Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Kanvas Kosong dan Pantulan yang Diam
Udara di dalam studio seni Raina dulu selalu dipenuhi dengan aroma cat minyak, terpentin, dan gairah yang membara. Kanvas-kanvas yang belum terjamah bersandar di dinding, menunggu untuk dihidupkan oleh sentuhan kuasnya. Kini, bau itu telah digantikan oleh aroma debu, kelembapan, dan kesunyian yang memekakkan. Kuas-kuasnya kering dan kaku di dalam toples kaca, pigmen-pigmen warna di paletnya mengering seperti kerak bumi yang retak. Raina, seorang seniman potret yang dulunya dikenal akan kemampuannya menangkap esensi jiwa manusia pada setiap sapuan kuasnya, kini hanyalah sebuah cangkang yang kosong, berjemur dalam cahaya pucat yang menembus jendela tinggi di rumah barunya.
Tiga tahun. Tiga tahun sejak mobil yang dikendarai suaminya, Ardan, kehilangan kendali di jalan tol yang basah, menabrak pembatas jalan dengan suara tabrakan logam yang masih bergema di setiap mimpi buruk Raina. Tiga tahun sejak tawa renyah putrinya, Lila, yang baru berusia lima tahun, terenggut dari dunia. Raina, yang entah bagaimana selamat dengan luka fisik yang minimal, membawa luka batin yang menganga, sebuah jurang kesedihan dan rasa bersalah yang tak terisi. Dunia yang ia kenal telah runtuh, dan ia tidak tahu bagaimana membangunnya kembali.
Ia meninggalkan kehidupan lamanya di kota, kebisingan, tatapan simpati yang menghantuinya. Dengan sedikit tabungan dan warisan dari asuransi, ia membeli sebuah rumah tua terpencil di pinggir kota, jauh dari keramaian, tersembunyi di balik barisan pohon cemara yang menjulang tinggi. Rumah itu dulunya milik seorang kolektor barang antik eksentrik, dan setiap sudutnya dipenuhi dengan perabotan kuno—kursi beludru yang usang, meja kayu berukir yang menghitam, lemari-lemari kaca yang penuh dengan barang-barang pecah belah. Dan yang paling menonjol, yang paling aneh, adalah puluhan cermin antik dengan berbagai ukuran dan bentuk, yang terpajang di setiap ruangan, seolah pemilik sebelumnya terobsesi dengan pantulan. Cermin berbingkai emas di aula, cermin rias dengan ukiran rumit di kamar tidur, cermin dinding yang tinggi di koridor, bahkan cermin kecil yang buram di dalam lemari pakaian.
Awalnya, cermin-cermin itu terasa seperti hiasan yang unik, menambah karakter pada rumah yang sunyi itu. Raina menghabiskan hari-harinya dalam kesunyian yang mencekik. Ia tidak melukis. Ia hanya ada. Bangun, minum kopi pahit, duduk di bangku jendela, menatap hutan yang diselimuti kabut. Setiap hari adalah pengulangan yang monoton, sebuah upaya putus asa untuk menemukan kedamaian, atau setidaknya, mati rasa.
Ia sesekali melihat pantulan dirinya di cermin. Seorang wanita dengan mata yang kosong, rambut kusut yang jarang disisir, dan kulit pucat yang mencerminkan kurangnya sinar matahari. Sosok yang asing, namun ia mengenalnya. Itu adalah Raina yang sekarang, sebuah bayangan dari Raina yang dulu.
Malam itu, setelah hari-hari yang panjang dan hampa, Raina memutuskan untuk mencoba tidur lebih awal. Ia berjalan ke kamar tidurnya yang luas, remang-remang oleh cahaya bulan yang menembus jendela. Di meja rias kayu gelap, berdiri sebuah cermin rias antik dengan bingkai perak yang telah menghitam dan diukir dengan detail bunga yang rumit. Raina duduk di depannya, menatap pantulan dirinya.
Ia menghela napas panjang, sebuah suara kecil di dalam keheningan. Pantulan di cermin juga menghela napas. Raina mengedipkan matanya perlahan. Pantulan itu juga mengedip. Namun, kali ini, Raina merasakan sesuatu yang aneh. Pantulan itu berkedip sedikit lebih lambat, sepersekian detik, sebuah jeda yang nyaris tak terasa, namun cukup untuk membuat Raina merasa tidak nyaman.
"Cuma kelelahan," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau karena jarang berbicara. Ia pasti terlalu lelah, terlalu terbebani oleh kesedihan. Otaknya hanya mempermainkannya.
Ia memejamkan mata, mencoba menghapus gambaran itu. Ketika ia membukanya lagi, pantulan di cermin menatap lurus ke arahnya, mata kosongnya mencerminkan tatapan Raina yang kosong. Tidak ada lagi jeda yang aneh. Raina menggelengkan kepalanya. Ia harus tidur.
Keesokan harinya, Raina mencoba mengabaikan kejadian semalam. Ia pergi ke dapur, membuat sarapan sederhana yang nyaris tak ia sentuh. Saat ia berjalan di koridor menuju ruang kerja lamanya, ia melewati sebuah cermin dinding yang tinggi, bingkainya terbuat dari kayu gelap yang diukir dengan motif tanaman merambat. Raina menatap sekilas pantulannya ya...