Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Pundak Perintis
0
Suka
100
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Nak, nanti pulang sekolah bantu ibu jualan yah?” ucap sang ibu yang melihat Syahrir sedang memakai sepatu di teras rumah. Mendengar permintaan itu, Syahrir sedikit cemberut. Dia punya rencana untuk bermain layangan dengan teman-temannya pada sore hari nanti.

“Yahh ibuu, aku mau main layangan sama Tono dan Rizal sore ini,” jawab Syahrir yang sangat takut kehilangan momentum bermain dengan kedua kawannya itu.

Sang ibu hanya bisa tersenyum. Dirinya memaklumi keinginan bermain sang putra daripada membantunya mencari sumber penghidupan. Memang sudah sewajarnya anak usia sekolah dasar banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan melakukan eksplorasi dengan lingkungan daripada memikirkan lembaran uang.

“Ibuu, aku berangkat yaa, Assalamualaikum….” salam Syahrir sambil menghampiri ibunya di pintu rumah untuk salim.

“Waalaikumsalam, semangat belajarnya ya nak!”

Ibu memperhatikan derap langkah anaknya itu sambil tetap membuka pintu rumah. Dia merasa waktu benar-benar secepat kilat. Bayi yang dahulu dirinya timang dengan ayunan, kini beranjak tumbuh menjadi anak kelas 5 SD yang baik dan mudah bergaul. Saat Syahrir sudah melangkah semakin jauh, ibu menutup pintu dan sejenak duduk di kursi sofa biru di ruang tamu.

“Ya sudahlah, mau gimana lagi. Anak-anak memang belum waktunya mikirin kebutuhan dapur,” gumamnya dengan meneguhkan rasa ikhlas di hatinya. Setelah rehat sejenak dari mempersiapkan kebutuhan sekolah Syahrir, ibu bergegas menyiapkan bahan-bahan berjualan ayam geprek untuk sore nanti.

“Baiklah, semoga tetap kuat!” ucap ibu sambil bergegas ke dapur.

Saat pembelajaran berlangsung, Syahrir mengikuti pembelajaran dengan baik seperti hari-hari biasa. Akan tetapi, ditengah pembelajaran Bahasa Indonesia, tiba-tiba dirinya mengingat permintaan sang ibu pada pagi hari tadi. Sang guru pelajaran tersebut, ibu Ranti, baru saja memberikan sebuah nasihat kecil tentang pentingnya seorang anak membantu kedua orang tuanya.

“Anak-anak, siapa yang di rumahnya masih suka merepotkan ibu dan ayahnya?” tanya bu Ranti kepada semua siswa di kelas.

Semuanya nampak kebingungan. Mereka masih belum paham apa yang dimaksud dengan ‘merepotkan’.

Ibu Ranti memberikan sebuah contoh sederhana, “Misalkan nih, ada orang tua kalian yang sedang berjualan. Bukannya ikut membantu, kalian malah memilih main. Hayo ngaku, siapa diantara kalian yang masih seperti itu?”

Mendengar contoh yang ibu Ranti ucapkan, Syahrir merasa sedikit malu. Wajahnya menjadi kaku dan berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.

Sang guru melanjutkan nasihatnya, “Anak-anak, ringankanlah beban orang tua kalian. Setiap harinya mereka bersusah payah mencari uang hanya untuk kalian makan dan sehat. Main boleh, tapi jangan berlebihan yah.”

Kalimatnya terkesan sangat sederhana, tapi sangat menusuk hati sanubari Syahrir. Dirinya teringat kalau beberapa hari terakhir ini malah lebih banyak bermain daripada membantu sang ibu di kedai untuk berjualan ayam geprek.

“Siap yah?” tanya bu Ranti.

“Baik bu.” jawab beberapa anak dengan suara yang pelan.

~

Jam di dinding rumah sudah menunjukan angka 15.50. Sebuah pengingat kalau sebentar lagi ibu harus berjualan sampai larut malam nanti.

“Bismillah, lancarkan hari ini ya Allah,” doa ibu dengan mengangkat kedua tangannya sebelum melangkahkan kaki keluar rumah. Sebuah tanda niat tulusnya yang ingin mencari penghasilan dengan cara yang baik untuk Syahrir dan sang adiknya yang masih berumur 2 tahun.

Namun saat menginjakan kaki di tanah halaman, tiba-tiba sang ibu melihat anak kecil dengan celana sekolah dan baju kaos oblong. Dan ternyata itu adalah Syahrir.

“Loh, katanya mau main layangan nak?” ucap sang ibu yang lumayan terheran.

Pertanyaan itu dijawab Syahrir dengan antusias, “Gak dulu deh bu. Aku mau bantuin ibu aja di kedai. Tunggu aku mandi dulu ya bu!”

Sontak sang ibu sedikit melototkan matanya. Nampak dirinya tidak menyangka anaknya yang ingin bermain sepanjang hari, tiba-tiba ingin membantunya berjualan.

“Bukannya mau main layangan sampai sore?” tanya ibu untuk memastikan.

Syahrir menjawab sambil tersenyum, “Hehe, gak jadi deh bu. Aku pengen bantu ibu aja. Sekalian belajar jualan juga. Mau main sama adik aja deh.”

Sungguh aneh tapi nyata. Sang anak yang sehari-harinya menghabiskan hidupnya dengan proses pembelajaran di kelas, kini mau membantunya berjualan di waktu yang seharusnya dipakai bermain. Meski aneh, sang ibu bersyukur dengan keputusan anaknya itu.

“Yo wis, mandi dulu sana.” Ucap ibu.

“Iya bu.”

~

Sampai di waktu maghrib, jalanan ramai oleh kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Para pelaku usaha dengan beragam produknya bersiap siaga menyambut jalan rezeki yang sedang mereka upayakan. Syahrir yang baru menunaikan solat di masjid depan lapak ibunya duduk sejenak disamping rak kecil yang sudah tersedia berbagai potong ayam crispy. Dirinya menggendong sang adik yang sedang tertidur pulas sambil terus memandang jalanan yang ramai.

“nak,” suara ibu yang terdengar dari samping kanannya.

Syahrir menoleh, “iya bu?”

“Kamu enggak lagi berantem sama Tono dan Rizal kan?”

Syahrir menjawabnya dengan lugas, “Enggak kok bu,”

“Terus kenapa gak jadi main?” ibu masih penasaran dengan keputusan anaknya yang tidak biasa ini.

Syahrir langsung menjelaskan apa yang terjadi saat di sekolah, “Gapapa bu, Tono dan Rizal masih baik kok. Aku cuman mau menuruti kata ibu Ranti saat di sekolah tadi. Kata beliau, anak harus bisa mengurangi beban orang tuanya. Jangan kebanyakan main juga, katanya enggak baik.

Mendengar hal tersebut, sang ibu merasa bangga.

“Alhamdulillah, terima kasih ya nak. Pantas saja kamu enggak jadi main,”

Waktu terus berjalan, pengunjung datang silih berganti di tengah jalanan dan waktu yang semakin malam. Syahrir sangat siap siaga membantu apapun yang ibu perintahkan. Bukannya kelelahan, dirinya semakin semangat melihat stok potongan ayam yang semakin berkurang. terlihat hanya tinggal 2 potong bagian dada dan 1 bagian sayap.

“Sedikit lagi ya bu,” ucap Syahrir.

Ibunya tersenyum dengan indah, “Iya nak, bentar lagi kita pulang.”

Dan yang diharapkan telah tiba. Pengunjung selanjutnya memborong semua potongan ayam yang tersisa.

“Halo ibu, saya beli semua itu ya!” ucap pemuda yang masih menggunakan jaket almamater kampusnya. Dia mengarahkan jarinya ke etalase tempat potongan ayam.

“baik nak, sebentar ya. Rir, tolong siapkan plastiknya ya.”

“Iya siap bu,”

Setelah ibu menggeprek dan mengemasnya beberapa saat, pemuda itu mengeluarkan uang dari saku celananya.

“Berapa semuanya bu?” tanya pemuda itu.

“Semuanya jadi 30 ribu dek,”

Memang sudah rezekinya, uang yang pemuda itu ambil dari saku celananya berjumlah pas dengan seluruh ayam geprek yang dibelinya.

“Nah Alhamdulillah pas bu,” pemuda itu memberikannya kepada sang ibu.

“Baik, terima kasih ya nak,”

“Sama-sama bu.” lantas pemuda itu beranjak pergi dengan menyalakan motornya.

Hari telah usai, sang ibu nampak bahagia dengan hasil pendapatan hari ini yang sedang di genggamnya. Melihat sang ibu bersiap pulang, syahrir membersihkan etalase produk dan seluruh area jualannya.

“Alhamdulillah, hari ini jualan kita habis rir,” sang ibu mengajak Syahrir bersyukur atas pencapaian kecilnya itu.

Syahrir yang sedang sibuk mengelap kaca etalase hanya menjawab sederhana, “Iya bu, Alhamdulillah.”

Setelah semuanya selesai, mereka pulang dengan berjalan kaki. Sang adik yang sempat bermain dengan Syahrir, kini kembali terlelap dalam dekapan ibu. Menapaki jalanan malam yang sudah hening dan hanya berhias suara jangkring dari pepohonan, ibu sesekali menatap anaknya itu dengan tatapan mendalam.

“Nak,” panggil ibu kepada Syahrir yang membuka obrolan.

Syahrir menoleh, “Iya bu?”

“Maafkan ibu ya, kamu tidak bisa seperti anak-anak lain,”

Seketika tatapan Syahrir lebih serius, dia bingung dengan perkataan yang baru saja keluar dari ibunya.

“Ada apa bu? kenapa harus minta maaf?” tanya Syahrir.

Sambil masih berjalan membawa beberapa peralatan jualan, ibu menjelaskan dengan bahasa yang ringan.

“Teman-teman kamu saat ini banyak menghabiskan waktu untuk bermain, tapi kamu rela kehilangan waktu mainmu untuk bantu ibu berjualan ayam geprek. Juga mungkin tidak harus dipusingkan dengan kebutuhan uang, tapi kamu bantu ibu untuk mencari nafkah.”

Syahrir terdiam, dia tidak tau harus meresponnya seperti apa. Semua yang ibu sampaikan sudah benar adanya.

“Ayah masih sakit dan belum bisa bekerja kembali, jadi ibu harus bisa kuat untuk hidup kamu dan adikmu. Maaf kalau kamu merasa semua ini benar-benar merepotkan,” lanjut ibu. Curahan hati itu sangat menusuk hati sanubari Syahrir.

“Iya bu, gapapa. Syahrir gak keberatan harus bantu ibu sampai larut malam gini,” jawab Syahrir.

Sang ibu melanjutkannya dengan nasihat, “Tapi percayalah nak, suatu saat yang kamu alami ini akan menjadi kenangan yang sangat indah. Kelak saat kamu dewasa nanti, memori hidup dengan penuh perjuangan seperti ini bisa berguna untuk kamu menghadapi hidup yang akan lebih rumit. Tidak apa lelah sejenak, karena manisnya hidup akan terasa setelah lelahnya perjuangan.

Syahrir terdiam. kalimat terakhir yang sang ibu ucapkan sangatlah indah. Sebuah kalimat yang akan menjadi pegangan hidupnya, sebagai sosok yang memang ditakdirkan hidup menjadi seorang perintis, ditengah lingkungan teman-temannya sebagai pewaris.

~

15 tahun kemudian, Syahrir telah tumbuh menjadi sosok pengusaha muda di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dirinya baru saja meresmikan cabang ke-2 dari usaha pecel bebeknya yang sudah dirintis sejak 3 tahun yang lalu. Karena kegigihannya, kini dia punya 10 orang karyawan.

“Selamat siang para hadirin, terima kasih sudah berkenan hadir di pembukaan pecel bebek milik kami yang kedua ini. Semoga pencapaian kami ini menjadi berkah dan mampu menjadi primadona kuliner oleh semua kalangan masyarakat.” ucap Syahrir dengan penuh kehangatan.

Sang ibu, ayah, dan adiknya nampak dari barisan terdepan turut bahagia melihat pencapaiannya. Pengorbanan di masa kecil dengan banyak kehilangan waktu mainnya untuk membantu sang ibu berjualan, kini menjadi pondasi dirinya dalam mencapai status hidup yang langka dimiliki orang seusianya. Benar yang sang ibu bilang dimasa lalu, “Manisnya hidup terasa setelah lelahnya berjuang.

~Tamat~


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Flash
Jejak Luka, Titik Cinta
Hans Wysiwyg
Novel
Trilogi Trimatra: Cita Punca Prawira
elrena._
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Flash
Bronze
Pengecut yang disukai Tuhan
K. Istiana
Cerpen
Hadiah Dari Nirwana
Sucayono
Cerpen
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
Firlia Prames Widari
Cerpen
menyelam ke dalam senja
natasya angelita
Cerpen
Sang Guru
Anjrah Lelono Broto
Flash
THE UNSUNG MELODY
Flora Darma Xu
Rekomendasi
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Flash
Kuasa Uang
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Aksara dan Visual Dalam Desa
Adam Nazar Yasin
Novel
Aksara 4 Cangkir
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Cahaya Aksara Dunia Maya
Adam Nazar Yasin
Flash
Bronze
Tertakar
Adam Nazar Yasin