Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam merayap perlahan, seperti beban berat yang ikut menggerus setiap senti semangatku. Aku ingat betul bagaimana jantungku berdebar tak karuan, bukan karena gairah atau cinta, melainkan karena ketakutan. Di ruang tengah, sofa yang biasanya jadi tempat kami berbagi tawa, kini terasa seperti kursi pesakitan. Ibu mertuaku, Bu Henny, sudah duduk di sana, menyambutku dengan sorot mata yang lebih dingin dari embun pagi di puncak gunung. Mas Syam, suamiku, duduk di sampingnya, terlihat lebih kecil dari biasanya. Wajahnya pucat, seperti baru saja dihantam badai.
"Ranti, kenapa baru pulang?" suara Bu Henny menusuk, lebih tajam dari jarum. "Apa pekerjaanmu lebih penting daripada menengok mertua yang sudah menunggu sedari tadi?"
Aku menelan ludah, menahan gejolak di dada. "Maaf, Bu. Tadi ada rapat mendadak yang tidak bisa saya tinggalkan." Aku mencoba menenangkan diri, padahal tanganku sudah berkeringat dingin. Aroma masakan Ibu yang menguar dari dapur pun tak sanggup menghilangkan ketegangan di udara.
Bu Henny mendengus, "Rapat. Rapat lagi. Hidupmu isinya rapat terus, ya? Sampai kapan kamu mau menunda punya anak, Ranti? Apa tidak malu dengan tetangga? Mereka su...