Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tepat seminggu lalu, aku bertemu seseorang. Dia menghampiriku dengan wajah penuh kecemasan. Aku menatapnya, lalu bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
Dia mengangguk, seolah ingin meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku bisa melihat yang sebaliknya di sorot matanya-sesuatu yang disimpannya rapat-rapat.
Aku menepuk tempat di sampingku, mengisyaratkannya untuk duduk. Tanpa bertanya lebih jauh, aku membiarkannya menenangkan diri.
Kami duduk di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan. Atapnya dari daun rumbia yang sudah mulai lapuk, beberapa sudut kayunya dipenuhi lumut. Gubuk itu sering dipakai warga untuk ronda malam, tapi malam ini, hanya ada kami berdua di sana.
Di kejauhan, suara jangkrik bersahutan dengan nyanyian kodok dari sawah. Angin berembus pelan, menyelusup di antara celah kayu, membawa aroma tanah basah yang tersisa dari hujan sore tadi. Sesekali, ranting-ranting bambu di dekat kami bergesekan, menimbulkan suara gemerisik yang terdengar seperti bisikan halus.
Dari sudut telingaku, aku bisa mendengar napasnya yang berat, seperti sedang berusaha mengatur dirinya sendiri. Aku melirik ke arah tangannya-jemarinya gemetar. Aku bisa menebak, dia sedang mati-matian berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Beberapa saat, dia berusaha menenangkan diri. Napasnya masih berat, tapi akhirnya dia mulai bicara.
"Awalnya aku nggak berani mengatakan ini, tapi aku..."
Kata-katanya terputus. Isakan pelan mulai terdengar.
Aku bisa merasakan energi yang selama ini dia tahan meledak begitu saja-rasa kecewa, sedih, dan ketakutan yang sudah lama dia pendam sendiri. Tanpa sadar, aku mengucapkan sesuatu yang membuatnya terkejut, sesuatu yang mungkin selama ini dia coba sembunyikan.
"Ibumu meninggal... maaf, karena ditumbalkan oleh ayahmu, kan?"
Dia langsung menoleh. Matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Sejenak, dia ingin menyangkal. Tapi air matanya mendahului kata-kata. Tangisnya pecah.
Perlahan, aku mengusap pundaknya, berusaha memberinya sedikit ketenangan. Dengan suara pelan dan penuh prihatin, aku berkata,
"Katakan apa pun yang ingin kamu katakan. Kadang, bercerita dengan orang asing jauh lebih menenangkan. Dan aku janji, aku nggak akan menceritakan ini ke siapa pun. Anggap saja... ini adalah cara Tuhan menyelamatkanmu dari rahasia besar yang nggak bisa kamu simpan sendirian."
Dia menunduk, tangannya mengepal di atas lutut.
"Aku... Aku sudah mengetahuinya jauh sebelum ibuku jadi korban," suaranya bergetar. "Beberapa kali, aku melihat ayah masuk ke gudang rumah, tempat dia biasa mengukir patung kayu. Awalnya, aku pikir dia hanya bekerja... tapi aku salah."
Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Tempat itu bukan sekadar bengkel kerja. Itu adalah media bagi ayahku untuk bertemu dengan sosok yang telah merenggut nyawa ibuku."
Aku terdiam, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Sebenarnya, aku sudah tahu sebelum dia mengatakannya.
Sejak kecil, aku terbiasa melihat masa lalu seseorang-kemampuan yang membuatku terbiasa dengan hal-hal ghaib. Tapi meskipun begitu, pesan Abah selalu terngiang di benakku:
"Apa pun yang kau lihat, jangan pernah terlalu jauh untuk masuk. Kehidupan orang lain adalah rahasianya. Jika tanpa sengaja kau melihat masa lalu seseorang, cukup doakan yang terbaik. Jadilah pendengar yang baik. Jika dia ingin dibantu, bantulah. Tapi jika tidak, cukup beri isyarat bahwa masih ada seseorang yang peduli, tanpa perlu menghakimi."
Dia menoleh padaku. Matanya berkaca-kaca, pipinya basah dengan deraian tangis. Aku hanya tersenyum tipis-bukan untuk menghibur dengan kata-kata, tapi sebagai isyarat bahwa aku ada di sini. Bahwa dia tidak sendirian.
Terkadang, aku hanya menceritakan apa yang kulihat kepada orang-orang tertentu. Termasuk dia.
Dia adalah Isyana, sepupu temanku. Aku bertemu dengannya secara kebetulan saat sedang berlibur di rumah nenek di kampung. Saat itu, dia juga sedang menginap di rumah temanku karena kabar duka yang baru saja menimpanya.
Usianya masih enam belas tahun-terlalu muda untuk menjalani hidup tanpa seorang ibu. Di desa nenek, ada kepercayaan lama yang masih dijunjung, "Pamali jika seorang anak perawan tinggal di rumah tanpa ditemani perempuan lainnya."
Isyana menatapku lekat, matanya masih sembab oleh tangis.
"Raisa, kamu janji nggak akan cerita ke siapa pun, termasuk Hana, sepupuku?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk. "Aku janji."
Dia menarik napas dalam, lalu dengan suara penuh ragu, dia bertanya,
"Aku ingin tahu sesuatu..." suaranya lirih. "Apakah..."
Dia menggigit bibirnya. Tangannya meremas kain roknya, seakan mencari pegangan. "Korban selanjutnya aku?"
Aku terdiam.
Pertanyaan itu menghantamku seperti tamparan keras. Aku juga memang bisa melihat masa depan, tapi mengungkapkan takdir bukanlah hakku. Aku bisa saja memberi jawaban, tapi rasa seganku pada Sang Pemilik Takdir jauh lebih besar.
"Hmm..."
"Katakan aja!" suara Isyana meninggi, matanya berkaca-kaca. "Kalau benar, apa kamu bisa menyelamatkanku?"
Tangannya menggenggam tanganku erat. Aku bisa merasakan ketakutan yang mengguncang dirinya.
"Aku mohon..."
Aku terdiam. Aku menarik napas, mencoba mencari kata-kata yang bisa menguatkannya. Tapi saat menatap mata Isyana yang penuh ketakutan, sesuatu berdesir dalam tubuhku.
Awalnya samar-seperti kabut tipis yang berputar dalam pikiranku. Tapi semakin lama, semakin jelas.
Aku melihat bayangan seseorang berlari dalam gelap. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar. Ranting-ranting tajam mencakar kulitnya, meninggalkan garis-garis luka merah.
Di kejauhan, ada sesosok siluet yang mengamatinya. Menunggu. Mengawasi.
"Tidak..." gumamku, nyaris tak terdengar.
Aku bisa melihat tangan Isyana yang berlumuran tanah, tubuhnya yang tersungkur di antara rerumputan. Bau anyir darah tercium samar di udara, bercampur dengan aroma tanah basah. Suara napasnya kian melemah.
Lalu, sepasang kaki melangkah mendekat. Sosok itu menunduk, mengulurkan tangannya-
Aku tersentak.
Pemandangan itu menghilang secepat kilat, meninggalkan debaran di dadaku. Sekilas aku melihat masa depannya.
Suara Isyana kembali lirih namun penuh kepedihan.
"Aku sudah dengar dari orang-orang... katanya, bersekutu dengan ghaib bisa merusak segalanya, bahkan sampai merenggut nyawa orang yang dicintai. Tapi aku nggak bisa mencegah bapakku..." Isyana mengepalkan tangannya. "Dia terlalu kuat. Dia orang yang disegani, punya segalanya. Bahkan saat ibuku meninggal... dia nggak ada di rumah. Dan waktu pulang, Dia sama sekali nggak terlihat berduka. Dia cuma masuk ke gudang... tanpa sepatah kata pun untukku."
Aku menarik napas, "Sesuatu yang buruk di masa depan hanyalah prediksi," ucapku pelan. "Yang bisa benar-benar melindungimu hanyalah Tuhan. Kamu harus percaya... bahwa hidup dan matimu ada di tangan-Nya, bukan di tangan bapakmu. Tapi kalau sampai terjadi sesuatu padamu seperti yang terjadi pada ibumu... carilah orang yang bisa membantumu. Jangan pendam sendiri rasa sakit dan takutmu ya."
Isyana menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Kalau aku selamat... terus bapakku gimana?" tanyanya. "Apa dia bakal bertanggung jawab atas semua tumbalnya?"
"Doakan yang terbaik untuk bapakmu," kataku akhirnya. "Aku nggak bisa menjelaskan lebih jauh... Tapi aku selalu berharap, dia bisa menemukan jalan yang benar. Dalam keadaan selamat."
Perlahan, Isyana mulai tenang. Aku kembali mengusap pundaknya, memberi sedikit ketenangan lewat sentuhan yang tak banyak bicara.
"Aku senang kamu akhirnya berani bercerita," ucapku dengan lembut. "Sejauh mana kita bisa bertahan, itulah waktu yang Tuhan kasih untuk belajar tangguh. Jangan takut, ya. Ghaib memang menyeramkan... tapi yang lebih menakutkan adalah kalau kamu menyerah sebelum mencoba melawan."
Aku tersenyum, berharap itu cukup untuk meyakinkannya.
Keesokan paginya, aku bertemu dengan Hana, sepupu Isyana. Kami duduk di teras rumah nenek sambil mengupas pisang untuk digoreng.
"Raisa, tadi malam Isyana pulang ke rumah dengan wajah aneh," kata Hana tiba-tiba. "Dia nggak ngomong banyak, tapi kelihatannya kayak habis nangis. Kamu tahu sesuatu?"
Aku terdiam sejenak. Janji tetaplah janji. Aku nggak bisa cerita apa pun ke Hana.
"Mungkin dia cuma lagi banyak pikiran," jawabku hati-hati. "Kamu tahu kan, dia baru kehilangan ibunya..."
Hana mengangguk, tapi ekspresinya tetap penuh tanda tanya.
"Aku sebenarnya kasihan sama dia," lanjutnya. "Setelah tante meninggal, Isyana hampir nggak pernah pulang ke rumah. Dia meminta tidur di rumahku. Padahal, ayahnya nggak pernah bilang apa-apa. Cuma... ya, aku juga ngerti kenapa dia takut."
Aku menatap Hana. "Takut?"
Hana menghela napas. "Bapaknya Isyana itu orang yang disegani di desa ini. Tapi sejak ibunya meninggal, banyak kejadian aneh yang mulai terjadi. Anak Bu Rina, tetangga Isyana sakit parah dan nggak sembuh-sembuh. Semua orang mulai bisik-bisik kalau ada sesuatu yang salah di rumah Isyana."
Darahku berdesir. Aku nggak bisa mengabaikan fakta bahwa setiap kali seseorang bersekutu dengan ghaib, selalu ada harga yang harus dibayar.
Malam selanjutnya, aku kembali bertemu dengan Isyana di gubuk yang sama. Kali ini, dia membawa sesuatu-sebuah ukiran kayu kecil berbentuk wajah perempuan dengan ekspresi ketakutan.
"Aku menemukan ini di gudang bapakku," katanya pelan. "Aku yakin ini ukiran ibuku..."
Aku menatap patung itu dengan perasaan tak nyaman. Ada sesuatu yang gelap mengelilinginya, seakan energi dari masa lalu masih melekat erat di setiap lekukan kayu itu.
"Isyana, kamu harus hati-hati," kataku akhirnya. "Aku nggak bisa bilang banyak, tapi ada sesuatu di rumah itu yang masih mengawasi kamu."
Dia menelan ludah, wajahnya semakin pucat.
"Apa aku bisa melawan?" tanyanya pelan.
Aku menatapnya dalam-dalam. "Bukan melawan. Tapi kamu harus memilih, Isyana. Bertahan di rumah itu, atau mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat."
Mata kami saling bertatapan, Isyana terdiam mencerna apa yang aku katakan namun yang kulihat, dia masih takut melangkah lebih jauh.
"Aku menyarankan, lebih baik kamu tinggal di rumah Hana dan jangan kembali ke rumah apapun alasannya. Ini salah satu caraku membantumu."
Di luar, angin malam bertiup lebih dingin dari biasanya.
Dan aku tahu, malam ini bukan hanya aku dan Isyana yang ada di sini.
Ada sesuatu yang sedang mendengar.
Dan menunggu.
Sebelum aku kembali ke kota, aku sadar-pertemuanku dengan Isyana bukan sekadar kebetulan.
Aku percaya, setiap orang yang hadir dalam hidup kita membawa pesan. Entah untuk dipahami, dipelajari, atau disampaikan kepada orang lain.
Malam itu, aku bukan hanya mendengar kisah Isyana. Aku juga menyaksikan bagaimana ketakutan bisa membuat seseorang begitu rapuh, dan bagaimana kepercayaan bisa menjadi satu-satunya harapan.
Aku menatap langit desa yang gelap, hanya diterangi rembulan samar. Ada sesuatu yang bergetar dalam hatiku-
Mungkin, aku di sini bukan hanya sebagai pendengar. Mungkin, aku di sini untuk mengubah sesuatu.
***