Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan baru saja reda ketika Jarry tiba di rumah. Langit masih abu-abu, dan daun-daun basah memantulkan kilau samar di bawah lampu jalan yang menyala terlalu dini. Usianya baru empat belas, tapi langkahnya mantap seperti pria dewasa yang sudah tahu arah dunia. Sering orang mengira dia anak pemurung, padahal dia hanya sibuk berpikir. Otaknya penuh teka-teki yang belum punya jawab.
Di halaman rumahnya yang mungil di ujung gang sempit, seekor kucing belang melompat dari pagar, mengejutkannya.
“Ya ampun, Ogi. Hampir aja kupikir kamu pencuri,” katanya sambil mendekap ransel ke dada.
Kucing itu mengeong datar, lalu pergi begitu saja. Jarry menggeleng pelan, membuka pintu, dan langsung mencium aroma kayu basah dan sedikit aroma masakan sisa siang. Ibunya pasti sudah pergi kerja shift malam.
Tepat di atas meja makan, ada sepucuk surat tanpa nama pengirim. Kertasnya kusam, dilipat rapi, tapi jelas bukan dari siapa pun yang dia kenal. Tidak ada perangko. Tidak ada amplop.
Alis Jarry naik. Ia mengambilnya, membuka perlahan, dan membaca tulisan tangan yang miring-miring seperti tergesa:
“Ada rahasia yang sudah terlalu lama disembunyikan di rumah keluarga Werdhana. Jika kau cukup berani, temukan lukisan di ruang bawah tanah. Tapi jangan datang sendirian. Mereka tidak suka dikunjungi.”
Tangannya bergetar sedikit, bukan karena takut—karena penasaran. Nama keluarga Werdhana bukan nama asing. Mereka adalah salah satu keluarga tua di kota kecil ini, tinggal di rumah besar bercat kelabu di perbatasan hutan. Ada banyak cerita beredar tentang mereka: kegilaan, bunuh diri, dan satu anak yang hilang lima belas tahun lalu.
Jarry tertawa kecil.
"Ini pasti lelucon. Tapi siapa yang bisa masuk rumah ini dan meninggalkan surat ini?" gumamnya.
Ia duduk di kursi, memutar-mutar surat itu. Tidak ada cap sidik jari. Tidak ada jejak. Tapi… ada aroma samar seperti kayu terbakar. Ia tahu bau itu. Ia pernah menciumnya di perpustakaan tua kota—tempat buku-buku tua disimpan.
Keesokan harinya, Jarry tidak langsung pergi ke sekolah. Ia membawa sepeda tuanya ke arah utara, ke arah rumah keluarga Werdhana. Jalan setapak menuju sana jarang dilewati, apalagi pagi-pagi begini. Kabut masih menggantung tipis.
Rumah itu seperti terlupakan oleh waktu. Catnya mengelupas. Jendela-jendelanya tertutup tirai gelap. Tapi pagar besi tuanya terbuka.
“Ini mengundang,” katanya lirih.
Ia mendorong sepedanya masuk, lalu menyandarkannya ke pohon besar. Suara gagak terdengar sekali. Entah dari mana. Langkah kakinya pelan, menyentuh tanah berlumut. Rumah ini seperti menyimpan napas.
Pintu utama terkunci. Tapi di samping, ada celah jendela yang terbuka sedikit. Jarry mengintip, lalu menyusup masuk.
Di dalam, rumah itu seperti museum yang ditinggalkan. Perabot lama. Lampu gantung berdebu. Udara di dalam pengap.
Ia menyalakan senter kecil dari sakunya, menyorot ruangan, lalu menemukan pintu menuju ruang bawah tanah di balik rak buku. Pintu kayu tua itu sedikit terbuka.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ia menuruni tangga pelan-pelan.
Ruangan di bawah tanah itu lembap dan gelap. Tapi di ujung, ada satu titik terang. Sebuah lukisan besar tergantung di dinding batu. Lukisan seorang pria tua dengan mata hitam pekat. Tapi anehnya, matanya… seperti mengikuti dari segala sudut.
Jarry mendekat. Ada sesuatu tertulis di bingkai lukisan itu, nyaris tak terlihat.
“Werdhana tidak mati. Dia hanya menunggu.”
“Gila... ini makin aneh,” desis Jarry.
“Dan makin menarik.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu kayu di atas menutup keras. Jarry membeku. Nafasnya tercekat.
Seseorang… ada di atas.
Langkah kaki pelan turun melewati tangga kayu. Tidak tergesa. Tidak terburu-buru. Seperti tahu persis bahwa korbannya tidak bisa ke mana-mana.
Jarry melangkah mundur, mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Sebuah batang besi berkarat. Ia genggam erat.
Langkah kaki itu berhenti. Lalu suara serak terdengar dari balik bayangan:
“Kau terlalu ingin tahu untuk anak seusiamu.”
Jarry mengangkat senter dan menyorot ke arah suara. Tapi tak ada siapa-siapa.
“Siapa kau?!” teriaknya.
“Terlambat untuk pergi. Kau sudah melihat lukisan itu.”
Langit-langit runtuh sebagian. Debu turun dari atas. Jarry melompat ke samping, hampir tertimpa. Saat ia menoleh kembali ke arah tangga, bayangan hitam menyelinap pergi.
“Bodoh. Aku harus keluar dari sini sekarang,” desisnya.
Dengan nafas terengah, ia memanjat tangga. Pintu di atas terbuka, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia berlari keluar rumah, naik ke sepedanya, dan baru berhenti ketika sudah tiga blok jauhnya.
Di rumah, ia duduk sambil menggigil. Surat misterius, lukisan aneh, suara tanpa wujud—semuanya terasa seperti permainan. Tapi satu hal membuatnya tidak bisa berhenti memikirkannya: suara itu menyebut “lukisan”, padahal di surat, tidak disebut siapa atau apa yang ada di dalamnya.
“Jadi... dia yang menulis surat itu?” bisiknya.
Atau justru bukan? Apakah ada dua pihak di balik ini? Seseorang yang ingin rahasia keluarga Werdhana terbongkar—dan satu lagi yang ingin menyimpannya?
Ia membuka buku catatan. Di halaman kosong, ia menulis satu kalimat:
“Keluarga Werdhana menyimpan sesuatu. Dan seseorang tak ingin itu ditemukan.”
Di bawahnya, ia menulis satu pertanyaan:
“Apakah aku siap jika rahasia itu… membunuhku?”
Jarry menghabiskan malam itu dengan membaca ulang surat misterius yang ia temukan. Setiap kata ditelusuri seperti puzzle yang menunggu dipecahkan. Ia bahkan sempat menelpon Bimo—temannya satu-satunya yang cukup gila untuk ikut dalam hal semacam ini.
“Kau tahu rumah keluarga Werdhana?” tanya Jarry lewat telepon.
“Yang di pinggir hutan itu? Yang katanya ada anak hilang dan… semacam kutukan keluarga?” Suara Bimo terdengar setengah tertawa. “Jangan bilang kau mau masuk ke sana?”
“Aku sudah masuk.”
“Jarry. Jarry. Jarry. Aku bilang waktu itu kan, jangan sering-sering nonton film horor tengah malam. Otakmu makin miring.”
Jarry tertawa pelan. “Aku bukan nonton film, Bim. Aku dapet surat. Nggak ada pengirim. Isinya nyuruh aku cari lukisan. Dan aku nemuin lukisannya.”
“Kau masuk rumah kosong sendirian? Gila. Itu bukan iseng lagi, Jar. Itu namanya bunuh diri.”
Jarry terdiam sejenak. “Ada yang muncul. Bukan cuma suara,Bayangan. Dan dia tahu aku.”
Hening beberapa detik di ujung sana, lalu suara Bimo terdengar lebih pelan, lebih serius. “Kau yakin dia bukan penulis suratnya?”
“Justru itu. Rasanya bukan. Nada suratnya kayak... minta tolong. Tapi suara itu—dia mengancam.”
“Lalu kau mau apa sekarang?”
“Balik ke sana. Tapi aku butuh bantuanmu.”
“Hah?!”
“Besok sore. Kita pura-pura main sepeda. Tapi tujuan kita: ruang bawah tanah itu. Aku nggak mau masuk sendirian lagi.”
Bimo mendesah panjang. “Kalau besok aku mati, bilang ke ibu aku, aku cinta dia.”
Keesokan harinya, matahari bersinar terlalu cerah untuk petualangan semacam ini. Jarry dan Bimo mengayuh sepeda mereka sambil berpura-pura seperti anak-anak biasa yang hendak mencari tempat bermain baru. Tapi di dalam tas mereka ada senter, buku catatan, dan satu pisau dapur kecil milik ibunya Bimo.
Rumah keluarga Werdhana tak berubah. Diam. Membatu. Seolah waktu tidak menyentuhnya.
“Aku nggak suka tempat ini,” gumam Bimo saat mereka menyelinap masuk dari jendela samping.
“Tenang aja. Kali ini kita berdua,” sahut Jarry, meski jantungnya berdetak seperti drum perang.
Ruang bawah tanah tetap gelap, dingin, dan berbau jamur. Tapi kini Jarry tahu jalan ke arah ruang bawah tanah diikuti bimo. Dan lukisan itu—masih menggantung di sana. Wajah pria tua itu masih memandang mereka tetapi terdiam, matanya hitam seperti lubang tanpa dasar, wajahnya berdarah darah hingga menetes ke pakainnya, suaranya menggema kemana-mana. jantung mereka terasa berdetak sekarang.
“Aku merinding,” bisik Bimo. Bulu kuduk brimo naik di lapisan kulitnya, ia terus mengikuti Jarry.
“Lihat ini.” Jarry menunjuk ke bawah bingkai. “Kemarin aku cuma lihat tulisan. Tapi sekarang... ada celah kecil.”
Ia mengangkat bingkai lukisan dengan hati-hati. Di baliknya, ada semacam laci tersembunyi. Ia menariknya keluar—berderit pelan—dan menemukan sebuah buku catatan kulit lusuh. Di sampulnya tertulis huruf ‘A.W.’
“Ini… jurnal?” Bimo menatap heran.
Jarry membuka halaman pertama. Tulisan tangan itu rapi, penuh tekanan. Halaman pertama hanya berisi satu kalimat:
“Jika seseorang membaca ini, berarti aku sudah mati.”
Mereka saling pandang.
“Gue nggak yakin gue mau baca lanjutan buku ini,” bisik Bimo.
“Tapi aku yakin,” kata Jarry. Dan ia terus membuka halaman demi halaman. Tulisan itu menceritakan tentang seorang anggota keluarga Werdhana—Anton Werdhana—yang mengaku mengetahui rahasia gelap keluarganya. Tentang ritual. Tentang perjanjian. Dan tentang ‘pengawas’ yang akan membunuh siapa pun yang berusaha membocorkan rahasia itu.
“Ini serius, Bim. Ini bukan dongeng,” kata Jarry.
Tiba-tiba, terdengar bunyi ketukan keras dari atas lantai kayu.
Tok. Tok. Tok.
Mereka membeku.
Tok. Tok. Tok.
Jarry mematikan senter. Ruangan langsung tenggelam dalam kegelapan.
Bimo berbisik, “Kita dikunci lagi?”
“Diam.”
Langkah kaki mulai terdengar menuruni tangga. Kali ini cepat. Berat. Seolah tahu mereka ada di bawah sana.
Jarry menarik Bimo dan bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu tua. Nafas mereka ditahan. Jarry menggenggam buku catatan erat-erat di dada.
Langkah itu mendekat. Dan kali ini, mereka bisa melihat sosoknya—setengah terlihat dari cahaya samar di balik celah tangga. Seorang pria tinggi dengan wajah tertutup kain hitam. Tangannya memegang palu besi.
“Jarry,” suara itu parau, tapi kali ini terdengar lebih manusia. “Kembalikan jurnal itu. Atau kau mati.”
Bimo menggigil. “Kita harus kabur!”
Jarry memutuskan dengan cepat. Ia melempar salah satu kotak tua ke arah lain ruangan. Suaranya pecah, dan pria itu menoleh. Mereka memanfaatkan momen itu untuk berlari menuju tangga.
“Lari, Bim!”
Mereka menerobos ke atas, menendang pintu hingga terbuka, lalu berlari tanpa menoleh ke belakang. Pintu rumah dihempas angin saat mereka keluar. Nafas mereka nyaris habis, kaki gemetar. Tapi mereka berdua selamat kembali ke umah
Di rumah, malam itu, Jarry membuka kembali jurnal itu sambil duduk di kamarnya. Cahaya remang dari lampu meja menyoroti tulisan-tulisan rahasia keluarga Werdhana.
Ada satu halaman yang disisipkan dengan tulisan lebih baru.
“Jika kau membaca ini dan berhasil keluar hidup-hidup, berarti kau lebih pintar dari mereka. Tapi kau belum aman. Mereka akan mencari jurnal ini. Dan kau. Satu-satunya tempat aman adalah tempat asal mereka—hutan belakang rumah. Di sana, kebenaran akan terlihat.”
Jarry menutup buku itu dan menatap jendela yang kini gelap gulita.
Ia tahu malam belum selesai.
Sudah dua hari sejak kejadian di rumah keluarga Werdhana. Jarry tidak tidur nyenyak sejak malam itu. Kadang ia merasa ada yang mengawasi dari jendela. Kadang suara ketukan samar terdengar dari bawah tempat tidur, walau selalu lenyap saat diperiksa. Tapi rasa takut itu tidak cukup besar untuk mengalahkan rasa ingin tahunya.
Pagi itu, Jarry memandangi jurnal Anton Werdhana yang tergeletak di meja belajarnya. Jurnal itu nyaris terbakar karena keingintahuannya yang tak kunjung padam.
“Tempat asal mereka… hutan belakang rumah.”
Kalimat itu terus bergema di kepalanya. Hutan itu dikenal sebagai Tegal Sereh, sebuah kawasan yang dulu jadi ladang, lalu ditinggalkan karena tanahnya “kering oleh kematian”, seperti yang dikatakan para tetua kampung.
Jarry mengambil keputusan. Ia akan pergi ke sana sore ini, saat kabut mulai turun. Ia tahu, . Seorang pria tinggi dengan wajah tertutup kain hitam itu pasti masih mengincarnya. Tapi jika ia menunggu terlalu lama, rahasia itu mungkin akan lenyap untuk selamanya.
“Lo beneran mau masuk ke hutan itu?” Bimo memelototi Jarry sambil menyeruput teh botol di warung depan sekolah.
“Kita. Bukan gue doang.”
“Gila.”
Jarry mengangkat alis. “Lo baru sadar sekarang?”
Bimo memutar bola matanya. “Gue udah gila dari hari lo nyuruh gue masuk ruang bawah tanah. Tapi ini… Tegal Sereh, Jar. Orang dewasa aja males lewat sana kalau nggak kepepet. Apalagi kita.”
“Justru karena itu mereka simpan rahasianya di sana. Nggak ada yang nyari.”
Bimo menunduk, lalu berkata pelan, “Lo sadar, kan… kita hampir dibunuh waktu itu.”
Jarry tak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke jalanan yang mulai padat oleh siswa pulang sekolah. Lalu ia berkata dengan suara pelan, tapi mantap:
“Aku nggak tahan hidup tahu ada kebenaran yang dikubur dan orang-orang jahat yang terus menutupi semuanya. Ini bukan cuma soal surat. Ini soal keadilan.”
Bimo terdiam. Kemudian menghela napas dan berdiri. “Sore ini. Tapi lo yang bawa senter.”
Tegal Sereh terlihat seperti dunia yang tak punya waktu. Pohon-pohonnya tinggi, kurus, seolah tumbuh karena dendam. Kabut menyelimuti jalan setapak hingga nyaris tidak terlihat. Tanahnya lembek, seperti pernah menangis terlalu banyak.
“Gue nyesel,” bisik Bimo saat mereka masuk ke hutan.
“Belum terlambat buat balik,” kata Jarry.
“Lo bilang begitu tiap kali, dan akhirnya gue tetap ikut.”
Jarry tersenyum tipis. “Berarti lo temen sejati.”
Mereka menyalakan senter dan terus berjalan. Setelah hampir tiga puluh menit, mereka menemukan sesuatu yang tidak ada di peta: sebuah pondok kayu kecil, nyaris runtuh, tersembunyi di balik semak lebat. Di dindingnya, ada simbol aneh—lingkaran dengan mata di tengahnya.
“Kayak simbol di jurnal itu,” gumam Jarry sambil meraba ukiran itu.
Saat mereka masuk, aroma lembap dan abu kayu menyambut. Di tengah ruangan, ada altar batu, dan di atasnya, sebuah foto tua—wajah yang sama seperti di lukisan keluarga Werdhana.
“Itu dia. Anton Werdhana,” bisik Jarry.
Tapi belum sempat mereka menyentuh apa pun, suara dari belakang membuat darah mereka beku.
“Kalian terlalu dalam menggali.”
Senter Jarry mengarah cepat ke sumber suara.
Seorang pria tinggi dengan wajah tertutup kain hitam itu berdiri di ambang pintu, kini lebih jelas dari sebelumnya. Tingginya hampir dua meter. Tubuhnya dibalut kain hitam seperti jubah. Tapi yang paling mengerikan: tangannya memegang pisau panjang berkarat.
“Kembalikan jurnal itu. Sekarang.” Suaranya tenang, tapi mengandung ancaman.
“Kami hanya ingin tahu kebenaran!” Jarry menjawab, suaranya gemetar namun tegas.
“Tidak semua kebenaran untuk diketahui,” balasnya. “Anton mengkhianati darahnya. Dan kalian mewarisi kutukannya dengan membaca miliknya.”
Bimo menarik lengan Jarry pelan. “Jar, kita harus pergi. Sekarang.”
Tapi Jarry menatap si bayangan dan berkata, “Siapa kau? Kenapa kau takut rahasia ini terbongkar? Apa kau bagian dari keluarga Werdhana juga?”
Sosok itu terdiam. Lalu ia membuka perlahan penutup wajahnya—menampakkan seorang pria tua dengan wajah penuh bekas luka, mata sayu tapi tajam. Bibirnya gemetar saat ia berkata,
“Aku putra sulung Anton. Aku seharusnya mati bersama dia… tapi aku diselamatkan oleh ayah dari kehancuran yang dia sebabkan.”
Jarry terguncang. “Jadi kau… kau mencoba mengubur semua ini?”
“Aku menjaga dunia dari rahasia yang bisa menghancurkan lebih dari sekadar satu keluarga.”
Lalu ia mengangkat pisaunya.
“Dan kau... terlalu banyak tahu.”
Pisau itu meluncur. Jarry mendorong Bimo ke samping dan berguling ke arah altar. Dalam satu gerakan cepat, ia mengambil foto Anton dan melemparkannya ke tanah.
“Sentimen atau bukti?” teriak Jarry sambil berdiri. “Kalau ini penting buatmu, kau harus pilih: kebenaran atau kenangan!”
Pria itu menegang. Ia berhenti.
Hening mendadak memenuhi ruangan. Bahkan kabut di luar jendela seperti membeku.
“Jangan ganggu yang sudah mati, Nak,” bisiknya. “Kau tidak tahu apa yang akan bangkit.”
Dan dalam satu gerakan kabur, ia melompat keluar jendela, menghilang dalam kabut.
Jarry dan Bimo berdiri termangu. Nafas mereka kasar. Ruangan terasa terlalu sunyi, terlalu berat.
Mereka berdua kabur dibalik pohon, melihat bimo yang tiba-tiba muntah melihat pisau
”gue muntah jar, tolongin gue,” desis bimo.
”bimo kita harus kabur! Pegang tangan gw,” ucap jarry dengan suara pelan.
”cepet jarr! Keburu dia ngejar”
terlihat pria itu dengan jubah hitam membawa pisau, yang berkata ”JANGAN SEMBUNYI DARIKU!!,” teriaknya kencang, membuat burung burung yang berkicauan pergi dari pohon, seisi hutan tegal wareh terasa dingin.
”gue disini dulu, lo pergi!!” suara nya sedikit teriak, mendorong jarry pergi.
Jarry dengan senter di tangannya, menyenteri pria yang berjubah itu, mukanya terlihat saat topengnya dilepas, kotor dan berdarah!.
”bim..bim, gue takut, gila,” ucap jarry merinding.
Mereka berdua langsung kabur, ga ta tahu lagi mau gimana lagi mereka langsung kabur setelah bimo muntah, jarry mengikuti bimo yang kabur duluan.
“bimm!! Tungguin gw,” tangis jarry panik sambil mengikuti bimo
Mereka terbirit birit lari dari arah pohon dengan senter, Mereka berdua mencari polisi terdekat, untungnya mereka berdua hapal dimana tempat polisi itu berada! ”ke sini bim!,” saat bimo sedang di tarik jarry, tiba tiba pria itu menghilang dari pandangan mereka.
Bimo jatuh duduk di lantai. “Gue… mau pulang.”
Jarry mengangguk. “Kita belum selesai. Tapi untuk sekarang… kita hidup.”
Ketika mereka sudah aman, jarry dan bimo melaporkan kepada seorang polisi berpakaian baju coklat dan celana coklat. ”Pak polisi, kami berdua hampir dibunuh pak!,” jelas jarry.
”jelaskan bagaimana kronologinya?,” ucap pak polisi dengan seorang teman-temannya
”pak wendi tolong amankan bimo,” temannya pak wendi mengamankan bimo dan butuh pertolongan sehabis muntah.. ”baik pak,” ucap pak Wendy.
”ceritanya panjang pak!, tapi saya takut, saya dan bimo hampir dibunuh seorang pria jahat anak sulung pak anton yang telah lama meninggal dan dia masih hidup!,” jelas jarry.
Kedua polisi saling bertatap muka, ”baiklah ceritakan di ruang interogasi,”
Kedua polisi itu tak banyak bicara saat membawa Jarry ke dalam kantor. Salah satunya, berpangkat Inspektur Dua, mengenakan kemeja putih yang lengan kirinya digulung hingga siku, tampak lelah namun sigap. Yang satunya lagi lebih muda, mungkin baru dua atau tiga tahun jadi penyidik.
“Duduk sini, Nak,” kata Inspektur Dimas, menunjuk kursi besi di ruang sempit dengan lampu kuning pucat di atasnya. Dinding ruangan itu kedap suara, kosong selain satu jam dinding yang berdetak terlalu keras.
Jarry duduk. Tangannya basah oleh keringat, tapi wajahnya tak menunjukkan gentar. Ia tahu ini bagian dari proses. Bahkan, ia sudah menyiapkan apa yang akan ia katakan sejak tadi malam.
“Nama lengkap kamu?” tanya petugas muda sambil membuka map.
“Jarry Ramadhan.”
“Usia?”
“Empat belas tahun.”
“Sekolah?”
“SMP Nusa Cendekia, kelas 8.”
Pak Dimas menatap Jarry dengan saksama. “Jarry, kamu tahu kenapa kamu dibawa ke sini?”
“Karena saya terlibat dalam penemuan kasus keluarga Werdhana dan… hampir terbunuh semalam,” jawab Jarry tenang.
Mata Pak Dimas menyipit sedikit. “Kamu bicara seolah ini bukan pertama kalinya kamu duduk di ruang ini.”
“Pertama kali. Tapi saya banyak baca.”
Dimas tersenyum tipis. “Baiklah. Kami ingin kamu ceritakan semua dari awal. Tentang surat itu, hutan, dan... pelaku. Jangan ada yang disembunyikan.”
Jarry menarik napas panjang. Lalu ia mulai.
“ Tepat di atas meja makan, ada sepucuk surat tanpa nama pengirim. Kertasnya kusam, dilipat rapi, tapi jelas bukan dari siapa pun yang dia kenal. Tidak ada perangko. Tidak ada amplop.”
Ia menatap ke arah kedua polisi itu, lalu melanjutkan.
“Surat itu isinya singkat: Ada rahasia yang sudah terlalu lama disembunyikan di rumah keluarga Werdhana. Jika kau cukup berani, temukan lukisan di ruang bawah tanah. Tapi jangan datang sendirian. Mereka tidak suka dikunjungi.”
”Anda tahu Anton Werdhana?,” tanya pak Dimas.
“Awalnya enggak. Tapi setelah saya baca jurnal itu di bawah tanah saya tahu itu milik Anton Werdhana, orang yang bunuh diri tahun 1996. Ia tulis banyak soal penyesalan, rasa takut… dan tentang keluarganya yang terlibat dalam sesuatu yang gelap. Kayaknya Anton mau rahasianya suatu hari ditemukan.”
Pak Dimas mencondongkan badan. “Lalu kamu masuk ke rumah keluarga itu?”
“Ya. Saya dan teman saya, Bimo. Kami dapat petunjuk lokasi dari catatan di jurnal: 'di bawah bingkai yang tak bersuara'. Kami pikir itu ruang bawah tanah di rumah utama Werdhana yang lama ditinggalkan. Dan ternyata benar. Di situ kami nemu simbol, foto-foto lama, dan dokumen yang menunjukkan Anton pernah menentang ayahnya yang—menurut jurnal—menggunakan kekuatan politik buat menutupi pembunuhan di masa lalu.”
“Pembunuhan?” ulang petugas muda.
“Anton menulis soal 'pengorbanan' yang dilakukan untuk menjaga kejayaan nama keluarganya. Kayaknya ada orang-orang yang disingkirkan dan dikubur di Tegal Sereh. Dia bilang ‘mereka menangis di akar pohon yang tidak pernah berbunga lagi’.”
Pak Dimas saling pandang dengan bawahannya, lalu bertanya, “Dan kamu pergi ke hutan itu juga?”
“Betul. Kemarin sore. Kami nemuin pondok kecil yang nggak ada di peta mana pun. Ada altar batu, foto Anton di atasnya, dan simbol mata dalam lingkaran. Dan di sana... kami ketemu dia.”
“Si pelaku?” tanya polisi muda.
“Bukan pembunuh… lebih ke penjaga. Dia pakai topeng, tapi akhirnya ngaku kalau dia Adimas Werdhana—anak tertua Anton. Ia ngilang sejak ‘96. Katanya dia selamat dari tragedi keluarga dan memutuskan ‘melindungi dunia’ dari rahasia mereka.”
“Dan dia menyerang kamu?”
“Dia bawa pisau. Mau ambil jurnalnya kembali. Tapi saya tantang dia buat milih antara nyimpan kenangan atau membiarkan kebenaran dibuka. Dia sempat ragu. Tapi akhirnya nyerang juga.”
“Lalu kamu…?”
“Saya lempar foto Anton ke tanah. Dia goyah. Dan kami kabur lewat jendela belakang pondok. Polisi datang beberapa jam kemudian karena saya sempat kirim koordinat ke teman saya sebelum masuk hutan.”
Pak Dimas duduk bersandar, berpikir panjang. “Jarry... kamu sadar kalau ini bisa membahayakan hidup kamu?”
Jarry menatap lurus. “Saya tahu. Tapi membiarkan yang salah terus ditutup juga bisa membunuh orang. Diam pun bisa jadi dosa.”
Ruangan hening sejenak.
Lalu Pak Dimas berdiri. Ia menepuk pundak Jarry.
“Kamu anak yang luar biasa. Terlalu keras kepala, mungkin. Tapi dunia butuh orang seperti kamu.”
Malam itu Jarry keluar dari kantor polisi dengan langkah ringan. Di luar, Bimo, Rika, dan Ojan sudah menunggu, lengkap dengan kantong plastik berisi gorengan dan teh manis.
“Lo hidup,” kata Rika sambil menepuk punggungnya.
“Dan resmi jadi legenda,” tambah Ojan.
Jarry hanya tertawa.
“Gue cuma bocah empat belas tahun yang kebanyakan baca detektif Conan,” sahutnya. “Tapi sekarang... kayaknya hidup gue nggak kalah rumit.”
Bimo menepuk pundaknya. “Tapi kita selamat, bro. Itu yang penting.”
Dan untuk pertama kalinya sejak menerima surat itu, Jarry merasa ringan. Ia tak hanya menyelamatkan dirinya. Tapi juga membuka jalan bagi masa depan yang lebih jujur—meski gelap, tapi tanpa dusta.
Beberapa hari kemudian..
Pagi itu kabut masih menggantung di langit Tegal Sereh, walau matahari sudah mencoba menembus reranting pohon yang saling menjuntai seperti tangan-tangan luka. Jarry duduk di bangku belakang mobil polisi, mengenakan jaket yang sedikit sobek di bagian bahu, namun matanya tetap menyala. Ia selamat. Tapi lebih dari itu—ia tahu siapa pengirim surat misterius itu.
“Jadi dia bukan hantu?” tanya Bimo yang duduk di sebelahnya, masih pucat dan memegangi termor botol air hangat.
“Bukan. Tapi hampir seperti itu,” jawab Jarry sambil menatap ke jendela luar, ke arah Rumah keluarga Werdhana yang kini dipasangi garis polisi kuning.
Pria bertopeng itu—yang mengaku sebagai putra sulung Anton Werdhana—akhirnya ditangkap setelah pengejaran semalam. Namanya Adimas Werdhana, usia enam puluh lima tahun, mantan pengajar sejarah yang menghilang dua dekade lalu. Ia tinggal menyendiri di dalam hutan, menjaga rahasia keluarganya seperti menjaga makam yang tak boleh dibuka.
Dan surat misterius? Bukan dari dia.
“Bimo,” gumam Jarry, “Surat itu… aku rasa ditulis Anton sendiri.”
“Gila. Tapi dia udah mati puluhan tahun yang lalu.”
“Coba pikir,” Jarry menoleh. “Jurnal itu ditulis olehnya. Dia tahu dirinya dalam bahaya. Dia bisa saja mengirim surat itu ke luar, dengan harapan seseorang di masa depan—siapa pun—akan menemukannya.”
Bimo mengernyit. “Tapi kenapa ke lo?”
“Karena rumah yang aku tinggali dulu rumah sepupu Anton,” sahut Jarry. “Aku baru tahu dari penyidik. Surat itu mungkin terselip di loteng dan jatuh ke tumpukan buku waktu aku bersih-bersih kemarin.”
Bimo mendesah. “Nasib, ya. Lo keturunan Werdhana juga?”
“Enggak. Cuma kebetulan. Tapi kadang, kebetulan itu kayak tangan tak terlihat.”
Sore itu mereka berkumpul di taman belakang rumah Jarry. Bimo, Rika—yang baru tahu segalanya dan langsung ingin “menegur dengan sandal” Jarry karena tak mengajaknya sejak awal—dan Ojan, teman kelas yang diam-diam mengikuti perjalanan mereka lewat jejak media sosial.
“Kalian gila,” kata Rika sambil mengunyah keripik singkong. “Masuk hutan, nemu pembunuh, dan masih bisa bercanda. Gue ketinggalan episode seru.”
“Gue cuma mau ngasih tahu lo,” sahut Jarry sambil menggulung lengan bajunya yang robek, “bahwa hidup itu lebih serem dari film Netflix. Dan lebih berdarah juga.”
Ojan menyenggol bahu Bimo. “Lo katanya muntah di balik pohon pas liat pisau?”
Bimo mengangkat tangan. “Self-defense. Itu reaksi natural sistem tubuh terhadap ancaman kematian.”
Mereka semua tertawa.
Namun setelah tawa reda, Rika menatap serius ke arah Jarry.
“Tapi lo sadar nggak, Jar. Ini semua bisa aja berakhir beda. Lo bisa mati. Kita semua bisa.”
Jarry mengangguk perlahan. “Iya. Tapi ada sesuatu yang penting buat aku.”
“Apa?”
“Menemukan kebenaran. Walau jalannya gelap.”
Sunyi sejenak mengambang di udara. Angin sore meniup dedaunan kering, menciptakan bunyi gemerisik yang menenangkan. Di tengah semua kekacauan, ada kedamaian kecil di sana—persahabatan dan rasa percaya.
Bimo berkata pelan, “Lo tahu, gue heran aja. Kita cuma anak sekolah. Tapi lo, Jar… lo bisa bikin polisi mikir ulang, bisa ngungkap misteri puluhan tahun, dan... bisa pulang hidup-hidup.”
Jarry menatap langit yang mulai menguning. “Mungkin karena aku nggak pernah bisa tinggal diam.”
Rika tertawa. “Ya. Detektif cerewet. Itu gelar yang cocok.”
Malamnya, Jarry kembali membuka jurnal Anton Werdhana. Di halaman terakhir, ada catatan dengan tulisan lebih buram, mungkin karena air mata atau hujan waktu itu.
“Jika suatu hari anak-anak mendengarkan bisikan kebenaran, maka biarkan mereka berjalan ke dalam gelap. Karena dari situlah cahaya yang sejati akan muncul.”
Jarry menutup buku itu. Ia tidak lagi merasa takut, karena ia tahu: cerita ini bukan tentang kutukan. Bukan tentang keluarga yang rusak. Tapi tentang seseorang yang mencoba melawan kebusukan dengan satu hal sederhana: keberanian.
Dan ia, seorang anak empat belas tahun dengan rasa ingin tahu yang terlalu besar untuk usianya, sudah menjadi bagian dari cerita itu.
Bukan akhir yang sempurna. Tapi cukup.
Malam itu, ia tidur nyenyak untuk pertama kalinya dalam seminggu.
Dan di mimpinya, Anton tersenyum dari balik kabut.