Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Punarbhawa
1
Suka
253
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di Gerbong 7 Kereta Api Airlangga, Rajasa terdiam sejenak setelah berlarian dari pintu utama Stasiun. Nafasnya masih terengah-engah. Ia memeriksa tiket di ponselnya, memastikan kembali nomor kursinya. Sering kali terjadi salah naik gerbong karena salah baca, seharusnya nomor gerbong tertukar dengan nomor kursi. 

“Mas, benar ini gerbong 7?”

Rajasa terkejut dengan suara wanita berjaket pink dengan topi senada. 

“Oh iya, betul Mbak.”

Rajasa mencoba melihat kembali ponsel, memastikan sekali lagi. 

“Kayaknya Mas salah duduk deh.”

“Ini kursi 12A kan? Mbak nomor berapa?”

“Ini Gerbong 7 tapi ini nomor 11A.”

Rajasa melihat ke arah nomor kursi di atas tempat menaruh tasnya tadi. Dan, ternyata nomor menunjukan 11A. 

“Maaf Mbak, saya salah seharusnya kursi saya di depan.”

“Iya, nggak papa Mas.”

Rajasa duduk dengan tetap tenang. Dan, kemudian terlelap. Sementara KA Airlangga melaju melewati beberapa stasiun di Jawa Timur seperti Lamongan, Babat dan Bojonegoro. Seperti biasa, perjalanan kereta ini memang memakan waktu hampir 14 jam menuju Jakarta. Rajasa biasanya menggunakan pesawat untuk ke Jakarta, namun karena Ia dipecat beberapa bulan lalu, maka mau tak mau harus menghemat. 

Sebelumnya, Ia bekerja sebagai editor video di Perusahaan Media Besar di Jakarta. Entah, karena hasil kerjanya yang kurang atau karena situasi ekonomi yang tidak membaik yang menyebabkan Ia dipecat. 

Beberapa video karya Rajasa sempat menjadi trending topic di Youtube. Salah satunya tentang Perang Bubat. Ketika Prabu Hayam Wuruk yang hendak mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, Putri dari Kerajaan Sunda Galuh.

Teng Teng Teng!

“Pelanggan yang kami hormati, sesaat lagi kita akan tiba di Stasiun Cirebon Prujakan…”

Rajasa yang terlelap pun bangun. Ia melihat sekeliling, dan sudah banyak orang yang akan turun di stasiun ini. 

“Masnya nggak turun?”

Suara wanita di belakang itu terdengar nyaring di telinga. Dan, Rajasa pun menengok ke arah belakang. 

“Oh iya, Mbak. Ini mau turun. Berhentinya lama kan ya Mbak?”

“Iya Mas, agak lama disini.”

Rajasa kemudian bergegas turun. Ia memeriksa kantong, ternyata rokoknya telah habis di Surabaya tadi. Ia melihat sekeliling, dan melihat minimarket di arah pintu keluar. 

Langkahnya agak bergegas menuju minimarket. Kemudian, Ia menuju ke arah lemari pendingin berisi minuman kemasan. Dibukanya satu per satu, Ia bingung menentukan minuman yang berjajar rapi di bagian ujung minimarket. 

“Kopi Mas?”

Suara wanita itu terdengar familiar. Rajasa menoleh ke arah wanita. 

“Dyah?”

Wanita itu kebingungan. 

“Bukan, saya Dewi Mas. Sri Dewi.”

“Oh maaf, saya kira teman saya bernama Dyah.”

“Ngga papa Mas. Oh iya nama Mas siapa?”

“Saya Rajasa, Rajasa Nagara.”

Antrian di minimarket tidak hanya satu atau dua orang, hampir 10 orang yang menunggu untuk melakukan pembayaran. Sementar, Airlangga sudah memanggil di peron 3. 

“Mas Raja, kayaknya kita akan ketinggalan kereta kalau tetap ngantri.”

Dewi memandang ke belakang ke arah Rajasa.

“Mba Dewi, duluan saja. Saya harus membeli sesuatu terlebih dahulu. Keretanya kayaknya masih lama kok.”

Dewi berjalan cepat meninggalkan minimarket. Setelah langkah kakinya terakhir menginjak gerbong 7, ternyata Kereta itu langsung jalan. 

Rajasa membayar belanjaan, kemudian berlari mengejar Kereta Airlangga yang baru saja membunyikan tanda keberangkatan. 

Bruk!

Ia menabrak seseorang di depannya. Seorang Wanita berseragam, tag namanya bertuliskan Dyah Pitaloka. 

“Nggak papa Mas?”


“Maaf Mbak, saya nggak sengaja.”

Rajasa membersihkan pakaiannya, sementara Kereta Airlangga telah meninggalkan Stasiun Cirebon Prujakan. 

“Mas ngejar Airlangga tadi ya?”

“Iya Mbak, saya ketinggalan kereta.”

Rajasa masih tidak menyangka bisa tertinggal kereta, padahal besok Ia akan mengikuti interview di salah satu Perusahaan Besar di Jakarta. Dan, jika tidak bisa datang, maka posisi yang didambakan selama ini pun akan musnah. 

“Bagaimana ini ya Mbak?”

Rajasa berharap bisa mendapatkan pertolongan dari Dyah Pitaloka.

“Mas tenang dulu ya. Saya akan coba kontak Kereta Api berikutnya. Mas tunggu di ruangan saya dulu.”

“Terima kasih Mbak atas bantuannya.”

“Jangan panggil saya Mbak, panggil saja Dyah.”

“Baik Mbak…eh Dyah.”

Maharaja Sri Rājasanagara melihat lukisan wanita berparas cantik khas Nusantara. Lukisan ini sangat tersohor karena dilukis oleh Sungging Prabangkara, Juru Lukis ternama. 

“Lukisan siapakah ini, wahai Prabangkara? Parasnya begitu rupawan dan matanya begitu menawan.”

Prabangkara memberi hormat sebelum memberikan penjelasan. 

“Dyah Pitaloka Citraresmi.”

“Seorang dari negeri manakah?”

“Putri dari Maharaja Linggabuana, Sang Penguasa Negeri Sunda Galuh.”

“Kecantikannya sungguh paripurna dan sebuah kehormatan bisa mempersuntingnya.”

Kemudian, Gajah Mada muncul di balik Singgasana. Ia memberi hormat kepada Maharaja Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk. 

“Paduka Raja, Negeri Sunda Galuh merupakan salah satu negeri yang belum kita taklukan.”

“Jadi, apakah sebagai seorang Raja harus menikahi seorang demi menaklukan wilayah tertentu?”

“Paduka, dengan menaklukan Negeri Sunda Galuh, maka Majapahit akan menjadi penguasa di Nusantara ini dan menjadi sangat kuat.”

“Putri Negeri Sunda akan sangat bahagia jika dilamar dengan lamaran langsung. Siapkah lamaran ini dan undanglah Dyah Pitaloka Citraresmi dan Maharaja Linggabuana ke Istana.”

Titah ini seakan menegaskan bahwa pernikahan ini bukan murni pernikahan untuk menyatukan dua insan, namun hanya demi kekuasaan. 

Hayam Wuruk pun belum bisa memastikan apakah pernikahan ini akan berlangsung dan dengan pernikahan tersebut akan menyatukan seluruh Nusantara dibawah Kerajaan Majapahit. Hatinya masih terpesona dengan kecantikan Dyah Pitaloka. 

Mendengar Titah Maharaja Sri Rajasanagara, Maharaja Linggabuana pun terhormat dan menyampaikan kepada Putrinya. 

“Putriku, Maharaja Sri Rajasanagara dari Negeri Majapahit akan melamarmu.”

“Iya Baginda Raja, titah ini merupakan suatu kehormatan.”

“Jadi apakah Putri bersedia menerima lamaran dari Maharaja Majapahit?”

“Iya Baginda, hamba menerima dengan hati terbuka.”

“Patih, segera persiapkan pasukan dan kita akan berkunjung ke Negeri Majapahit.”

Pasukan Negeri Sunda Galuh telah tiba di Pasanggrahan Bubat. Titah Lamaran dari Negeri Majapahit ini mengikat petinggi Negeri Sunda Galuh, Maharaja Linggabuana dan Dyah Pitaloka untuk datang didampingi oleh sedikit pasukan.  

Setelah menempuh perjalanan melelahkan beberapa hari dari Negeri Sunda Galuh, pasukan beristirahat di Alun-alun Bubat, Bagian Utara Trowulan. 

“Baginda Maharaja Linggabuana, Kami diperintahkan untuk menjemput pasukan untuk berkunjung ke Istana Trowulan.”

Seorang utusan dari Maharaja Sri Rajasanagara menemui Maharaja Linggabuana di Passangrahan. 

“Baiklah, kami akan ke Istana Trowulan untuk menemui Baginda Maharaja Sri Rajasanagara.”

Ditengah perjalanan, Pasukan Negeri Sunda Galuh dihadang oleh Pasukan Majapahit. 

“Baginda, Mahapatih Gajah Mada memerintahkan untuk mencabut lamaran antara Maharaja Sri Rajasanagara dengan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi.”

“Kenapa dibatalkan? Sedangkan kami telah mengikuti titah lamaran tersebut?”

Sebelum kalimat tersebut terjawab, Pasukan Majapahit menyerang pasukan Negeri Sunda Galuh. 

Perang pun terjadi, dengan kekuatan yang tidak seimbang, pasuka Negeri Sunda Galuh pun berjatuhan banyak korban termasuk Maharaja Linggabuana dan Patih. 

Melihat korban berjatuhan termasuk Ayahandanya, Putri Dyah Pitaloka pun merasakan kesedihan mendalam. Dalam keresahan ini, Dyah Pitaloka pun ingin mengakhiri hidupnya. 

“Sungguh saya Putri dari Negeri Galuh Sunda merasakan kesedihan yang amat sangat dengan kematian Ayahanda.”

“Saya tidak sudi menerima lamaran dari Maharaja Sri Rajasanagara.”

Dyah Pitaloka Citraresmi pun mencabut tusuk rambutnya dimilikinya. Tusuk rambut itu diarahkan ke jantungnya. 

“Tunggu!”

Putri Dyah Pitaloka terpaku. Tusuk rambut itu belum sempat menghunus ke jantungnya. 

“Hentikan itu Putri. Saya bertanggung jawab atas nama Maha Patih Gajah Mada.”

Hayam Wuruk meminta Dyah Pitaloka untuk tidak melanjutkan perbuatannya. 

“Apakah cukup untuk menghidupkan kembali Ayahanda?”

“Tidak akan cukup, namun Saya berjanji akan membagikan wilayah di bagian tengah untuk Kerjaan Negeri Sunda Galuh.”

“Masih tidak cukup.”

Hayam Wuruk masih terpaku dengan kejadian ini. Dan, ingin agar Putri Dyah Pitaloka bisa mengobati luka batinnya akibat kematian Ayahandanya. 

“Bagaimana kalau kamu jadi Permaisuri di Majapahit dan memegang kendali beberapa kerajaan di Nusantara ini?”

Dyah Pitaloka masih mencerna petaka yang seakan terjadi dalam satu waktu. Namun, demi membalaskan kematian Ayahandanya, Ia harus menjadi yang Hayam Wuruk mau. 

“Baiklah, Saya akan menjadi Permaisuri di Majapahit.”

“Baiklah Adinda Dyah Pitaloka.”

Pernikahan tersohor di seluruh pelosok Nusantara pun terjadi di Istana Trowulan, Negeri Majapahit. Pesta digelar dengan mengundang seluruh Raja-Raja di seluruh Nusantara. Tidak hanya satu atau dua hari, namun selama seminggu pesta digelar dengan megah. 

Perang Bubat terjadi, namun Putri Dyah Pitaloka Citraresmi terhindar dari kematian dan diselamatkan oleh Hayam Wuruk. Dan, dari pernikahan inilah terlahir Putra Putri keturunan percampuran antara Negeri Sunda dan Negeri Majapahit. 

Sepuluh tahun setelah pernikahan dan dikaruniai dua anak, Permaisuri Dyah Pitaloka pun berkunjung ke Negeri Sunda Galuh, dan menegaskan bahwa Negeri Sunda merupakan bagian dari Majapahit dibawah Sumpah Palapa yang digaungkan oleh Gajah Mada. 

Semenjak Dyah Pitaloka berkuasa, Gajah Mada pun diberikan tanah tersendiri dan pensiun dari Mahapatih. Tak berapa lama kemudian, akhirnya Gajah Mada pun meninggal. 

—-

Skycar terparkir di atap rumah. Rumah kaca itu masih terpapar panas matahari. Cuaca hari ini tampak sangat panas bisa mencapai 40 derajat.

 

Sugeng sonten para pemirsa Nuswantara.”

Televisi itu pun menyala dari balik kaca. Rajasa menyiram tanaman dengan kapsul air. Tanaman itu kering akibat global warming yang menjadi-jadi. 

Dina iki, 15 Maret 2351 minangka dina sing istimewa banget.”

Rajasa melihat pesan yang masuk dari jam tangan. Satu pesan dari Dyah Pitaloka. 

Hon, we are going to the US tomorrow.”

What’s your preparation?”

Simple, Just wrote Bubat War and Prapancasarapura inscription.”

Perang Bubat tahun 1351, merupakan peringatan bersatunya seluruh kerajaan di bawah Majapahit dan mendeklarasikan sebagai Nusantara. Kerajaan Sunda Galuh yang belum takluk, akhirnya berhasil ditaklukan dan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi akhirnya menikah dengan Maharaja Sri Rajasanagara. 

“Nusantara is one of Kingdom beside United Kingdom.”

Nusantara terdiri dari beberapa puluh kerajaan dibawahnya dan telah berusia 1000 tahun pada 2351. Mata uang Gobog atau Picis dan lambang Negara yaitu panji Merah Putih dengan simbol Kerajaan Majapahit.

“Nusantara Kingdom, now please take your turn.”

As representation of Nusantara Kingdom, I am Dyah Pitaloka and Rajasanagara will present the value of our Kingdom.”

This kingdom applies divine values ​​with Hindu and Buddhist religions living side by side.

Apart from that, there are also humanitarian values ​​carried out by King Hayam Wuruk having good relations with several kingdoms such as China, Cambodia and Champa.”

The value of unity is realized by having two different religions in one government and living peacefully. Then there are popular values, with the existence of special professions in the kingdom that provide deliberative direction to society.

Dyah Pitaloka dan Rajasanagara pun bergantian menjelaskan value dari Kerajaan Majapahit yang merupakan cikal bakal dari Nusantara Kingdom.

Sesaat setelah presentasi tersebut, suara tepuk tangan pun bergemuruh di ruangan konferensi di New York. Konferensi ini adalah sidang tahunan United Nation dan Nusantara Kingdom merupakan salah satu Dewan Kehormatan dan setara dengan US dan UK. Belanda, Spanyol, Prancis dan Jepang menjadi anggota biasa dan dibawah dari Dewan Kehormatan. 

Good presentation!

Thank you Hon.”

Rajasanagara memberikan pujian setelah presentasi.

Aku arep ngomong karo kowe.”

  

Ngomong opo toh?”

Kowe gelem rabi karo aku?

Dyah Pitaloka terdiam saat di koridor gedung pencakar langit di New York itu. 

 “Menehi kulo wektu.”

Rajasanagara pun mengangguk pelan. 

And, Hayam Wuruk died because he was poisoned by Dyah Pitaloka?

Will history repeat itself?

Dyah Pitaloka tersenyum kepada Rajasanagara di koridor dan kemudian berbalik. 

Is it love poison? If yes, I am willing to be your wife?

Rajasanagara tertawa. Dengan menikahi Dyah Pitaloka, Anak dari Linggabuana, Wakil Perdana Menteri dari wilayah Sunda, maka dalam beberapa tahun Ia akan mulus menjadi Menteri. 

Yes, Hon. That's the poison of love.”

—-

Teng Teng Teng! Suara kereta api itu membangunkan Rajasanagara. 

“Mas sudah bangun?”

Rajasa bingung, sepertinya Ia telah melewati beberapa masa dalam tidur panjangnya. 

“Kereta api ke Jakarta itu jam 04.25 Mas.”

“Dan, sekarang jam berapa?”

“Masih jam 3.25 Mas.”

Rajasa menghela nafas. 

“Dyah ini asalnya dari mana?” 

“Saya dari Ciamis. Kalau Mas dari mana?”

“Saya lahir di Mojokerto, tapi tinggal di Surabaya sekarang.”

“Wah, kok kebetulan banget ya kalau Mas ini kayak Hayam Wuruk yang tinggal di Trowulan.”

“Iya, Dyah juga sama seperti Putri Kerajaan Sunda Galuh yang dilamar oleh Hayam Wuruk.”

Rajasa terdiam. Dyah pun terdiam.

“Tapi Dyah Geulis pisan.”

“Mas Rajasa juga ganteng.”

Tiba-tiba pandangan Dyah Pitaloka terasa sangat aneh. Seperti bukan Dyah yang sebenarnya.

“Tapi, Bubat itu penyebab semuanya.”

“Kenapa dengan Bubat?”

“Iya, perang Bubat menyebabkan Dyah Pitaloka pun meninggal beserta Ayahanda.”

“Meninggal? Bukannya Dyah Pitaloka menikah dengan Hayam Wuruk?”


“Dyah Pitaloka dibunuh oleh pasukan Majapahit di Alun-alun Bubat.”

“Bagaimana bisa?” 

“Iya tepat 800 tahun yang lalu, perang terjadi dan Dyah Pitaloka Citraresmi terbunuh.”

“Jadi, tadi itu mimpi atau halusinasi?”

“Itu bukan halusinasi.”

“Lalu, kenapa Dyah Pitaloka terbunuh, sedangkan saya melihatnya menikah dengan Hayam Wuruk?”

“Keyakinan kitalah yang berbeda.”

Rajasanagara berusaha mencerna kata-kata Dyah Pitaloka. 

“Mungkin, seharusnya kitalah yang akan memperbaikinya.”

“Kita? Memperbaiki?”

“Iya, kita berdua akan menjadi cerita yang dikenang dalam ratusan tahun mendatang.”

“Ah, ngaco kamu, Dyah. Sejarah itu sudah tertulis dan tidak mungkin berubah begitu saja.”

“Kau lihat bendera di atas itu?”

“Iya, itu bendera merah putih.”

“Bukan Rajasa, itu panji Merah Putih dengan lambang Majapahit.”

Kepala Rajasanagara itu terasa pening, dan menjadi sangat berat. 

Bruk!

Rajasa tersungkur ke depan. 

“Rajasanagara, kini saatnya mengubah sejarah kelam itu dengan cairan itu.”

Tubuh Rajasa diseret ke arah rel dan Dyah menunggu kereta yang dijadwalkan 04.25 itu lewat. 

Teeet! Teeet! 

Suara lokomotif itu begitu kencang di telinga. Dan, tubuh Rajasa yang lemah dan tidak dapat bergerak sedikit pun. 

“Selamat tinggal Rajasanagara, Raja Hayam Wuruk.”

-***- 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Punarbhawa
Salman Faris
Novel
Bronze
Anak Eks Tapol
Iwan Rokhim
Novel
Jurnal Perjalanan Siswa
Alif Rizaldy Azra
Flash
Alien
Ikhsannu Hakim
Novel
Bronze
BUKAN HARI KEMARIN
Siti rokhmah
Novel
DUA HATI
Rizki Ramadhana
Novel
Gold
Berjuang di tanah rantau
Bentang Pustaka
Novel
Saijah, Adinda, dan Kini
Trevija Sappho
Novel
N250: LANGIT TANPA BATAS
Rizki Ramadhana
Novel
Bronze
Cinta di Balik Senyuman Misey
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Ambang Senja
indra wibawa
Novel
Pendekar Gunung Ciremai
Nadiya Sasmita
Novel
Elang & Tragedi Trisakti 98
Siska Indah Sari
Novel
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Anisha Dayu
Novel
Gold
Di Balik Gerbang
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Punarbhawa
Salman Faris
Flash
Angin dan Daun Yang Jatuh
Salman Faris