Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Raisha adalah seorang anak perempuan cantik. Rambutnya ikal, serta memiliki kulit yang putih mulus. Raisha sangat diistimewakan oleh lingkungan sekitarnya. Tetangga-tetangganya sangat baik terhadapnya. Bahkan di pasar dekat rumah Raisha, para pedagang sering memberikan sedikit dagangan mereka kepada gadis kecil itu.
Raisha sangat ramah kepada siapa pun. Tangannya selalu terbuka bagi siapa saja yang meminta tolong. Raisha juga disukai oleh teman-temannya karena kepintarannya. Pokoknya, Raisha merasa nyaman berada dengan orang-orang terdekatnya.
Orangtuanya pun sering memanjakannya. Mereka sayang pada Raisha, bahkan pada kakaknya. Namun, Raisha tidak mau terus-terusan dimanja. Semaksimal mungkin dia berusaha agar mematuhi perintah mama dan papanya. Pada kakaknya dia juga patuh dan siap menolong. Raisha sangat sayang kepada keluarganya.
Suatu hari, Raisha pulang berjalan kaki bersama Ningsih dan Raya. Sekalipun anak orang kaya, Raisha lebih suka pulang dengan berjalan kaki daripada harus naik mobil mewah.
“Main ke rumahku, yuk?” ajak Ningsih.
“Boleh, boleh. Nanti sore, ya,” kata Raya. “Kamu ikut, Rai?”
Raisha diam sejenak, lalu menjawab, “Aku tidak bisa ikut main, soalnya aku harus membantu Mama memasak dan membantu kakakku berjualan.”
“Yaelah, cuma begitu saja. Masa kamu tidak mau main sama kami, Rai?” tanya Raya.
“Iya, lagi pula cuma sebentar, kok. Paling-paling satu jam saja,” Ningsih ikut membujuk.
Raisha sangat ingin ikut pergi, tapi dia punya kewajiban untuk membantu keluarganya di rumah. Dia menolak dengan sopan, bahkan meskipun hal itu membuat Raya dan Ningsih kesal.
Di rumah, Raisha membantu sang mama yang baru pulang dari kantor untuk memasak. Tak lupa dibantunya kakaknya mengantarkan pesanan.
“Kak, kita masih perlu mengantarkan berapa pesanan lagi?” tanya Raisha.
“Kira-kira ada tiga rumah yang tersisa. Yuk!” kakaknya pun menggenjot pedal sepedanya lebih kuat.
Usai membantu mengantar pesanan, Raisha belajar sebentar, lalu ikut mamanya menjemput Papa.
***
Di sekolah, Raisha lagi-lagi diajak pergi ke rumah temannya. Kali ini, tujuannya adalah menonton televisi.
“Kita ke rumahnya si Ayu saja. Enak, loh, rumahnya Ayu itu. Banyak kudapannya, penghuninya baik-baik,” bujuk Santi.
“Televisinya juga besar. Tapi kita pakai proyektor saja biar aman. Ayahku punya proyektor, dan aku bisa meminjamnya untuk keperluan menonton,” ujar Setya.
“Ikut, ya, Rai. Ini, kan, hanya terjadi sekali seumur hidup. Kita tidak akan pernah mengadakan yang seperti ini lagi di SD. Kamu bisa minta izin pada orangtuamu,” bujuk Raya.
Raisha menggeleng dengan tegas. “Tidak bisa, teman-teman. Aku harus membantu kakakku berjualan. Mamaku selalu kerepotan kalau aku tidak ada, apalagi kalau Papa belum pulang. Kakakku juga kesulitan mengantarkan pesanan nanti. Mereka bertiga sangat baik terhadapku, jadi aku juga punya kewajiban berbuat baik kepada mereka,” katanya.
“Tapi, kan, cuma sekali, Rai. Papa-mamamu pasti tidak keberatan, apalagi kakakmu. Ayolah, nanti kita traktir bakso, deh, buat kamu,” janji Rizky.
“Tidak, aku tidak akan ikut menonton bersama kalian. Aku harus membantu keluargaku. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” tolak Raisha.
“Ya, sudah! Tidak mau ikut juga tidak apa-apa. Ayo, teman-teman, kita tinggalkan si Raisha. Percuma mengajak dia, karena dia hanya peduli dengan keluarganya!” kata Raya dengan marah.
Teman-temannya berpaling dari Raisha. Gadis itu terkejut. Dia tak menyangka akan begini akhirnya. Sambil duduk, dia membenamkan kepalanya dalam buku.
“Memang dia itu si anak mama. Maunya sama orangtua terus, maunya dimanja,” terdengar bisik-bisik di antara teman-temannya.
Raisha terus membaca buku dengan sikap cuek. Sepulang sekolah, dia membantu kembali keluarganya yang kesulitan.
“Raisha, kamu sudah bekerja keras selama ini. Kamu mau pergi liburan ke mana?” tanya Papa malam harinya.
“Asyik! Yuk, kita pergi ke karnaval!” ajak Raisha.
“Aku mau pergi ke mal!” kata kakaknya.
“Ya, sudah, besok Minggu kita ke karnaval. Minggu depannya lagi, kita ke mal,” ujar Mama sambil tersenyum.
Raisha dan kakaknya sangat gembira. Mereka ingin segera menikmati liburan mereka.
“Mama, Papa, aku sebenarnya punya sesuatu untuk kuungkapkan. Dengar, ya,” ujar Raisha.
***
Sehari sebelum pergi ke mal, Raisha mendapat ejekan dari teman-temannya. Dia mendapat julukan si ‘Anak Mama’. Padahal, sebetulnya Raisha tidak manja kepada mamanya. Dia hanya sangat menyayangi mamanya dan peduli kepadanya.
“Lihat, teman-teman, si ‘Anak Mama’ sudah datang, tuh. Lihat, dia bawa apa!” teriak Ningsih.
Seluruh temannya tertawa ramai. Raisha memang sengaja menyembunyikan bungkusan yang dibawanya.
“Bawa apaan, tuh, ‘Anak Mama’? Bagi, dong!” kata teman-teman lelakinya.
“Tidak mau!” tolak Raisha.
“Pelit sekali, sih. Masa berbagi saja tidak mau?” anak-anak perempuan ikut menggodanya.
Raisha ingin berteriak sekencang-kencangnya, namun akal sehat mencegahnya melakukan itu.
Tiba-tiba pintu diketuk. Semua menoleh, dan mama Raisha masuk membawa dua bungkusan besar bersama Ibu Guru.
“Ini diletakkan di mana, ya, Bu Guru?” tanya mama Raisha.
“Di dekat meja saya saja, Bu,” balas Bu Guru.
Usai meletakkan bungkusan di samping meja guru, mama Raisha pulang. Teman-teman Raisha masih melongo.
“Mau apa berdiri terus?” tanya Bu Guru galak. “Duduk semua!”
Dengan patuh, para murid duduk rapi.
“Dengar, anak-anak,” kata Bu Guru dengan suara berwibawa, “teman kita, Raisha, ingin berbagi sesuatu untuk kalian. Dia minta maaf karena telah merepotkan kalian. Dia hendak pergi ke suatu tempat.”
Seisi kelas langsung menoleh ke Raisha. Gadis itu berdiri, tersenyum tulus.
“Aku sudah diterima di sekolah lain. Waktunya pindah, karena di sini aku merasakan hal-hal tidak nyaman yang merasuki tubuhku. Aku akan pindah ke tempat yang jauh, yaitu Jakarta.”
Semua murid lantas terdiam.
“Ya, dan untuk itu, mama Raisha mengirimkan hadiah perpisahan kepada kalian. Dia akan tinggal di sana, berbaur dengan teman baru di Jakarta, dan bersekolah di sana,” jelas Bu Guru.
“Ya, aku akan pindah lusa nanti. Barang-barang sudah disiapkan. Kebetulan, ada teman papaku di sana, yang bersedia memberi tumpangan tempat tinggal sementara. Setelah Papa punya uang lebih banyak, kami akan membeli rumah, dan tinggal di sana selamanya,” kata Raisha.
“Jangan!” teriak teman-temannya.
“Kenapa jangan?” tanya Raisha.
“K-kami minta maaf karena kesalahan kami tidak berteman denganmu sejak peristiwa itu, Raisha. Kami sungguh menyesal,” kata Santi.
“Oho, penyesalannya terlambat. Aku sudah terlanjur bersiap-siap pindah. Kalimat terakhir buat kalian: Aku sudah memaafkan perbuatan kalian, namun jangan minta aku kembali ke sini.”
Raisha kembali duduk di bangkunya.
“Ya, intinya dia merasa tidak nyaman di sini,” pungkas Bu Guru. “Mungkin kalian telah membuatnya merasa tidak enak di sini. Lain kali jangan begitu lagi, ya. Penyesalan selalu di akhir.”
Semua murid sangat tertusuk hatinya mendengar hal itu. Mereka sedih karena putri mahkota kelas akan meninggalkan mereka. Raisha bahkan pulang sekolah tanpa memberikan pelukan pada mereka. Semua telah berakhir, takkan ada seorang anak berjalan masuk kelas sambil mengibaskan rambutnya, takkan ada lagi putri kesayangan kelas!