Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“SELAMAT malam, Pak Ando.”
“Malam. Ini dengan siapa?”
“Saya Sunu, Pak. Asistennya Ibu.”
“Ibu?”
“Ya. Ibu Bapak. Eh, maksudnya Ibu Pak Ando.”
“Saya tahu. Ada perlu apa Mas?”
“Pertama-tama, semoga saya tidak mengganggu Bapak menelepon malam-malam begini.”
“Oh, nggak apa-apa, Mas. Kebetulan saya orang malam, jadi santai saja, he he he.”
“Terima kasih, Pak. Saya hanya menyampaikan pesan dari Ibu kalau Pak Ando diminta untuk pulang.”
Ah, akhirnya Ibu menyerah?
“Kalau boleh tahu, kenapa dia tiba-tiba meminta saya pulang?”
“Ada urusan penting, Pak.”
“Sudah pasti penting kan, kalau selama tiga tahun ini dia tidak mau bicara dengan saya, tiba-tiba meminta saya pulang?”
“He he he... betul juga, Pak. Nah, jadi begini, Pak Ando. Ibu meminta Bapak untuk pulang karena ada satu kepentingan yang harus dihadiri Pak Ando juga. Bapak harus menandatangani surat wasiat.”
“Hah? Surat wasiat?”
“Betul, Pak. Kata Ibu, Pak Ando sebagai anak satu-satunya akan mendapatkan warisan rumah yang sekarang beliau tempati.”
Ah, mana mungkin? Usia Ibu masih 60-an, dan sekarang—setidaknya terakhir aku bertemu dia—masih sehat.
“Ibu sakitkah, Mas?”
“Tidak, Pak. Ibu sehat wal afiat.”
Ha, kalau begitu aku harus hati-hati. Ada dua kemungkinan. Pertama, Ibu membujukku pulang untuk mengajak berdamai. Lha kok enak! Kalau memang niatnya ingin berdamai, seharusnya dialah yang meneleponku langsung, bukan lewat asistennya. Atau, kalau mau lewat asistennya, ya asistennya yang datang ke sini, bukan lewat telepon.
Kedua, bisa jadi Ibu sedang mencoba menjebakku. Nanti, begitu aku pulang, Ibu akan memberi kejutan, mempertemukan aku dengan perempuan pilihannya untuk jadi jodohku. Bah! Mana bisa aku dibodohi?
“Oke, Mas Sunu. (Aku ikuti saja dulu skenarionya). Jadi, saya tegaskan lagi, saya akan mewarisi rumah Ibu?”
“Betul, Pak.”
“Mas Sunu sudah berapa tahun bekerja dengan Ibu?”
“Satu tahun lima bulan.”
“Sudah lumayan mengenal rumah itu, dong.”
“Alhamdulillah sudah.”
“Tapi jelas belum punya memori sepadat memori saya.”
“Wah ya jelas kalau itu, Pak. Kalau boleh tahu, kenangan apa yang paling melekat di hati Pak Ando dari rumah itu?”
“Kalau kenangan tentu sangat banyak. Kan saya lahir dan besar di rumah itu. Tapi kenangan yang paling kuat melekat ada dua, dan sayangnya keduanya berlawanan—indah dan buruk. Yang indah adalah ketika umur saya masih 10 tahun. Bapak almarhum dan Ibu meminta saya untuk memberi nama setiap ruangan dan bahkan setiap benda yang ada di rumah tersebut. Tidak hanya itu, saya juga diminta untuk selalu berinteraksi dengan benda-benda itu, menganggap mereka adalah saudara saya. Jadi, saya selalu mengajak mereka ngobrol, memberi sentuhan lembut ketika membersihkan, merawat sepenuh cinta, dan seterusnya. Dan itu membuat saya sangat senang, seperti ada teman bermain dan berdiskusi.”
“Apa alasan Bapak-Ibu meminta itu?”
“Ada dua alasan yang saya baru tahu belakangan. Pertama, itu adalah cara Bapak-Ibu untuk membuat rumah tidak sepi. Maklum, Ibu terkena masalah reproduksi setelah saya lahir sehingga saya menjadi anak satu-satunya. Kedua, kata Ibu, berinteraksi dengan semua benda di rumah itu akan memberikan energi baik bagi rumah dan penghuninya. Dan terbukti, rumah itu benar-benar menjadi pelindung bagi kami, baik dari cuaca, bencana alam, maupun dari kejahatan manusia. Rumah itu adalah tempat paling aman dan nyaman bagi kami.
“Setidaknya sampai tiga tahun lalu, ketika terjadi suatu kondisi yang menciptakan sebuah kenangan yang tidak indah. Saya memutuskan untuk meninggalkan rumah itu karena berselisih dengan Ibu yang ternyata masih kolot dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ibu selalu memaksa saya untuk menikah—bahkan dia sudah menyiapkan calon istri untuk saya, sementara saya merasa belum siap. Ibu punya alasan, saya punya alasan, tapi tidak pernah klop. Kami menjadi sering bertengkar dan terjadilah perang dingin. Saya akhirnya memilih untuk meninggalkan Ibu dan rumah itu—yang sudah menjadi saudara bagi saya—sampai sekarang.”
“Maaf, Pak Ando, dengan kondisi hubungan seperti itu apakah Pak Ando akan menuruti permintaan Ibu untuk pulang?”
Harus. Selain untuk mengikuti skenarionya, sekaligus untuk membongkar alasan Ibu yang sebenarnya. Ah, ya! Aku akan mengajak Ninuk untuk berpura-pura menjadi pacarku. Jaga-jaga kalau Ibu menjebakku dan memaksakan perempuan pilihannya buatku.
Tapi kalau memang benar Ibu menyiapkan wasiat itu, ya… sudahlah. Ini berarti memang sudah saatnya berdamai dengannya. Nggak apa-apalah mengalah. Dan, hmm, demi rumah seharga 18 M itu.
“Tentu, Mas. Saya akan pulang.”
“Syukurlah. Kapan Pak Ando kira-kira akan pulang? Biar nanti saya sampaikan kepada Ibu.”
“Besok juga bisa. Saya akan izin absen ke kantor. Gampanglah itu. Bisa diatur. (Demi warisan rumah).”
“Baiklah kalau begitu. Saya izin mengakhiri pembicaraan ini. Kami tunggu Pak Ando besok. Selamat malam, Pak, selamat beristirahat.”
“Malam.”
**
“KAMU lihat, Ninuk, rumah itu masih tetap sama seperti ketika kutinggalkan tiga tahun lalu. Megah, gagah, dan terkesan angkuh, apalagi di tengah kampung seperti ini. Tapi begitu kamu masuk ke dalamnya, dari aromanya saja kamu akan merasakan kehangatan dan kedamaian. Eh, aku tidak sedang ngomongin Ibu, ya. Begitu masuk rumah itu, kamu jadi tahu mengapa rumah juga sering disebut dengan ‘kediaman’. Karena sejatinya rumah memang tempat yang nyaman untuk berdiam, bersantai, dan berefleksi.”
“Ya, begitulah seharusnya sebuah rumah kita fungsikan, Ndo. Sekarang, ayo kita sudahi memandanginya, segera masuk dan menemui ibumu. Kamu ketuk, gih, pintunya.”
**
“Sudah lima menit kita ketuk pintu ini dan teriak-teriak, tidak ada juga yang menyahut, Nuk. Coba kamu intip jendela di sana.”
“Ndo, itu yang di sedang makan di dalam ibumu bukan?”
“Ah, iya. Bu! Ibu! Ini Ando, Bu!”
“Kenapa dia diam saja, Ndo?”
“Bu! Tolong buka pintunya! Ini Ando anakmu!”
“Lah, dia sudah menoleh ke sini, memandangi kita dengan wajah angkuh, dan terus masuk kamar?”
Wah, ada yang aneh. “Kita tunggu dulu, Nuk.”
**
“Ndo, Ini sudah 30 menit dan Ibu nggak keluar-keluar juga. Gimana ini?”
Duh, Ibu nge-prank apa lagi ini? “Sebentar, aku telepon Mas Sunu.
“Mas, saya sudah di depan rumah, tapi Ibu tidak mau keluar. Mas Sunu di mana? Ada apa sebenarnya?”
“Loh, saya dan ibu sudah menunggu dari tadi di teras rumah. Pak Ando di depan rumah siapa?”
“Di depan rumah Ibu, dong. Mas Sunu yang di teras rumah siapa!”
“…Sebentar, sebentar…. Nah, oke, pertanyaannya adalah, nama lengkap Pak Ando adalah Aliando Andika bukan?
“Oh my God! Bukaaaan! Saya Andoro Prasetyo….”
“Astaga! Maafkan saya Pak Ando. Saya salah orang.”
“Ando, cepat ke sini! Ibu barusan mendekati jendela dan meludahinya.”
“Aaargh! Ninuuuuk, ayo kita balik!”
***