Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
PAGI itu, sang hutan tengah memamerkan keindahannya. Bayangan-bayangan unik terlihat menari-nari di permukaan tanah—refleksi dari sinar matahari pagi yang menyusup di sela rimbunnya pepohonan. Gemeresik angin yang menerpa dedaunan, decit burung, serta rengekan tonggeret yang muncul dari getaran sayapnya bagaikan orkestra pengiring tarian unik tersebut.
Seorang lelaki tua tampak sedang berjalan pelan-pelan. Segarnya udara membuat energinya tak cepat menghilang meski tubuh kurusnya menggendong beberapa batang ranting dan dahan kering dengan kain di punggungnya.
Di kanan kirinya pepohonan liar dan besar berdiri menjuntaikan ranting dan daun ke bawah. Sebuah pohon besar—sepertinya sudah berumur ratusan tahun—tampak sedang bergulat dengan maut. Tubuhnya tertutup oleh berbagai parasit, salah satunya berjuluk Beringin Pencekik. Dinamakan begitu karena parasit ini tumbuh dari kotoran biji pohon beringin yang dibuang oleh burung atau tupai di atas pohon. Dari biji tersebut muncul kecambah yang tumbuh terus ke bawah dan melilit batang inangnya. Parasit-parasit ini meneror pohon inangnya dari dua arah. Dari atas, dedaunannya tumbuh lebat dan menutup sinar matahari yang dibutuhkan pohon inangnya, sementara dari bawah dia merampas makanan si inang dari akarnya. Kelak, puluhan tahun kemudian, pohon inang akan mati mengering karena makanannya terisap habis oleh si pencekik dan teman-temannya itu.
Sambil memandangi pohon pencakar langit itu, Si Tua menduga-duga, umur pohon tersebut tinggal beberapa tahun lagi. Tuhan menciptakan sistem keseimbangan semesta dengan cara yang unik, pikirnya. Yang mampu menumbangkan pohon-pohon besar di hutan ini ternyata justru tetumbuhan kecil.
Si Tua baru saja selesai mengambil sebatang ranting kering terakhirnya ketika ia menyadari sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sejurus dengan munculnya sebuah aroma yang menyengat indra penciumnya, burung-burung beterbangan tiba-tiba sambil meneriakkan kicauan yang tidak nyaman didengar. Tonggeret berhenti menderikkan sayapnya. Angin pun bertiup lebih kencang, seperti sedang melarikan diri dari sesuatu yang mengejar.
Si Tua memfokuskan tatapannya pada satu titik di samping kirinya. Rerimbunan belukar tampak bergerak-gerak berisik, diikuti pepohonan kecil yang bergoyang tiba-tiba.
“Pasti dia!” pikirnya lalu dengan cepat bergerak ke balik pohon untuk bersembunyi. Tapi terlambat. Kaki tanpa alas berukuran sebesar anak kambing muncul tiba-tiba dari belukar. Diikuti sebentuk tubuh telanjang dada setinggi tiga kali tinggi manusia dewasa. Wajahnya lebar dan tampak menyeramkan dengan mata dan hidung yang membulat besar. Rambut panjangnya gimbal dan terlihat kusam. Pun kulit coklatnya menghitam karena terbakar matahari.
Dugaan Si Tua tepat. Di depannya kini menjulang sesosok raksasa yang sangat ditakuti penduduk desa dan penghuni hutan. Dengan ekspresi tidak bersahabat, Tulap—nama raksasa itu—menghardik lelaki tua, “Sedang apa kau, Pak Tua!”
Tubuh Si Tua gemetar demi berhadapan dengan Tulap yang mendengus sambil memperlihatkan gigi taringnya. “A... aku sedang m... mencari kayu bakar.”
Ia bukannya tidak tahu di hutan ini ada raksasa ganas pemangsa makhluk hidup seperti manusia dan hewan. Tapi ia sudah tidak punya sumber kayu bakar di tempat lain selain di hutan ini. Toh selama ini ia selalu berhati-hati menelusuri hutan dan tak pernah sekalipun bertemu sang raksasa. “Rupanya ini hari nahasku,” kata Si Tua dalam hati.
Tulap memandangi tubuh Si Tua dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia menggelengkan kepala karena tidak bisa menemukan bagian-bagian yang mampu membangkitkan selera makannya. Tubuhnya yang kecil-kurus, kulitnya yang kering berkeriput, dan bau keringatnya yang menyengat membuat sosok itu tak pantas dijadikan hidangan untuk makan pagi ini.
“Ampuni aku, Tulap,” Si Tua memohon sambil menjatuhkan kayu-kayu kering yang dibawanya. “Aku sudah lancang masuk ke dalam hutan dan mengambil kayu-kayu kering ini.”
“Aku tidak peduli dengan kayu-kayu keringmu itu. Ambillah sesuka hatimu. Aku sedang cari makanan, dan kau seharusnya akan jadi sarapanku.”
“Kumohon, Tulap, jangan...”
Tulap ingin melepas saja Si Tua yang tak bergizi itu. Tapi niatnya diurungkan. Lelaki tua itu bisa jadi cadangan kalau hari ini ia tak menemukan manusia atau hewan yang pantas dimakan. Sekarang semakin sulit menemukan manusia di hutan ini, karena mereka takut dengan keberadaannya.
“Permohonanmu kukabulkan,” sahut Tulap akhirnya. “Tapi untuk itu ada syaratnya. Kau harus menemaniku mencari makanan untuk hari ini.”
Si Tua hanya bisa menuruti kemauan sang raksasa jika tidak ingin dimangsanya. Tapi di sisi lain sebuah kecurigaan menggelayut di benak Si Tua, mengapa raksasa yang tak kenal ampun itu sekarang menjadi baik hati.
Si Tua membiarkan pikirannya terus menebak-nebak kecurangan apa yang tengah direncanakan makhluk buruk rupa itu, sementara mereka pun berjalan beriringan. Si Tua di depan, dan Tulap mengikuti dari belakang.
Dalam perjalanan, mereka melihat beberapa buah peniti dan jarum tergeletak di tanah.
“Ambil itu, Pak Tua! Aku akan membutuhkannya di rumah.” Kebetulan tusuk gigiku sudah habis.
Pak Tua hanya bisa menurut. Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Sementara matahari sudah mulai meninggi, dan Tulap belum menemukan satu pun bahan makanan yang layak santap.
Sebuah pohon pisang yang sedang berbuah mereka temukan setelah beberapa ratus langkah kemudian. Sebagian buah pisang itu tampak sudah mulai masak. Tulap meminta Si Tua memetiknya. Lumayan buat pencuci mulut.
Baru beberapa langkah mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Si Tua menghentikan lakunya.
“Tulap...,” ia mendongak ke arah sang raksasa dengan ekspresi mengiba. Keringat Si Tua bercucuran. Tenaganya terkuras dan ia belum juga minum sejak pagi tadi. Bibirnya mengering.
Si Tua mengalami dehidrasi.
Tulap merendahkan tubuhnya dan duduk di tanah. “Kita istirahat dulu, Pak Tua. Kau tampak kelelahan.”
Tulap menyuruh Si Tua memetik selembar daun talas dan menggulungnya sehingga membentuk kerucut. Lalu Tulap menyorongkan sebilah bambu panjang yang ia bawa dari rumah kepada Si Tua. Ia menurunkan ujung bambu itu ke arah “gelas” dari daun talas yang dipegang Si Tua. Dan air pun mengucur dari dalam bambu.
“Minumlah yang banyak, Pak Tua. Makan beberapa buah pisang itu juga agar kau kembali segar,” kata Tulap. Jangan mati dulu kau, Pak Tua. Aku kan bukan pemakan bangkai.
“Terima kasih,” sahut Si Tua sambil masih memendam keheranan atas sikap baik sang raksasa.
Sebelum kembali meneruskan perjalanan, Si Tua melihat sebatang kayu pemukul sagu tergeletak di samping kaki besar Tulap. Sebersit ide mulai muncul di dalam kepalanya.
“Bolehkah aku membawanya?” tanya Si Tua sambil menelan ludah karena sedikit takut. “Bisa digunakan untuk menyibak belukar selama perjalanan nanti.”
Tulap mengangguk. Si Tua tampak lega dan diam-diam tersenyum nakal.
***
Menjelang tengah hari, akhirnya mereka menemukan makhluk hidup pertama—seekor tikus jantan. Dengan panik tikus itu berlari karena melihat sosok raksasa yang sudah ia kenal keganasannya itu. Tapi ia tidak bisa mencapai liang rumahnya karena lubangnya sudah lebih dulu disumpal oleh kelingking Tulap.
“Kau tidak perlu takut, Tikus,” Tulap menukas. “karena kami ingin mengajakmu mencari makanan yang enak di hutan ini. Kau bisa ikut dan kita akan berpesta di rumahku nanti. (Tentu saja aku yang berpesta, dan kalian yang menjadi hidangan pestanya.) Bukan begitu, Pak Tua?”
Si Tua hanya tersenyum dan mengangguk pelan kepada tikus. Dan mereka pun melanjutkan perburuannya. Atau tepatnya, Si Tua dan tikus jantan menemani Tulap berburu bahan makanan.
Belum sepuluh langkah mereka berjalan, seekor lipan besar melintas di depan mereka. Meski ketakutan, lipan itu tak bisa lari cepat. Tulap dengan mudah menangkap dan mengangkat lipan itu di depan wajahnya. Kandungan proteinnya akan membuatku lebih pintar.
“Aku tak akan memakanmu. Tapi sebaliknya, kau kuajak mencari makan bersama. Kalau kau ingin makanan enak, ayo ikut kami!” pinta Tulap. Lipan merasakan nada ancaman di balik ajakan raksasa itu. Ia takut tapi juga sekaligus merasa lega karena raksasa jahat itu tidak langsung memangsanya saat itu juga.
Tulap menurunkan lipan untuk bergabung dalam barisan Si Tua. Di belakang barisan, senyum licik Tulap mengembang. Meskipun hanya mendapatkan mangsa yang kecil-kecil, kalau terkumpul banyak pasti kan mengenyangkan juga....
Perjalanan menjadi semakin menyenangkan bagi Tulap karena tak berapa lama kemudian ia bertemu dengan seekor burung mutuo yang hendak bertelur. Burung itu terkejut bukan kepalang ketika Tulap melongok sarangnya di sebuah pohon.
“Jangan takut, Mutuo. Kamu justru beruntung bertemu denganku,” kata Tulap. “Aku akan mengajakmu ke rumahku yang lebih nyaman ketimbang di sini. Kau bisa membuat sarang dan bertelur dengan tenang di sana. Tidak akan didera hujan, tidak bakal terpapar panas, dan tidak ada ular yang akan memangsa telur-telurmu.” Telur-telurmu itu—dan juga kamu—hanyalah untukku.
Burung mutuo dengan terpaksa mengikuti ajakan raksasa penguasa hutan itu. Sementara Si Tua sudah mulai menemukan jawaban dari perubahan sikap Tulap kali ini. Keganasan Tulap yang viral seantero negeri membuat manusia dan penghuni hutan lebih waspada. Ini yang menyebabkan Tulap sangat sulit mencari mangsa belakangan ini. Karena itu Tulap harus mengubah strategi berburunya. Karena bahan makanan yang ditemukan Tulap kecil-kecil, maka dikumpulkannya dulu semua yang ia dapat untuk dimakan di rumah.
Sebetulnya sangat mudah bagi Tulap untuk membunuh mereka dulu, dikumpulkan dalam satu tempat, dan membawa mereka ke rumah. Tapi ia mau membawa bahan makanan itu dalam kondisi segar agar kelezatan dan gizinya tetap terjaga. Jadi, Tulap pura-pura berbaik hati kepada para calon mangsanya agar mereka bersedia diajak ke rumahnya—untuk kemudian disantap.
“Raksasa tetaplah raksasa. Ia akan memangsa kita pada akhirnya,” kata Si Tua dalam hati.
***
Berbadan besar bukan berarti tak punya ambang kelelahan. Apalagi memaksakan diri menahan makan sebelum bahan makanannya terkumpul. Energi Tulap pun terkuras. Tapi ia memutuskan untuk terus berjalan. Rumahnya tinggal beberapa puluh langkah kakinya lagi.
Sementara itu para calon mangsanya tetap masih punya tenaga karena Tulap mengizinkan mereka mengudap pisang selama dalam perjalanan. Ia tidak mau mereka mati kelaparan sebelum sampai ke rumahnya.
Hingga mendekati rumahnya Tulap tidak lagi menemukan satu pun bahan makanan yang layak buat perutnya. Cukuplah buruanku hari ini, meski aku sebenarnya tidak puas.
“Baiklah. Berhenti di sini!” tiba-tiba Tulap berseru. Mereka berhenti di depan dinding sebuah tebing. “Selamat datang di istanaku, teman-teman (yang akan jadi santapanku),” kata Tulap dengan senyum liciknya.
Si Tua, tikus jantan, lipan, dan burung mutuo melihat sekeliling dan saling berpandangan. Mereka tidak melihat satu pun bangunan yang layak disebut sebagai rumah, apalagi istana.
Tiba-tiba Tulap melangkah ke depan lalu menyibak belukar dan tetumbuhan rambat yang menempel di dinding tebing. Kini mereka melihat sebuah lubang goa. “Masuk dan istirahatlah, aku akan menyiapkan segala sesuatunya untuk pesta kita,” Tulap mempersilakan tamu-tamu spesialnya.
Bagian dalam goa itu ternyata cukup terang. Sumber cahaya datang dari lorong di bagian belakang goa yang bermuara pada ruang lain. Ruangan itu bermandikan sinar matahari yang jatuh dari sebuah lubang besar yang terletak beberapa puluh galah di atasnya. Air rembesan dari akar-akaran pohon di atas goa menetes dan mengikis bebatuan di bawah sehingga membentuk kubangan-kubangan air yang cukup besar.
Si Tua dan teman-teman hewannya menelan ludah ketika melihat sisi lain dalam goa. Di sana terlihat tumpukan belulang dari hewan dan manusia. Beberapa di antaranya masih berlumuran darah. Bisa jadi itu merupakan sisa makanan kemarin. Mereka mulai bergidik membayangkan sebuah “pesta” yang akan digelar Tulap nanti.
"Teman-teman,” suara Tulap mengagetkan mereka. “Silakan kalian bersihkan badan dulu di belakang sana sehingga kita semua (maksudnya, aku) akan menikmati pesta dengan nyaman dan menyenangkan.”
Para calon mangsa Tulap berjalan ke ruangan terang diikuti oleh tatapan mata puas Tulap. Mangsa sudah masuk perangkap. Aku bisa istirahat dulu sebentar sebelum menguliti mereka satu per satu.
Di bagian lain gua, Si Tua berbisik kepada yang lainnya sambil membersihkan badannya di dalam kubangan air, “Apakah kalian merasakan rencana licik Tulap?”
Tikus jantan, lipan, dan burung mutuo menganggukkan kepala.
“Jelas kita sedang dijebak,” kata burung mutuo.
“Ya,” tikus jantan menyahut. “Pada akhirnya kita akan dimangsanya juga.
“Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk lari dari tempat laknat ini?” lipan tampak paling takut.
Si Tua menjawab penuh keyakinan. “Kita tidak akan melarikan diri. Kita akan melawan.”
“Kau orang tua gila!” lipan mengeluh putus asa.
“Seratus manusia pun tak akan bisa mengalahkan satu raksasa buas macam dia, apalagi kita berempat yang kecil-kecil tanpa daya ini,” timpal tikus jantan.
“Jangan khawatir, aku punya rencana,” kata Si Tua menenangkan. Ia menoleh ke arah Tulap yang sedang tertidur kelelahan dengan bersandar di dinding goa. Dengkurnya yang keras memberikan keuntungan bagi Si Tua dan teman-temannya dalam berdiskusi. Tampak ketiga hewan mengangguk berkali-kali setiap Si Tua menjelaskan tahap-tahap rencananya.
Mengakhiri penjelasannya, Si Tua memberikan motivasi kepada ketiga temannya, “Yang menentukan kemenangan bukanlah ukuran tubuh. Contohlah Beringin Pencekik dan tumbuhan parasit kecil lain yang mampu menyudahi hidup pohon-pohon raksasa di hutan ini.
“Meski ukuran kita jauh lebih kecil dibanding dia, dengan bersatu, yakinlah kita akan mampu melumpuhkan si raksasa. Kecerdikan akal lebih ampuh ketimbang kekuatan fisik.”
Tikus jantan, lipan, dan burung mutuo mengangguk mantap.
“Kita harus mulai dari sekarang, senyampang raksasa jelek itu sedang tertidur,” kata Si Tua. Ia lalu memberikan beberapa jarum dan peniti kepada lipan yang kemudian meletakkannya di bawah kaki Tulap. Kepala jarum dan peniti itu dipendamnya di dalam tanah sehingga ujungnya tegak mengarah ke atas. Si Tua sendiri beranjak ke lubang masuk goa, menyebar puluhan kulit pisang di belakangnya. Ia memang sengaja menyimpan kulit-kulit pisang yang mereka makan selama perjalanan tadi untuk rencana ini.
Si Tua mengikat masing-masing ujung pemukul sagu dengan rotan. Lalu rotan itu diikatnya pada bebatuan yang ada di kanan-kiri lubang masuk goa bagian bawah, sehingga pemukul terpasang melintang.
Tikus jantan bersiap di dekat telinga Tulap, sedangkan burung mutuo berdiri siaga tak jauh di sampingnya. Kedua sayapnya dilumurinya dengan debu. Mereka melihat ke arah Si Tua, menunggu tanda dimulainya serangan ini.
Tidak berapa lama kemudian Si Tua mengangkat tangannya dan menghitung mundur dengan mengatupkan jemarinya satu per satu. Begitu melihat tangan Si Tua menggenggam, tikus jantan berlari mendekati telinga Tulap dan langsung menggigitnya kuat-kuat. Raksasa itu kaget bukan main dan terbangun. Tapi begitu ia membuka matanya, burung mutuo sudah siap di depan wajahnya. Ia mengepakkan sayapnya sehingga debu-debu beterbangan ke muka Tulap. Ia mulai panik karena tidak menyangka akan ada serangan tiba-tiba itu.
Sambil mengucek matanya yang kemasukan debu, Tulap mencoba berdiri untuk lari ke arah kubangan air. Tapi begitu berdiri, kakinya tertusuk oleh ranjau jarum dan peniti yang dipasang oleh lipan. Teriakan Tulap menggema di dalam goa. Ia tetap memaksakan dirinya bergegas ke arah kubangan air untuk membersihkan matanya dari debu yang membutakan matanya. Tapi burung mutuo kembali muncul dengan lebih banyak debu dan tanah kering.
Tulap bertambah panik. Ia berbalik arah, berjalan sambil meraba-raba dinding goa mencari panduan untuk menuju ke luar goa. Tepat seperti yang diharapkan Si Tua.
Di dinding goa, lipan sudah menunggu. Ketika Tulap meraba-raba dinding, lipan menyengat tangannya. Terkejut, Tulap menjerit dan menghentakkan tangannya. Ia mencoba mencari-cari rambatan di dinding, tapi setiap kali tangannya menyentuh dinding, lipan langsung menyambut dengan sengatannya.
Akhirnya Tulap berjalan membuta. Sambil memicingkan mata dan memijat-mijat tangannya yang disengat lipan ia terus berjalan keluar. Nahas, belum sampai di depan lubang goa, sudah menunggu puluhan kulit pisang yang disebar Si Tua di atas permukaan tanah. Tulap terpeleset dan berjalan sempoyongan beberapa saat sebelum ia berhasil kembali menyeimbangkan tubuhnya.
Panik, Tulap berlari keluar. Tapi nahas kembali menyambutnya. Kakinya tersandung pemukul sagu yang dipasang Si Tua. Tak ayal, tubuh besarnya pun terjerembap di atas tanah dan kepalanya terantuk batu besar. Tulap pun pingsan.
“Teman-teman, ayo kita ikat dia di pohon besar itu!” seru Si Tua.
“Kenapa tidak kita cabut nyawanya sekalian?” kata tikus.
“Betul. Hidup kita akan tenang kalau dia lenyap dari muka bumi,” sambung lipan.
Si Tua menggeleng. “Justru hidup kita mudah-mudahan akan menjadi lebih tenang jika dia tetap hidup,” katanya sambil tersenyum. Ia sudah punya rencana khusus untuk sang raksasa.
Tikus, lipan, dan burung mutuo saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud ucapan Si Tua.
***
TULAP membuka matanya. Pandangannya kabur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, dan dunia sekitarnya pun tampak lebih jelas sekarang. Hanya, terasa berputar. Ataukah aku yang berpusing?
Tulap baru sadar dirinya tidak bisa menggerakkan badan sama sekali. Tangan, kaki, dan badannya terikat pada sebuah batang pohon besar menggunakan rotan. Bahkan juga kepala Tulap. Gimbal-gimbal rambutnya diikat ke dahan pohon di atasnya. Begitu pun jemari kakinya. Masing-masing jari diikat dengan rotan dan dipancangkan pada akar pohon. Rupanya Si Tua dan kawan-kawan tak mau menyisakan sedikit pun celah yang bisa membuat raksasa itu memberontak.
“Wahai, Tulap,” sapa Si Tua.
Tulap hanya bisa melirik ke arah Si Tua. Ia kaget ketika melihat hampir semua hewan penghuni hutan berdiri di belakang Si Tua dan teman-teman kecilnya.
“Ya, Pak Tua,” Tulap menjawab dengan suara pelan. “Kalau kalian mau membunuhku, inilah saatnya.”
Heran juga Tulap, mengapa ia masih dibiarkan hidup mengingat peluang mereka menghabisi nyawanya terbuka sangat lebar. Selain tak berkutik, Tulap juga tak berdaya. Tubuhnya terasa lemas, kepalanya pening. Ia juga baru sadar kalau perutnya terasa sangat lapar. Tapi entah mengapa, meski dihadapkan dengan banyak sumber makanan di depannya, kini selera makannya justru tidak muncul.
“Kami tidak akan membunuhmu, Tulap,” kata Si Tua. “Kau adalah bagian dari kami juga, karena kau lahir dan besar di dalam hutan ini. Jadi seharusnya kau juga peduli dengan apa yang terjadi dengan tanah airmu ini. Tahukah kau bahwa hidupmu dan teman-teman hutanmu sedang terancam sekarang ini?”
“Terancam apa, Pak Tua?”
“Hutan sedang dirambah manusia-manusia rakus yang menebang pohon dan mengambil sumber-sumber alam lain dengan seenaknya. Tahu akibatnya? Para penghuni hutan seperti gajah dan harimau terusik karena habitat mereka dirusak sehingga mereka pun mencari alternatif lain untuk mencari makan, yaitu ke desa. Akibatnya, penduduk desa pun merasa terganggu.”
Terdengar gemuruh suara hewan-hewan di belakang Si Tua menyetujui isi orasinya.
Si Tua melanjutkan, “Bila hal ini dibiarkan, lama-lama hutan ini akan hilang, dan kalian penghuninya, entah bagaimana nasibnya. Nah, kalau sudah begini, apakah kita mau diam saja?”
Tulap tampak merenungi semua yang dikatakan Si Tua. Ia memandangi gerombolan hewan-hewan di depannya dengan rasa iba dan penuh penyesalan. Perlahan hatinya merasakan bahwa mereka bukanlah mangsa buat dirinya. Mereka adalah saudara-saudaranya.
“Kawan-kawan semua,” katanya dengan suara melemah, “dengan tulus aku minta maaf. Selama ini aku hanya peduli pada kepentingan sesaat, demi kepuasan perutku sendiri, sementara hal yang lebih penting daripada itu justru aku abaikan. Aku sudah termakan oleh egoku. Rasanya aku setuju denganmu, Pak Tua. Terima kasih aku ucapkan, karena dari kalian aku mendapat pelajaran hidup yang sangat berharga. Mulai saat ini izinkan aku menjadi saudara kalian dan kita akan bersama-sama melawan para perusak hutan itu.”
“Syukurlah kalau begitu, Tulap. Aku senang mendengarnya,” sambut Si Tua. “Teman-teman, ayo kita lepaskan saudara baru kita!” Dan meledaklah sorak sorai para penghuni hutan.
Malam itu, sebuah pesta besar digelar di rumah Tulap. Berbagai bahan makanan tersaji untuk para tamu undangan, dari buah-buahan, sayuran, hingga aneka daging dan ikan-ikanan.
Beberapa orang penduduk desa datang dengan membawa masakan untuk dinikmati bersama-sama. Harimau dan macan kumbang juga membawa beberapa hewan buruannya untuk dibagi-santap dengan Tulap. Mereka bergembira menyambut sebuah harapan baru: hutan mereka bakal terselamatkan.
Juga hidup mereka.
-------------
Dikisahkan kembali dari cerita rakyat asal Sulawesi Utara berjudul “Tulap dan Lelaki Tua”.