Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kesempurnaan memang hanya milik Allah. Sebuah kalimat yang tepat untuk menggambarkan hidup gue. Hidup gue yang gue kira sempurna. Punya badan bagus, karir bagus, orang tua kaya raya, lulus dari ivy league, muka ganteng, pertemanan yang positive vibes, setia dan pacar yang cantik. Ternyata semua itu hanya ilusi belaka. Okay, itu bukan ilusi sih, itu sebuah awalan kehidupan yang indah. Bagai seruputan pertama secangkir kopi hangat yang gue seruput tiap pagi untuk membangkitkan mood gue dan sisa seruputan berikutnya adalah kepahitan belaka. Pahit banget! Semua berawal dari hasil medical check up gue yang menyatakan gue infertile. Anjing emang! INFERTILE!!!! Belasan bahkan puluhan kali gue medical check up, nggak pernah hasilnya sebrengsek ini. Hasilnya selalu sempurna. Gue sehat wal afiat. Siap membuahi dan siap menaungi sebagai satu dari sekian banyak kumpulan cowok eligible bachelor di negara terkasih, Indonesia. Secarik kertas menghancurkan gue begitu saja. Sialan emang! Malik, teman sekaligus dokter gue pun mengernyitkan kening heran. Dia bahkan mengkonfirmasi ulang ke pihak Lab, takutnya hasil MCU gue tertukar macam sinetron. For the sake of the God, gue berharap kemungkinan itu benar. Kalau ini hanyalah salah satu adegan sinetron. Tapi faktanya nol besar. Gue memang infertile. Empat lembar hasil MCU dari tiga rumah sakit berbeda. Konfirmasi dua dokter lain selain Malik yang mentasbihkan bahwa gue nggak bisa menghasilkan generasi baru negara ini. Sungguh bagai geledek 24 jam di kedua telinga gue. Seandainya gue bisa nggak peduli. Seandainya ...
Sayangnya, Gika, perempuan yang gue pacari selama 6 tahun. The love of my life. Tujuan gue menjadi laki baik-baik nan setia selama ini. Gika mempunyai satu mimpi sederhana. Ya, satu mimpi sederhana yang nggak akan pernah bisa dia wujudkan kalau dia tetap bersama gue. Being a mother. What a shit! Dev, lo hanya buntalan daging, tulang bernyawa yang nggak berguna. Karena lo nggak akan bisa memberikan apa yang Gika mau. Seorang anak. Karena itu gue ... Dengan berat hati ... Mematahkan hatinya, tentunya setelah gue mematahkan hati gue sendiri malam ini.
"AKU NGGAK MAU PUTUS, DEV!!!" Gika memekik histeris.
"Aku juga nggak mau putus, Beib. Tapi aku nggak mungkin kasih tahu kamu keadaan aku. Aku nggak mau kamu menatap aku kasihan dan mengorbankan mimpi kamu sendiri," ucap gue dalam hati.
Wajah kami berdua banjir airmata. Gue memeluknya erat tanpa bicara apa-apa lagi setelah dengan sintingnya tadi gue mengatakan sebuah kebohongan jikalau selama ini gue punya wanita lain. Emang bego lo, Dev! Yaudahlah ... Gue udah menyiapkan diri untuk hidup patah hati seumur hidup gue. Seorang diri. Karena bagi gue, nggak akan ada yang bisa menggantikan Gika. Enggak akan ada yang bisa mencuri hati gue sebagaimana Gika melakukannya. Lagipula mana ada cewek beneran yang mau sama laki infertile kayak gue ini. Ada juga cewek jadi-jadian.
PLAKK!
Gika menampar gue keras. Kanan kiri masing-masing sebanyak dua kali. Gue terima dengan lapang dada. Karena kalau bisa gue akan lebih memilih ditampar bolak-balik setiap hari ketimbang dicap infertile. Gika menyumpah serapah gue lalu terisak kembali. Begitu terus. Berulang.
"SIAPA ORANGNYA!? SIAPA, DEV!????" Gika masih histeris dan gue tetap nggak menjawab apapun. Ya karena memang nggak ada orang lain. Enggak akan pernah ada orang lain.
*
KREET!
Pintu kamar gue dibuka seseorang. Kedua mata gue membuka melihat siluet familiar. Gue tebak itu Angga. Personal Assistant gue. Angga berdiri disamping pintu. "Ada apa sih, Ga? Bukannya saya udah bilang ya, jangan ganggu saya selama seminggu ini," ujar gue.
"Maaf, Pak. Ini urgent. Pak Bastian mau bicara dengan Bapak," jawab Angga.
Gue langsung duduk sambil mengucek mata seraya menyenderkan punggung ke kepala tempat tidur.
"Tumben Papa cari saya. Ada apa emangnya. Pak Dan atau Pak Dust yang cari masalah kali ini?" Tanya gue menyebut dua nama kakak gue.
Angga menggeleng.
"Saya nggak dikasih tahu, Pak. Cuma diinfokan agar bapak segera ke rumah utama untuk bertemu Pak Bastian," jawab Angga.
Gue mendengus. Adaaaaa aja masalah tambahan. Kenapa sih, Tuhan? Hati ini masih sakit melepaskan Gika. Sekarang harus ketemu bokap. Gue selalu malas kalau bokap yang sudah panggil gue. Berarti ada petaka terjadi dan hanya gue yang bisa membereskannya. Harus sekarang banget, Pah?
*
Ternyata kiamat hidup gue nggak berakhir pada malam dimana gue putus sama love of my life, Magika Rustawan. Lucu memang. Atau disaat menerima hasil MCU yang memvonis gue mandul. Gue nggak paham lagi harus bereaksi bagaimana saat kedua orang tua gue memberitahu sebuah rahasia besar keluarga Moewiryo. Keluarga kami. Sebuah rahasia yang konyol. Rahasia menyebalkan. Asal muasal mengapa tanpa hujan dan geledek, hasil MCU badan gue yang sehat ini divonis mandul.
"Ini serius nih? Papa nggak lagi nge-prank kan? Nggak becanda?" Gumam gue.
Semua orang yang duduk dihadapan gue. Kedua kakak gue disebelah kanan. Orang tua gue disebelah kiri. Serta Eyang Uti dan Eyang Kung tepat duduk sejajar didepan gue.
"Yang sopan, Dev. Ada Eyang disini," tegur Papa.
Gue berdecak. Anjir! Apa yang gue dengar tadi itu benar? Jikalau keluarga kami dikutuk. Anak laki-laki di keluarga kami dikutuk akan mandul tak bisa punya keturunan! What the hell!
"Omong kosong apa sih!?" Seru gue. "Ini kita dikutuk karena pesugihan atau apa!??" Lanjut gue bicara asal. Kali aja kan? Kemungkinan itu ada. Setelah semua kesintingan yang gue alami dalam kurun waktu sebulan ini. Sekalian aja gue berpikir diluar nalar.
"Karena Eyang buyut kita dimasa lalu meninggalkan seorang gadis demi kekayaan padahal sudah berjanji untuk menikahinya," ucap Eyang Nti yang biasa saja menanggapi keterkejutan gue.
"What!? Jadi kesialan yang bikin MCU Dev berubah tiba-tiba itu semua karena matrealistis!???" Sahut gue syok lalu mengusap wajah.
"Bisa nggak sih, Dev lo biasa aja. Yang sopan!" Tegur Dustin kakak gue yang kedua.
Gue meliriknya sinis.
"Gimana gue bisa biasa aja, Mas!? Mas berdua udah tahu kutukan konyol ini! Dan nggak ada satupun dikeluarga ini yang kasih tahu gue! Tapi sekarang, demi keluar dari masalah yang disebabkan kutukan brengsek ini, gue yang harus berkorban nikah sama cewek antah berantah yang gue nggak kenal, sementara Mas berdua yang udah tahu masalah ini dengan liciknya memilih menikah sama perempuan yang kalian cinta!! Sekarang demi kalian berdua punya keturunan, you said ... For this family, gue harus berkorban!!! Sinting!! Kenapa dulu nggak lo aja yang berkorban!? Atau Mas Danish!?" Pekik gue begitu emosional.
Serasa ditusuk sama keluarga sendiri. Kedua kakak gue tak menjawab. Baguslah! Mereka masih tahu malu.
"Kalian berdua bahagia sama istri kalian masing-masing. Istri yang kalian pilih! Yang kalian cintai! Lah gue!? Gue gimana!??? Kalian pikir enteng kehilangan Gika dihidup gue!??? Dia mimpi gue!!!! Matahari hidup gue!??? Tujuan akhir dari semua yang gue lakuin selama ini!!!! Lo berdua paham nggak sih Mas perasaan gue sekarang! Betapa hancurnya gue sekarang!?? Gue masih hidup sekarang aja itu udah luar biasa!! Bisa-bisanya lo berdua!? Kenapa nggak sekalian aja kita punahin keluarga ini!??" Seru gue dengan napas naik turun dan pandangan berapi-api.
"Jaga bicara kamu, Dev!!" Hardik Papa.
Bodo amat!
"Mas, udah. Wajar kalau Dev marah," ucap Mama seraya memegang tangan kanan Papa. Ucapan yang bukan hanya mendinginkan hati Papa, tapi juga hati gue. Mama memang ajaib. Dari dulu. Pemadam kebakaran dihati para lelaki Moewiryo. Pemadam kebakaran dihati gue.
"Dev," panggil Eyang Kung.
Raut wajahnya santai. Eyang Kung memang selalu santai. Dalam keadaan apapun. Di ingatan gue, satu kalipun gue nggak pernah melihat Eyang Kung meledak atas amarah semudah Papa dan gue.
"Ya, Eyang ..." Jawab gue mencoba menenangkan diri sendiri tanpa bisa menanggalkan muka emosional.
"Mau dengar cerita kutukan konyol ini?" Tanya Eyang Kung.
Gue menghela napas.
"Boleh. Siapa tahu ceritanya bisa kita jadiin konten horor dan menghasilkan uang. Ya nggak, Kung?" Sinis gue.
Eyang Kung tertawa.
"Radeva!!" Pekik Papa.
"Biarkan, Bas. Kamu tuh dari dulu kalau sama Dev, nggak ada sabarnya. Apa karena dia paling mirip sama kamu yo?" Canda Eyang Kung.
Papa mendengus. Seakan mengiyakannya. Well, Papa memang selalu keras sama gue dan gue pun selalu keras menanggapi Papa. Meski ada kalanya gue mengalah, seperti mau jadi penerusnya. Karena sekalipun kami paling sering bertengkar. Papa justru memilih gue untuk menjadi penerus Moewiryo Grup dibanding kedua kakak gue.
"Dulu ... Duluuuu banget ... Buyut kita jatuh cinta dengan seorang kembang desa yang bapaknya adalah tetua di desa tersebut ... Apa yo bahasanyanya, orang pinternya desa lah gitu yo. Singkat cerita, gayung bersambut, mereka pacaran ... Nah konflik pun dimulai. Buyut kita pergi kuliah ke Jakarta. Jatuh cinta dengan teman sekampusnya. Balik-balik saat KKN didesa, bawa pacar baru. Marahkah pacar Buyut yang didesa? Oh tentu saja! Marahnya nggak kepalang! Apalagi setelah tahu alasan Buyut lebih memilih pacar barunya yang seorang anak dokter di kota. Kita disumpahi, semua keturunan lelaki kita akan mandul. Tetua yang merasa bersalah atas sikap anak wedo-nya mencoba mencabut kutukan itu. Tapi sayangnya nggak bisa. Karena memang sejatinya Buyut kita itu salah sudah melanggar janji. Alhasil ... Tetua hanya bisa meringankannya dengan ya itu, jikalau anak lelaki keluarga ini menikahi perempuan pilihan yang dilihat pada mimpi Mbah Tussy, memiliki cinta yang sejati maka kutukan ini akan selesai. The end," ujar Eyang Kung dengan senyum lebar diakhir cerita.
Padahal ceritanya nggak ada senang-senangnya.
"Terus kenapa Eyang Kung bisa punya anak? Papa juga punya, tiga malah!" Seru gue.
Eyang Kung tersenyum.
"Karena Akung dan Papa-mu menikahi perempuan pilihan yang muncul di wangsit Mbah Tussy," jawabnya enteng.
What the Hell!? Serius!??
"Pasti ndak percaya toh!?" Ujar Eyang Kung terkekeh.
Gue mengangguk jujur.
"Kenapa kutukannya masih ada?? Is this fucking curse has on going episode!?" Sinis gue.
Eyang Kung tersenyum lebar.
"Karena belum ada cinta sejati dalam keluarga ini," jawab Eyang Kung santai.
Sontak gue menoleh pada image cinta sejati dikeluarga ini. Orang tua gue. Mama yang tersenyum menanggapi tolehan gue dan Papa yang memasang ekspresi kaku dan dingin seperti biasanya.
"Eyang Kung tuh tahu darimana kalau belum ada cinta sejati di keluarga ini?" Tanya gue.
"Ngomong tuh yang sopan!" Pekik Papa seraya melotot kearah gue.
Eyang Kung tertawa.
"Dev sekarang itu persis kamu waktu dengar kutukan ini untuk pertama kalinya. Tapi abis dengar ini kamu jangan kabur kayak Papa-mu ya, Dev!" Canda Eyang Kung.
Gue tersenyum mengejek.
"Papa kabur?" Ujar gue seraya menatap Papa yang mendengus sebal.
"Bapak tuh jangan kasih ide yang ngawur sama Dev," tukas Papa kearah Eyang Kung.
"Dev nggak secemen Papa," ujar gue.
Papa langsung melotot kearah gue.
"Sembarangan kamu!" Seru Papa.
Eyang Kung tertawa.
"Papa sama mama kamu itu memang saling cinta, Dev. Akung sama Yang Nti juga. Ya moso hidup sekian lama bersama nggak cinta toh piyeee," canda Eyang Kung.
"Tapi ..." Suara Eyang Kung terdengar serius.
Gue jadi menatap Eyang Kung serius juga. "Kami tidak bisa memungkiri hati kami yang lemah ini," ujar Eyang Kung.
"Mbah Tussy bisa melihatnya dari anak-anak kami yang lahir. Lalu Mbah Tussy melihat harapan itu pada kamu, Dev," serius Eyang Kung.
Intonasi suara nan bijaknya yang mendayu itu benar-benar membuat gue mendengarkannya.
"Maksudnya gimana Eyang?"
Eyang Kung tersenyum.
"Kalau kamu jatuh cinta dengan perempuan pilihan ini. Cinta secinta-cintanya kamu. Sejiwa raga kamu. Sampai kamu bisa melupakan Gika dalam hati kamu sebersih-bersihnya. Maka kutukan konyol ini akan usai. Karena nggak sepatutnya kita orang tua mewariskan masalah yang harus ditanggung penerus kita yang nggak tahu apa-apa. Kayak kamu dan kakak-kakakmu ini, Dev," jawab Eyang Kung.
"Cukup nggak mungkin ya, Kung," sahut gue santai.
Eyang Kung, Eyang Nti dan Mama tertawa. Sementara Papa melotot kearah gue. Kedua kakak gue malah menatap heran kearah gue.
*
<Malik> Bisa kesini nggak, Dev? Gika mabok berat
Gue menggemeretakkan gigi menahan sesak didada yang tercipta. Gika hancur. Persis sama seperti gue. Gimana gue bisa mencintai perempuan lain sejiwa raga gue saat mendengar Gika hancur, jiwa gue jauh lebih hancur. Karena itu gue setengah berlari menuju lobi. Meminta kunci pada valet. Melesat menuju bar yang biasa kami kunjungi bersama di akhir jum'at.
Malik mengangkat tangan kanannya begitu melihat gue. Gika terkapar diatas meja bar. Kedua mata gue berkaca. Dada gue sesak. Kutukan sialan! Gue berjalan gontai menghampiri mereka. Tak sanggup melihat Gika yang begitu menjaga tubuhnya untuk punya anak berakhir mabok-mabokan seperti ini. Dan semua itu karena gue. Karena kutukan sialan itu!
"Itu bener, Dev? Lu selingkuh?" Tukas Malik dengan ekspresi dingin.
Gue memandangi wajah Malik. Lama gue tahu kalau dalam diam Malik menaruh hati pada Gika. Mencintainya dalam diam. Lantas hati gue sakit, didepan mata gue sekarang terbayang masa depan Gika dan bukan gue orangnya. Tapi Malik. Dan biarkanlah semua ini menjadi skenario yang sempurna dalam kehancuran hidup gue. Menitipkan Gika, perempuan yang sangat gue cintai pada teman terdekat yang gue tahu luar dalamnya adalah keputusan terbaik. Malik akan membuat Gika bahagia. Juga akan menjaga Gika sepenuh jiwanya. Dan yang paling penting, Malik bisa mewujudkan mimpi Gika menjadi seorang ibu.
"Penting banget dibahas sekarang?" Ujar Gue.
"Penting, Dev. Lo liat Gika!? Belasan tahun gue kenal Gika. Belum pernah gue lihat dia mabok-mabokkan kayak gini. Sehancur ini," ujar Malik.
Iya, Lik. Gue juga.
"Jadi jawab jujur pertanyaan gue!? Bener lu selingkuh?" Ujar Malik dengan rahang menegang.
Gue diam lalu memutuskan untuk mengangguk. Kuat, Dev! Kuat!
"Anjing lu, Dev!" Hardik Malik.
Nasib gue emang anjing banget, Lik.
"Selama ini gue ngalah sama lo. Gue pendam perasaan gue buat Gika. Karena gue sadar, Gika lebih bahagia sama lo. Tapi pengakuan lo barusan membuat gue menyesal. Semenyesal-menyesalnya! Lo nggak pantes buat Gika!" Ucap Malik emosional.
Ya. Gue memang nggak layak buat Gika, Lik.
"Gue tahu dari dulu lo suka sama Gika," ucap gue.
Malik terkejut. Gue menghela napas. "Gue emang bajingan, Lik. Nggak pantes buat Gika. Gue harap lo bisa sayang sama Gika lebih besar dari gue. Gue titip Gika. Jangan pernah tinggalin dia," ujar gue lalu berbalik pergi dengan bola mata berkaca.
Anjing banget tuh kutukan! Bisa apa gue?! Nggak mungkin gue ke kuburan buat marahin buyut gue. Hati gue patah, remuk. Tapi nggak ada cara lain. Mungkin ini takdir yang harus gue jalani.
*
Gue kira, hancurnya hidup gue sampai disitu aja. Ternyata episodenya masih berlanjut. Gika tentu nggak semudah itu percaya dengan alasan gue. Karena itu demi mematahkan harapan dan melukai harga dirinya. Gue harus memunculkan sosok cewek yang akan berperan sebagai selingkuhan gue. Lalu terpikirlah perempuan pilihan yang muncul dalam pikiran Mbah Tussy. Gue menyuruh Angga mencari tahu mengenai perempuan bernama Sheila Elegi Renjana. Perempuan desa yang tinggal di Yogyakarta. Kampung keluarga besar gue. Ya gue pikir sekalian aja ya nggak? Hancurin hidup gue. Sehancur-hancurnya. Lagipula semua perempuan akan terasa sama aja. Karena mereka bukan Gika.
"Gimana? Udah ketemu?" Tanya gue sambil memeriksa tumpukan dokumen diatas meja kerja gue.
Samar gue melihat Angga mengangguk. Lalu ia berjalan mendekat kearah meja. Sebuah dokumen ia buka dan diletakkannya diatas meja. Gue melihat identitas serta latar belakang Sheila Elegi Renjana. Hebat juga Mbah Tussy bisa menggambar wajah Sheila se-detail itu. Terbukti dari foto yang didapat Angga.
"Ibu Sheila ini seusia, Pak Dev. Lulusan Ivy League. Cumlaude. Pernah menja ..."
"Wait! Tahan!" Seru gue menghentikan ucapan Angga.
Gue menatapnya tak percaya.
"Ivy league?! Serius!?" Seru gue tak percaya sambil mengusap dagu.
Angga mengangguk yakin.
"Columbia University lebih tepatnya, Pak. Jurusan social science, departemen bisnis dan ekonomi," ucap Angga lagi.
Gue menghela napas. Jangan-jangan Angga salah orang.
"Gini ya, Ga. Yang saya cari itu perempuan desa Suharjo bernama Sheila Elegi Renjana. Coba kamu relate dengan fakta yang barusan kamu katakan. Nyambung tidak?" Ujar gue.
Angga menghela napas.
"Ibu Sheil ini memang lahir dan tinggal di desa tersebut, Pak," jawab Angga.
"What!?" Gue terhenyak.
"Beliau merupakan satu orang pendaftar beasiswa penuh yang lolos masuk Columbia University. Beliau juga pernah magang diberbagai perusahaan bergengsi seperti JP. Morgan, Google dan Apple. Ibu Sheil pernah menjabat sebagai ketua PPI di Columbia University selama satu periode. Prestasinya bukan hanya itu saja, Pak. Ibu Sheil adalah pelopor listrik masuk ke desanya. Juga mempopulerkan perpustakaan di pendopo desa agar warganya suka membaca. Sering ikut acara seminar motivasi sebagai narasumber. Beberapa kali dipilih menjadi delegasi negara dalam acara PBB," ucap Angga.
Gue melongo mendengar prestasi gadis desa ini.
"Kok saya bisa nggak tahu!? Nggak kenal!?" Ujar gue heran. 4 tahun kuliah di Harvard, seliweran di PPI se-ivy league. Gue nggak pernah dengar yang namanya Sheila Elegi Renjana. Lihat wajah yang ada difoto ini aja gue belum pernah.
"Tapi itu fakta di Linkedln milik Ibu Sheila, Pak. Dan disana bukan hanya ada biodata. Ibu Sheila juga aktif menulis jurnal dan blog mengenai penggalakan pendidikan dan women empowerement, Pak. Beberapa sudah saya baca dan isinya memang bagus," ucap Angga.
Gue syok.
"Terus ngapain dia ada di desanya?"
"Ada konflik keluarga," jawab Angga.
Konflik keluarga? Ternyata bukan cuma gue.
"Maksudnya gimana? Perjelas!"
"Dari informan saya, Ibu Sheil itu dimusuhi keluarga karena terlalu concern sama pendidikan bahkan sampai kuliah di luar negeri. Ada satu anak kepala desa namanya Broto yang ingin memperistri Bu Sheila saat lulus SMA. Bu Sheila menolaknya dan malah kuliah di Amerika. Itu yang membuat hidup Bu Sheila pelik, Pak," jawab Angga.
"Pelik gimana?"
Gue bertanya serius.
"Keluarga Bu Sheila berhutang 900 juta terhadap keluarga Broto untuk banyak hal, Pak dan tidak ada sangkut pautnya dengan Bu Sheila. Tapi, ..."
"Sheila dipaksa menikahi Broto?"
Angga menggeleng.
"Broto tidak jadi menikahi Bu Sheila. Ia memilih sepupu Bu Sheila yang baru lulus SMA ..."
"Pedofil dasar!" Tukas gue memotong cerita hidupnya Sheila yang seperti sinetron.
"Tapi sebagai ganti hutang yang belum lunas, Broto tidak mengizinkan Ibu Sheila keluar desa atau kedua orang tua Bu Sheila akan dipenjara, Pak. Dari data yang saya dapat mengenai kesehatan financial Bu Sheila, sebenarnya Bu Sheila bisa melunasi hutang tersebut, Pak."
"Terus kenapa nggak dibayar?" Tanya gue heran.
"Uangnya sudah terpakai untuk dana menyewa apartemen, sebuah tempat untuk toko cake dan bakery-nya juga biaya persiapan bisnis," jawab Angga.
Kasihan banget, Sheila.
"Jadi Bu Sheila ini mau buka toko cake and bakery?"
Angga mengangguk.
"Tapi si Broto malah nyusahin?"
Angga mengangguk sekali lagi.
Gue mendengus. Berpikir. Ini Tuhan sengaja atau gimana sih? Bisa-bisanya gue dimunculkan sebagai superhero Sheila.
"Kosongin jadwal saya seminggu ke depan. Saya mau ketemu sama yang namanya Sheila ini," ucap gue.
"Siap, Pak," jawab Angga.
"Kamu atur semuanya ya," ujar gue. Angga mengangguk.
*
Siapa yang menyangka? Desa Suharjo ternyata dekat dengan resort keluarga gue. Takdir yang menggelikan. Sulit dicerna sama sekali.
"Mbok tahu soal kutukan konyol keluarga saya?" Tanya gue begitu Mbok Ratna mengantarkan secangkir besar es jeruk kelapa yang ditaruhnya diatas meja disamping kursi panjang kolam renang tempat gue berbaring. Mbok Ratna bersimpuh didekat meja gue. Gaya khasnya pada keluarga Moewiryo.
"Duduk diatas aja, Mbok," ucap gue.
"Lebih nyaman disini, Den," jawabnya.
Gue menghela napas.
"Jadi Mbok tahu?" Tanya ulang gue. Mbok Ratna mengangguk pelan.
"Itu beneran, Mbok?" Tanya gue lagi. "Nggih, Den," jawab si Mbok.
Gue menghela napas.
"Kalau begitu, Mbok juga udah tahu kan mengenai penglihatan Mbah Tussy buat saya?" Tanya gue lagi.
"Nggih, Den," jawabnya lagi.
"Mbok kenal sama yang namanya Sheila Elegi Renjana? Desa asalnya sama kayak Mbok dan Pak Darmo," jawab gue menyebut nama salah satu driver di resort kami.
Mbok Ratna mengangguk. Samar, gue lihat senyum diwajah tuanya. Reaksi yang membuat gue penasaran. Senyum tercipta karena kesan menyenangkan.
"Mbak Sheil, ..."
"Mbak Sheil?" Gumam gue memotong pembicaraannya.
"Nggih, Den. Itu panggilan kecilnya," jawab Mbok Ratna.
"Mbok kayaknya kenal banget sama Sheila," ucap gue.
Mbok Ratna mengangguk.
"Dulu, zaman SMA, Mbak Sheil sering bantu kerjaan Mbok di resort. Anaknya baik, cantik, pintar dan sopan sama orang tua," jawab Mbok Ratna.
Gue termenung mendengarnya. Sheil sedekat ini sama gue selama ini.
"Kok saya bisa nggak pernah ketemu ya, Mbok?" Gumam gue.
Mbok Ratna tersenyum.
"Pernah ketemu kok, Den," ujar Mbok Ratna. Alis gue melengkung naik. "Dimana, Mbok? Kapan?" Gue jadi penasaran.
"Waktu Den memuji kopi buatan si Mbok yang katanya rasanya beda. Itu Mbak Sheil yang buat. Karena waktu itu Mbak Sheil yang dengar dan Mbok lagi sibuk ngurus tamu," jawab Mbok Ratna.
Gue ingat.
"Bukannya waktu itu Mbok yang anter?" Tanya gue.
"Nggih, Den. Tapi yang buat Mbak Sheil," jawab si Mbok.
"Itu sih namanya saya kenalan sama kopi buatannya, bukan orangnya Mbok," ujar gue.
Mbok Ratna tersenyum. Sungguh aneh saat dimana gue mulai merasa familiar akan sosok Sheil meski gue belum pernah bertatap muka langsung.
*
Rubicon gue terparkir didepan sebuah rumah joglo, tepat dibawah pohon asem besar. Gue turun, melihat rumah yang cukup besar ini. Antik. Khas rumah di setiap desa di Jogja. Terdengar dua orang yang saling berteriak di pekarangan rumah yang masih beralaskan tanah itu. Gue berjalan mendekat. Seorang perempuan yang wajahnya gue kenali sebagai Sheila Elegi Renjana. Juga seorang pria berbadan gempal serta berkumis yang bisa gue tebak adalah Broto. Lalu ada satu perempuan lagi yang memegangi Broto, sepertinya itu adalah sepupu Sheila yang dijodohkan dengan Broto.
"Perempuan itu nasibnya ya dirumah, didapur, sumur, kasur! Otakmu itu sudah dicuci Amerika! Nyesel kan kowe ndak jadi istriku!!!" Hardik Broto.
Kasar dan misoginis banget tuh orang. Ganteng juga nggak! Gue menoleh kearah Sheila menunggu jawabannya.
"Oh ya!? Kayaknya otak kamu juga harus dicuci deh! Pakai sunlight! Biar bersih, bersinar dan mengkilat!" Seru Sheil garang.
Gue tersenyum mendengarnya.
"Mbak Sheil udah toh, Mbak," ucap perempuan muda yang memegangi lengan kiri Broto yang menurut gue percuma juga dipegangin. Karena perbedaan berat badan serta ukuran yang jauh.
"Perawan tua aja kok bangga! Kamu pikir ada lelaki yang mau menikahi perempuan sok tahu kayak kamu!?" Seru Broto.
"Heh kalau ngomong tuh jangan sembarangan ya! Jangan sok tahu! Kamu kira lelaki kayak kamu kalau nggak ada uang bakal dilirik!? Punya uang aja nggak ada yang lirik. Perempuannya harus dipaksa. Diancam!!" Balas Sheil sengit.
Menarik juga karakter Sheil. Jauh dari Gika yang kena bentakan langsung ciut dengan pelupuk mata berair. Sheil terlihat lebih garang.
"Wes cangkemmu kurang ajar sama lelaki!" Hardik Broto.
Sheil berdecak.
"Mbak, sing eling, sadar," ujar perempuan muda tersebut.
"Cangkemmu yang harus diajari sopan santun! Tahu apa kamu soal value pendidikan bagi perempuan!? Ngerti artinya value juga nggak kan??!!" Balas Sheil.
Savage sih ...
Wajah Broto memerah, mungkin karena ia tidak paham maksud ucapan Sheil. Sungguh sebuah tontonan yang menarik.
"Jangan karena situ bisa bahasa inggris terus bisa injek harga diri wong desa kayak saya! Jangan sombong! Toh nyatanya situ nggak bisa kan bayar hutang keluarga situ dengan pendidikan Amerika yang situ banggakan!!" Serang Broto, tipikal netizen yang sudah kalah.
Sheil mendesis.
"Kalau anda nggak licik dan mengancam saya. Saya yakin, saya bisa membayar hutang keluarga saya dalam tempo satu tahun!" Seru Sheil yakin.
Broto tampak gentar. Namun ia tetap nekat tak mau kalah.
"Wes sombong! Setahun! Kerja apa kamu! Jual diri!!! Sini mending tak cobain dulu," ujar Broto dengan menyunggingkan senyum paling menyebalkan yang pernah gue lihat. Ucapannya sungguh kasar dan termasuk kedalam pelecehan verbal. Gue paling benci mendengar lelaki macam Broto ini. Gue memutuskan untuk masuk. Rencana berkenalan yang sudah gue rancang di resort pasti akan gagal total. Tapi gue sudah nggak peduli.
"Kalau bicara tuh yang sopan! Saya bisa penjarain anda karena menghina pacar saya!" Tukas gue.
Mereka bertiga menatap gue kaget bercampur bingung. Namun anehnya gue bisa melihat Sheil tidak terlalu kaget melihat wajah gue. Seakan ia sudah kenal sebelumnya.
"Pa-car!? Maksudnya kamu itu pacarnya Sheil?" Seru Broto kaget.
Matanya memindai gue. Mungkin dia tidak menyangka bahwa Sheil punya pacar yang maha rupawan seperti gue. Dibanding dia. Tentu kami adalah langit dan bumi. Gue langitnya dan dia buminya.
"Dev?" Gumam Sheil.
Gue kaget mendengar Sheil menyebut nama gue. Jadi dia beneran mengenal gue?
"Wes ndak usah banyak ngomong!" Seru Broto lalu tiba-tiba ... BRAK! Sebuah tonjokan bersarang dipipi kiri gue. Anjing juga si Broto! Bisa-bisanya nyolong start! Perempuan muda itu berteriak histeris dan menangis. Gue balas menonjok Broto dua kali sampai tersungkur ditanah. Ia mendesis sebal, menyumpahi serapah gue.
"Saya kasih tahu sama anda ya, jangan pernah bicara kasar sama Sheil atau perempuan manapun! Lain kali saya nggak akan sesabar ini sama anda! Saya benar-benar bisa penjarain anda!" Seru gue dengan tatapan serius.
Broto masih menggerutu lalu datang orang banyak mengerumuni kami. Ekspresinya berubah saat seorang pria tua memakai safari mendekatinya. Gue takjub dengan kegarangan yang hilang dan berubah jadi mirip anak kecil minta permen itu. Gue yakini, ini pasti bapaknya.
"Dia pukul dan maki-maki aku, Pak," ucap Broto manja seakan ia yang terdzolimi.
Ada ya, jenis manusia kayak gini?
Pria tua yang pastinya kepala desa itu menatap gue. Ekspresinya seperti mengenali gue. "Mas Dev?" Gumamnya.
Kok bisa tahu nama gue?
"Kamu tuh bisa-bisanya berantem sama Mas Dev! Keluarga Mas Dev ini tuh yang selalu bantu desa kita, bantu keluarga kita, wong edan kamu nih, Broto!" Ujarnya memarahi Broto.
Ingin rasanya gue tertawa.
"Mas Dev ndak opo-opo toh? Mau kemari kok ndak bilang toh, Mas? Mbok Ratna dan Pak Darmo kok juga ndak kasih tahu saya kalau Mas Dev mau kemari," ucapnya ramah sambil mengajak gue berjabat tangan.
Gue membalas jabat tangan itu. Tersenyum ramah.
"Nggak apa-apa kok, Pak. Cuma lecet sedikit," ujar gue menunjukkan lebam di pipi kiri gue.
Bapak kepala desa yang belum gue tahu namanya itu melotot dan langsung memukul lengan kanan Broto beberapa kali. Puas sekali gue melihatnya.
"Cuma yang saya nggak suka ...," sengaja intonasi suara gue tegangkan.
"Anak bapak ini, berulang kali melecehkan pacar saya secara verbal! Saya yakin kejadian ini bukan sekali atau dua kali," ujar gue.
Semua orang kembali terkejut.
"Pa .. pa .. pacar! Mas Dev punya pacar. Siapa pacarnya Mas Dev!?" Kaget pak kepala desa.
Gue menoleh kearah Sheil yang menatap gue berkedip-kedip.
"Sheila Elegi Renjana," jawab gue dan semua terhenyak.
*
Gue menyeruput teh manis hangat yang disuguhkan Sheil beserta pisang goreng panas yang harum banget. Belum pernah gue mencium pisang goreng seharum ini. "Ini teh racikan sendiri atau gimana? Enak banget," puji gue serius.
Sheil tersenyum bangga. Ia menempelkan es batu dibalut kain kasa pada pipi kiri gue yang lebam.
"Racikan sendiri dong. Signature aku tuh," ujar Sheil.
Gue melihat sekeliling. Rumah full kayu. Bahkan kami duduk diatas kursi panjang kayu jati yang difinishing begitu mulus. Rumah ini sepi.
"Sepi banget?" Tanya gue.
"Ada banyak orang sebenarnya. Cuma mereka di belakang. Kumpul. Takut sama kamu," jawab Sheil.
Gue terkekeh.
"Emang aku kenapa?" Tanya gue.
"You don't know or you pretend not to know if you have power to destroy this village," jawab Sheil dramatis.
Gue tertawa.
"Kayaknya sih, bantuan itu datangnya dari yayasan keluarga aku. Bukan aku," ujar gue.
"Ya tapi mereka tahunya semua anggota keluarga Moewiryo sama pentingnya. Apalagi kalau sampai mereka tahu kamu adalah penerus utama," ucap Sheil.
Alis gue naik.
"Kamu tahu?"
"Mbok Ratna yang kasih tahu setiap kali aku lagi cari tambahan uang jajan buat beli buku di resort keluarga kamu, Dev," jawab santai Sheil.
Cara dia menanggapi pertanyaan gue. Mengingatkan gue akan sosok chillin' Eyang Kung.
"Kamu kenal aku? Lebih dari sekedar tahu nama dan wajah," ucap gue penasaran.
Sheil tersenyum kearah gue sambil menaruh kain kasa itu dalam baskom stainless steel yang ada diatas meja.
"Siapa sih yang nggak kenal sama kamu? Radeva Arfaaz Moewiryo. Semua teman kuliah aku tuh fans kamu," ujar Sheil.
"Semua teman kuliah kamu?"
Sheil mengangguk sambil senyum.
"Kamu beneran ketua PPI, kuliah di Columbia?" Tanya gue.
Sheil mengangguk lagi.
"Kenapa? Nggak percaya kalau anak desa kayak aku bisa kuliah di Amerika? Jadi ketua PPI? Jenis kayak Broto juga kamu!? Misoginis, patriarki," sergah Sheil.
Kedua matanya cantik sekali. Bulu matanya lentik. Gue yakin kalau bulu mata ini asli. Matanya besar bagai kamera zoom in yang menyorot gue. Sulit untuk tidak memandangi mata yang indah ini.
"Santai dong. Sensitif banget," ujar gue kembali menyeruput teh. Sheil tertawa. "Kamu tuh nggak akan kenal aku selama kuliah, karena kamu sibuk menjaga hati untuk Gika," ucapnya.
Sheil juga mengenal Gika.
"Kamu kenal Gika?"
"Nggak kenal secara langsung sih. Jadi Gika itu teman SMA-nya teman aku di Columbia. And all of us know that you are the forbidden boy to shoot," ucap Sheil.
Gue tertawa.
"Jadi Dev, kenapa kamu kemari? Apa yang buat kamu sampai didepan rumah aku? Because it's impossible if that's just a coincidence. Kamu pasti punya maksud. Apalagi sebanyak tiga kali kamu mengulang pengumuman jikalau aku ini pacar kamu. Tadinya aku menduga kamu akan bilang kalau aku ini calon istri kamu loh, tapi baguslah kamu masih waras," santai Sheil sambil nyengir.
Jujur, gue memang nyaris menyebutnya calon istri didepan kepala desa tadi. Gue diam memandanginya.
"Jawaban aku mungkin nggak akan bisa kamu percaya," ujar gue.
Alis Sheil naik bergelombang. Bertanya-tanya. Gue yakin Sheil akan menyebut gue orang gila setelah ini.
*
Sheil tertawa renyah, terbahak setelah gue menceritakan kutukan konyol itu. Gue hanya menghela napas. Well, kalau gue bukan Radeva Moewiryo, gue juga akan tertawa super kencang seperti Sheil. Sayangnya gue nggak bisa. Gue hanya bisa diam melihatnya mentertawai gue sambil terus berjalan duluan menelusuri trotoar Pasar Beringharjo. Sampai akhirnya Sheil berhenti didepan seorang Mbok penjual pecel. Ia duduk di jengkok kecil. Gue melihatnya heran. Bisa-bisanya cewek secantik ini dengan latar belakang pendidikan kuliah di Amerika, duduk santai diatas jengkok yang bahkan membuatnya menekuk kaki jenjangnya sampai segitunya.
"Mbok, pesan dua kayak biasa. Jangan pedas," ucapnya pada si Mbok penjual.
Gue ikut duduk di jengkok samping kiri Sheil.
"Mau pakai gorengan apa?" Tanyanya.
"Tempe goreng kayaknya enak," jawab gue. Sheil memberitahukannya kembali pada si Mbok penjual. Lalu dua piring pecel diulurkan si Mbok. Sheil memberikan piring pecel berisi tempe goreng kearahku dan yang bertopping bakwan untuknya.
"Nggak ditanya dulu suka atau nggak sama pecel?" Tanya gue.
Sheil nyengir.
"Ini sebagai tanda terima kasih karena udah tolongin aku dari Broto tadi. Aku traktir," ujar Sheil.
"Emangnya ada duit?" Ledek gue sambil mengaduk bumbu pecel dengan sayurannya. Kening Sheil mengerut dengan alis melengkung naik.
"Kalau pecel aja sih masih bisa kok traktir kamu," tukasnya senyum.
Gue tersenyum menikmati pecel yang rasanya cukup lumayan ini.
"Jadi, kamu serius soal kutukan yang tadi kamu bilang, Dev?"
Gue mengangguk.
"Masih ada ya? Zaman sekarang," ujar Sheil yang kali ini menanggapinya serius. Gue memperhatikan perubahan sikapnya itu. Sheil benar-benar mirip Eyang Kung.
"Ya buktinya MCU aku bisa tiba-tiba anjlok kayak gitu," tukas gue kesal setiap mengingatnya.
"Ya tapi kan itu baru dari 3 RS yang berbeda. Kita aja kalau mau penelitian harus mengumpulkan sampel lebih dari 40 responden. Masa kamu menyerah dengan 3 RS. Dengan power yang kamu punya. Aku yakin kamu bisa mengakses seluruh RS terbaik di dunia ini. So why you don't try it first, ketimbang memutuskan putus dari belahan jiwa yang kamu pertahanin mati-matian, LDR pula, terus nikah sama makhluk yang bahkan baru kamu kenal hari ini," ucap Sheil bijak.
Gue termenung. Luar biasa banget pikiran Sheil. Jelas sekali ia cerdas.
"Kamu selalu seterbuka ini sama orang?"
Sheil mengangguk.
"Kecuali Broto ya," tukasnya membuat gue tertawa. "Aku menyerah kalau harus meluruskan pandangan begundal satu itu. Ya sebenarnya hampir 75% warga di desa aku berpikiran kayak dia sih. Dangkal. Patriarki. Berkhayal kalau lelaki itu segalanya dan perempuan itu nggak ada apa-apanya," ujar Sheil senewen.
Lalu tak berjarak lama dari speech panjangnya. Sheil memesankan gue teh tawar hangat. Sungguh cekatan dan perhatian. Mirip Mama. Nggak banyak tanya, peka dan selalu tepat.
"Tapi Broto emang nyebelin sih. Mulutnya minta dijahit," ujar gue merasakan hal yang sama dengan Sheil.
"Iya kannnn!? Emang minta diuwel-uwel itu si Broto!" Seru Sheil lalu kembali berubah menjadi seperti Mami dengan menaruh teh tawar hangat milik kami berdua diatas jengkok kosong yang dipinjamnya dari si Mbok penjual.
Gue tertegun memandanginya.
"Kalau aku sampai melakukan MCU di 40 RS berbeda, apa nggak gempar dunia persilatan. Berpengaruh buruk untuk perusahaan. Aku bisa dibilang penyakitan nanti," ujar gue menimpali tanggapan Sheil tadi.
"Iya juga sih. Ternyata masalah kamu lebih pelik dari masalah aku. Turut prihatin sih," ucap Sheil sambil mengambil teh hangat miliknya yang diseruputnya kemudian.
Gue memandanginya.
"Terus kenapa nggak kasih tahu Gika?" Tanya Sheil lagi.
Gue tahu gue harus menjawabnya.
"Karena mimpi Gika adalah jadi seorang ibu dan aku bukan orang yang bisa membantunya mewujudkan mimpi itu," jawab gue bersuara parau.
Sheil menatap gue kasihan.
"Makanya kamu pilih jalan ini. Berbohong kalau kamu selingkuh dan lebih pilih selingkuhan kamu. Lumayan juga sih effort kamu agar terlihat bajingan," ucap Sheil yang membuat gue tertawa.
Sheil tersenyum. Gue nggak menyangka reaksinya setelah ekspresi kasihan sungguh mencengangkan.
"Cukup meyakinkan kan?" Canda gue. Sheil tertawa. Ia memberikan ibu jarinya kearah gue.
"Lumayan diluar nalar," jawabnya dengan senyuman menawan.
*
Rubicon gue terparkir kembali didepan pagar rumah Sheil. Setelah perbincangan panjang kami. Gue ingin mendengar jawabannya langsung. Gue harus memastikan Sheil mau atau tidak.
"Jadi gimana?" Tanya gue to the point.
Sheil menatap gue penuh pertimbangan lalu menghela napas panjang. Ia memutar duduknya agar menghadap gue.
"Begini ya, Dev ..." Ucapnya sebagai pembuka.
"Aku ini punya usaha yang sedang aku coba aku rintis di Jakarta. Usaha kecil-kecilan sih. Tapi ini mimpi aku dari kecil. Aku mau punya bakery sendiri. Aku pertaruhin semua uang aku disitu. Karena itu aku nggak bisa langsung bayar utang keluarga aku ke keluarganya Broto. Untuk menghidupkan usaha aku ini, aku sadar betul kalau aku butuh koneksi yang luar biasa banyak dan bisa aku dapatkan secara cuma-cuma untuk mengembangkan usaha aku. Entah itu dalam bentuk invest, promosi atau market. Kalau aku ... Seandainya bilang iya sama kamu. Sementara circle aku dan Gika bersinggungan, ya bisa kamu tebak sendiri hasilnya akan gimana dampaknya buat aku. Aku pasti dibenci. Aku bakal dicap sebagai pelakor. Gold digger. Matrealistis. Bahkan bisa sekasar yang Broto bilang, jual diri. Well, aku udah biasa sih dipandang rendah begitu sama orang, sama keluarga sendiri atas keanehan aku yang lebih suka sekolah daripada kawin sama anak orang paling kaya di desa. Tapi yang paling aku nggak bisa terima dari kemungkinan-kemungkinan itu adalah usaha aku yang mungkin akan hancur bahkan sebelum aku mencoba memulainya," ucap panjang Sheil.
Ya. Sheil benar 100 persen.
"Karena itu, aku harus tahu pasti victory macam aku yang akan aku dapatkan sebagai ganti pengorbanan luar biasa yang akan aku lakukan," ujar Sheil lagi.
Benar-benar perempuan berlogika tinggi. Sangat realistis.
"Saat kamu setuju dan bilang iya. Aku lunasin semua hutang keluarga kamu hari ini juga," ucap gue dengan raut wajah serius.
Sheil terperangah kaget mendengarnya.
"Dan setelah kita nikah, sah sebagai suami-istri, aku bakal jadi investor utama kamu dalam membangun usaha impian kamu itu. Tentunya aku harus pelajari proposal usaha kamu dengan teliti," tambah gue.
"Kalau kamu nggak setuju dengan proposal aku?"
"Aku bakal minta kamu perbaiki sampai proposal itu sempurna," jawab gue.
"Kamu jadi mentor aku maksudnya?"
Gue mengangguk. Sheil diam. Sepertinya ia mempertimbangkan dengan serius tawaran gue.
"Ini kita nikahnya selamanya, Dev?" Tanyanya.
Gue mengangguk.
"Ada surat kesepakatan?" Tanya Sheil lagi.
Gue menggeleng.
"Utang keluarga aku banyak loh, Dev," tukasnya tak percaya.
"900 juta kan?"
Kening Sheil mengerut. "So you're already spying on me? Nggak aneh sih, kamu bahkan tahu alamat aku," ujar Sheil.
Gue tersenyum.
"Susah emang ngomong sama cewek pintar, kartunya kebuka semua," ujar gue.
Sheil tersenyum.
"Kalau aku kabur setelah kamu bayar hutang keluarga aku gimana?" Tanya Sheil.
"I'll make you see the power inside of me to destroy this village," jawab gue.
Sheil terkekeh.
"Ternyata kamu lebih menyeramkan dari Broto!" Seru Sheil meledek.
"Tapi jelas lebih baik bersuamikan aku daripada Broto. Aku jauh lebih ganteng. Aku akan mendukung hobi belajar kamu. Menjunjung tinggi emansipasi dan feminisme. Ya cuma kurangnya ya itu ... I can't give you a baby and i'll make you become a cheater in society," ucap gue.
Senyum Sheil makin mengembang.
"Ini tetap sebuah ide yang gila sih, Dev," ucap Sheil kemudian.
"I know," gue mengangguk setuju.
Sheil memandangi gue.
"Seandainya aku bilang nggak. Apa yang bakal terjadi sama kamu? Keluarga kamu?" Tanya Sheil.
Gue bergumam.
"Mungkin aku akan pindah ke US dan keluarga aku ... Kemungkinan besar sih punah kali ya," jawab gue.
"Kalau kita nikah, apa nggak ada kemungkinan kita punya anak gitu?" Tanya Sheil.
Gue menggeleng.
"Kata Mbah Tussy, tanpa cinta sejati kita nggak akan bisa punya anak. Beda kasus sama kedua kakak aku, begitu aku nikah sama kamu. Kutukan yang bekerja di mereka akan terlepas," jawab gue.
"Mbah Tussy tuh siapa?"
"Orang pinter kepercayaan keluarga aku," ujar gue.
Sheil tersenyum jahil. "Jadi kutukan keluarga kamu itu semacam KB alami ya, Dev."
Gue tertawa kecil.
"Bukan begitu konsepnya, Sheila Elegi," ujar gue.
Sheil tertawa. Gue ikut tertawa bersamanya. Mungkin ini tawa pertama gue setelah deretan tragedi menyesakkan dada yang gue alami secara berturut-turut.
"Kamu tuh mirip banget sama Eyang Kung aku. Disegala situasi. Sepelik apapun itu, masih bisa ketawa. Masih aja nge-jokes receh," tukas gue.
Sheil masih tertawa. Lalu ia mengatur napas untuk menghentikan tawanya.
"Oke, aku mau," ucap Sheil santai.
Gue terperangah.
"Serius?? Kamu beresiko nggak punya anak seumur hidup kamu loh," ucap gue mengingatkan akibat yang akan Sheil tanggung.
"Kita .. bukan cuma aku," ucapnya santai. Gue bengong. "Atau mungkin ... There's a possible way, a chance ... Kita nggak tahu apa yang benar-benar akan terjadi di masa depan," ucap Sheil lagi.
Gue masih bengong.
"Daripada kamu sendirian kan mending berdua sama aku," ucapnya santai.
Gue terpana menatap wajah tersenyum Sheil yang terasa begitu familiar. Seakan kami adalah sahabat lama yang sudah paham satu sama lain.
"Kamu gila banget," ujar Gue.
"Kamu memang butuh orang gila kayak aku, Dev," sahutnya sambil cengengesan.
Gue terkekeh.
"Jadi, teknisnya gimana?" Tanya Sheil.
"Aku masih ada waktu 6 hari di Jogja. Aku rasa itu bisa kita gunakan untuk membuat hubungan kita tampak nyata. Kita butuh momen untuk ditaruh di medsos sih. Terus dalam waktu dekat, kita datang ke 3 acara nikah teman-teman aku, dan sebelum akhir tahun, kita menikah," jawab gue.
Sheil tampak berpikir lalu mengangguk kemudian.
"Okay no problem," ujar Sheil santai. Gue terdiam sesaat. Tidak menyangka bahwa semua akan semudah ini dengan Sheil. Perempuan yang baru hari ini gue temui. Baru hari ini juga gue ajak bicara. Gue orang yang sulit. Gue akui itu. Tapi dengan Sheil? Frekuensi kami satu gelombang. Bagai dua pemancar yang saling timbal balik. Dan yang lebih aneh dari semua itu, gue merasa, beban lebih ringan dari sebelumnya.
*
4 bulan kemudian ...
Tepat di bulan oktober di sebuah KUA di selatan Jakarta. Gue dan Sheil menjalani sebuah konseling pra-pernikahan. Kami duduk berhadapan. Sama-sama memegang papan yang menjepit sebuah kertas berisikan jawaban kami atas pertanyaan-pertanyaan dari konselor pernikahan. Bersama tujuh pasangan lainnya yang mendaftar pernikahan. Ironinya konseling ini harus gue jalani bersama Malik dan Gika. Ya. Mereka akan menikah. Jangan tanya perasaan gue! Sakit! Remuk! Tidak bersisa! Perih! Mungkin senyum cengengesan Sheil yang membuat bibir gue sedikit membentuk senyum kecil yang gue heran sendiri kok bisa?
"Apa impian pasangan anda?" Tanya konselor.
Sheil memandangi gue dengan spidol gambar merek snowman bak Picasso bersiap melukis.
"Biasa aja ngeliatnya. Aku mau dilukis atau gimana?" Ujar gue sambil senyum. Sekalipun didetik sebelumnya wajah gue muram setelah bertemu mata dengan Gika yang sama muramnya dengan gue.
Sheil cengengesan lalu langsung menulis jawaban. Gue sendiri juga sudah menulis jawaban gue.
"Sudah selesai?" Tanya konselor.
Kami semua menjawab 'sudah, Pak!' lalu konselor menyuruh kami membalikkan kertas jawaban dan saling memperlihatkan berhadapan satu sama lain. Gue terhenyak membaca jawaban Sheil.
"Kaget banget," ujar Sheil sambil mengedipkan mata kiri. Tersenyum.
"Kamu tahu darimana?" Tanya gue penasaran. Kok bisa Sheil tahu, impian gue. Ingin hidup seenaknya.
"Because i know you," jawabnya santai. Gue memasang wajah 'oh ya?' yang malah membuat Sheil tersenyum lebar.
"Lanjut ya ke pertanyaan selanjutnya. Pasangan kamu paling mudah marah karena apa?" Konselor kembali memberitahu pertanyaan.
"Sheila Elegi Renjana itu paling marah kalau ada manusia yang menjudge orang lain tanpa tahu situasi dan kondisinya terlebih dahulu," jawab gue seraya menulis jawaban dengan mata melirik Sheil diawal.
Gue lihat Sheil tersenyum kecil.
"Radeva Arfaaz Moewiryo itu paling marah banget kalau legitimacy-nya dilanggar, bisa berubah jadi Thanos," balasnya.
"Betul sekali!" Seru gue.
"Oke. Sampai disitu pertanyaannya. Sekarang siapa yang mau maju untuk membacakan hasilnya?" Tanya konselor.
Sheil mengangkat tangan kanannya. Gue mendelikkan mata kaget. "What the hell are you doing?" Bisik gue. Sheil cuma nyengir seperti biasa. Karakter dia bener-bener copy-an Akung. Malah gue kira, Sheil adalah upgrade versi terbaru.
Sheil berdiri disamping konselor menghadap kami dengan wajah santai. Gue memotretnya untuk sebuah story instagram. Gue tandai akun IG miliknya dengan sebuah kalimat pendukung. When I'll marry the version of my Akung. Life is just a comedy, ketik gue sambil senyum.
"Silahkan perkenalkan diri dulu mbaknya," ucap konselor.
"Nama saya Sheila Elegi Renjana. Usia saya 26 tahun," ucap Sheil.
"Coba Mbak Sheila tunjuk calon suaminya yang mana?" Tanya konselor.
Sheil menunjuk gue.
"Siapa namanya, Mbak?"
"Namanya Radeva Arfaaz Moewiryo. Tapi biasa dipanggil Dev," jawab Sheil.
"Panggil Dev kan kalau didepan orang lain, kalau lagi berdua panggilnya apa? Yo masa Dev juga. Calon suami loh ini! Mesra dong pasti," Goda konselor yang membuat suasana meriah. Gue sendiri tersenyum.
"Tergantung sih, Pak," Gue mencium aroma calon jawaban nyeleneh Sheil.
"Tergantung?"
Sheil mengangguk.
"Jadi kalau Dev lagi baik, lagi nggak sok kayak panglima perang, saya panggil dia calon suami ..." Gue merasakan wajah gue mulai memerah. Yang lain tertawa. "Mas Dev ini tentara atau gimana profesinya? Kok bisa jadi panglima perang?" Ledek konselor.
"Nah kalo Dev lagi jadi panglima perang, saya panggil dia kanjeng dawuh," jawab Sheil lagi.
"Beneran ini Mas? Dipanggil Kanjeng Dawuh?" Ledek konselor. Gue cuma bisa mengangguk malu.
"Bener loh! Dipanggil Kanjeng Dawuh!" Seru Konselor.
Tawa kembali berderai. Gue tersenyum lebar malu sambil menutupi wajah dengan papan yang gue pegang.
"Perasaan Mas Dev gimana waktu dipanggil Kanjeng Dawuh?"
"Makin gemes, Pak," jawab gue yang makin memancing tawa.
Konselor tersenyum.
"Jadi baikan mendadak ya," tebak konselor.
Tawa seisi ruangan makin riuh. Ekspresi Sheil begitu sumringah. Wajah gue kian memerah. Malu tapi bibir gue malah tersenyum. Astaga, Sheil!
"Hubungannya Mbak Sheila sama Mas Dev pasti seru banget ya," ujar konselor.
"Lumayan, Pak," sahut Sheil memancing tawa kembali. "Coba Mbak Sheila ceritakan sama kita rangkuman jawaban Mas Dev. Nanti kita cocokin sama jawabannya Mas Dev. Bener nggak nih, Mbak Sheila kenal sama calon suami. Begitu juga sebaliknya. Coba Mas Dev tunjukkan papan jalannya," ujar konselor.
Gue lihat Sheil menarik napas. Lalu ia menatap gue sambil tersenyum. Dengan papan jalan yang ia taruh dibelakang tangannya. Entah kenapa, tatapan teduh milik Sheil terasa begitu hangat bagi gue.
"Dev itu berharap bisa hidup seenaknya. Tanpa memikirkan apapun. Resiko, akibat atau tanggapan orang lain. Ya, tentu aja itu cuma impian kosongnya dia, karena nggak sesuai sama value yang Dev punya. Bertentangan dengan karakter dia yang penyayang, perhatian dan hangat," ucap Sheil.
Konselor memperhatikan jawaban yang gue tunjukan. Ia mengangguk lantaran isinya sama.
"Walau kelihatannya santai, Dev itu paling marah sama orang yang suka melanggar aturan yang dia buat. Kalau lagi marah, wajahnya bakal merah padam, tatapannya tajam dan jadi jauh lebih ganteng mirip Refal Hady," lanjut Sheil.
"Mirip Refal Hady loh, Mas Dev!" Ledek konselor membuat kami semua tertawa kembali.
"Makanan favoritnya Dev ... Semua masakan yang dibuat Mama-nya dan itu memang enak banget sih. Minuman favoritnya, kopi dipagi hari. Tapi sekarang dia lagi diet kafein karena punya asam lambung. Hobinya Dev, kegiatan atau aktivitas di alam kayak rafting, hiking, trekking atau camping. Dia suka banget keluar masuk goa sambil pakai helm yang ada senternya. Awalnya saya nggak ngerti tapi ternyata asik juga," ujar Sheil.
"Ketularan, Mbak Sheila?"
Sheil mengangguk.
"Ketularan saya, Pak," jawabnya.
Gue tersenyum.
"Udah sih, Pak itu aja," ucap Sheil. Konselor lalu menyuruh gue berdiri disamping kirinya. Berhadapan dengan Sheila dengan ia sebagai pemisah.
"Jawabannya sama semua loh! Tepuk tangan!" Ujar konselor yang disahuti dengan lautan tepuk tangan. Kecuali Gika. Tatapannya bagai kekasih yang diselingkuhi. Skenario ini berjalan melebihi ekspektasi gue. Gika begitu percaya. Apa karena Sheil orangnya? Lawannya?
"Mas Dev, saya mau tanya nih. Boleh?" Tanya konselor.
"Silahkan, Pak," jawab gue.
"Apa yang membuat Mas Dev memutuskan untuk menikahi Mbak Sheila? Sesuatu yang membuat Mas Dev yakin," ujar konselor.
Gue memandangi Sheil yang terus tersenyum kearah gue.
"Karena cuma Sheil yang bisa menerima semua kegilaan yang terjadi di hidup saya, Pak," jawab gue.
"What kind of kegilaan apa itu!?" Pertanyaan yang mengundang decak tawa.
"Privasi, Pak," jawab gue diplomatis dengan sebuah senyum. "Privasi guys katanya," balas konselor.
"Kalau Mbak Sheila, kenapa mau menikahi Kanjeng Dawuh? Eh, maksudnya Mas Dev," ucap konselor yang kembali membuat kami tertawa renyah. Sheil menatap gue.
"Karena lebih baik berdua daripada sendirian," jawab Sheil sambil senyum.
"Cie ... Cie ..."
"Boleh dicium, Pak?" Canda gue.
"Nggak boleh! Belum muhrim," ujar konselor kembali mengundang decak tawa. Lalu tatapan gue tidak sengaja bertemu dengan tatapan Gika. Wajahnya sudah banjir airmata. Hati gue kembali sakit. Sampai tanpa sadar gue menundukkan pandangan gue.
*
Malam sebelum pernikahan ...
KREET!
Papa muncul dari balik pintu kamar hotel yang terbuka. Gue melihatnya dari pantulan kaca jendela besar dimana gue tengah memandangi suasana malam kota Jakarta dalam hening. "Kenapa, Pah?" Tanya gue yang sedang duduk.
Papa berjalan lalu duduk disebelah kanan gue.
"Cuma memastikan kamu nggak akan kabur kayak papa," jawabnya.
Gue tertawa.
"Dev yang ngajak Sheil nikah, maka Dev yang kabur," sahut gue.
"Mungkin saja kan, kamu nggak tega dengan Gika tadi siang lalu memutuskan membatalkan semua ini," ucap Papa membuat gue terhenyak. Gue menoleh menatapnya.
"Papa tahu?"
Papa mengangguk.
"Aman. Cuma papa yang tahu dan papa sudah memastikan hanya cuma papa yang akan tahu," jawabnya.
"Thanks, Pah," sahut gue.
Papa tersenyum kecil.
"Papa tahu ini berat buat kamu. Nikah sama orang yang sebelumnya nggak pernah ada direncana hidup kita. Bukan perempuan yang kita incar untuk dijadikan istri. Perempuan yang nggak atau bahkan belum kita kenal sepenuhnya," ucap Papa sambil memegang tangan gue yang ada dipangkuan.
"Kamu lebih keren sih dari papa. Kamu nggak kabur. Padahal kamu nggak akan menerima benefit dari pernikahan ini selain melihat kedua kakakmu jadi seorang ayah," ucap papa membuat gue kembali menoleh dan tersenyum.
"Akhirnya mengakui juga kalau Dev lebih keren," ujar gue tidak ingin terlalu serius.
Cukup dada ini saja yang sesak setiap kali mengingat betapa menyesakkannya kejadian tadi siang dengan Gika. Ia meraung, menangis, terisak. Yang gue bingungkan adalah bagaimana Gika bisa mengakses kamar gue.
"Dulu Papa pikir, Papa nggak akan bisa menerima Mama dalam kehidupan Papa. Ya, paling formalitas. Agar orang-orang tidak membicarakan kami. Tapi ternyata Papa salah soal Mama," ucap Papa sambil memandang lurus ke depan.
"You've got three son from her and the last one is one of kind," sahut gue yang membuat Papa terkekeh.
Gue tersenyum melihatnya. Kami jarang berbicara sedalam ini. Tanpa saling sindir dan sarkas satu sama lain. Jadi kesempatan bisa berdiskusi sama Papa seperti ini sambil melihat senyumnya adalah sesuatu yang langka. Hati gue damai seketika.
"Actually, she gives me everything, i owe her for every happiness in my life," ucap Papa.
"Ya, Mama memang luar biasa," ucap gue membayangkan sosok lembut selama ini.
"Cuma kayaknya kamu dan Sheil sepertinya nggak akan bisa seperti kami," ujarnya.
"Maksudnya?"
Gue memasang wajah heran dihiasi sebuah senyum. "Narsistik banget sama kisah rumah tangganya," ujar gue meledek Papa.
Papa kembali terkekeh.
"Hubungan kamu dengan Sheil mungkin akan lebih berwarna dan menyenangkan. Lebih seru. Lebih menantang. Lebih asik. Papa bisa lihat betapa ia akan menjadi teman sekaligus rekan seperjalanan yang menguatkan, menghibur, mengimbangi dan mendewasakan kamu dalam banyak hal," ucap Papa yang entah bagaimana gue mengamininya.
Kata orang, saat memutuskan untuk menikah, cobaan dan ujian datang bertubi-tubi. Itu yang terjadi saat gue memutuskan akan menjadi suami Gika dulu. Hasil MCU. Kutukan keluarga. Sandiwara perselingkuhan. Circle yang terfilter sendiri. Meski faktanya, besok yang akan gue nikahi bukanlah Magika Rustawan. Melainkan, Sheila Elegi Renjana. Perempuan yang baru gue kenal kurang dari satu semester. Tapi anehnya perasaan yakin, tenang dan ikhlas menyelimuti hati gue saat acara lamaran sebulan lalu. Ketika gue bertanya pada Sheil dihadapan semua orang, mau atau tidak menjadi istri gue. Atau saat Sheil selalu mengulang pertanyaan yang sama sambil memeluk gue yang tengah menangisi nasib. "Belum terlambat untuk berubah pikiran, Dev! Masih ada waktu buat kamu cerita sama Gika yang sebenarnya!"
Ya, Sheil memang segila itu. Papa benar. Mungkin hidup akan sangat menyenangkan bersamanya. Dia adalah kotak hadiah yang isinya selalu berubah-ubah.
"Menikahi Eyang Kung versi 4.0 memang sesuatu sih, Pah," sahut gue.
Papa tertawa.
"Iya ya, dia mirip banget sama Bapaknya Papa. Banyak sabar. Tapi kamu juga pasti akan banyak ketawa," ujar Papa seraya merangkul dan menepuk punggung gue. Bibir gue tersenyum menanggapinya.
"Makasih ya, Pah. Udah kesini malam ini," ucap gue sambil memandangi Papa yang menatap gue begitu teduh. Papa memeluk gue erat.
"Papa sadar masih terlalu dini untuk bilang seperti ini, tapi papa yakin, you choose the right one. Sheil is the right one. I can see it the value of her. Kamu akan berbahagia sama dia. Just tell me straightly if i'm right," ucap Papa yang gue balas dengan sebuah senyuman.
Aamiin, Pah.
*
"Saya terima nikah dan kawinnya Sheila Elegi Renjana Baskoro binti Ahmad Baskoro dengan mas kawin tersebut tunai," ucap gue dalam sebuah tarikan napas seraya menggengam tangan ayahanda Sheil.
"Sah!" Ucap penghulu dan saksi bersamaan.
"Alhamdulillah," ucap seluruh orang dalam ruangan. Lalu penghulu memimpin doa pernikahan. Bahkan setelah menandatangani berkas, gue masih tidak menyangka bahwa hidup gue akan sampai disini. Dititik dimana gue akan menjadi suami seorang Sheila Elegi Renjana. Perempuan yang sedang menatap gue sambil tersenyum cengengesan didepan Mama dan Ibu yang ikut senyum malu melihat tingkah Sheil. Kami berhadapan. Setelah acara pemasangan cincin dan beberapa tahapan acara adat lainnya. Tiba saat momen penciuman tangan. Sheil mencium tangan gue yang diabadikan fotografer.
"Yang serius, suami kamu loh ini," ujar gue yang membuat Mama tersenyum bersama Ibu, besannya yang baru. Gue merentangkan tangan kearah Sheil.
"Let takes this sour adventure together," ucap gue.
Sheil menatap gue dalam senyum yang bukan cengengesan. Begitu hangat dan lembut.
"You can't turn back," ucap Sheil.
Responnya cukup mengagetkan. Sheil menarik Mama dan Ibu bersamaan sehingga kami berempat saling berpelukan. Gue tertawa atas tingkahnya. Mama dan Ibu tersenyum lebar.
"Loh ... Loh ... Kok pelukan berempat aja? Ajak-ajak dong," ujar Papa yang kemudian mengajak besannya, Bapak. Jadilah kami berpelukan berenam sambil tertawa riang. Momen dimana belum pernah gue sedekat ini dengan kedua orang tua gue. Mama menatap gue dengan mata berkaca. Gue tersenyum kearahnya. Lalu gue kecup kening Mama. Hati gue begitu lapang dan ikhlas menerima takdir. Dalam pelukan akbar, gue dan Sheil kembali bertatapan, saling melempar senyum.
"Aku nggak dicium juga? Udah istri loh?" Canda Sheil.
Gue tersenyum.
"Sini ... Sini ..." Ujar gue lalu kepala Sheil mendekat. Gue kecup keningnya lembut dengan mata memejam lalu kembali saling tersenyum satu sama lain.
***
Dari awal sampe akhir di bikin senyum terus saat baca. Memang indah jika bertemu dengan seseorang yang se frekuensi.