Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semalam, usai perjalanan astral yang mengguncang, aku terbangun dengan napas tersengal, leher dicekik oleh kekuatan tak terlihat, dan telapak tangan basah oleh keringat dingin. Dalam sekejap, aku terpental ke masa lalu, tepat sebelum kemerdekaan Indonesia, di mana aku bertemu Susi Maharani—sebuah pertemuan yang terasa begitu nyata, seakan aku benar-benar hidup di era itu, merasakan setiap detak dan emosi yang membara.
Aku berada di sebuah rumah besar yang dipenuhi oleh suasana duka mendalam. Aroma bunga melati yang begitu kuat memenuhi udara, bercampur dengan bau lilin yang meleleh, menciptakan suasana yang begitu tenang namun mencekam. Para tamu, dengan wajah murung dan berpakaian serba hitam, keluar masuk rumah, menyampaikan belasungkawa dengan bisikan pelan, seolah takut mengganggu keheningan yang menyesakkan.
Di tengah ruangan yang sunyi, seorang ibu muda terduduk lemah di samping peti jenazah anak semata wayangnya, Deon Brielle, yang telah berpulang pada usia delapan tahun. Wajahnya pucat pasi, mencerminkan kesedihan yang begitu mendalam. Matanya sembab, bukti dari malam-malam tanpa tidur yang dihabiskannya untuk menangis. Tangannya yang gemetar tak henti-hentinya menyentuh wajah dingin anaknya, seolah berharap kehangatan hidup masih ada di sana. Rasa tidak percaya dan keengganan untuk menerima kenyataan pahit ini tergambar jelas dari setiap gerakannya yang penuh rasa kehilangan.
Di sekelilingnya, suasana penuh duka menyelimuti seluruh ruangan, membuat udara terasa begitu berat. Sementara kerabat yang hadir hanya bisa terdiam, menyaksikan penderitaan seorang ibu yang tak terlukiskan oleh kata-kata. Setiap isakan halus yang terlepas dari bibirnya menambah kepedihan di hati mereka yang menyaksikan, seolah ikut merasakan luka yang tak terperikan itu.
Di sudut lain ruangan, dua polisi dengan wajah serius menghampiri Tuan Albert, ayah dari almarhum. Wajah Tuan Albert tegang dan muram, bayangan kelelahan terpancar dari matanya yang suram. Mereka berbicara pelan di sudut yang sepi, hampir tak terdengar oleh yang lain. Pembicaraan itu penuh ketegangan, seolah ada sesuatu yang tidak beres di balik kematian Deon. Sesekali, Tuan Albert melirik ke arah kerumunan tamu dengan tatapan kosong, seperti sedang mencari jawaban di tengah kabut ketidakpastian yang menyelimutinya. Kegelisahan jelas terlihat di wajahnya, memancarkan aura kecemasan yang menular kepada siapa saja yang melihatnya.
Sementara itu, Susi Maharani, seorang guru bahasa dan wali kelas Deon, menghampiri ibu Deon dengan langkah yang berat. Setiap langkah yang dia ambil terasa seperti beban yang semakin menekan jiwanya. Susi tidak hanya seorang guru bagi Deon; dia adalah sosok yang peduli dan memperhatikan setiap anak didiknya dengan sepenuh hati. Melihat ibu Deon dalam keadaan yang hancur seperti itu, Susi merasa seolah dunia runtuh di sekitarnya.
Dia berlutut di samping ibu Deon yang masih terisak, tangannya yang gemetar menyentuh pundak ibu itu dengan lembut, berusaha memberikan kekuatan di tengah duka yang begitu dalam. Susi merasa hatinya ikut terkoyak, merasakan kesedihan yang luar biasa melihat orang yang begitu disayanginya pergi begitu cepat.
Dengan suara yang nyaris pecah oleh tangis yang tertahan, Susi berkata, "Bu, Deon adalah anak yang sangat pintar dan baik. Kami semua sangat kehilangan dia. Dia adalah cahaya di kelas kami, dan kepergiannya meninggalkan duka besar di hati kami semua."
Ibu Deon menggenggam tangan Susi dengan erat, seakan menggenggam sisa-sisa kekuatan yang dia miliki. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi tangan Susi yang gemetar. "Terima kasih, Bu Susi. Deon selalu bercerita tentang kebaikan dan perhatian Anda di sekolah," isaknya dengan suara serak, penuh dengan rasa sakit yang tak terucapkan.
Keheningan memenuhi ruangan, hanya dipecahkan oleh isak tangis dan doa pelan untuk arwah Deon. Semua orang tenggelam dalam kesedihan mendalam, merasakan duka keluarga yang kehilangan anak penuh harapan. Atmosfer rumah itu begitu berat, penuh dengan kesedihan yang menyayat hati, seolah waktu berjalan lambat dalam keheningan yang hampa.
Polisi yang semula berdiri di sudut ruangan perlahan mendekati Susi. Mereka menatapnya dengan pandangan serius, meminta keterangan lebih lanjut tentang kematian Deon. Susi, meski terguncang oleh duka, tahu bahwa dia harus membantu mereka menemukan kebenaran di balik kematian tragis murid yang sangat dia sayangi. Dengan langkah berat, tanpa ragu, Susi mengikuti mereka menuju mobil, meninggalkan rumah yang kini penuh dengan kenangan pahit dan duka yang mendalam.
Susi duduk di kursi belakang mobil, perasaan cemas mulai merayap ke dalam dirinya. Kedua pria di depan, yang awalnya berpenampilan resmi, kini menunjukkan tanda-tanda aneh. Gerakan mereka kaku, seperti menghafal dialog yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Susi merasakan sesuatu yang tidak beres, tapi dia berusaha menenangkan diri.
Namun, saat dia melirik ke kaca spion, wajah pria yang mengemudi tampak berbeda. Mata pria itu penuh dengan niat jahat yang membuat jantung Susi berdegup kencang. Kecemasan Susi berubah menjadi ketakutan. Instingnya memberontak, seolah berteriak bahwa dia berada dalam bahaya besar. Tapi sebelum dia bisa bereaksi, pria di sebelahnya tiba-tiba membekap mulutnya dengan kuat, mengunci jeritannya.
Susi meronta, mencoba melepaskan diri, namun kekuatan pria itu jauh di luar kemampuannya. Sakit dan panik mulai menguasai pikirannya. Tangan pria itu menutup mulutnya dengan erat, dan dia merasakan bau menyengat dari kain yang ditekan ke wajahnya.
"Tidak! Apa yang kalian lakukan?!" Susi berteriak di dalam hati, tapi suaranya tak terdengar keluar.
Pria itu menarik sebuah botol kecil dari saku jaketnya, membuka tutupnya dengan tangan satunya. Cairan di dalam botol itu memancarkan bau menyengat yang langsung membuat perut Susi mual. Dia berusaha memalingkan wajahnya, tetapi pria itu lebih cepat, memaksakan cairan tersebut masuk ke dalam mulutnya.
Cairan itu terasa pahit dan membakar tenggorokannya. Susi berusaha memuntahkannya, tapi sebagian besar sudah tertelan. Kepanikan menyergapnya; tubuhnya mulai bereaksi terhadap racun tersebut. Keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat setiap gerakan terasa lambat dan lemah.
Mata Susi mulai kabur, dunia di sekitarnya berputar. Tubuhnya melemas, rasa panas menjalar di sepanjang tenggorokannya, sementara pandangannya semakin buram. Dia merasa seolah-olah tenggelam dalam kegelapan, dengan napas yang tersengal-sengal dan rasa nyeri yang menyebar.
Mobil berbelok tajam, dan Susi merasakan guncangan keras dengan pandangannya kian buram. Dalam upaya terakhir, dia mencoba meraih pegangan pintu, berharap bisa membuka pintu dan melarikan diri. Namun, tenaganya sudah habis. Tali yang mengikat pergelangan tangannya terlalu kuat, dan racun di dalam tubuhnya mulai bekerja lebih cepat dari yang dia kira.
“Tidak... aku tidak bisa…” bisiknya nyaris tak terdengar. Suaranya tercekik, napasnya terputus-putus. Pandangan Susi kian mengabur, matanya perlahan-lahan menutup. Di tengah kabut kesadarannya yang semakin pudar, dia mendengar suara tawa sinis pria-pria itu, seperti gema yang menjauh.
“Sudah terlambat, Nona,” suara dingin pria itu terdengar seperti bisikan terakhir yang Susi dengar sebelum kesadarannya lenyap sepenuhnya. Dunia di sekitarnya tenggelam dalam kegelapan pekat, meninggalkan hanya rasa dingin dan ketidakberdayaan yang mengerikan.
Mobil akhirnya berhenti dengan kasar di depan sebuah rumah tua yang tampak mengerikan. Rumah bergaya Belanda itu terletak di tengah kebun yang lebat dan tidak terawat, dengan arsitektur kuno yang menyiratkan masa lalu yang kelam. Dinding-dindingnya yang retak dan berlumut tampak seakan-akan pernah menyaksikan banyak tragedi.
Tubuh Susi semakin kaku, seolah setiap detik yang berlalu membuatnya lebih dekat pada akhir yang tidak bisa dia hindari. Dia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya tidak lagi merespons. Usahanya untuk bergerak terasa sia-sia, hanya menambah rasa putus asa yang sudah menggulung dalam dadanya.
Pintu mobil terbuka dengan deritan tajam, seperti jeritan dari kedalaman neraka. Dua pria berpakaian polisi, yang sebenarnya adalah penyamar dengan niat jahat, mengangkat Susi yang sudah hampir tak sadarkan diri. Dia mencoba berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tubuhnya hanya terkulai lemah, tidak berdaya, saat mereka membawanya ke dalam rumah tua yang gelap.
Begitu pintu rumah terbuka, suara deritannya menggema di seluruh lorong, menambah suasana menyeramkan yang menyelimuti tempat itu. Udara di dalam rumah terasa dingin dan lembab, dengan aroma busuk yang menyengat. Bau tanah dan kayu lapuk bercampur dengan sesuatu yang lebih menjijikkan, seperti sisa-sisa kematian yang tak terjamah.
Mereka membawa Susi melewati lorong sempit yang berliku, menuruni tangga kayu yang berderit setiap kali diinjak, seolah mengancam akan runtuh kapan saja. Langkah mereka terhenti di sebuah ruangan besar yang tersembunyi di bawah tanah, penuh dengan barang antik yang telah ditinggalkan waktu. Cahaya remang-remang dari lentera di tangan salah satu pria menyoroti bayangan benda-benda tua yang tampak seperti saksi bisu kejahatan masa lalu.
Di sudut ruangan itu, terdapat sebuah lubang besar yang tampak seperti bekas galian yang sudah lama ditinggalkan. Dinding-dinding lubang itu ditumbuhi lumut dan ditutupi oleh serpihan kayu busuk. Tanpa ragu, mereka mengangkat tubuh Susi dan menurunkannya ke dalam lubang itu. Tubuhnya tergeletak lemah, seolah dipersiapkan untuk dihapus dari dunia ini tanpa jejak.
Rasa dingin dari tanah di bawahnya mulai menyerap ke dalam tubuh Susi. Kejang mulai merayapi tubuhnya, dan busa keluar dari mulutnya, menambah ketegangan yang sudah memuncak. Mereka berdiri di atas lubang itu, memandanginya dengan tatapan kosong yang dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan.
“Dia akan segera lenyap,” kata salah satu pria dengan nada rendah, hampir seperti bisikan yang terhempas oleh angin malam.
Tanpa membuang waktu, mereka mulai menimbun tubuh Susi dengan tanah. Setiap gumpalan tanah yang jatuh terasa seperti pukulan terakhir bagi Susi yang sudah kehilangan kekuatannya. Racun yang mengalir di nadinya membuat setiap napas menjadi perjuangan yang menyakitkan. Dia tahu, dalam hati kecilnya, bahwa ini adalah akhirnya.
Susi mencoba berdoa, meminta perlindungan dari kekuatan yang lebih tinggi. Namun, rasa sakit yang luar biasa dan kepanikan yang melanda membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Doanya terputus-putus, dan sebelum bisa menyelesaikannya, kegelapan total meliputinya. Napas terakhirnya hilang dalam kesunyian ruangan, tertelan oleh tanah yang menutupi tubuhnya sepenuhnya.
Ketika lubang ditutup, rumah tua itu kembali sunyi. Tidak ada suara selain bisikan angin yang menerobos celah-celah jendela yang rusak. Mereka meninggalkan ruangan itu tanpa melihat ke belakang, membawa rahasia gelap mereka yang tak terucapkan.
Aku berdiri di depan timbunan tanah itu, merasakan kepedihan yang menusuk. Susi benar-benar tak bisa diselamatkan. Tubuhnya lenyap, ditelan bumi, meninggalkan jejak tak terlihat dari tragedi yang tak termaafkan. Aku berusaha keras untuk menyelamatkannya, namun batasan portal ini tak dapat kutembus lebih dalam. Seolah-olah, aku hanyalah saksi bisu dalam kisah pilu Susi, terpenjara dalam batas-batas dimensi alam.
Dengan hati yang berat, aku mencoba menyentuh tumpukan tanah hasil galian itu, berharap bisa merasakan sisa-sisa energi Susi. Namun, saat tanganku mendekati tanah, seketika aku merasakan tarikan kuat. Dalam sekejap, dunia di sekitarku berputar, menarikku ke dalam dimensi waktu lain.
Aku terhempas ke masa lalu, tepat satu hari sebelum kematian Deon dan Susi. Suasana di sekelilingku berubah drastis; aku kini berada di tengah-tengah peristiwa yang menuntunku untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Seolah diberi kesempatan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi sebelum tragedi itu merenggut nyawa mereka.
Aku berdiri di sudut belakang kelas. Langit di luar jendela semakin gelap, pertanda hujan deras akan segera tiba. Di hadapanku, Susi Maharani, sang guru, sedang mengajar dengan penuh perhatian. Pada papan tulis, dia menuliskan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris, sementara enam belas muridnya sibuk menyelesaikan tugas. Di antara mereka, Deon Brielle—dengan rambut pirangnya yang mencolok—terlihat begitu berbeda. Wajahnya yang blasteran adalah perpaduan antara ayah Belanda dan ibu pribumi.
Deon duduk di bangku paling depan, dekat dengan meja guru. Tiba-tiba, dia memukul meja dengan keras, berteriak lantang bahwa dia bosan, membuat suasana kelas berubah riuh. Aku mencoba mendekatinya, berharap bisa menenangkannya seperti biasanya, namun langkahku terhenti ketika seseorang menarik tanganku dari belakang. Aku menoleh dan melihat sosok pria pribumi nan gagah menatapku dengan tegas. Pria itu adalah Chandra, yang ternyata ditugaskan oleh sang Ayah untuk mendampingi Deon dan melindunginya dari bahaya.
Aku berusaha melepaskan genggamannya dan berkata, "Aku ingin menangkannya!."
Namun, setiap kata yang keluar dari mulutku terasa aneh, seolah-olah aku ikut terbawa dalam alur perjalanan astral ini tanpa bisa melakukan sesuatu sesuai kehendakku. Chandra dan aku saling menatap, aura intimidasi mengelilingi kami. Dengan sekuat tenaga, aku akhirnya berhasil melepaskan genggamannya.
Di depan kelas, Deon terlihat semakin agresif. Ketidaknyamanan memenuhi wajahnya karena teman-temannya masih sibuk mengerjakan soal, sementara dia sudah menyelesaikannya dengan nilai sempurna. Kemampuan bahasa yang dimiliki Deon, berkat latar belakang keluarganya yang sering menggunakan beberapa bahasa seperti; Belanda, Inggris, dan Melayu, membuat pelajaran ini terasa terlalu mudah baginya.
Deon terus berteriak, memukul meja, menciptakan keributan sambil mengucapkan berbagai kata dalam bahasa yang berbeda-beda. Beberapa saat kemudian, kelelahan mulai terlihat pada dirinya. Deon mengambil botol air dari tasnya, meneguknya untuk menghilangkan dahaga.
Aku mencoba berbicara padanya, memintanya untuk tenang hingga pelajaran selesai. Namun, Deon tidak mendengarkan, malah semakin keras berteriak. Aku semakin mendekatinya, mempertegas ucapanku, tetapi Chandra kembali menarikku ke tempatnya berdiri.
Tanganku terasa sakit akibat cengkeramannya yang begitu kuat. Dengan suara rendah namun tajam, Chandra berkata, "Kamu bukan bagian dari dunia kami."
Tatapan matanya menembus jiwaku. Aku terdiam, tersadar bahwa dia mengetahui kebenaran—bahwa aku bukanlah bagian dari dunia mereka. Dalam hati, aku hanya bisa berbisik, "Aku ingin mengetahui apa yang telah terjadi."
Sayangnya, ucapanku seolah tak terdengar oleh Chandra, seperti ada batasan tak terlihat yang menghalangi informasi yang seharusnya bisa membuka matanya terhadap kenyataan yang tak ia ketahui.
Di luar, hujan mulai turun dengan deras, suara gemericiknya memenuhi udara. Aku memutuskan untuk keluar, membiarkan diriku bermain di bawah hujan, merasakan kebebasan yang telah lama hilang. Deon, penasaran dengan tindakanku, mengikuti langkahku keluar dari kelas. Sementara itu, Chandra, dengan wajah penuh kewaspadaan, berdiri di ambang pintu, mengawasi kami dengan cermat.
Aku meraih tangan Deon, mengajaknya untuk bermain hujan bersamaku. Awalnya, dia tampak ragu, tetapi akhirnya, dia tersenyum dan larut dalam kegembiraan yang kurasakan. Kami menari di bawah hujan, tertawa bersama, merayakan kebebasan.
Namun, kegembiraan kami tidak bertahan lama. Deon tiba-tiba terbatuk, wajahnya pucat, dan dia mulai kesulitan bernapas. Tubuhnya terkulai lemas di tengah hujan. Chandra segera berlari menghampiri kami, mengangkat Deon, dan membawanya pergi dengan mobil tua yang sudah menunggu di depan sekolah. Aku hanya bisa berdiri terdiam, menyaksikan semua itu terjadi begitu cepat. Sementara itu, Susi keluar dari dalam kelas dengan wajah panik, melihat mobil itu melaju menjauh tanpa izin atau sepengetahuannya sebagai guru. Hujan semakin deras, seolah turut mengiringi kepergian Deon dan meninggalkan sekolah dengan rasa khawatir.
Seketika, aku mendapati diriku di sebuah rumah sakit, seolah-olah kejadian di sekolah barusan hanyalah sebuah kilas balik. Namun, aku tahu perjalanan astralku masih berlanjut.
Dokter memeriksa tubuh Deon dengan cermat, namun segera menggelengkan kepalanya—Deon tidak selamat. Wajahnya tampak lelah dan penuh keputusasaan. Dengan tangan gemetar, Chandra meraih telepon rumah sakit untuk menghubungi keluarga Deon. Suaranya berat dan serak saat menyampaikan kabar yang menghancurkan hati mereka.
Tak lama kemudian, Tuan Albert dan istrinya tiba di rumah sakit. Wajah mereka dipenuhi air mata dan keputusasaan. Ibunya jatuh berlutut di samping tubuh Deon, menangis histeris dan meratapi kepergian anaknya yang mendadak. Sementara itu, Tuan Albert diliputi amarah tak terkendali. Ia menarik Chandra ke sudut halaman rumah sakit dan menamparnya berulang kali, air mata kemarahan bercampur dengan kesedihan yang mendalam.
"Kenapa harus anak saya yang mati?!" teriak Tuan Albert dengan logat Belanda yang kental, suaranya penuh kebencian yang menyayat. Matanya yang merah menyala memancarkan kemarahan yang begitu dalam, menembus jiwa Chandra yang tetap diam tak melawan.
"Kenapa harus anak saya?!" Tuan Albert berteriak semakin keras, suaranya menggema di lorong rumah sakit yang sunyi, namun Chandra tetap tak bergerak, menundukkan kepalanya dengan pasrah, menerima semua kemarahan yang dilampiaskan padanya.
Tuan Albert menarik napas dalam-dalam, seolah merencanakan sesuatu yang lebih gelap. Dia mendekati Chandra, berbisik di telinganya dengan kata-kata yang tak dapat kudengar. Chandra mengangguk, wajahnya menunjukkan ketundukan yang menyakitkan, lalu pergi tanpa sepatah kata.
Aku mengikuti Chandra. Langkahnya tenang, namun bebannya terasa berat. Dari kejauhan, aku melihatnya masuk ke dalam wartel dan mulai menelepon seseorang. Percakapannya terdengar samar, tetapi intuisiku mengatakan bahwa ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar dan kelam.
Aku mencoba menyentuh Chandra, berharap bisa berkomunikasi dengannya, tetapi tanganku hanya menembus tubuhnya seperti menembus kabut yang tak nyata. Rasanya ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami—batasan yang tak dapat kutembus, menghalangi upayaku untuk mengungkap kebenaran pada Chandra.
Aku memejamkan mata, memusatkan seluruh energiku untuk membuat Chandra sadar akan kehadiranku. Aku berdiri tepat di belakangnya, berharap keberadaanku bisa dirasakannya. Ketika Chandra berbalik, ia tampak terkejut melihatku—begitu nyata di hadapannya. Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap, batas antara dunia kami pecah, menciptakan pertemuan yang tak terduga antara dua dunia yang berbeda, menghadirkan momen penuh keheranan dan keajaiban.
Dengan suara bergetar dan mata penuh ketakutan, aku segera memohon, "Tolong, hentikan!" Rasa putus asa yang begitu mendalam terasa di setiap kata yang keluar dari mulutku, seolah-olah itu adalah harapan terakhir yang kumiliki.
Namun, sikap Chandra sungguh di luar dugaanku. Tanpa peringatan, ia langsung mencekik leherku dengan kuat. Wajahnya yang tampan berubah beringas, dipenuhi amarah yang tak terkendali. Aku berusaha sekuat tenaga melepaskan diri, namun genggamannya terlalu kuat. Mataku mulai berlinang, menahan sakit yang luar biasa. Wajahku memerah, dan napasku semakin tersendat, seolah hidupku di ujung tanduk.
Ketika pandangan mulai kabur dan napas semakin berat, kilasan memori kehidupan Chandra melintas di hadapanku seperti film yang dipercepat. Aku melihatnya sebagai korban manipulasi Tuan Albert, yang memaksanya melakukan berbagai kejahatan. Kilasan itu mengungkap bagaimana Albert menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk memaksa Chandra terlibat dalam rencana gelap, termasuk membunuh Susi—wanita yang mengetahui tentang ambisi kotor Albert untuk menjadi pejabat kota.
Aku melihat jelas bagaimana Tuan Albert memerintahkan Chandra untuk mencampurkan racun ke dalam minuman Susi untuk melindungi rahasia gelapnya. Namun, di balik sikap dingin Chandra, tersembunyi niat balas dendam. Chandra, ternyata anak kandung Albert dari hubungan terlarang, menyimpan dendam mendalam. Selain menjalankan perintah Albert, ia merencanakan balas dendam yang sudah lama di sembunyikan.
Dendam mendalam atas kematian ibunya di tangan Albert mendorong Chandra untuk merencanakan sesuatu yang lebih gelap. Dia menyiapkan dua botol air berisi racun—satu untuk Susi dengan kadar racun mematikan, dan satu lagi untuk Deon dengan kadar racun yang akan membunuhnya secara perlahan. Chandra berencana membalas perbuatan Albert dengan kematian Deon. Namun, nasib berbalik. Deon secara tidak sengaja menukar minumannya dengan milik Susi, yang lebih penuh. Akibatnya, racun yang ditujukan untuk Susi malah mengalir ke dalam tubuh Deon. Jantungku berdegup kencang saat aku menyadari kebenaran mengerikan ini—sebuah ironi pahit yang mengungkap rencana jahat Albert dan penyebab kematian Deon.
Cengkeraman Chandra semakin menjerat, membuat napasku terasa semakin pendek. Namun, tiba-tiba, sebuah cahaya terang membelah kegelapan, dan sosok Satyabama muncul. Dengan kekuatannya, ia mendorong Chandra menjauh, menyelamatkanku dari ancamannya. Satyabama membawaku keluar dari bahaya. Aku terengah-engah, mencoba meraih kembali napas yang hilang, sementara tatapan lembut Satyabama menyiratkan kasih sayang dan genggaman tanggannya menunjukan sebuah perlindungan untukku.
"Terima kasih telah menyelamatkanku," ucapku lemah, penuh rasa syukur.
Satyabama tersenyum tipis, tatapannya serius. "Mereka memberi cerita ini sebagai pelajaran untukmu," katanya dengan nada bijaksana.
Saat Satyabama di sisiku, aku merasa lebih tenang. Dia adalah satu-satunya makhluk astral yang penuh kebaikan, yang selalu hadir untuk menyelamatkanku dari perjalanan astral yang mengancam nyawa.
Saat kami berlari menuju cahaya di ujung jalan, ingatan terakhir tentang Chandra kembali menghantuiku. Aku melihatnya di tempat gelap, menyerahkan botol kecil berisi racun kepada seseorang. Namun, sebelum sempat berbalik, Chandra tiba-tiba diserang oleh orang-orang suruhan Tuan Albert, yang dikirim untuk mengambil racun itu dan membunuhnya karena gagal menghabisi Susi. Dengan kebrutalan yang kejam, mereka menghabisi nyawanya dan membakar tubuhnya untuk menghilangkan jejak.
Aku pun terbangun dari tidur, napasku masih terengah-engah. Ingatan tentang perjalanan astral malam itu masih melekat kuat, membuatku semakin yakin bahwa, rasa sakit yang mendalam tak akan pernah sembuh dengan pembalasan. Sebaliknya, pembalasan hanya menciptakan luka baru, terutama bagi mereka yang tak bersalah.