Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit kampung sore itu memerah seperti arang yang tersisa di tungku dapur. Matahari turun perlahan, menyentuh ujung padi yang bergoyang diterpa angin. Di antara deretan rumah panggung sederhana yang berdiri di atas tiang kayu lapuk, terdapat sebuah rumah yang catnya telah mengelupas dan gentengnya pucat termakan hujan dan tahun.
Di rumah itu, tinggal seorang pemuda kampung bernama Rimba, dan seekor kucing kampung yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Kucing itu berwarna abu-abu kehitaman dengan belang tak beraturan, ekornya tegak dan berbadan tegap. Rimba menamainya Fuso.
“Fuso, ayo makan dulu,” panggil Rimba dari dapur kecil yang hanya dipisahkan selembar tirai dari ruang utama.
Fuso menyusup keluar dari kolong ranjang, melenguh pelan, lalu melompat ke atas bangku pendek di dekat dapur. Di sana, seperti biasa, ada piring seng berisi nasi dingin sisa pagi, ditaburi teri goreng dan kepala bandeng goreng. Tak ada ayam suwir, tak ada kaldu lezat, tapi bagi Fuso ini adalah jamuan surga.
Rimba duduk bersila di lantai, mengunyah perlahan. Tubuhnya kekar dan kulitnya gelap karena matahari. Tangan kasarnya terlihat lelah, tapi sorot matanya selalu hangat jika memandang Fuso.
“Besok aku kerja bantu bangun kandang kambing di rumah Pak Kades,” ucap Rimba sambil menyeruput teh manis dari gelas retak. “Dapet upah seratus dua puluh ribu, lumayan buat beli ikan pindang”
Fuso mengeluarkan suara pendek, seakan menjawab, tapi diam-diam dalam hatinya ia tak peduli soal ikan. Ia lebih senang mendengar suara Rimba, walau kadang hanya gum...