Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siang itu terik menggigit, seperti waktu yang enggan memberi jeda pada lelah yang tak sempat dilafalkan.
Di pinggir jalan, aku menemukan becak dengan seorang bapak tua duduk mematung di dalamnya—seolah waktu pernah berhenti sebentar di wajahnya, lalu pergi begitu saja.
“Maaf, Pak. Bisa antar ke desa sebelah?”
Bapak itu menoleh, tersenyum dengan mata yang menyimpan ratusan kilometer kenangan.
“Bisa, Mas. Silakan naik,”
ucapnya, cepat dan ringan, seperti sudah terlalu sering mengantar orang yang tak sempat mengantar balik rasa terima kasih.
Aku duduk. Ia mulai mengayuh. Rantai becaknya berderit pelan, seperti punggung yang terus dipaksa kuat oleh kebutuhan.
Jalanan bergetar pelan di bawah roda besi—semacam doa diam-diam dari tanah yang sering diinjak tanpa dipedulikan.
“Baru dari mana, Mas?”
tanyanya sambil menoleh sedikit.
“Pulang kuliah, Pak,”
jawabku pendek. Suaraku kalah oleh suara napasnya yang mulai berat.
“Oh, calon sarjana rupanya.”
Tawa kecil menyusul. Ringan, tapi getir.
“Sekarang sekolah mahal, ya, Mas?”
lanjutnya, seperti memancing perbincangan yang sebenarnya sudah lama ia latih dalam diam.
“Iya, Pak. Makanya saya sambil kerja juga.”
Ia mengangguk. Tapi senyumnya menghilang seperti sinyal buruk menjelang hujan.
“Kalau boleh saran,”
katanya pelan,
“nanti setelah lulus, jangan buru-buru nikah.”
Aku melirik, curiga.
“Kenapa, Pak?”
“Kerja dulu. Cari uang dulu. Senengin orang tua. Mereka capek, Mas. Mungkin gak pernah bilang. Tapi beban mereka berat.”
Angin siang mendadak berubah dingin. Ia bicara seperti sedang menelanjangi isi pikiranku.
“Aku punya anak, Mas. Sama seperti kamu. Kuliah juga. Lulus. Kerja sebentar. Lalu nikah.”
Ia diam sebentar. Mungkin memilih kata yang tak terlalu pahit untuk ditelan.
“Sebagai orang tua, aku bangga. Tapi juga kecewa. Karena perjuanganku cuma dianggap selesai di hari wisuda.”
Aku tak menjawab. Diam adalah bentuk penghormatan paling tulus ketika tak tahu harus bilang apa.
“Kita ini, Mas… kadang harus ngutang, nahan lapar, kerja sampai malam. Semua demi anak bisa sekolah. Tapi anak cuma lihat hasilnya, bukan rasa sakit di baliknya.”
Tangis itu akhirnya jatuh juga. Pelan. Tapi keras di telinga nurani.
“Sebagai orang tua, aku gak minta balasan. Tapi bukan berarti gak ngarepin juga.”
Becak terus berjalan, tapi aku merasa tertinggal. Ada sesuatu yang tertinggal—entah akal sehat, atau ketenangan.
Berapa banyak orang tua seperti bapak ini, yang mempertaruhkan tubuh, waktu, bahkan masa depan demi seseorang yang kelak akan memanggil mereka “beban”?
Kita diajari menghormati guru, menghargai waktu, mencintai pasangan. Tapi tidak pernah diajari bagaimana memeluk ayah yang sudah tak bisa berdiri tegak karena menanggung terlalu banyak mimpi yang bukan miliknya.
Mungkin si anak juga sedang berjuang. Mungkin. Tapi saat seseorang telah menyerahkan seluruh hidupnya untukmu, “mungkin” bukan alasan. Itu pengelakan.
Banyak yang menyuruh menabung untuk masa tua. Tapi, bagi ayah-ayah seperti bapak ini, apa yang bisa ditabung selain lelah?
Negara diam. Sistemnya gak peduli. Kemiskinan dibiarkan berkembang biak seperti nyamuk di got birokrasi. Dan para bapak—mereka jadi korban paling setia.
Mereka tak punya asuransi. Tak punya pensiun. Tak punya suara. Yang mereka punya cuma pundak. Yang terus dipaksa kokoh, meski usia sudah lama minta berhenti.
Dan mungkin, kita semua lahir dari pundak seperti itu—yang dilupakan setelah kita bisa berdiri sendiri.
Perjalananku selesai di persimpangan desa. Aku turun. Menyerahkan uang dan sepotong hormat yang tak akan pernah cukup.
“Terima kasih, Pak,”
kataku pelan.
Ia tersenyum. Lalu pergi, perlahan, menyeret tubuh dan cerita hidup, yang sering dianggap sia-sia.
*****
Epilog
Kadang hidup tidak menunggu alasan untuk terus berjalan. Ia hanya menuntut kaki untuk tetap melangkah, meski arah sudah lama hilang di tikungan yang tak adil.
Dan di ujung pedal yang karatan itu, ada satu kebenaran yang tidak pernah diajarkan di sekolah manapun:
bahwa tidak semua pengorbanan akan diingat,
bahwa tidak semua cinta akan dimenangkan.
Bapak itu—dengan tubuh renta yang diseret oleh sisa niat dan sedikit harga diri—tak sedang mencari upah. Ia sedang menjemput pengakuan yang tak pernah dijanjikan.
Tapi kota ini terlalu sibuk dengan ambisi.
Jalanan terlalu bising untuk mendengar lelah yang tak bersuara.
Anak-anak tumbuh cepat, dan lupa lebih dulu.
Maka pundak-pundak seperti itu akan terus dikayuh ke mana-mana.
Tanpa tempat kembali.
Tanpa siapa-siapa yang menunggu.
Dan kita—yang pernah diantar oleh cinta yang tak bersyarat itu—akan terus mencari arti kesuksesan,
sambil tak sadar bahwa definisinya pernah duduk di becak lapuk,
dengan keringat yang ditertawakan kemajuan.
Tak ada yang abadi.
Tapi kelupaan selalu lebih cepat datang daripada penghormatan.
Dan bagi banyak ayah, itulah bentuk pensiun paling jujur:
dilupakan dengan tenang, oleh anak-anak yang dulu mereka perjuangkan dengan gemetar.