Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari pertama di SMP selalu penuh dengan kecemasan, begitu juga dengan Iren. Meskipun dia adalah salah satu siswi yang cukup populer di sekolah dasar, transisi ke dunia SMP yang lebih besar dan lebih kompleks membuatnya merasa sedikit terasing. Teman-teman barunya tampak begitu percaya diri dan sudah memiliki kelompoknya masing-masing, sementara Iren merasa seperti ada jarak antara dirinya dan dunia baru ini. Semua orang tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri, dan Iren merasa sedikit tersisih meski banyak yang memujinya sebagai sosok yang cantik dan pintar. Namun, ada satu sosok yang menarik perhatiannya, El, seorang siswa kelas delapan yang tampak begitu populer. Wajahnya tampan, sikapnya santai, dan dia selalu dikelilingi teman-teman. Bagi Iren, El tampak seperti sosok yang berwibawa dan sedikit misterius, bahkan di tengah keramaian yang ada.
Namun, meskipun El terlihat begitu tenang dan percaya diri, Iren menemukan dirinya merasa canggung dan terasing dalam dunia baru ini. Hari-hari berlalu begitu cepat, hingga pada suatu saat, di tengah jam istirahat, El mendekati Iren yang sedang duduk sendiri. "Iren, kan?" sapanya dengan senyum lebar. Iren terkejut, namun ia langsung mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya. "Aku El," lanjutnya. "Boleh ngobrol sebentar?"
Iren hanya bisa menatap El yang berdiri di depannya. El, kakak kelas yang selama ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan, kini berbicara padanya. Mereka mulai berbicara tentang banyak hal, mulai dari pelajaran hingga hal-hal kecil yang terasa membosankan. Tanpa disadari, mereka mulai dekat. El sering mengajaknya makan siang bersama, dan mereka bertukar cerita tentang segala hal. Iren mulai merasa nyaman dengan El, merasa seperti ada kehangatan di dalam hati yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Tidak lama setelah itu, El mengungkapkan perasaannya. "Aku suka sama kamu, Iren. Mau jadi pacarku?"
Iren terkejut. Meskipun dia adalah gadis yang banyak digemari teman-temannya di sekolah, perasaan yang tiba-tiba muncul ini cukup membuatnya bingung. Namun, ada perasaan hangat yang mengalir di hatinya. Inilah pacar pertamanya, dan El, meskipun kakak kelas, tampak sangat baik padanya. Setelah sedikit berpikir, Iren akhirnya menerima ajakan El, meski ada sedikit keraguan di dalam dirinya. Ia merasa ragu apakah El benar-benar tulus atau hanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Namun ketika melihat senyum tulus El, Iren merasa tak ada salahnya untuk memberi kesempatan.
Hari-hari bersama El berlalu begitu cepat. Awalnya, semuanya berjalan dengan lancar. El selalu menunjukkan perhatian kepada Iren, mengajaknya pulang bersama, bahkan sekadar berbincang-bincang di waktu istirahat. Mereka menjadi pasangan yang terlihat serasi di mata teman-teman mereka. El yang tampak populer dan penuh pesona, dan Iren yang juga dikenal luas dan menjadi perhatian banyak orang, seakan menjadi pasangan yang sempurna. Namun seiring berjalannya waktu, Iren mulai merasakan ada yang berubah. El mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya, dan sikapnya pun mulai dingin. Pesan-pesan dari Iren yang dulu selalu dibalas cepat, kini sering terabaikan.
Iren mencoba untuk tidak berpikir buruk, namun di hati kecilnya ada perasaan tak nyaman. Meskipun dia sering dikelilingi teman-temannya, kesepian dan cemas mulai menyelimuti hatinya. Sampai akhirnya, suatu sore setelah sekolah, El memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. "Iren, aku rasa kita nggak cocok," kata El dengan suara datar. Iren merasa seperti ada yang terputus dalam dirinya, tetapi dia hanya mengangguk, berusaha menahan air mata. Tanpa banyak kata, mereka berpisah begitu saja.
Setelah perpisahan itu, Iren merasa kecewa dan terluka. Dia berusaha untuk move on, tetapi semakin hari semakin sulit. Ia bahkan merasa terasing dari teman-temannya, meski mereka selalu ada di sekitarnya. Iren menjadi lebih tertutup dan enggan membuka hatinya kepada siapa pun, bahkan ketika banyak cowok yang mendekatinya. Mereka selalu terpesona dengan kecantikannya yang memikat, tetapi Iren tidak ingin mengulangi pengalaman pahit dengan El. Hatinya terasa kosong, dan meski banyak yang mencoba menghiburnya, Iren tidak bisa mengusir perasaan kesedihan itu.
Waktu berlalu, dan hari-hari di SMP semakin terasa berat baginya. El sudah lulus dan melanjutkan ke SMA, sementara Iren masih harus menghabiskan tahun terakhirnya di SMP yang terasa semakin sepi tanpa kehadiran El. Setiap kali ia berjalan di koridor sekolah, ia merasa dunia seakan berjalan lebih cepat, meninggalkannya di belakang. Meski banyak teman yang mendekatinya, Iren merasa hubungan mereka tidak lebih dari sekadar basa-basi, tidak ada yang benar-benar mengerti perasaannya. Rasa kehilangan El yang tak bisa digantikan oleh siapa pun semakin mendalam. Bahkan, ketika ia mendengar kabar bahwa El sudah punya pacar baru, perasaan itu seolah menghantam hatinya dengan lebih keras lagi.
Sementara itu, El yang sudah lulus dari SMP ternyata merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Meski dia bisa dengan mudah bergonta-ganti pacar, ia merasakan sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh siapapun, yaitu Iren. Selama ini, ia mengabaikan perasaannya sendiri, tetapi kini ia sadar bahwa Iren bukanlah sosok yang bisa begitu saja dilupakan. Setiap kali melihat Iren di media sosial atau mendengar kabar tentangnya, El merasa seolah ada ruang kosong yang tak bisa diisi dengan apa pun.
Waktu berlalu, dan Iren kini beranjak ke dunia SMA, berbeda dengan El yang sudah menduduki bangku kelas sebelas. Iren tetap menjadi sosok yang sangat populer di SMA, dikenal sebagai gadis cantik dan pintar yang digemari banyak orang. Namun, baginya tetap saja ada rasa kosong yang kadang menyelinap di hatinya. Sedangkan El tetap melanjutkan hidupnya di SMA dengan lebih tenang. Mereka jarang sekali bertemu, hanya sesekali bertemu di acara sekolah besar atau pertemuan dengan teman-teman lama. Iren merasa sudah cukup dewasa untuk tidak lagi terikat pada masa lalu. Ia berusaha mengabaikan kenangan tentang El yang pernah mengisi hari-harinya di Sekolah Menengah Pertama itu.
Hingga suatu hari, sebuah undangan reuni angkatan SMP tiba di tangannya. Acara tersebut diadakan di sebuah restoran kecil di pusat kota, dan Iren merasa ragu untuk datang. Banyak kenangan yang belum sepenuhnya ia lupakan, terutama soal perpisahan dengan El. Namun, dorongan untuk bertemu teman-teman lama dan menutup babak tersebut membuat Iren akhirnya memutuskan untuk hadir. Ia berharap reuni ini bisa memberi penutupan yang layak untuk semua perasaan yang terpendam.
Reuni itu terasa asing dan akrab dalam waktu yang bersamaan. Teman-teman lama tampak berbeda, banyak yang sudah tumbuh dewasa, sementara Iren masih merasa sedikit canggung. Ketika dia memasuki ruangan, tiba-tiba seseorang mendekatinya. "Iren," suara itu terdengar begitu familiar. Iren menoleh dan menemukan El berdiri di depannya dengan senyum tipis. "Gimana kabarmu?" tanya El, lebih lembut dari yang Iren ingat.
Iren hanya tersenyum kecil, sedikit kikuk. "Baik, kok. Lama nggak ketemu," jawabnya, berusaha menjaga jarak.
Mereka berbicara sebentar, dan meskipun awalnya terasa canggung, percakapan itu mulai mengalir dengan lebih nyaman. El bercerita bahwa setelah perpisahan mereka, dia sempat berjuang untuk move on, namun ternyata banyak hal yang belum dia selesaikan. "Aku sadar, Iren. Waktu itu aku nggak siap. Aku langsung melanjutkan hubungan tanpa benar-benar memahami apa yang aku butuhkan," kata El dengan nada yang berbeda, lebih penuh penyesalan. Iren bisa melihat bahwa El bukan lagi sosok yang ceria dan penuh permainan, melainkan lebih serius dan penuh kesadaran akan apa yang telah dia lewatkan.
Iren mendengarkan dengan seksama, dan meskipun dia merasa kesal dengan cara El memperlakukan perasaan mereka dulu, dia bisa melihat perubahan pada El. "Aku nggak akan bisa mengubah apa yang sudah terjadi," lanjut El. "Tapi aku ingin mencoba memperbaiki semuanya jika kamu mau."
Iren terdiam. Kenangan tentang hubungan mereka yang singkat namun penuh ketidakpastian datang kembali. Namun, kali ini dia merasa ada perbedaan dalam sikap El. El yang dulu tampak begitu ceria dan penuh permainan kini lebih serius, lebih penuh kesadaran akan apa yang telah dia lewatkan. Iren pun merasa ada keraguan dalam dirinya, namun juga sebuah keinginan untuk memberi kesempatan lagi. "El," Iren mulai berbicara dengan suara
pelan, "Aku nggak tahu apa ini adalah keputusan yang benar. Tapi aku lihat kamu benar-benar berubah."
El tersenyum lega. "Aku tahu kamu ragu, dan aku nggak akan memaksamu. Tapi aku benar-benar ingin mencoba lagi, Iren. Dengan serius."
Setelah beberapa kali pertemuan yang lebih intens, di mana El menunjukkan keseriusan dan usaha untuk lebih memahami Iren, dia mulai membuka hati. Meskipun masih ada keraguan, Iren akhirnya merasa yakin bahwa El benar-benar berubah. Mereka kembali menjalin hubungan, kali ini dengan dasar yang lebih kuat dan lebih matang. Tidak lagi penuh dengan permainan, tetapi dengan usaha yang tulus dari keduanya.
Di suatu sore yang cerah, setelah berbulan-bulan berusaha, mereka berjalan berdua di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu di SMP. El menggenggam tangan Iren dengan lembut dan berkata, "Aku nggak akan pernah lagi membuatmu merasa seperti dulu, Iren. Aku serius kali ini."
Iren menoleh, melihat ketulusan di mata El. "Aku juga serius," jawabnya, sambil tersenyum. Kini, mereka tahu bahwa cinta yang pernah hilang bisa tumbuh kembali, lebih kuat, lebih dewasa.