Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah mobil travel berhenti di salah satu jalan desa di daerah Jawa Tengah. Terlihat seorang wanita cantik yang baru saja turun dari dalam mobil travel, ia berjalan melewati sebuah gang paving yang menuju rumahnya. Rambut hitamnya kini telah disulap menjadi ash blonde, rambut ikalnya berubah menjadi lurus sempurna, warna kulitnya putih, bulu matanya lentik, hidungnya mancung, wajahnya tirus, bibirnya seksi, dagunya lancip, tubuhnya tinggi semampai, benar-benar kriteria wanita dambaan lelaki pada zamannya.
Desi berjalan bak seorang model, sambil menengok kanan kiri, berharap ada orang yang menyapa dan memujinya saat melihat dirinya yang kini telah berubah 999 derajat.
Namun nyatanya, tidak sesuai harapan. Gang yang menuju rumahnya sepi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Suara jangkrik pun tidak ia dengarnya. Kucing kampung yang biasa mondar-mandir di paving, juga tak nampak sepanjang jalan.
Sepi banget, abang-abang yang biasa pada nongkrong kemana ya? gumamnya, sambil menurunkan kacamata hitam ke hidungnya yang telah mancung. Ia pikir, mungkin kacamatanya yang terlalu gelap. Tapi pada kenyataanya sama.
Sepi ....
Dari jauh, Desi melihat Lilis yang tengah berdiri di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu sambil menangis. Dengan sombongnya, Desi segera mempercepat jalannya sebelum Lilis masuk ke dalam rumah.
"Ehm, Ehm, Lilis oi Lilis ... kenapa kamu menangis?"
Lilis hanya menunduk, sambil terus menangis. Desi dengan sengaja memperlihatkan jam tangan, tas, dan perhiasan yang ia pakainya.
"Lis, Lu kok diem aja? Eh Lis, kamu liat ni ... aku sekarang dah berubah, dah modis, gak kampungan lagi kaya dulu. Liat nih yang aku pakai, semuanya mahal. Kamu mau gak ikut kerja bareng aku? Gajinya lumayan loh ...." Lilis masih menangis dan menunduk.
Desi kesal sendiri dengan Lilis yang tidak menghiraukannya.
Tak lama Desi mencium bau aroma kapur barus, yang biasa ditabur di atas kain kafan.
"Hmmm ... bau apa nih? Kaya bau orang mati?" ujarnya, sambil mengendus-endus sekitarnya.
Aromanya semakin tajam, saat hidungnya ia deketkan ke arah Lilis.
"Lis, hari gini masih pakai kapur barus? Kaya orang baru meninggal aja. Nih cobain parfum punyaku wanginya tuh lembut, manis, bagaikan bidadari yang baru saja turun dari khayangan ...."
Desi mengambil parfum dari dalam tasnya dan segera ia semprotkan ke beberapa bagian tubuh Lilis.
"Eh Lis, ko kamu banyak kapas si?" tanyanya, sambil memunguti kapas yang menempel di rambut Lilis.
Desi semakin malas saat Lilis hanya menangis sepanjang tadi dan tak mau menatapnya, ia pun segera pamit.
"Terusin nangisnya Lis, sampe lebaran juga gapapa! Mau diajak seneng kok diem bae ..., huft!" gerutunya.
"Des ...."
Suara lirih itu terdengar, saat Desi berbalik hendak meninggalkan Lilis.
Dengan sebuah senyuman yang telah melebar, Desi kembali membalikkan badannya.
"Nah, gitu dong! Ngomong ...."
Saat Desi menoleh, ia terkejut. Lilis yang kini di hadapannya telah berubah menjadi sesosok pocong dengan kain kafan yang masih baru, beserta kapas putih yang masih menyumpal di lubang hidung dan sekitar wajahnya, bola matanya memutih dengan warna bibir pucat menambahkan poin-poin keseramannya.
"Ep-ep ... epo-epo-epo ... epo-cong ..., hwa ... pocong ...."
Desi lari tunggang langgang. Ia yang biasanya malas saat diajak lari pagi, mendadak berhasil menjadi pemenang apabila saat itu ada perlombaan.
Langkahnya begitu cepat melesat sampai ia lupa arah jalan pulang.
Dilihatnya rumah bercat kuning menyala dengan pintu yang masih sedikit terbuka. Dengan segenap jiwa dan raga, tanpa permisi Desi masuk ke dalam rumah itu.
"Tolong ... tolong ... tolong ...,"teriaknya.
Sesampainya di ruang tamu, ia belum melihat orang yang berada di dalamnya. Desi yang kecapaian, ia segera terduduk di lantai dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
"Punten, njenengan sinten nggih Mba?"
Terdengar suara lelaki yang sudah tak asing baginya.
Saat Desi menoleh ke belakang.
"Nyah??? Udin??? Lah ... napa gue harus masuk ke rumah Lu si Din?" keluhnya.
Udin segera menjawabinya dengan ketus.
"Emang kamu siapa? Orang kamu masuk-masuk sendiri! Gak ada ujan gak ada angin topan, tiba-tiba aja main nyelonong masuk!" Udin yang pangling dengan Desi yang ia lihatnya saat ini, terus menyelidikinya.
"Mau maling ya???" imbuhnya.
"Enak aja! Cantik-cantik gini di bilang mau maling! Liat ni yang gue pake. Semua mahal dan berkualitas. Lagian si rumah Lu caper banget warnanya ...."
"Eh suka suka gue, rumah rumah gue! Emmm, kaya kenal deh! Kamu Desi kan?"
"Iya! Anterin aku pulang ...," pintanya mendadak manja.
"Haha ... Des! Rumah Lu tuh di sana ... kenapa jadi di mari? Berapa RT yang udah Lu lewatin? Lu lupa jalan rumah Lu? Apa jangan-jangan kita jodoh? Emang si, kalau jodoh gak kemana ...," ledeknya sambil mengikuti gaya bahasa Desi.
Desi sengaja tidak menceritakan apa yang baru saja ia lihatnya, ia takut jika nanti Udin mengurungkan niatnya untuk mengantarkannya pulang.
Sebagai bukti cintanya, Udin mengantarkan Desi ke rumahnya dengan selamat tanpa kurang suatu apapun.
"Makasih ya Din, hati-hati di jalan ...."
"Sebagai gantinya, minta nomer WA kamu dong?"
Desi yang selama ini menghindari Udin yang mengejar cintanya, terpaksa ia memberikan nomer WhatsAppnya, sebagai bentuk terimakasih.
Dengan senyum sumringah, Udin kembali melajukan motornya.
Selang beberapa meter dari rumah Desi, Udin melihat Lilis yang sedang berjalan seorang diri di tengah kegelapan.
Dit!
Udin menyalakan klakson motornya.
Lilis segera berhenti melangkahkan kakinya.
"Lis, malam-malam begini mau kemana? Gak takut apa jalan sendirian? Nanti barangkali ada hantu ...," ucapnya sambil berbisik.
Lilis menoleh ke arah Udin, kemudian ia tersenyum.
"Ayo naik ...," ajaknya.
Lilis segera memboncengnya. Sepanjang perjalanan, ia bercerita tentang Desi yang tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam rumahnya. Walaupun Lilis sama sekali tidak meresponnya.
"Aku pantes sama Desi gak Lis? Emang kalau jodoh gak kemana ya, gak sia-sia aku nganterin dia. Jadi bisa dapetin nomer WhatsAppnya deh. Hehe ... eh Lis ... kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja? Sariawan?"
Saat laju motornya mendekati rumah Lilis, Udin mengendus aroma pandan, berbagai jenis bunga, dan juga kapur barus yang kerap ia jumpai saat ada orang meninggal baru.
Tiba-tiba Udin teringat Lilis yang baru saja di kuburnya tadi pagi.
"Lis ... Lilis ...."
"Iya bang Udin ...," Lilis menyahutnya dengan suara lirih.
Tangan Udin mencoba meraba ke belakang jok motornya. Di pegangnya gumpalan kapas di antara jari jemari tangan yang terasa sedingin es batu. Udin yang tau Lilis masih di belakangnya, mulai mengerem motornya, dan segera mematikan mesinnya.
Dengan tangan dan kaki yang sudah mulai lemas, ia perlahan menjagang motornya dan tak lupa mengambil kunci yang masih menggantung di lobangnya. Saat kakinya telah berhasil menapaki tanah, Udin segera berlari tanpa melihat ke arah belakang. Ia berlari tergopoh tidak mempedulikan motornya yang kini terparkir sembarang di tengah jalan paving.
*****
Pagi pun tiba. Beberapa warga nampak kebingungan melihat sebuah motor yang terkunci stang, berada di tengah paving yang membuat para warga sulit untuk memindahkannya.
Desi yang melihatnya saat hendak membeli sarapan, segera bergegas ke rumah Udin.
Sesampainya Desi di rumahnya, Udin pun menceritakan apa yang ia alaminya. Desi pun tertawa saat ia mendengarnya.
"Haha ... Sorry ya Din, gue gak cerita ke Lu. Kalau gue cerita, pasti Lu gak bakal mau nganterin gue pulang. Kan gue tau kalau Lu juga penakut."
Kejadian Lilis malam itu, mendekatkan Udin pada Desi yang selalu menghindar darinya.
Sebagai anak ketua RW, Udin bersama bapaknya beserta Desi yang tidak jadi membeli sarapan pagi itu, segera menghampiri motor Udin yang terparkir di tengah jalan paving. Mereka bertiga juga menyambangi keluarga Lilis dengan didampingi ketua RT setempat yang sudah diberi kabar sebelumnya.
Beberapa warga juga penasaran tentang kematian Lilis, dikarenakan keluarganya sama sekali tidak menceritakan penyebab kematiannya.
Setelah berdiskusi panjang lebar dengan dibawanya dua orang saksi, yakni Udin dan Desi. Akhirnya keluarga Lilis mau bercerita; jika Lilis sebenarnya meninggal akibat bunuh diri karena teror dari penagih pinjol yang menjatuhkan mentalnya. Sebagai orang tua yang sudah tidak sanggup bekerja, membuat mereka tidak bisa membantunya membayar pinjol Lilis yang telah menggunung. Mungkin itu yang menyebabkan arwah Lilis masih terkatung-katung.
Sebagai teman yang baik dan mempunyai uang banyak, Desi segera membayarkan hutang Lilis. Udin yang melihat kebaikan Desi, semakin dibuatnya jatuh hati.
"Pak, besok Udin mau nglamar Desi Pak!"
Desi yang sedari tadi sedang sibuk dengan ponsel Lilis yang sedang ia bayarkan hutangnya, matanya melotot ke arah Udin.
"Enak aja!!! Emang Lu pikir, gue mau?" celetuknya.
"Sombong amat!!!" Udin membalasnya.
Pak RT, pak RW, dan orang tua Lilis tertawa, sambil meledek mereka berdua yang belum juga akur dari semenjak SMA.
"Maaf bapak mau tanya, Desi sebenarnya kerja apa di luar kota?" Pak RT yang melihat warganya kini telah berubah total penampilannya bertanya penasaran, takut jika salah satu warganya tengah berada di jalan yang salah.
"Owh ... pasti pada penasaran kan aku bekerja sebagai apa? Iya kan? Iya kan? Tenang-tenang, walaupun tampilanku begini ... Insya Allah aku masih tetep di jalan yang benar dan selalu Istiqomah dalam beribadah. Jadi sebenarnya aku bekerja sebagai ............"
"Ooowh ...," ucap mereka serempak saat mengetahui pekerjaan Desi yang sebenarnya.
_Tamat_