Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Hujan di Bulan Juni"
Hujan turun perlahan di bulan Juni, seperti rintik-rintik air mata yang jatuh tanpa suara, menyentuh bumi yang telah lama merindukannya. Langit kelabu menaburkan syair-syair sendu, dan angin mendesah lirih, membawa aroma tanah basah yang menyimpan ribuan kenangan.
Di sudut kota yang redup, di antara gemerisik daun yang kuyup, seorang gadis berdiri sendiri di bawah payung lusuh. Namanya Laras. Matanya menerawang jauh ke pelipir waktu, menembus kabut kenangan yang tak jua pudar. la bukan hanya menatap hujan: ia tengah menatap dirinya sendiri-versi dirinya yang pernah bahagia, versi dirinya yang dulu pernah menggenggam tangan seseorang di bawah hujan yang sama.
Bulan Juni selalu menjadi saksi bisu pertemuan mereka-ia dan Rendra. Seorang lelaki yang kini tinggal dalam baris-baris puisi yang tak pernah selesai. Dulu, mereka sering berkata bahwa cinta mereka adalah seperti hujan di bulan Juni: tak terduga, tak biasa, tapi menyejukkan hati yang panas oleh keraguan.
Tapi waktu, seperti biasa, tidak pernah berjanji akan selalu ramah.
"Kita akan selalu seperti ini," bisik Rendra suatu hari, di bawah gerimis yang lembut.
Laras tersenyum kala itu. la percaya.Bagaimana mungkin ia tidak percaya, jika tangan lelaki itu begitu hangat dan matanya begitu jujur?
Namun, tak semua janji bisa menantang nasib.
Rendra pergi. Bukan karena îngin, melainkan karena takdir menuntutnya menempuh perjalanan yang tak bisa ditunda. Penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya telah membawa dia ke batas waktu yang tak bisa dinegosiasikan.
Hari itu, bulan Juni juga. Hujan turun, persis seperti hari mereka berkenalan, persis seperti hari pertama Rendra menyelipkan setangkai mawar kertas di telapak tangan Laras. Tapi hari itu, Laras berdiri sendiri, memandang pusara yang dingin, sementara hujan terus turun tanpa peduli pada luka yang membekas di dadanya.
Tahun-tahun berlalu, tapi Laras tetap datang setiap bulan Juni. Payungnya yang sama, langkahnya yang sama, dan rasa kehilangan yang tak pernah berubah.
"Hujan di bulan Juni," bisiknya pelan, "selalu mengajarkanku tentang kehilangan, tentang kesetiaan, dan tentang mencintai dalam diam."
la tahu, cinta sejati bukan tentang menraksa seseorang tinggal selamanya. Tapi tentang berani melepaskan ketika waktunya tiba, dan tetap menyimpan kenangan dalam ruang hati yang terdalam, seberapa pun perihnya.
Butir-butir hujan menari di udara, jatuh satu per satu di pipinya yang lembut. la tak tahu, itu air mata atau rintik hujan. Mungkin keduanya telah bercampur begitu rupa, tak terbedakan lagi.
Dalam lirih suara angin, Laras bisa seolah mendengar suara Rendra, samar namun nyata.
Aku selalu ada di sini, di setiap hujan yang kau tatap..."
Laras tersenyum, getir namun tulus. Hujan bulan Juni selalu menjadi pengingat: bahwa cinta tak pernah benar-benar mati, selama ada yang mengingat, selama ada yang mengenang, dan selama ada yang tetap menunggu meski hanya dalam diam.
Langit kian gelap, tapi Laras masih berdiri. Di bawah hujan. Di bulan Juni.
Dan hatinya tetap bernyanyi dalam bisu, mengalunkan satu puisi yang abadi:
Tak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Karena tak pernah mampu menyatakan cinta, ia memilih menjadi hujan
Menghapus jejak langkah yang tak mungkin kembali.