengan humor dan semangat gotong royong, kita pasti bisa maju!”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Rapimnas Desa Gendeng
Muhammad Rizqi Fachrizal
Cerpen
Bronze
Nenek ku Super
Novita Ledo
Komik
Tajir Man
Azli
Flash
Bronze
Bong Li Mei
Onet Adithia Rizlan
Komik
Ron Macaron's
puguh rizki brajananta
Flash
Makan Bergizi Gratis
Reyan Bewinda
Cerpen
Aku Dan My Oboss
Lavender Fla
Cerpen
Ada Apa di Balik Itu?
Kinanthi (Nanik W)
Flash
PETELOT (Jawa)
Wiji Lestari
Cerpen
Bronze
Galon vs Gas Melon
Claire The
Komik
Balada Budak Korporat
Jay Ryady
Cerpen
Bronze
Adu Teka-Teki di Kafe
kevin andrew
Cerpen
Lawakan Geri
Kiara Hanifa Anindya
Flash
Alasan Berteman
Karlia Za
Cerpen
Zenki, Elya, El-Zenki, Zenki, Zenki
Muhammad Ilfan Zulfani
Rekomendasi
Cerpen
Rapimnas Desa Gendeng
Muhammad Rizqi Fachrizal
Cerpen
Lelaki di Bawah Pohon Beringin
Muhammad Rizqi Fachrizal