Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Raya. Dua puluh satu tahun, mahasiswa semester enam jurusan Ilmu Komunikasi dan baru saja diputuskan dua minggu lalu lewat pesan singkat. Ya, hanya sebuah chat. Satu kata yang kalau diulang dua kali "chat chat" bisa membuatku ingin melempar sandal ke kipas angin.
Setelah tiga tahun pacaran, hubungan kami selesai begitu saja. Tanpa aba-aba. Tanpa diskusi. Tanpa jeda iklan. Hanya satu pesan singkat: "Maaf, kita sampai sini saja ya :)"
Tanda senyum di akhir kalimat itu membuatku merinding. Bukan karena manis, tetapi karena entah bagaimana ia terdengar seperti ironi yang disengaja.
Aku sempat hancur. Tidak makan dua hari, tidak tidur seminggu. Bahkan menonton video kucing di media sosial pun membuat mataku berkaca-kaca. Tapi, di hari ketujuh, ketika aku berdiri di depan cermin dengan daster bermotif bunga dan masker lumpur hijau, aku tertawa. Keras. Sendiri.
"Raya, masa hidupmu berakhir di notifikasi WhatsApp?" ucapku pada pantulan cermin.
Saat itulah aku menyadari sesuatu: aku perlu mencintai diriku sendiri. Bukan karena dia sudah pergi, tetapi karena aku memang pantas untuk dicintai oleh diriku sendiri.
Langkah pertama versi baru: berhenti mengikuti semua akun media sosialnya. Tapi, tentu saja, sebelum itu aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat profilnya selama empat puluh lima menit. Aku akui, gaya rambut barunya cukup keren. Ya, hidup memang terkadang kurang ajar.
Langkah kedua: memutar ulang playlist lama bukan yang penuh lagu galau, melainkan lagu-lagu yang membuatku ingin menari sendiri di kamar. Aku bahkan membuat playlist baru berjudul "Perempuan Tangguh, Tapi Tetap Ceria". Aku menari dengan ritme yang kacau sambil tertawa, merasa sedikit lebih hidup.
Langkah ketiga: menulis. Aku membeli buku catatan kecil bergambar alpukat dan mulai menulis semua isi hati. Tentang kecewa, marah, rindu, hingga perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan. Menulis membuatku merasa lebih jujur pada diriku sendiri. Dan lucunya, dari tulisan itu aku menyadari, aku selama ini terlalu sering mengabaikan diriku sendiri.
Beberapa hari kemudian, aku mengajak sahabatku, Icha, untuk makan es krim di kafe favorit. Kami duduk di sudut ruangan, memesan rasa kesukaan masing-masing dan berbincang seperti biasa.
"Kamu kelihatan beda, Ray," kata Icha sambil memperhatikanku.
"Beda bagaimana?" tanyaku, menaikkan satu alis.
"Beda seperti... lebih waras. Lebih hidup. Lebih bersinar gitu."
Kami tertawa. Dan ya, mungkin benar. Aku mulai kembali jadi Raya yang ceria, sedikit nyeleneh dan suka bercerita.
"Aku sekarang bangun pagi tidak langsung membuka WhatsApp," kataku sambil menyeruput es krim. "Dulu seperti refleks, langsung mencari notifikasi dari dia. Sekarang? Yang kucari malah playlist ‘perempuan tangguh’."
Icha tertawa. "Keren. Jadi kamu benar-benar sedang di fase pemulihan sekarang?"
"Bisa dibilang begitu. Walaupun kadang masih ada rasa sedih yang menyelip. Tapi... ya sudah. Dinikmati saja. Menangis juga tidak dosa, bukan?"
"Benar sekali," jawab Icha. "Yang penting kamu tidak lupa, kamu itu lucu, pintar dan pantas dicintai. Tidak harus dari siapa-siapa. Dari kamu juga boleh."
Aku tersenyum. Ucapan itu sederhana, tapi hangat. Rasanya seperti pelukan dalam bentuk kalimat.
Aku juga mulai merawat diri, bukan karena ingin dilirik siapa pun, tetapi karena aku merindukan diriku yang dulu suka memakai parfum vanila ke kampus, meski hanya untuk kuliah pagi yang membosankan. Aku memakai pelembap bibir setiap pagi, bukan untuk dipuji, tetapi karena aku suka bibirku terasa lembap. Hal-hal kecil, tapi rasanya penting.
Lalu, tak disangka, minggu berikutnya aku bertemu mantan di minimarket. Ia sedang memilih pop mie. Aku pun sedang membeli pembalut dan teh kotak. Kami saling pandang. Diam beberapa detik. Lalu tersenyum kikuk.
"Hai," ucapku lebih dulu.
"Hai," balasnya, cepat dan canggung. Tangannya masih menggenggam dua pop mie rasa pedas.
"Kamu suka yang pedas sekarang?" tanyaku iseng, mencoba mencairkan suasana.
"Dari dulu juga suka, Raya," jawabnya sambil tertawa kecil. "Cuma kamu yang selalu pilih rasa ayam bawang."
Aku ikut tertawa. "Benar juga. Dulu kamu suka menyuapiku pakai garpu plastik kecil itu."
Ia mengangguk. "Kamu... kelihatan bahagia sekarang."
"Sedang belajar," jawabku pelan. "Belajar mencintai diri sendiri. Ternyata, seru juga."
Ia mengangguk, kali ini lebih tulus. "Bagus, Ray. Aku ikut senang mendengarnya."
Kami berpisah di depan kasir, masing-masing membawa belanjaan dan pikiran masing-masing. Tapi tidak ada drama. Tidak ada harapan palsu. Hanya rasa lega.
Malam itu aku menulis, “Ternyata bertemu mantan tidak selalu berarti ‘ada apa-apa’. Kadang, itu hanya episode kecil dalam perjalanan panjang yang sedang aku tempuh.”
Hari-hariku kini dipenuhi hal-hal sederhana. Menyapu kamar sambil menyanyi. Membaca buku puisi yang dulu hanya jadi pajangan. Menulis puisi lucu tentang bekas pacar yang takut kecoa tapi sok jantan. Kadang, aku masih merasa kosong. Tapi, aku juga merasa lebih ringan.
Aku mulai memahami bahwa mencintai diri sendiri bukan soal menjadi sempurna, melainkan menerima bahwa aku tidak harus sempurna. Bahwa aku boleh istirahat. Bahwa aku boleh menangis, tertawa dan kadang bingung tanpa alasan.
Aku juga mulai berani mengatakan tidak pada hal-hal yang tidak aku sukai dan ya pada kesempatan-kesempatan kecil yang dulu kuabaikan. Seperti ikut kelas yoga daring gratis atau mencoba membuat kue dari resep acak di TikTok.
Lucunya, kue pertamaku bantat. Tapi aku tertawa puas saat melihat hasilnya. Karena tidak semua usaha harus berujung sukses. Kadang, cukup membuat hati senang.
Kadang, aku dan Icha duduk lama di kafe sambil merancang rencana-rencana lucu seperti naik gunung meski kami berdua takut pacet. Kami juga mulai membuat daftar mimpi konyol, seperti membuka kedai teh sambil jualan jurnal harian atau ikut lomba lari memakai daster. Kami tahu, belum tentu akan dilakukan. Tapi menyusun impian itu saja sudah membuat kami bahagia.
Icha pernah berkata sambil mengaduk es krimnya, "Ray, hidup ini tidak akan selalu penuh kejutan manis. Tapi kita bisa memilih jadi orang yang tetap tersenyum saat kejutan itu pahit."
Aku mengangguk. Kata-kata itu menempel di pikiranku lebih lama dari yang kusadari. Karena benar, hidup memang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Tapi cara kita bersikap, bisa kita pilih.
Dan untuk kamu yang sedang belajar mencintai diri sendiri setelah patah hati, aku cuma mau bilang: tidak apa-apa kalau kamu belum tahu harus mulai dari mana. Tidak apa-apa kalau masih suka sedih saat melihat kenangan. Yang penting, kamu tetap memilih untuk melangkah walau pelan.
Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa cepat kamu sembuh tetapi seberapa tulus kamu mau kembali mengenal dirimu sendiri.
Jadi, angkat alismu. Senyum sedikit. Ambil napas. Lalu katakan pelan-pelan, “Aku sedang belajar, dan itu pun sudah cukup.”