Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Arghhh” rintihku menahan perih saat melihat keranda Mak melenggang jauh. Melenggang jauh ke tempat abadi yang tak siapapun diizinkan kembali. Suara tangis beradu syahdu dengan gelegar petir yang sedari tadi menjadi lagu pengiring kepergian Mak. Mak yang selalu tersakiti kini benar-benar telah pergi.
Lalu apa yang akan kami pertahankan di tanah pundung ini? Padahal Mak yang segala-galanya telah pergi.
***
Suara bising mesin terus berderu—mengalahkan kicauan burung merpati yang bahkan sudah ku lupakan bagaimana merdunya. Aku bangkit dari dudukku dan mulai memungut satu per satu kelopak bunga yang berguguran dengan indah. Aku memandangi satu per satu semaian di ujung pekarangan penuh debu ini. Beberapa tahun lalu terhitung sejak hari kematian Mak, benih itu masih lah benih. Entah tak bisa tumbuh atau memang mati tak ada yang benar-benar tahu. Mungkin hanya Mak yang punya ilmu dan kuasa akan benih malang itu. Aku menghela pasrah dan dengan ajaibnya, benih itu bersemi pagi ini. Menjadi kecambah kecil penghias pekarangan yang penuh abu dan asap mesin. Pekarangan ini hanya ditumbuhi bunga tabebuya yang kuyakin sebentar lagi juga akan mati.
“Bagaimana persiapan kendurinya, lam?” seru seseorang dari kejauhan dengan suara paraunya.
“Kenduri apa, Nek? Tidak akan ada panen, tidak akan ada hasil bumi. Tanah ini sekarang sudah ditanami beton dan tiang-tiang penyangga itu. Sudahlah”
Aku mendengus kesal bukan pada nenek tetapi pada diriku yang dengan bodohnya malah memperkeruh suasana. Kulirik dengan ekor mataku, raut nenek yang menjadi sendu. Pandangannya kosong beredar ke sepanjang sudut dapur sembari terus menganyam beberapa bilah bambu untuk wadah panen. Tangan terampil nenek masih giat memilin satu per satu bilah meski tahu kenduri mungkin tak akan pernah diadakan lagi.
“Berikan padaku, Nek. Sekarang sudah waktunya makan” ucapku sambil meraih anyaman dari genggaman nenek dan menggantinya dengan sepiring nasi yang masih dipenuhi kepulan asap.
Air mata mulai jatuh di pelupukku saat nenek menatapku dengan nanar. Ada sejuta kesedihan bercampur kekhawatiran yang menghiasi manik hitam nenek. Aku memalingkan wajah berusaha menghindarkan diri agar tangisku tak makin menjadi. Aku merasa telah gagal menjadi anak bangsa dan pejuang bagi tanah kelahiranku sendiri. Membiarkan tanah kelahiranku dirampas bebas untuk kepentingan kantong penguasa. Membiarkan tanah kelahiranku berlumuran darah bunga bangsa yang memperjuangkan kembalinya tanah ini. Nahas, yang ada kami semakin terpinggirkan dengan tanah yang menyisakan luas tak seberapa.
***
Paginya, aku terbangun dengan wajah nelangsa sama persis dengan hari-hari yang lalu. Hari-hari setelah kepulanganku dari kota membawa beberapa lembar pesangon. Namun, setibanya kembali di desa aku dilempar dan disumpahi dengan kata-kata menusuk bahwa tak ada lagi alam tempatku dan Mak berpesan, bergurau. Mauku, aku akan mengolah alam dengan Mak sebab tak ada lagi pekerjaan yang mampu kupanggul di perkotaan. Namun, Mak dan alamku telah pergi—meninggalkanku dalam diam sebelum diajarkan membidik dan berperang. Lebih-lebih sekarang, aku menyaksikan wanita-wanita itu bergumul di beberapa petak lahan padi. Dihadapannya ada sebilah papan dan tangan terampil mereka melibaskan padi diatasnya. Lain lagi dengan wanita yang sedang menyunggi keranjang batu di atas tebing. Wanita-wanita yang sedang memandikan anak-anak mereka di kali kecoklatan. Juga wanita-wanita yang sedang dipingit menunggu nasib baik datang menjemputnya.
“Dimana Ipah sekarang? Apa sudah tidak bertani lagi?” tanyaku memecah keheningan sembari mengarungi gabah yang siap digiling.
“Keluarganya sudah dapat uang ganti rugi atas lahannya, Lam. Dia sebentar lagi akan menikah dengan anak si tuan tanah. Tentu saja itu semua permainan dari penguasa itu”
Napasku tercekat mendengar kabar dari Atun pasal Ipah. Selama ini, aku mengenal Ipah sebagai wanita yang ambisius mana lagi dia dulunya adalah aktivis. Padahal aku sudah bertekad dengannya untuk melawan para penguasa.
“Mau berapa banyak nyawa yang ia tumbalkan untuk perut lapar mereka? Kalau begini caranya, tak ada jalan bagi kita lagi, Nilam” sahut Ratri terdengar pasrah.
Benar, aku jadi teringat. Nenek yang selalu marah apabila Mak sudah mengangkat parang dan lampu minyak di kedua tangannya. Menembus dinginnya fajar untuk pergi ke seberang desa. Tangisanku pecah di gendongan nenek kala melepas hangatnya pelukan Mak. Sampai sekarang bahkan ketika Mak sudah pergi, nenek tetap enggan bercerita. Nenek hanya mengatakan Mak begitu keras kepala dan berjalan dengan gontai di sepanjang hulu hingga hilir sungai seberang desa. Hanya satu yang kutahu dari Mak yakni Mak senang menumbuhkan benih kemudian berbicara dengannya sepanjang hari. Bahkan lebih dari yang Mak lakukan padaku. Hanya sebatas itu.
***
“Ini bisa jadi panen terakhir, jadi manfaatkanlah dengan baik selagi para tuan tanah masih berbaik hati tidak menggusur kalian” ucap Ketua Tuan Tanah sembari menghempaskan asap cerutunya yang mengepul bebas di udara. Lawan bicaranya yang tak lain seorang petani tua hanya bisa bergeming. Tak ada perlawanan yang bisa kami berikan apalagi saat patok-patok itu mulai ditancapkan dengan gusar. Kaki tangan si penguasa niscaya menderaikan tawa sesaat mereka berhasil mengalihkan lahan rakyat untuk urusan perutnya. Amarahku makin memuncak tatkala menyadari tak ada hal yang bisa ku perbuat.
“Semua lahan bisa saja habis kalau aku berkehendak” tambah Ketua Tuan Tanah itu. Tawanya menggelegar diatas kepiluan nyawa-nyawa yang menjaga alam dengan baik. Sekali lagi, petani dan kami orang kecil hanya diam seribu bahasa. Menelan pahit-pahit kebusukan yang diutarakan Ketua Tanah itu tadi. Sambil lamat-lamat menitipkan salam pada setiap biji yang terbuang.
Jangan pernah mati, benih itu hanya tertidur sebentar kemudian bangun dan menjadi luar biasa.
***
Hari semakin gelap dan wanita-wanita desa mulai sibuk merapikan pekerjaan mereka hari ini. Samar-samar dari kejauhan tampak beberapa wanita berkerudung yang tengah menatap kami dengan nanar. Meski wanita sudah boleh keluar desa untuk mengadu nasibnya tetapi budaya perjodohan masih mengakar kuat di tanah ini. Tak ada yang berani menghapuskannya, sebab sebenarnya ini bukanlah budaya tetapi jalan keluar. Daripada masa depan, urusan makan dan kebutuhan hidup tentu lebih penting. Begitulah kiranya yang ku pahami dari sorot mata wanita-wanita itu.
Walau sama-sama bergantung pada alam, kebisingan itu tak pernah sedetikpun berhenti membabat habis isi dari tanah kami. Mesin-mesinnya terus menegeruk sampai-sampai membuat tanah memuntahkan sesuatu yang asing seakan memelas minta pertolongan. Ramai ku dengar riuh orang-orang yang mungkin diantara mereka adalah penguasa, tuan tanah, dan orang-orang yang telah berkongsi dengan mereka. Disinilah rasanya aku ingin mengetahui rahasia apa yang Mak sembunyikan. Sekali waktu, Mak nya Ipah pernah melihat Makku berkelana kesana kemari menjelang pagi di sekitar tempat penguasa itu. Perempuan sepantaran Mak itu melihat dengan jelas bagaimana Mak ku terlihat dan itu persis dengan yang selalu ku dengar dari Nenek. Aku langsung terkesiap selesai mendengar tutur Ipah. Takut kalau-kalau Mak tega menghabisi salah satu atau beberapa nyawa dari kaki tangan penguasa. Dan sedikit banyak, itu juga menjadi sebab Mak meninggal. Entahlah, tapi satu ku yakin Mak adalah orang baik dan mungkin ini caranya berjuang menghadapi para penguasa yang semena-mena di atas tanah adat kami.
***
Nenek kembali berhikayat di malam syahdu entah purnama ke berapa. Aku melihat sinar rembulan yang beradu terang dengan kilatan-kilatan cahaya lampu di kaki-kaki langit. Malam ini, nenek juga bersenandung hingga tak lagi kulihat kilatan cahaya itu. Sinar rembulan kini telah tertutup oleh awan hitam pekat. Segera ku tarik selimut agar menutup tubuh ringkih Nenek. Perlahan aku turun dari dipan dan meraih sesuatu yang terbungkus rapi di bawahnya. Sebuah besi tajam berukuran setengah meter dan lampu minyak yang sudah terisi penuh akan menemaniku menembus malam panjang kali ini. Aku mengalungkan kerudung hitam panjang dan memenuhi kedua tanganku dengan benda-benda itu. Langkah pertama sudah kulalui dan masih ada beribu langkah di depan. Mungkin aku akan sampai beberapa saat sebelum adzan shubuh berkumandang. Penerangan seadanya membuat penghlihatanku begitu terbatas. Sungguh, tak ada yang berani melewati jalan ini kecuali para penguasa dan antek-anteknya. Terlalu bahaya. Aku menghela syukur ketika ku lihat beberapa tanda aku hampir sampai. Di samping kiri ada sungai besar yang selalu diceritakan nenek dan orang-orang desa. Alirannya sangat deras meski akhir-akhir ini hujan tak pernah lagi mengguyur. Ah iya, itu mungkin bukanlah aliran air hujan. Aku menelusuri sepanjang pinggiran sungai dan banyak pohon besar ada juga tanaman kecil serupa yang ada di pekarangan. Sesekali aku menengok ke samping kanan dan kiri ada beberapa pohon besar serupa yang tampaknya baru saja selesai dibabat. Aku takut, aku bergetar. Tiba-tiba pikiranku melayang—membayangkan cerita Mak nya Ipah.
Bagaimana kalau mereka menyerangku? Bagaimana kalau aku mengayunkan besi tajam ini dan akhirnya membunuh mereka? Seperti yang mungkin dilakukan Mak? Ah tidak mungkin. Mak tidak mungkin membunuh.
Pikiran itu terus bergelut di dalam diriku. Pandanganku lurus ke depan—menyaksikan aliran sungai itu semakin deras. Airnya laksana gelas yang berisi air penuh dan siap ditumpahkan kapan saja. Suara riuh mulai terdengar di bawah. Perasaanku berkecamuk dan ingin rasanya kembali lagi ke desa. Namun belum sempat memikirkan itu, kurasakan kepalaku berdenyut kencang hingga akhirnya pandanganku kabur dan semuanya berubah menjadi gelap.
Akankah aku pergi menyusul Mak?
***
Aku berjalan mengekor Mak. Pemandangan sepanjang kiri dan kananku dipenuhi pepohonan rindang berwarna hijau. Ku lihat Mak sibuk menabur biji di tanah-tanah kosong. Beberapa wanita juga ikut melakukan seperti yang Mak lakukan. Mereka terlihat gembira. Tak ada lagi wanita dengan sorot memilukan di ujung jendela. Tak ada lagi wanita yang memandikan anak-anak mereka di air yang keruh. Semuanya tampak berbeda sebab kami tak merelakan kepergian Mak. Semuanya sebab Mak masih ada, sebab Mak menjaga tanah kami dengan baik. Sebab Mak adalah ibu, dan semua wanita adalah ibu. Ibu pertiwi…
***
Aku duduk di depan pekarangan menyambut keriuhan warga pagi ini. Lalu, sebuah tangan dengan kerutan yang jelas menyambar jemariku—menggenggamnya dengan erat. Ah, sepertinya Nenek akan berhikayat lagi. Aku sudah lama tak melihat Nenek melakukannya lagi dan sekarang aku benar-benar rindu akan itu
“Nilam, semua orang desa sudah berhasil menghidupkan kembali lahan mereka. Dan, pohon-pohon itu sekarang sudah tumbuh besar menahan air juga tanah. Terimakasih Nilam sudah mau melanjutkan perjuangan Mak, Terimakasih”
Aku mengulas senyum saat Nenek menyudahi pembicaraannya. Aku percaya pada Nenek meski pandanganku masih sama saat terakhir kali aku tak sadarkan diri. Semua masih gelap gulita tetapi aku percaya, di depanku ada sebuah masa depan. Masa depan yang selalu diidamkan semua orang terkhusus Mak.