Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan akhirnya menginjak ke tanah Batavia. Dilawannya sinar matahari yang masih betah bersinar, tanpa kelabu dan petir, rona keemasan mewarnai kota saat bias keemasan cahaya yang kena tindih rintik hujan. Harusnya ini masih musim kemarau, bulan Juni belum berlalu. Stasiun trem1 nampak penuh berdesakan. Di bagian pribumi, tentu saja.
"Harmoni2! oii Harmoni!" tuan kondektur di luar berteriak lantang sambil membunyikan lonceng di tangannya beberapa kali. Gerbong kelas tiga3 yang penuh sesak sedikit bergetar ketika para penumpangnya turun. Termasuk Ratna, dia yang duduk sambil sesekali menahan napas merasa lega saat bapak di sampingnya turun. Bukannya Ratna tidak menghormati orang tua, tapi bapak di sampingnya membawa tas ayam. Ratna keringat dingin tiap matanya berpapasan dengan mata si ayam.
Belum lagi bau ketiak dan semilir aroma sop kambing yang berjelajah di gerbong itu. Orang-orang yang naik berbarengan dengannya dari pasar Sabtu4 memang suka aneh-aneh. Ketika gerbong sudah hampir kosong, Ratna akhirnya berdiri. Dengan hati-hati Ratna memeluk bingkisan dari sahabat karibnya, A Ying yang memang buka toko kain di pasar Sabtu, dalam hati dia tidak sabar membuka isi bingkisan itu.
Niatnya hari ini cuma menghantarkan bingkisan kue pada sahabatnya, sekaligus melepas kangen dan memberitahu pada A Ying kalau dia akan segera menikah. Mendengar itu A Ying bersemangat, tergopoh-gopoh dia langsung mengambil selembar kain sutra Tiongkok yang baru diekspor dan membungkusnya. Hadiah selamat, katanya.
Tubuh Ratna yang sudah lengket berkeringat seketika dihempas udara dingin dari luar, sekilas Ratna tersenyum melihat situasi di luar, dia mengangkat tangan kanannya untuk menghalau rintik hujan yang mendadak jadi sedikit lebih deras. Kota kelahirannya ini memang lebih indah kalau sedang hujan terik.
'Bakal ada pelangi..' begitu pikir Ratna. Dia menghibur diri, berusaha menghapus rasa tak rela di hatinya. Entah kenapa, semakin dekat hari pernikahan, semakin kalut perasaannya. Kadang dia menjadi mudah marah, terkadang juga diam-diam menangis karena ketakutan. Kalau ditanya, takut kenapa? Ratna hanya bisa menggeleng. Dia juga tidak tahu takut kenapa. Padahal, orang yang akan dia nikahi juga bukan orang asing. Ramu, orang yang dikenalkan dengan bangganya oleh bapak adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab⸺ setidaknya menurut ibu dan bapak. Karirnya cemerlang, bisa dibilang. Dia mandor pabrik gula yang disukai oleh banyak orang. Tegas dan berkarakter. Ratna sendiri yang memilih untuk dekat dengannya.
Pertama kali bertemu, sosok Ramu betul-betul menyita perhatian Ratna. Dia berkilau. Keren, dengan senyum dan obrolan yang berwawasan luas. Memang, dalam hubungan, pasti naik dan turun. Ada kalanya Ramu menyenangkan hati Ratna, tapi kadang kala juga perbedaan pendapat begitu keras, belum kepala mereka yang cukup lama ambil alih buat saling mengalah.
Hujan turut jatuh semakin deras, seolah mengejar Ratna yang hawatir kalau Ramu sudah datang di rumahnya bersama keluarga. Belakangan ini Ramu memang sering datang untuk membicarakan persiapan pernikahan. Ratna semakin hanyut dalam pemikirannya.
Taoi, sebuah uluran tangan menarik tubuh Ratna secara tiba-tiba. Ringkikan kuda kencang terdengar. Ratna baru tersadar, pemandangan mengerikan didepannya membuat Ratna menjerit. Dua ekor kuda yang ukurannya besar-besar terlonjak. Dua tapal kuda mengangkat di atas, diikuti teriakan histeris si kusir.
"Perempuan tolol!" teriak kusir. Ratna cuma mematung, kedua matanya mulai sembab. Dia takut. Hampir kembali mematung, dia merasakan sebuah rangkulan yang ternyata sudah lama bertengger. Sebuah payung kuning gading menghalangi pandangannya sehingga dia tidak melihat lagi si kusir tua dan dua kudanya. Alih-alih, Ratna melihat sosok yang membuat dia tidak berkutik.
Serpih masa remaja yang dia coba kubur jauh di dasar pikirannya bermunculan. Josiah berdiri di sampingnya. Hadirnya laki-laki Indo5 itu seperti menghentikan waktu, tak terdengar lagi makian, bahkan suara hujan mulai senyap. Tinggal tersisa detak jantung dan sisa kenangan, sebuah suara cello yang terus bergema sepanjang lorong sekolahnya empat tahun silam.
Josiah masih merangkulnya, setelah dengan gaya khasnya yang angkuh dia melempar kepingan gulden ke arah pak kusir. Mereka berjalan menepi ke bahu jalan. Ratna pelan-pelan berusaha menjauh, tapi rengkuhan di pinggangnya begitu erat, seakan Josiah tahu kalau Ratna akan pergi.
"Sinyo, tolong lepas" kata Ratna pelan. Tapi, Josiah bungkam. Dia masih melihat ke depan. Ratna mencoba berontak, tapi sia-sia. Mana bisa tubuh kecilnya melawan orang yang tinggi besar macam dia?
"Sinyo!" Ratna sedikit membentak. Tetap nihil, yang ada paras dengan bidak Eropa itu makin mengeras. Memutar otak, akhirnya Ratna mengalah. Pelan, dengan lirih Ratna akhirnya kembali bersuara, "Josiah" panggil Ratna, dan akhirnya hal yang paling Ratna takutkan terjadi. Josiah menoleh, endap dingin dan asing di wajah Josiah meleleh. Mereka saling bertatap. Hitam dan coklat terang bertemu, senyum tipis naik diikuti kedua mata yang menyipit. Senyuman yang membuat dirinya susah dilupakan.
"Ratna, dari mana? kok hujan-hujanan..." setelah sekian tahun itu yang keluar dari mulut Josiah. Ratna sedikit ngeri. Padahal dahulu, dia duluan yang pergi meninggalkan Josiah tanpa kata perpisahan. Kini dia dipertemukan tanpa makian sedikitpun. Aneh. Josiah tidak pernah berubah, selalu mengalah dan terlalu baik. Tidak ada brengsek-brengseknya, itulah yang membuat Ratna bosan.
"Ini kita mau kemana?" Ratna ketus menjawab, Josiah cuma tersenyum. Dia menunjuk perempatan depan dengan menengadahkan dagunya, "Ke situ, mending kamu pakai dokar. Rumah masih sama, kan?" tanya Josiah.
"Saya bisa jalan sendiri!"
"Tidak mau"
Mendengar penolakan, Ratna kembali berontak. Hanya saja, lebih heboh. Josiah sontak menahannya lebih erat. Membuat payung di tangannya jatuh. Mereka berdua terguyur hujan, Ratna menengadah. Sial, gara-gara payung jatuh, sorot mentari turun dan tepat mengenai kedua mata Josiah. Warna coklat cerah itu berkilat. Hidup. Rembesan air hujan ikut membasahi rambut ikal Josiah yang mulai lepek.
"Lepas!" teriak Ratna, tapi dekapan Josiah jadi lebih erat. "Sinyo tidak usah berlagak baik dengan saya! sebentar lagi saya jadi istri orang!" pekiknya. Kali ini Josiah terdiam. Dekapannya hampir mencekik. Hujan yang tak henti-hentinya meraung menjadi kelambu untuk kedua manusia yang berseteru. Menyamarkan konflik kecil ditengah padatnya Batavia.
Ratna tersenyum puas. "Kenapa? ayo! maki! marah!" tantangnya, dia mengharapkan cacian pedas dari Josiah. Setidaknya, itu bisa mengukuhkan dirinya untuk terus maju bersama Ramu. Biar sosok Josiah akan terkubur bersama kenangan dan rasa yang dia harap akan segera menghilang.
"Buat apa?" Josiah malah balik bertanya, dia mendekatkan wajahnya pada Ratna lalu kembali berbisik, "Saya sudah memaafkan kamu semenjak kamu memutuskan untuk menghilang dan pergi dari hidup saya.." katanya.
Ratna terdiam. Laki-laki di depannya ini sinting. "Oh iya?" Ratna kali ini memukul dada Josiah dengan agak kencang, dia mencakar sebisaya hingga dekapan itu terlepas. Tapi kakinya tidak berlari, malah semakin tertantang. Dia ingin Josiah marah. Dia tidak puas. "Kenapa maafmu begitu murah, Josie?" Ratna melipat kedua tangannya.
"Karena saya memang tidak akan pernah bisa marah pada perempuan yang saya cintai, Ratna" kata Josiah, "Membayangkannya saja saya ngeri" tambahnya.
"Nah, ini. Ini yang bikin aku mual denganmu!" Ratna menuding, dia menunjuk-nunjuk wajah Josiah yang datar, "Dari dulu selalu begini, kamu tidak menantang! hari-hari rasanya membosankan, hambar. Sebuah hubungan tidak akan maju kalau kamu terlalu sempurna, Josiah.."
"Oh, jadi kekasihmu⸺" belum sempat melanjut, Ratna memotong ucapan Josiah, "calon suami saya!" koreksi Ratna. Josiah kelihatan menelah ludah, dari wajahnya dia seperti mau muntah.
"⸺oke, calon suamimu yang sekarang sering bentak-bentak?" sambung Josiah. Ratna melotot mendengarnya, "Bukan. Dia tegas dan tidak membosankan! kalau tidak ada evaluasi, bagaimana hubungan bisa maju, Josiah!"
Josiah, tanpa disangka-sangka tertawa terbahak-bahak, "Saya tidak sebodoh yang kamu pikir Ratna. Saya tahu, kamu pergi karena bosan, lingkungan pertemanan saya kecil, dan kamu? kamu orang yang vokalnya kencang. Kamu suka jadi sorot perhatian dan ingin merasa istimewa, iya kan? kalau dugaan saya benar, calon suamimu yang sekarang cukup terkenal.. dan kamu bisa meluaskan pergaulan. Itu, kan?" tanya Josiah. Ratna sekilas terdiam.
"Tapi kamu dulu terlalu lama dengan saya. Sifat keras kepalamu masih belum bisa berubah, tanpa kamu sadar dari dulu juga saya memanjakanmu dengan sikap mengalah, bukan?" kembali, Josiah bicara sambil mendekat.
"Jauh-jauh!" usir Ratna. Tapi Josiah tidak mendengar. Dia memiringkan kepalanya, enggan. "Pikirkan lagi, Ratna. Lelaki berapi-api yang tidak segan mencacimu, atau lelaki yang bahkan menyumpahimu saja tidak berani. Mana yang lebih kamu sukai?" tanya Josiah.
Kali ini Ratna naik pitam. Tanpa ragu, dia melayangkan satu tamparan ke arah Josiah. Keras. Tapi Josiah tidak bergeming. "Rendah sekali! kamu mengajak saya berselingkuh? semurah itu?" kali ini suara Ratna gemetaran, "Selingkuh itu tabiat setan!" marahnya.
"Oh?" Josiah kembali menatapnya. Ruam merah terang terlihat di pipinya yang putih. "Kalau selingkuh adalah tabiat setan, mendiamkan calon seorang ibu menikahi lelaki yang tidak dicintainya..berarti perilaku iblis, ya?"
"Jangan bicara sembarangan! sok tahu!"balas Ratna. Josiah tersenyum, dia menggeleng. "Calonmu itu pasti kenalan bapakmu, lagipula bapakmu itu memang tidak suka dengan saya karena dia tahu saya cuma anak seorang Nyai. Jujur saja, kamu terima dia karena kamu bosan dengan saya.." Josiah terdiam sebentar, "Hubungan yang berakhir tanpa salam perpisahan biasanya dilakukan karena takut menyesal..akui saja Ratna. Kamu takut orang tuamu kecewa, tapi kamu juga takut kalau kamu mengetahui rasa cinta saya menghilang.. iya?"
Ratna terdiam. Belum pernah dia mendengar Josiah bersuara sepanjang itu. Josiah mendekatkan wajahnya, kali ini dia berbisik, "Saya beri kamu waktu tiga detik untuk menonjok wajah saya sekencang yang kamu bisa, Ratna.." bisiknya.
"Satu.." Josiah semakin mendekat, hidung mereka bersentuhan. Ratna merasakan hawa hangat dari napas Josiah. Lamban, baik gerak dan cara menghitung Josiah, "......dua.." sambungnya, kali ini Ratna dapat melihat dengan jelas bulu mata Josiah. Coklat gelap, seperti rambutnya.
"Tiga.." dan hitungan terakhir sampai. Satu kali tarikan, kedua tangan yang kokoh itu sudah memeluknya kelewat kencang. Satu ciuman mendarat di bibirnya. Lama. Ratna memejamkan matanya, dia bisa merasakan detak jantung Josiah di dadanya. Lebih gila dari suara gemuruh petir, mendung ternyata datang menyusul sembunyikan matahari. Pelangi tidak jadi turun.
Ratna memejamkan matanya yang berair. Jika cintanya dan Ramu didasari oleh sebuah janji, apakah jika dia jujur⸺ berarti dia telah ingkar?
⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺⸺
Catatan Kaki
trem 1 : kereta khusus yang memiliki rel khusus di dalam kota, kendaraan umum yang cukup digandrungi pada masa kolonial
Harmoni 2 : tongkrongan elit sosialita Eropa jaman Belanda, dipakai untuk berpesta
kelas tiga3 : gerbong dalam trem yang dikhususkan untuk kalangan pribumi
Pasar Sabtu4 : pasar Tanah Abang
Indo 5 : Panggilan untuk orang blasteran antara pribumi dan Eropa, identik dengan anak dari gundik (simpanan) orang Eropa (Sinyo dan Noni)