Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Rahasia Lintang
0
Suka
8
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di bawah terik sinar matahari di salah satu pantai yang sepi di Bali, ia adalah lautan yang tak terbatas, sebuah jiwa yang akhirnya menemukan samudra untuk berlayar dan bernapas bebas. Butiran pasir hangat memijat telapak kakinya yang telanjang, setiap sentuhan adalah pengingat akan kebebasan yang ia dambakan. Seolah bumi sendiri menyambutnya kembali, memeluknya dalam keheningan yang tak menghakimi. Setiap embusan angin laut membawa serta aroma garam yang memabukkan dan janji kebebasan yang tak terucap, sebuah melodi yang hanya bisa ia dengar di tempat ini. Rambut bob pendeknya yang basah tersibak lembut, menyingkap garis leher yang jenjang, sebuah gestur yang tak pernah ia biarkan terlihat di dunia lain, di bawah tatapan mata yang selalu mengawasi.

Dengan bikini two piece berwarna hitam dengan atasan model triangle dan bawahan model string yang menonjolkan lekuk tubuhnya yang mungil namun penuh—dada besar yang proporsional dan membusung bangga, perut rata yang kencang dan pinggul serta bokong berisi yang sensual—ia berdiri di tepi pantai, mengagumi pantulan dirinya di air dangkal yang jernih. Itu bukan sekadar tubuh, itu adalah anugerah, sebuah kuil pribadi yang ia jaga dan cintai dengan segenap jiwa, tanpa sedikit pun rasa malu atau penyesalan. Setiap lekuk adalah keindahan, setiap inci adalah bagian dari dirinya yang utuh, yang ia sembunyikan dari dunia. Di sini, di bawah langit biru yang tak bertepi, tidak ada tatapan menghakimi yang menuntut kesempurnaan yang mustahil, tidak ada bisikan yang membelenggu setiap geraknya. Hanya dirinya, seutuhnya, bebas, dan liar.

Ia memejamkan mata, membiarkan hangatnya mentari memeluk kulitnya, merasakan denyutan kehidupan yang tak terbebani oleh ekspektasi. Sebuah senyum tulus terukir di bibirnya, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan di dunia lain, sebuah senyum yang memancar dari kedalaman jiwanya yang kini damai. Senyum itu adalah cerminan dari kelegaan yang mendalam, pelepasan dari belenggu yang tak terlihat. Ia berswafoto, bukan untuk validasi atau pujian dari orang lain, melainkan untuk mengabadikan momen ini, untuk second account-nya yang hanya berisi sisi paling jujurnya. Sebuah jurnal visual dari jiwa yang haus eksplorasi, sensual, dan tak terikat—bukti nyata bahwa ia ada, sepenuhnya, tanpa filter, tanpa topeng. Ini adalah sosok penjelajah diri, yang mendamba keintiman sejati dengan dirinya sendiri dan alam semesta, jauh dari segala topeng dan peran yang harus ia mainkan.

Setiap hari di Bali adalah kanvas baru yang ia lukis dengan warna-warna kebebasan. Ia berjalan tanpa tujuan di sepanjang garis pantai, membiarkan ombak membasahi kakinya, merasakan butiran pasir menyelip di antara jari-jari kakinya. Ia berenang di laut lepas, merasakan dinginnya air memeluk tubuhnya, membiarkan dirinya mengapung tanpa beban, seolah semua kekhawatiran di Jakarta hanyalah buih yang larut dalam birunya samudra. Ia duduk di tepi tebing, memandangi matahari terbenam yang melukis langit dengan jingga dan ungu, merenungkan betapa luasnya dunia ini, betapa kecilnya masalah yang ia pikul, dan betapa berharganya momen-momen otentik seperti ini.

Malam hari, ia menikmati kesendiriannya di villa, membaca buku, mendengarkan musik, atau sekadar menatap bintang-bintang. Tidak ada jadwal ketat, tidak ada tuntutan sosial. Ia bisa makan apa pun yang ia mau, tidur kapan pun ia mau, dan bangun tanpa alarm. Ini adalah kemewahan yang tak ternilai, sebuah jeda dari peran yang ia mainkan di kehidupan sehari-hari.

Suatu sore, saat ia sedang bersantai di teras villa, dengan bikini andalannya dibalut dengan outer kemeja tipis, menikmati secangkir teh herbal, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah mendekat. Itu Pak Wayan, penjaga villa yang sudah mengenalnya selama bertahun-tahun, sejak pertama kali ia menemukan tempat tersembunyi ini.

"Sore Non, sudah lama tidak terlihat," sapa Pak Wayan, suaranya hangat dan menenangkan. "Bagaimana kabar? Kelihatannya lebih segar sekarang."

Ia tersenyum, senyum tulus yang hanya ia tunjukkan di sini. "Baik, Pak Wayan. Selalu baik kalau sudah di sini."

Pak Wayan tertawa kecil. "Memang, Non. Aura tempat ini selalu cocok untuk Non. Seperti... rumah kedua, ya?"

Ia mengangguk pelan, tatapannya menerawang ke arah laut lepas. "Lebih dari rumah kedua, Pak Wayan. Ini tempat saya bisa bernapas. Tempat saya bisa... menjadi diri sendiri."

Pak Wayan mengangguk penuh pengertian, seolah ia bisa membaca pikirannya. "Hidup di kota besar memang berat, Non. Banyak tuntutan. Di sini, Non bisa lepas. Kami senang Non selalu kembali."

"Saya juga senang, Pak Wayan. Rasanya seperti... melepaskan beban yang berat sekali." Ia menghela napas, merasakan kelegaan yang mendalam. "Tidak ada yang tahu, kan."

Pak Wayan tersenyum lagi, senyum yang penuh kebijaksanaan. "Setiap orang punya sisi yang perlu dijaga, Non. Yang penting, Non bahagia."

Kata-kata Pak Wayan menenangkan hatinya. Ia merasa seperti bunga liar yang akhirnya menemukan tanah subur untuk tumbuh, mekar tanpa perlu khawatir akan tatapan mata yang menghakimi. Dalam kesendirian itu, ia berbicara pada dirinya sendiri, meyakinkan bahwa ia berharga, ia pantas bahagia, dan ia berhak untuk menjadi dirinya seutuhnya. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa semua ini hanyalah sementara. Bali adalah fatamorgana yang indah, sebuah pelarian yang tidak bisa ia pertahankan selamanya.

Namun, Bali adalah ilusi yang fana, sebuah mimpi indah yang harus berakhir. Dan Jakarta adalah realita yang tak terhindarkan, sebuah panggung tempat ia harus kembali memerankan perannya, dengan segala topeng dan belenggunya. Beberapa hari kemudian, setelah perjalanan panjang yang terasa seperti melintasi dimensi, dari surga pribadi menuju sangkar emas, ia melangkah masuk ke lobi kantornya yang megah di Jakarta. Udara dingin pendingin ruangan langsung menyergap, menusuk kulitnya, kontras tajam dengan hangatnya matahari yang masih membekas di sana. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ia membawa beban tak terlihat yang semakin menekan.

Hijabnya membingkai wajah mungilnya dengan rapi, menutupi rapat rambut bob pendek yang baru saja menari bebas di bawah angin laut. Pakaian longgar yang ia kenakan kini menyamarkan setiap lekuk tubuhnya, menyembunyikan keindahan yang baru saja ia rayakan. Dan senyum tipis yang tak pernah mencapai mata adalah topeng sempurna yang ia kenakan setiap hari, setiap jam, setiap menit. Topeng itu terasa dingin, kaku, dan mencekik.

"Selamat pagi, Lintang!" sapa salah satu rekan kerjanya, dengan tatapan penuh kekaguman yang familiar, seolah ia adalah patung kesempurnaan yang tak tersentuh. "Vibes positifnya kerasa banget sampe sini nih." Suaranya terdengar begitu normal, begitu biasa, namun bagi dirinya, itu adalah gema dari ekspektasi yang tak pernah padam.

Ia mengangguk, merasakan beban ekspektasi itu menekan pundaknya, seolah setiap pujian adalah tambahan beban pada rantai tak terlihat yang mengikatnya. Kata-kata positif itu menggema di benaknya, sebuah pengingat akan peran yang harus ia mainkan, sebuah skrip yang harus ia ikuti tanpa cela. Ia duduk di kursinya, di balik meja kerjanya yang rapi, di depan layar monitor yang memancarkan desain interior minimalis modern. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, menciptakan garis-garis presisi, menyusun tata letak yang sempurna.

Saat ia mencoba membenamkan diri dalam pekerjaan, bayangan ombak yang pecah di pantai terus menari di pelupuk matanya. Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya, nyaris tak terdengar.

"Lintang, are you okay?" Sebuah suara lembut menyapa dari samping. Ia menoleh, melihat Zara, rekan kerjanya yang ramah dan selalu peka, berdiri di samping mejanya. Zara memegang cangkir kopi, tatapannya penuh perhatian. "Kelihatan agak melamun hari ini. Masih jet lag dari liburan kemarin?"

Ia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan badai di dalam dirinya. "Oh, Zara. Gue baik-baik aja kok. Biasalah... sedikit lelah aja."

Zara mengerutkan keningnya. "Pasti liburan lo seru banget ya? Atau mungkin terlalu banyak ide baru dari sana sampe puyeng nyampe sini?" Zara mencoba bercanda, mencoba meringankan suasana.

Ia menghela napas pelan, senyumnya sedikit goyah. "Bisa jadi. Atau mungkin... terlalu banyak hal yang harus disatukan." Kalimat itu keluar begitu saja, sebuah pengakuan samar akan dualitas yang ia pikul.

Zara menatapnya bingung, namun tetap ramah. "Maksud lo proyek baru? Tenang aja, kalau lo butuh bantuan, kita bisa bantu kok. Jangan sungkan."

Ia tersenyum lebih tulus kali ini, namun ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan di matanya. "Bukan proyek, Zara. Lebih rumit dari itu." Ia kembali menatap layar monitornya, seolah ada jawaban di sana. Zara mengangguk pelan, seolah memahami bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pekerjaan, lalu kembali ke mejanya.

Di sini, ia adalah desainer yang dihormati, tangguh, dan mandiri. Setiap garis yang ia gambar adalah presisi yang tak terbantahkan, setiap keputusan adalah kalkulasi matang yang membuahkan hasil. Ia adalah sosok yang mereka agungkan, sosok yang tenang, relijius, dan tak bercela. Namun, di dalam dirinya, ia merasakan kontras yang menyakitkan, sebuah jurang pemisah yang semakin lebar antara dua dunia yang ia tinggali. Jiwa yang baru saja menari bebas di bawah matahari, merasakan setiap sentuhan ombak, kini terkurung dalam sangkar ekspektasi, terbungkus kain yang seharusnya melindungi, namun terasa membelenggu setiap geraknya.

Kerinduan akan sensasi pasir di antara jari kakinya, bau garam laut yang menenangkan, dan kebebasan untuk mengagumi tubuhnya tanpa syarat, kini menjadi bisikan lirih di tengah bisingnya keyboard dan dering telepon. Bisikan itu semakin kuat, menuntut perhatiannya, mengusik kedamaian yang ia temukan di Bali. Ia mencoba mengabaikannya, membenamkan diri dalam pekerjaan, namun bayangan ombak yang pecah di pantai terus menari di pelupuk matanya.

Dua jati diri itu berputar dalam benaknya seperti dua planet yang saling tarik-menarik, namun tak pernah benar-benar bersatu. Sosok penjelajah bebas yang sensual, yang merindukan sentuhan angin dan matahari, dan sosok desainer berhijab yang profesional, yang terikat pada jadwal dan norma. Keduanya adalah dirinya, bagian tak terpisahkan dari esensinya, namun hanya satu yang bisa ia tunjukkan pada dunia luar. Setiap hari adalah pertunjukan yang melelahkan, setiap senyum adalah usaha keras untuk menjaga ilusi. Ia bertanya-tanya, apakah suatu hari ia bisa menjadi satu, utuh, tanpa perlu menyembunyikan bagian mana pun dari dirinya? Apakah ada tempat di mana kedua Lintang ini bisa hidup berdampingan, tanpa perlu salah satunya bersembunyi?

"Sampai kapan ini akan berakhir?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemuruh kota, tenggelam dalam desah napasnya yang lelah. Pertanyaan itu menggantung di udara, seberat hijab yang ia kenakan, seringan angin laut yang ia rindukan, namun tak pernah bisa ia sentuh di sini. Sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sebuah beban yang terus ia pikul.

"Aku Lintang, orang yang sama dengan sisi yang berbeda. Dan aku tidak tahu sampai kapan aku bisa terus seperti ini, hidup dalam dua dunia yang tak pernah bertemu."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Rahasia Lintang
tangguh
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Sang Guru
Anjrah Lelono Broto
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Cerpen
Bronze
Dika & Sang Pengubah Takdir
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Aroma rezeki depan Mesjid
Bang Jay
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Flash
Menentukan Arah
Asep Saepuloh
Novel
Berdiri Di Ambang Dunia
Asep Saepuloh
Cerpen
Bronze
Pelangi di Senja Hari
Karang Bala
Flash
Dia Yang Bernafas
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Bukan Pencuri
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Rekomendasi
Cerpen
Rahasia Lintang
tangguh