Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Rahasia Gudang Tua
1
Suka
336
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jika ada yang bertanya tentang siapa manusia favoritku, maka aku dengan lantang akan menjawab MAWAR!

--

Hujan turun saat matahari masih tersenyum—seolah langit berkata, ‘bahagia tak harus menunggu cuaca.’ Aku dan sahabatku menerjang hujan seperti anak kecil yang baru pertama kali mengenal kebebasan. Genangan air jadi permainan melukis jejak di seragam putih abu milikku, tetes hujan jadi irama, dan langkah kaki kami dipandu tawa.

“Neduh dulu ga?” bisik Mawar.

“Boleh.”

Singgah beberapa saat di bawah pohon rindang, Mawar mengulurkan permen karet rasa stroberi kepadaku—Ia hafal betul kesukaanku. Semua tentangku ia tahu bahkan lebih paham dariku. Membuatku tak ingin jauh darinya. Rasa hambar permen karet mulai terasa pertanda kami harus melanjutkan perjalanan pulang. Mawar baru menyadari bahwa kemarin ia meminjam buku di perpustakaan yang belum ia kembalikan. Bergegas memeriksa ranselnya.

“Waduh, bukunya basah.” panik.

“Hayoo, pasti ibu perpustakaan itu akan memarahimu,” sahutku.

Minggu lalu aku menemani Mawar ke perpustakaan untuk meminjam buku. 3 buku sekaligus. Mawar memang sangat suka membaca sejak kami kelas 10 SMA sekitar 1 tahun lalu tepatnya. Namun, aku alergi mendengar hobi itu, bulu kudukku merinding jika membayangkan hal itu. Dari satu tahun lalu tugasku hanya menemani dia ke perpustakaan untuk meminjam buku, aku menunggu di luar sembari menatap tumpukan kertas tebal hampir setinggi badanku, aku bahkan tidak pernah membayangkan untuk membaca buku sebanyak itu.

“Kenapa ga masuk, Dek?” sapa satpam di halaman perpustakaan itu.

“Ga asik, Pak, di dalem. Liat aja pak mereka cuma diem aja membolak-balik lembaran yang hanya berisi coretan, ga bosen apa? Memikirkannya saja aku merinding.” keluhku.

“Kamu ini selalu saja begitu, Bapak tinggal dulu, ya!” pamitnya.

“Siap, Bapak.”

Satpam di perpustakaan itu bahkan sudah sangat mengenalku, karena cuma aku yang ke perpustakaan hanya sampai parkiran ralat—menemani temanku. Selalu saja begitu. Setiap hari. Kakiku kesemutan tiap kali menunggu. Lelah. Lama-lama aku bosan dengan aktifitas ini namun, ketika aku protes jawabannya lebih sinis.

“Untuk apa orang ke perpustakaan berjam-jam?” tegasku.

“Kamu ga akan paham!” sahut Mawar dengan nada ketus.

Untuk pertama kalinya dia membentakku seperti itu. Karena kecewa atas perkataannya aku berbalik arah dan bergegas pulang. Hari berikutnya aku mencoba melupakan kejadian kemarin. Namun, tak sedikit pun kulihat penyesalan di wajah Mawar atas perkataannya—dia berubah, tak seperti Mawar yang kukenal 1 tahun lalu. Sepulang sekolah aku mengajak Mawar untuk bermain bersama di halaman belakang perpustakaan seperti biasanya. Alih-alih bermain Mawar justru fokus membaca buku. Membuatku jengkel dan merebut buku itu dari genggamannya. Kami bermain kejar-kejaran seperti yang sering kami lakukan.

Karena terlalu bersemangat aku tak memperhatikan langkahku, ranting kayu sejajar dengan kakiku membuat wajahku menyatu dengan debu, bugh! Bagaimana dengan bukunya? Terbang menyapa kubangan lumpur. Menyaksikan adegan itu Mawar malah bergegas menyelamatkan bukunya, ya. Bukunya. Bukan aku. Melihat kondisi bukunya berubah warna menjadi kecokelatan, wajahnya pun ikut berubah warna menjadi merah cabai, kedua bola matanya tajam mengarah padaku.

“Kan, udahku bilang jangan dibuat mainan, sekarang kalau kondisinya udah gini mau tanggung jawab ga? Dasar ceroboh!” ungkap Mawar hampir teriak.

Mendengar perkataannya mataku berair, dia membentakku. Lagi.

“M-maaf, aku akan menemanimu mengembalikannya.” Jawabku ragu-ragu dengan rasa bersalah.

Kumpulan cerpen sihir perempuan. Buku yang telah berlumuran lumpur itu yang tak selesai Mawar baca karena kecerobohanku padahal tersisa satu bab terakhir. Cerpen yang sangat ingin ia baca dari lama. Buku yang ia pinjam itu harus dikembalikan besok pagi. Dengan kondisi berlumuran lumpur mana mungkin ia akan membawa buku itu ke penjaga perpustakaan yang mengerikan. Dulu ia juga pernah mengembalikan buku dengan kondisi robek di halaman terakhirnya. Berusaha Mawar sembunyikan namun penjaganya sangat teliti. Ketahuan.

Penjaga itu sangat galak, aku menyebutnya ibu gincu merah—riasan yang berlebihan dan warna pakaian yang mencolok selalu ia kenakan bahkan terlihat dari parkiran. Berteriak ketika ada yang membuat kesalahan apalagi menghilangkan buku. Lalu, sekarang bagaimana nasibku dan temanku yang mengubah warna buku menjadi cokelat lumpur. Benar saja kami diberi hukuman membersihkan gudang perpustakaan selama seminggu.

Saat pintunya terbuka, debu beterbangan pelan, menari dalam cahaya yang menyusup dari celah pintu. Tak ada suara, kecuali desir angin yang menggugurkan sarang laba-laba di sudut langit-langit. Di sudut paling gelap gudang itu, tersembunyi di balik tumpukan buku-buku berdebu dan bayang-bayang yang tak pernah benar-benar hilang, berdiri sebuah pintu—kecil, terbuat dari kayu tua yang warnanya telah pudar dimakan waktu. Tak ada gagang, hanya sebuah celah tipis yang nyaris tak terlihat. Tak ada yang tau kapan pintu itu dipasang. Tak tercatat dalam denah bangunan. Bahkan tukang yang pernah membersihkan gudang ini pun bersumpah tak pernah melihatnya. Tapi di sana ia berdiri, diam dan asing, seolah menunggu seseorang cukup nekat untuk bertanya.

Apa yang ada di baliknya?

Tak ingin memikirkannya lagi aku dan Mawar mulai dengan perlahan membersihkan gudang tua itu disertai ocehan. Mawar menyalahkanku atas apa yang terjadi hari itu. Aku membisu. Karena memang salahku. Kata ibu gincu merah gudang ini hanya dipakai untuk menyimpan barang atau buku yang sudah lama dan tidak digunakan lagi.

Lalu untuk apa dibersihkan jika tidak dipakai, aneh.

Pandanganku selalu saja tertuju pada pintu itu, tapi entah mengapa semakin lama aku memandangnya semakin sulit untuk berpaling. Perlahan aku mendekati pintu itu untuk mengobati rasa penasaranku. Satu langkah lagi akan mengantarkanku pada pintu itu. Namun, langkahku terhenti mendengar teriakan Mawar.

“Ayo cepat, Sudah sore perpustakaannya akan segera tutup,” gertak Mawar.

“I-iya” sahutku terbata-bata. Melanjutkan tahap terakhir mengepel lantai.

“Akhirnya selesai,” ungkap Mawar dengan lega.

“Ingat besok kalian harus ke sini lagi,” bentak ibu gincu merah.

“Lagi? Ya ampun,” jawab mereka serentak.

Mereka bergegas pulang dengan raut wajah kelelahan dan berpencar di persimpangan jalan, karena rumah mereka tidak berdekatan.

--

Pada malam harinya aku dihantui rasa penasaran dengan pintu misterius itu. Ia membayangkan isi di balik pintu itu. Dalam bayanganku di sana ada kumpulan buku yang bisa berbicara seperti manusia. Tak ingin memikirkannya lagi, aku mencoba mengalihkan perhatian dengan memejamkan mata untuk tertidur. Tak lama aku mendengarkan denyitan pintu yang dibuka berulang ulang—creeeaaak. Suara itu terus bergema di telingaku hingga membuatku terjaga sepanjang malam.

Pagi harinya aku bertekad untuk membuka pintu misterius itu. Perpustakaan yang tak pernah ingin aku masuki selama ini, kini aku paling antusias untuk masuk ke dalamnya. Aku berlari ke gudang dan mendekati pintu misterius itu, perlahan aku memberanikan diri mendorong pintu itu dengan mata tertutup. Creeeaaak. Bunyinya sama persis seperti yang kudengarkan di dalam mimpi, Aku memberanikan diri masuk dan menelusuri. Kutemukan benda yang ditutupi kain putih. Aku bernafas lega karena isinya tak seperti yang kubayangkan. Aku kemudian membuka kain putih itu dan melihat sebuah kursi kayu antik berwarna cokelat. Aku mencobanya dan mulai menikmati setiap ayunan dari kursi itu. Tanpa sadar aku tertidur.

Aku bermimpi berjalan di tengah hutan yang sangat gelap dengan bertelanjang kaki. Rumput segar menyapa jemariku. Setelah lama aku berjalan secercah cahaya terbang di hadapanku, aku berlari dan mengikuti cahaya itu. Cahaya itu hilang namun datang kembali. Aku melangkah sekali lagi. Aku tersesat dalam kegelapan. Kawanan cahaya itu menghampiriku, menuntunku ke suatu sungai yang begitu indah. Hanya ada aku dan tumpukan buku-buku, aku melihat bahwa cahaya itu tercipta dari tulisan yang ada dibuku-buku itu. Huruf demi huruf terbang dan membentuk cahaya seperti kumbang. Mengajakku bermain dan bersenang-senang. Kumbang itu menuntunku ke suatu tempat di dekat sungai, kebun bunga mawar tak berduri. Indah sekali. Begitu terkejutnya aku melihat sahabatku Mawar di balik kumpulan bunga itu dengan membaca buku yang waktu itu kujatuhkan ke lumpur. Namun, kondisi bukunya utuh seperti baru. Dia meraih tanganku dan membacakan cerita itu untukku, kami menghabiskan waktu bersama dan mengajakku berbicara.

Sampai jumpa besok, aku akan menemuimu lagi.

Kami akan bertemu lagi esok hari saat matahari terbit.

Kalau aku terbangun

Kalau.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Rahasia Gudang Tua
Yusfita
Novel
Justin & Misteri Puding Merah (bagian 1)
Arzen Rui
Novel
Gold
KKPK Asyiknya outbound
Mizan Publishing
Novel
Not Everything is As It Seems
Erika Angelina
Cerpen
Bronze
Retha
Christian Shonda Benyamin
Skrip Film
Momentum
Bhimo adnan
Cerpen
Bronze
Sahabat Backpacker Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
ABANG-ABANG LAMBE
Heru Patria
Flash
Siapa Gadis Itu?
Impy Island
Flash
Bronze
Gayatri
Hanifa Rahma
Flash
MERAJUT
Alviona Himayatunisa
Flash
Bronze
PINTU MERAH MAROON
Hanan Rafidah
Flash
MILIARAN KESADARAN MANUSIA YANG MENGELANA DI ANGKASA
Reiga Sanskara
Flash
Bronze
Ombak
Febby Arshani
Novel
Gold
KKPK Misteri Cermin Pengisap
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Rahasia Gudang Tua
Yusfita