Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu, di kamar lama ayah, aku merasakan keheningan yang berbeda. Debu halus menari di antara bias cahaya matahari yang menerobos jendela, menerangi rak buku kayu penuh kenangan. Ayah sudah tiada dua tahun lalu, dan setiap merapikan barang-barangnya selalu terasa seperti napak tilas. Tanganku menyusuri punggung buku-buku usang, hingga jemariku menyentuh sesuatu yang ganjil. Sebuah amplop tua berwarna kecokelatan, terselip di antara kumpulan novel klasik kesayangannya. Di permukaannya, sebuah nama tertulis dengan aksara yang akrab-tulisan tangan ayahku. Namun, nama yang tertera bukan nama Ibu, melainkan… Aksara.
Jantungku berdebar kencang saat aku membuka amplop itu. Sepucuk surat, kertasnya sudah menguning, namun, tintanya masih jelas terbaca. Sebuah ungkapan cinta, ditulis oleh ayahku.
“Untuk Aksara-ku,” begitu bunyinya di awal, membuat napasku tertahan. Ayah menceritakan perasaannya yang mendalam, penyesalan karena takdir memisahkan mereka, namun, ia bersumpah, “cintaku akan selalu abadi.” Aku membaca baris demi baris, mataku berkaca-kaca. Selama ini, yang aku tahu, Ibu adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi Ayah. Rahasia ini terasa seperti beban berat yang tiba-tiba diletakkan di pundakku. Siapa Aksara? Mengapa ayah tidak pernah menceritakannya?
Pikiranku dipenuhi pertanyaan tanpa jawaban. Beberapa hari berikutnya, aku tenggelam dalam pencarian. Aku membuka album foto lama, mencari nama itu di catatan-catatan kecil ayah, bahkan mencoba bertanya pada sanak keluarga.
“Aksara?” Tante Rina, adik ayah, mengerutkan kening. “Oh, Aksara itu… setahuku dia sahabat ayahmu waktu SMA. Tapi lalu hilang kabar, pindah kota.”
“Pindah kota?” aku bertanya, mencoba menangkap setiap detail.
“Iya, Lira. Mungkin sudah lama sekali. Kenapa memangnya?”
Aku hanya menggeleng, tak ingin membuka kotak Pandora ini lebih jauh tanpa kejelasan. “Tidak apa-apa, Tante. Hanya penasaran saja.”
Pencarian itu membawaku ke berbagai tempat, termasuk sebuah pameran buku lokal yang dianjurkan oleh temanku. Di sanalah, di tengah riuhnya orang-orang yang berburu buku, mataku tertumbuk pada sebuah *stand* fotografi. Beberapa foto hitam-putih terpajang rapi, menyorot detail-detail kecil yang begitu puitis. Aku terpikat pada salah satu foto, potret seorang wanita tua dengan sorot mata penuh kerinduan.
“Suka dengan foto itu?” Suara seorang pria menyapaku. Aku menoleh. Seorang pria seusia denganku, mengenakan kemeja kotak-kotak dan senyum ramah.
“Sangat,” jawabku, menunjuk foto wanita itu. “Ada cerita di baliknya?”
Pria itu tersenyum hangat. “Tentu. Itu nenek saya. Foto itu saya ambil setahun sebelum dia meninggal. Ada semacam kesedihan dan keindahan yang bercampur jadi satu, ya?”
“Iya,” aku mengangguk setuju. “Mata nenekmu… seperti menyimpan banyak kisah.”
“Memang,” ia menghela napas. “Saya Arga, omong-omong. Fotografer di balik semua ini.” Ia mengulurkan tangan.
“Lira,” kataku, menyambut uluran tangannya. “Foto-fotomu luar biasa, Arga.”
Pertemuan hari itu menjadi awal dari banyak pertemuan lainnya. Kami seringkali tanpa sengaja bertemu, lalu mulai sengaja menjadwalkannya. Obrolan kami mengalir ringan, dari hobi hingga mimpi. Suatu sore, kami duduk di bangku taman, ditemani secangkir kopi hangat. Aku merasa nyaman dengannya, cukup nyaman untuk akhirnya menceritakan rahasia yang mengganjal hatiku.
“Aku menemukan surat lama ayahku,” aku memulai, suaraku nyaris berbisik. “Ditujukan untuk wanita lain, Arga. Bukan ibuku.”
Arga menatapku, ekspresinya berubah serius. “Oh ya? Itu pasti berat, Lira.”
“Sangat. Namanya Aksara. Ayahku menuliskan seluruh perasaannya. Cinta yang tak sampai. Takdir yang memisahkan mereka.” Aku memandang Arga, mencari pengertian. “Aku hanya tidak mengerti siapa dia. Tidak ada yang tahu banyak tentang Aksara ini.”
Wajah Arga mendadak pucat. Ia menatapku dengan mata melebar, lalu menghela napas panjang. “Aksara… kamu bilang?”
“Iya. Kenapa?” Aku merasakan firasat aneh.
“Lira,” Arga berucap pelan, suaranya tercekat. “Nenekku… nama aslinya Aksara. Wanita di foto yang kamu suka waktu itu.”
Aku terdiam, lidahku kelu. Dunia serasa berhenti berputar. Apa yang baru saja kudengar? Arga menatapku dengan sorot mata yang sama terkejutnya denganku.
“Dulu nenek saya sering cerita samar-samar tentang seorang pria yang sangat dia cintai di masa mudanya,” lanjut Arga, “tetapi mereka tidak bisa bersama karena keadaan. Dia tidak pernah menyebutkan nama, tapi selalu ada nada sedih saat dia mengenangnya.”
Malam itu, kami berdua seperti tersambar petir. Sebuah rahasia cinta yang terkubur begitu dalam, kini terungkap begitu saja. Aku merasakan campur aduk: sedih karena ayahku menyimpan luka cinta yang tidak pernah tersampaikan, namun, juga lega karena teka-teki itu akhirnya terpecahkan. Arga pun merasakan hal yang sama; ternyata neneknya membawa beban kerinduan yang tak pernah terucap.
“Jadi, mereka berdua… saling mencintai?” gumamku, hampir tak percaya.
Arga mengangguk pelan. “Sepertinya begitu, Lira. Dan… kita berdua adalah bukti bahwa cerita mereka memang nyata.”
Kami terdiam sesaat, membiarkan takdir ini meresap dalam diri kami. Pertemuan kami? Bukan kebetulan. Surat ayah? Bukan semata-mata kenangan, melainkan jembatan yang menghubungkan dua jiwa dari masa lalu.
“Mungkin takdir memang punya cara sendiri untuk bekerja, ya?” aku menatap Arga, bibirku melengkung tipis.
“Mungkin,” Arga membalas tatapanku, senyumnya kini terasa lebih dalam. “Mungkin ini cara mereka untuk menyatukan kita.”
Aku menyimpan kembali surat itu ke dalam amplop yang sama, lalu meletakkannya di tempat khusus. Bukan lagi beban, melainkan pusaka berharga. Dalam hati, aku berbisik, “Cinta mungkin gagal di masa lalu, tapi takdir tidak pernah salah memilih jalannya.”
Hubunganku dengan Arga, yang lahir dari sebuah rahasia, kini perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang baru. Sebuah kisah yang baru saja dimulai, dari benih-benih takdir yang disemai oleh cinta lama yang tak sampai. Aku melihat Arga tersenyum, lalu ia meraih tanganku. Kami berjalan keluar dari pameran itu, buku kenangan ayahku berada di tas selempangku, terasa ringan, seperti beban yang terangkat. Udara malam terasa sejuk, membawa janji-janji baru. Aku bertanya-tanya, kemana takdir akan membawa kami berdua, yang kini terikat oleh masa lalu yang luar biasa ini? Aku tak tahu, dan untuk pertama kalinya, aku menyukainya.
𝙏𝙖𝙢𝙖𝙩:
_Sampai di sini kisah ini berakhir. Setiap cerita memang punya akhirnya sendiri, tapi aku percaya, akhir bukan berarti benar-benar selesai. Masih banyak kisah lain yang bisa ditulis, diceritakan, dan dibagikan. Terima kasih sudah mau membaca sampai tuntas, semoga ada sedikit rasa, pesan, atau sekadar hiburan yang bisa kalian ambil dari cerita ini.
Kalau kalian suka dengan kisah ini, jangan lupa ikuti aku. Masih banyak cerita lain yang sedang menunggu untuk dituliskan, dan siapa tahu salah satunya bisa jadi kisah favorit kalian berikutnya
Titimangsa: Pekalongan, 6 September 2025
Bionarasi:Bagus Aprilianto, penulis asal Pekalongan yang menjadikan menulis sebagai cara merangkai rasa dan pengalaman hidup. Baginya, menulis bukan sekadar hobi, melainkan perjalanan jiwa untuk berbagi makna dengan pembaca.
*𝙩𝙚𝙧𝙞𝙢𝙖𝙠𝙖𝙨𝙞𝙝*