Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Seorang pria muda terduduk lesu di sudut ruangan persegi yang sempit. Kepalanya bersandar lemas pada dinding putih yang dingin. Dia ingat pertama kali menginjakan kaki di kota ini empat tahun yang lalu. Penuh semangat untuk belajar. Ia ingin menjadi dokter demi ibunya. Tubuh perempuan yang disayanginya itu sangat lemah. Terutama setelah melahirkan dirinya. Obat dan suplemen apapun tidak dapat membantu. Takdir kehidupan kata ayah.
Pria muda itu memejamkan matanya rapat-rapat. Pikirannya sibuk berkelana menyusuri kenangan-kenangan lama. Ibunya ada di sana. Tersenyum penuh sayang.
Pria muda itu terisak. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Merengkuh kenangan mungkin hanyalah kesia-siaan. Tapi tak ada hal lain yang dapat dilakukannya sekarang. Ayah pria muda itu menelepon sepuluh menit yang lalu. Suaranya yang serak bergetar ketika mengabarkan berita duka itu.
“Ibu meninggal. Untuk sementara Ayah tidak bisa menghubungimu. Jaga dirimu dengan baik. Jangan keluar rumah saat hujan. Makanlah yang teratur. Belajarlah dengan baik. Ayah menyayangimu ....”
Telepon kemudian ditutup, tanpa pria muda itu sempat mengatakan apapun.
***
“Toni, kamu oke?”
Pria muda yang disebut namanya mengangguk.
“Aku sungguh tidak boleh membantu?”
“Aku sudah terlalu sering merepotkanmu.”
“Kamu yakin pulang minggu depan?”
Toni mengangguk.
“Ya .... Lagipula aku merasa aneh. Ada suara berisik yang asing ketika ayah meneleponku hari itu. Aku khawatir, Rey ....”
“Paling tidak pakailah uangku. Lalu segera pulang. Untuk apa menerima tawaran iklan pekerjaan yang tidak jelas itu!”
Toni terdiam sejenak.
“Bayarannya besar, Rey. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk kuliah di sini. Dan lihatlah sekarang .... Sama sekali tidak ada hasilnya. Aku akan mendapatkan uang itu dan hidup bersama ayahku.”
Toni menepuk bahu Rey. Lalu berjalan pergi dengan sebuah surat kabar dalam genggamannya. Kawannya menatap Toni dengan cemas. Setelah kepergian ibunya, Toni tidak lagi mengerjakan proposal penelitiannya dengan benar.
Kemarin proposal itu ditolak lagi. Ayahnya juga tidak dapat dihubungi. Toni sudah kehabisan uang. Rey mengerti kalau Toni hanya ingin pulang, tapi .... menangkap alien?
***
Sudah seminggu ini Toni mengamati gerak-gerik perempuan muda itu. Mereka bertetangga begitu lama, tapi baru kali ini Toni benar-benar memperhatikannya. Perempuan itu selalu mengenakan jas hujan ke mana pun ia pergi, bahkan di hari yang luar biasa panas sekalipun.
Beberapa waktu yang lalu mereka berpapasan di pintu masuk rumah susun. Mata perempuan itu berkilat aneh. Toni tidak salah lihat. Mata perempuan itu berganti warna.
Hari ini perempuan muda itu sibuk berkemas. Ia keluar dari kamarnya pukul setengah dua dini hari. Toni yang waspada mendengar langkah kaki perempuan itu melewati kamarnya. Ia segera mengencangkan tali sepatu ketsnya. Membuka pintu kamarnya perlahan, lalu menutupnya dengan hati-hati. Ia kemudian sibuk mengendap-endap di belakang perempuan itu. Baru beberapa langkah berjalan, Toni terlonjak kaget. Ponselnya bergetar. Pesan dari Rey.
Perempuan berjas hujan sudah tiba di anak tangga terakhir. Ia mendadak menoleh ke belakang. Bola matanya terpicing tajam serupa mata kucing. Toni membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya berdegub kencang. Tak salah lagi. Perempuan itu bukan manusia. Toni berharap perempuan itu belum menyadari keberadaannya.
Pintu masuk rumah susun terbuka. Dalam sekejap mata, perempuan itu sudah berada di luar. Ia tampak buru-buru. Toni cepat-cepat menuruni tangga. Ia sampai di pintu depan ketika sebuah mobil hitam menjemput perempuan itu. Toni mulai panik. Ia bergegas menuju tempat parkir. Rey menunggunya di sana.
“Cepat ikuti mobil itu, Rey!”
“Aku tak percaya membantumu melakukan ini.”
“Aku pun tak percaya melakukan ini.”
“Bagaimana kamu tahu dia akan pergi?”
“Aku melihatnya membeli koper dua hari yang lalu. Sejak itu aku terus berjaga semalaman.”
“Luar biasa .... Lalu bagaimana kamu akan menangkapnya?”
“Aku akan menghubungi organisasi begitu kita tahu tujuan perempuan itu.”
“Oke .... kencangkan sabuk pengamanmu.”
***
Kedua sahabat itu tiba di sebuah ladang yang terbengkalai. Rerumputan dan alang-alang kering kerontang. Pohon-pohon besar menjulang di sekeliling ladang. Dahan mereka mengayun pelan diterpa angin malam. Toni bergerak di antara bayang-bayang. Ia sudah menghubungi organisasi. Kini ia harus mengulur waktu agar perempuan itu tidak kabur.
“Ber-Berhenti! Kalian berhenti di sana!”
Perempuan muda menoleh. Seorang lelaki bertubuh besar berdiri di sampingnya.
“Organisasi sedang dalam perjalanan menuju tempat ini. Kalian tak akan bisa lari. Me-mereka akan membawa kalian ke tempat yang semestinya.”
Toni menyadari suaranya bergetar. Ia tahu bahwa dirinya tidak seberani yang diharapkannya. Bagaimana jika kedua alien itu melukai dirinya? Atau Rey yang berdiri gemetar di belakangnya.
Perempuan itu tersenyum.
“Tempat yang semestinya, ya? Haha! Tempat macam apakah itu? Aku penasaran ...."
Perempuan itu berjalan mendekat. Bola matanya yang semula coklat, kini berwarna hijau terang.
"Apa sih, hal pertama yang muncul di pikiran manusia ketika mendengar kata alien? Jahat? Berbahaya? Ckck, kamu gampang sekali dipengaruhi oleh rumor dan informasi aneh yang bertebaran di sana-sini. Alien datang untuk mengambil alih dunia? Alien datang untuk memusnahkan manusia?"
Toni sudah ingin sekali pergi meninggalkan tempat itu. Punggungnya basah oleh keringat dingin. Namun, ia berusaha sedapat mungkin mengendalikan diri, dan berharap organisasi akan segera tiba.
Perempuan itu memandang wajah Toni yang pucat. Ia pun tertawa keras-keras.
"Ya ampun .... Jangan mudah percaya pada informasi di surat kabar. Wujud kami memang aneh, tapi sebisa mungkin kami berusaha berbaur dan mengikuti cara mereka hidup. Menguasai dunia? Mengendalikan umat manusia? Yang benar saja, Kawan. Kami hanya ingin pulang ...."
“A-Aku bukan kawanmu.”
Tawa perempuan itu semakin menjadi. Susah payah ia berusaha mengendalikan diri. Tahukah betapa sulitnya hidup sebagai sosok yang bukan dirimu? Hidup dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi .... Sudah terlalu lama kita terjebak di semesta sempit ini."
Perempuan itu menengadahkan kepalanya ke langit. Tatapan matanya sendu dan penuh rindu.
“Nah, itu dia jemputan kita datang. Sebaiknya kamu ikut, Kawan. Bukankah kamu juga ingin pulang?”
Toni terperangah. Sebuah cahaya muncul di langit. Semakin lama semakin terang. Cahaya itu berasal dari sebuah benda asing berukuran super besar. Benda itu mendekat, lalu mendarat dalam diam di tengah ladang kering. Salah satu sisi dari benda itu terbuka. Seseorang bergegas keluar dari sana sembari melambaikan tangannya. Perempuan muda dan pria bertubuh besar segera berlari menghampiri. Toni diam tak bergerak. Sosok yang keluar dari benda asing itu mendekat mendatanginya; sosok yang sangat familiar.
"Toni, ayo kita pulang .... Tempat ini sudah tak lagi aman bagi kita. Maaf, Ayah butuh waktu lama untuk menjemputmu. Ayo kita pulang, Nak.”
Toni masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Sementara itu, raungan sirene organisasi terdengar mendekat. Rey yang gugup kini berdiri tegak. Ia mengambil sebuah benda hitam berat dari balik saku jaketnya.