Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
JUDUL :
PSIKOLOG MUDA THE MOVIE
Bab 1 Tentang Tiwi
Adinda Pratiwi, Biasa dipanggil Tiwi. Dia adalah murid baru di salah satu SMA Negeri di Bandung. Dia anak kedua dari tiga saudara. Kakaknya bernama Arimi sedang kuliah di Jogja. Adiknya Bima prakasa, masih SD kelas 4. Ayahnya seorang PNS, Ibunya seorang pengusaha UMKM bidang makanan dan cateringan. Tiwi anaknya berjilab, cantik, ceria dan ramah.
Seperti biasa setiap pagi di rumah Tiwi terjadi keramaian. Bunda setiap pagi menyiapkan makanan di meja makan. Dan mereka sarapan dulu sebelum berangkat. Bunda, ibu Tiwi. Keluar dari dapur membawa beberapa bekal makanan. Bunda menghampiri ayah, Tiwi dan Bima.
‘”Bima, ini bekalnya dibawa. Dan ini buat Tiwi.”
Lalu bunda duduk di dekat ayah.
“Nah ini buat Ayah.”
Ayah minum ramuan jamu buatan Bunda, lalu berkata.
“Terima kasih Bunda.”
Selesai sarapan, mereka semua berdiri dari kursinya. Lalu mereka semua menyalami Bunda untuk berangkat.
“Tiwi, kok bekalnya tidak dibawa?” Tanya Bunda.
“Bunda, Tiwikan sudah besar. Kemaren-kemaren Tiwi sudah bilang ke Bunda agar bekal Tiwi tidak usah dibuat. Masak harus bawa bekal sih? Udah SMA, Bunda....”
”Ayah saja yang sudah tua masih bawa bekal.” Bunda melirik Ayah.
Ayah yang dilirik cegar cegir saja. Kemudian bicara. “Bawa saja, masakan Bunda kan enak-enak juga.”
Tiwi tersenyum dan mengangguk.
Bab 2. MPLS (Masa perkenalan lingkungan Sekolah)
Sekolah SMA Negeri Nusantara Indah tempat Tiwi sekolah, adalah salah satu SMA Negeri favorit di Bandung. ini adalah minggu pertama Tiwi bersekolah di SMA. Tepatnya hari ketiga MPLS.
Ayah menurunkan Tiwi di depan sekolah Tiwi. Tiwi sebelum turun menyalami tangan Ayahnya. Lalu keluar mobil.
“Assalamualaikum....”
“Waalaikum salam, selamat sekolah nak. Belajar yang rajin....”
Saat ini Tiwi baru minggu pertama masuk sekolah. Masih masa-masa MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah). MPLS ini diisi dengan memperkenalkan lingkungan sekolah, guru-guru, mata pelajaran dan ekstra kulikuler. Hari ini adalah hari terakhir MPLS.
Di kelas, Tiwi duduk di depan sekali. Dia terlihat bicara dengan teman sebangkunya. Suasana kelas masih rame. Kemudian bel masuk berbunyi. Tidak lama seorang guru masuk ke kelas Tiwi. Tiwi dan murid-murid diam. Kelas menjadi hening.
Bu Guru menyapa murid-muridnya.
“Selamat pagi murid-murid....”
“Pagi bu....”
Terdengar suara murid - murid serempak.
“Nama saya Bu Gina, biasa dipanggil Maam Gina. Saya mengajar BK (Bimbingan dan Konseling). Yang ngajar guru BK di Sekolah ini ada dua ya. Satu lagi Pak Tio.”
Maam Gina mulai menerangkan pelajaran yang dipegang oleh dia. Termasuk tentang cita-cita. Maam Gina asik menerangkan pelajaran BK, serta mengatakan kalau butuh guru BK bisa ke ruang BK.
Murid-murid memperhatikan dengan seksama. Sedangkan Tiwi terlihat serius memperhatikan. Seakan-akan tidak berkedip. Sangking seriusnya. Dia juga terlihat berpikir keras. Mata indahnya terlihat berputar sebentar ke kanan dan ke kiri dengan kening sedikit berkerut. Dia memperhatikan seperti itu sampai Maam Gina selesai mengajar.
Selanjutnya sampai pelajaran MPLS hari itu selesai dia masih terlihat berpikir keras. Sampai Ayah menjemputnya, Tiwi tidak banyak bicara. Dia masih terlihat berpikir keras. Ayah paham. Biasanya kalau Tiwi begitu ada yang terjadi dan Tiwi butuh berpikir keras. Ayah memulai pembicaraan.
”Mengapa Tiwi? Kok kelihatannya serius sekali. Kenapa? Mikirin apa?” Masa perkenalan lingkungan sekolahnya sudah selesaikan hari inikan?”
Tanya Ayah sambil terus menyetir mobil.
“Iya Yah, sudah selesai.”
Kenapa diam saja? Ayo anak Ayah mikirin apa?”
“Ngak jelas belum, masih terpikir macam-macam.”
Ayah memutar kepala sebentar.
“Ada masalah dI Sekolah?”
“Nggak Ayah. Di Sekolah baik-baik saja.”
Tiwi melirik ke Ayah yang masih mengendarai mobil. Dan Tiwi juga melihat rumah mereka sudah kelihatan, bahkan Tiwi melihat Bima bermain sepeda dengan temannya keluar dari rumah mereka.
Rumah mereka memiliki halaman yang luas. Ada dua bangunan lagi selain rumah mereka di halaman itu. Yaitu bangunan tempat buat makan-makanan khas oleh-oleh Bandung dan sekitarnya. Untuk ini, Bunda memiliki karyawan sepuluh orang. Di sampingnya juga ada bangunan tempat masak-masak makanan jadi. Cateringan Bunda. Karyawannya ada sepuluh orang juga.
Bab 3. Cita-cita Tiwi menjadi seorang Psikolog
Malam hari di ruang keluarga rumah Tiwi. Terlihat Ayah dan Bunda sedang gobrol-ngobrol sambil nonton TV. Bima juga menonton TV. Hanya Tiwi yang tidak kelihatan, dia di kamarnya.
“Tadi pulang sekolah, Tiwi pendiam sekali, tidak banyak bicara. Tidak seperti biasanya.”
“Bunda belum ketemu Tiwi, paling nanti sebentar lagi dia keluar kamar. Atau kita suruh Bima panggil kakaknya.”
Bunda memanggil Bima.
“Bim, tolong panggil kak Tiwi.”
Bima berdiri ke kamar Tiwi. Mengetuk pintunya.
“Kak, dipanggil Bunda di ruang keluarga.”
Tiiwi menyahut dari dalam.
“Iya dek, bentar.”
Tiwi sudah berada di ruang keluarga. Dia langsung memeluk Ibunya. Dan duduk disamping Ibunya.
“Tu kata Ayah Tiwi lagi banyak pikiran. Emang mikirin apa?”
“Itu Bun, tadi di Sekolah ada perkenalan mengenai pelajaran BK. Guru BK bercerita tentang pelajaran BK. Juga tentang berbagai cita-cita. Katanya Siswa sekarang sudah harus tahu dengan jelas mau jadi apa. Agar gampang di kelas sebelas dan dua belas Bun. Jadi Tiwi tadi kepikiran tentang cita-cita Tiwi. Dari zaman dulu cita-cita Tiwi kan berubah terus Bunda. Sekarang Tiwi ingin cita-cita yang tetap dan tidak berubah-ubah lagi. Biar fokus dan gampang meraihnya. Gitu Yah. Itu yang dari pagi Tiwi pikirin di Sekolah.”
“Kok dari pagi mikirinnya? Perasaan Ayah tadi pagi Tiwi ceria-ceria saja.”
Tiwi tertawa kecil.
“Waktu mau berangkat memang belum kepikir Ayah. Tapi kan tadi pelajan BK nya itu jam pertama. Jadi dari jam pertama tadi Tiwi pikirin terus.”
Tiwi menjelaskan lalu diakhir ceritanya dia nyegir kecil dengan alis sedikit diangkat.
“O, Ayah pikir mulai mau pacar-pacaran nih. Ayah kasih tahu sekarang ya, soal cowok. Tiwi tidak boleh pacar-pacaran, sama berlaku semuanya untuk kak Arimi dan dek Bima. Berteman dengan semua boleh. Kalau nolak orang yang suka dengan Tiwi harus lembut jangan sampai menyinggung hati mereka. Di Islam tidak ada istilah pacar-pacaran. Kalau suka langsung lamar. Tapi jangan sekarang-sekarang juga. Bisa pingsan Ayah–Bunda.”
Ucap Ayah dengan serius tapi diakhir kalimatnya dia tertawa. Tidak terbanyang kalau anak gadisnya yang baru kelas satu SMA dilamar orang.
Tiwi yang mendengar ucapan Ayah langsung bicara.
“Ayah bicara apa sih? iya Tiwi paham dengan perkataan Ayah.”
Ayah lagi bicara.
“Jadi Tiwi mau jadi apa?”
Bunda ikut bicara.
“Iya, Tiwi sudah tahu mau jadi apa?”
Tiwi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tiwi masih bingung. Tapi sepertinya salah satunya jadi Psikolog deh Bun. Tadi juga dijelaskan mengenai Psikolog, dan Tiwi tertarik. Psikolog itu pekerjaannya apa saja sih Yah? Kira-kira Tiwi bisa tidak ya kalau jadi seorang prikolog?”
“Psikolog itu adalah tenaga profesional yang mempelajari perilaku, pikiran, dan emosi manusia. Psikolog dapat membantu mengatasi masalah psikologis, seperti gangguan kesehatan mental, kesulitan belajar, dan masalah perkembangan anak. Mereka membantu pasien dengan memberikan konseling psikologi. Kalau jurusan kuliahnya itu di Fakultas Psikologi. Ayah rasa Tiwi bisa saja kalau Tiwi mau. Tiwi kan orangnya ramah, ceria dan baik.
“Iya, tapi Tiwi harus siap untuk salah satunya curhat banyak orang yang bermasalah. Dan membantu menyelesaikan masalah mereka.” Bunda ikut bicara.
“Rasanya Insya Allah Tiwi siap Bunda.”
“Kalau Tiwi sudah siap baguslah. Tapi kalau cita–citanya mau berubah lagi juga boleh. Kan masih kelas sepuluh, baru juga tiga hari. Di pikir-pikir lagi juga tidak apa-apa. Ya kan Yah?” ujar Bunda.
Bunda menatap Ayah. Dan Ayah tersenyum mengangguk.
Bab 4. Setelah tiga bulan sekolah
Tiwi sudah bersekolah di kelas XF1. Tiga orang teman dekatnya di kelas yang berbeda. Teman-teman dekat Tiwi bernama Lina, Nadin dan Arum. Mereka berteman Dari SMP, bahkan ada yang dari SD. Nama pertemanan mereka itu adalah “Gang Pelangi.” Kalau jam istirahat mereka berkumpul di kantin jajan bareng atau ngumpul di salah satu kelas, makan bekal masing-masing. Di kelas X ini diwajibkan ikut ekskul pramuka. Mereka semua suka organisasi, kecali Arum. Paling malas ikut organisasi sekolah dan ekstra kulikuler (ekskul). Dia hobinya ke salon dan perawatan. Padahal baru kelas satu loh. Tapi dia memang anak orang kaya.
Suatu hari lio, anak kelas Tiwi dipanggil Maam Gina. Dia sudah seminggu bolos. Suatu siang jam istirahat ketika Tiwi dan teman-temannya mau ke katin. Dan mereka lewat ruang BK. Tiwi dipanggil Maam Gina. Maam Gina di depan ruang BK melambaikan tangannya ke arah rombongan Tiwi.
“Nak, kemari sebentar. (Melambaikan tangan).
Tiwi dan teman-teman mendekati Maam Gina.
“Iya Maam.” Ujar Tiwi.
“Ada yang kelas XF1?”
Memandang ke empat anak di depannya.
“Saya Maamm...” Jawab Tiwi.
“Dengan nak siapa ya? Maklum, murid Maam banyak. Jadi suka tidak hapal.”
“Tiwi, Maam. “
“Nak Tiwi tolong nanti kalau Lio ada kelihatan di kelas suruh ke ruang BK ya, dipanggil Maam bilang gitu ya. Apa Lio sudah masuk kelas? Seminggu dia tidak masuk kelas bukan?”
Tiwi agak bingung menjwabnya. Perasaan dia memang Lio tidak masuk kelas. Tapi dia tidak begitu yakin sudah seminggu apa belum?
Melihat Tiwi bingung Maam Gina baru nyambung.
“Ah ya, mungkin nak Tiwi tidak tahu ya. Kalau gitu tolong panggil ketua kelas saja kemari ya. Bilang dipanggil Maam.”
Tiwi menganggukkan kepala.
“Baik Maam....”
Mereka tidak jadi ke kantin, langsung ke kelas Tiwi. Tiwi mencari Dina si ketua kelas. Tapi Dina tidak ada di kelas, mungkin ke kantin. Jadinya mereka cuma bercerita-cerita menjelang bel masuk berbunyi.
Malam itu malam minggu, seperti biasa sehabis makan malam Ayah dan Bunda duduk-dukuk menonton TV, Dek Bima juga ada di ruang keluarga itu termasuk Tiwi.
“Bun,”
Tiwi memulai percakapan.
Bunda menoleh ke Tiwi. Ayah pun ikut menoleh ke Tiwi.
“Ada apa Nak?”
“Guru BK itu kerjanya hampir sama dengan psikolog ya?”
“Kenapa bilang gitu?”
“Kan BK (Bimbingan dan Konseling), Bun. Teman di kelas Tiwi sudah ada yang dipanggil ke BK tadi, karena bolos sekolah sudah satu minggu.”
“Iya, bisa dibilang hampir mirip. Memang kenapa?” tanya Ayah.
“Kalau Tiwi bergabung dengan guru BK untuk membuka biro konsultasi Tiwi bagaimana ya Yah, Bunda?”
“Maksudnya bagaimana?”
“Iya, bagaimana maksudnya tu?”
”Nanti Tiwi minta izin dengan guru BK untuk membuka biro konsultasi murid-murid Yah, Bunda. Nanti Tiwi yang akan selesaikan masalah murid-murid, kalau tidak bisa baru minta tolong ibu dan pak guru BK. Kira-kira boleh tidak ya Yah, Bunda?”
“Ayah rasa bisa saja, bicara saja dengan Bu Guru atau Pak Gurunya.
“Iya, coba bicara dengan Maam Gina.”
Bab 5 Terbentuknya Biro Konsultasi Tiwi
Pagi senen yang cerah. Sehabis Upacara bendera dan pelajaran pertama, kedua dan ketiga selesai. Bagi Tiwi waktu berjalan sangat lama menjelang jam istirahat pertama. Tapi dia tetap fokus pada pelajarannya. Akhirnya bel istirahat berbunyi. Walau Tiwi punya tiga orang bestie dari SMP dan bahkan dari SD. Mereka tidak setiap saat kumpul bersama di jam istirahat. Karena ya beda kelas. Tapi mereka masih suka ngumpul selain di luar sekolah. Di rumah salah satu atau bahkan duduk main di cafe atau tempat nongkrong anak muda lainnya.
Begitu lonceng berbunyi dan guru yang ngajar matematika keluar kelas, Tiwi langsung melangkahkan kakinya keluar kelas menuju ruang BK. Beberapa teman sekelas atau lain kelas yang berpapasan saling senyum dan sapa ke Tiwi. Anak-anak SMA Negeri Nusantara Indah memang terkenal ramah. Kalau saja tidak berpapasan dengan murid-murid lain, niscaya Tiwi akan berlari ke ruang BK. Sangking cepatnya jalan Tiwi, dia setengah berlari. Sampai di ruang BK, senyum Tiwi lebar sekali.
“Ah, sampai....”
Dia bersuara kecil.
Ruang BK terbuka lebar, ruang BK memang selalu terbuka. Nanti di tutup jam pulang sekolah. Tiwi mengetuk pintu perlahan.
“Assalamualaikum Maam, Pak....”
Di dalam ruang BK, yang tidak terlalu luas. Ada 2 meja dan ada satu set meja tamu. Maam Gina dan Pak Tio saling pandang. Lalu memandang ke pintu. Mereka sama-sama sedang mengerjakan tugas dan tidak sedang menunggu seseorang. Dan bisa dimaklumi, mereka jarang kedatangan tamu. Untuk murid biasanya kalau dipanggil baru ke ruang BK. Terlebih yang mengucap salam tidak kelihatan orangnya.
“Siapa ? Masuklah....” Ujar Pak Tio.
Tiwi muncul di depan Maam Gina dan Pak Tio. Sambil cengar–cegir dan sedikit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kiri.
“Eh, pagi Pak... pagi Maam... eh....”
Dia masih mengaruk–garuk kepalanya yang ditutupi jilbab.
Pak Tio dan Maam Gina saling pandang. Lalu Maam Gina bicara.
“Ada apa Nak? Kemarilah....”
Tiwi yang masih cengar–cegir berjalan ke meja Maam Gina.
“Ayo duduk Nak... Ada apa, bicaralah....”
Pak Tio sudah kembali ke aktifitasnya, mungkin dipikirnya perempuan, lebih pas guru perempuanlah yang pas untuk membantu murid perempuan.
Tiwi sudah duduk dihadapan Maam Gina. Perlahan Tiwi bicara. Dengan sedikit takut-takut.
“Maam, akukan. Eh maksudnya Saya Maam. Ingin masuk fakultas psikologi dan menjadi seorang psikolog sudah besar nanti.”
Lalu Tiwi diam lagi, terlihat ragu-ragu. Maam Gina bicara.
“Cita-cita yang bagus. Lalu kenapa Sayang?”
Karena Tiwi melihat Maam Gina lembut dan baik, dia akhirnya berani bicara.
“Ini Maam, Tiwi menyerahkan proposal yang dipegangnya dari tadi. Mohon Maam pelajari. Dan mohon setuju ya Maam, biar Tiwi bisa jadi psikolog benaran....”
Maam Gina menerima proposal Tiwi, membacanya. Selagi Maam Gina membaca, bel masuk berbunyi.
“Bel masuk berbunyi, masuk dulu Nak. Biar Maam baca dan diskusikan sebentar dengan Pak Tio.”
“Baik Maam. Permisi Maam, Pak Tio.”
Tiwi membalikkan badan dan berjalan keluar ruang BK. Di luar ruang BK, Tiwi langsung berlari kencang ke kelasnya.
Tiwi terlihat memaksakan diri untuk fokus mengikuti pelajaran sekolah, dan gelisah ingin tahu apa kata Maam Gina dan Pak Tio nanti. Untuk menenangkan hatinya, dia mulai berdoa dan berzikir dalam hati. Setelah tenang, dia mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Jam istirahat kedua berbunyi, Tiwi segera membereskan bukunya. Ria teman sebangkunya mengajak bicara.
“Wi, mau kemana dari tadi kuperhatikan keluar kelas terus. Rapat pengurus Website rubrik koran sekolah digital ya? Aku perhatikan kamu juga belum makan bekalmu. Apa pergi dengan Gank Pelangi?”
Tiwi menutup tasnya. Melihat ke Ria.
“Nggak, mau ke ruang BK. Rapat pengurus website rubrik koran sekolah digitalnya nanti pulang sekolah.”
Tiwi menepuk tangan temannya.
“Nanti ceritanya ya, pergi dulu.”
Ria yang mau bicara tidak jadi bicara. Dia melihat punggung Tiwi meninggalkan kelas.
Ruang BK. Tiwi mengetuk pintu dan berdiri di depan pintu.
“Assalamualaikum Maam, Pak Tio.” Ujar Tiwi dari depan pintu.
“Masuk Nak Adinda Pratiwi. Panggilannya siapa?”
Tiwi berdiri di depan Maam Gina.
“Tiwi, Maam.”
“Duduk Nak..”
Terlihat Maam Gina dan Pak Tio bicara ganti berganti ke Tiwi. Kemudian Tiwi pun bicara setelah Pak Tio dan Maam Gina bicara. Kemudian....
“Ya udah, nggak apa–apa kalau mau buka “biro konsultasi” di sekolah ini. Pakai ruang ini juga tidak apa. Agar pengunjung ruang BK bisa rame, ya Pak Tio.”
“Iya Tiwi, kalau butuh bantuan Bapak dan Maam Gina tinggal bilang saja ya, jangan segan-segan...” Ujar Pak Tio.
Kata Maam Gina. “Terus Kami minta laporannya ya tiap awal bulan berikutnya. Kalau ada yang dibantu, terdiri dari ; berapa banyak yang dibantu, masalahnya apa, bagaimana membantunya. Itu saja, nanti kita siapkan satu meja lagi di sini buat Tiwi.”
Tiwi senang sekali.
“Terima kasih Maam, Pak Tio....”
Tiwi dan klien
Tiwi sudah membuka biro konsultasi dan sudah pula banyak yang dibantu Tiwi. Dua contoh Tiwi bersama kliennya.
I. Klien satu
Bab 1 Kelas XIF5
Kelas XIF5, adalah kelas anak yang memilih mata pelajaran tambahan campuran IPA dan IPS. Sebenarnya bukan cuma kelas XIF5 yang kelas memilih mata pelajaran tambahan campuran IPA dan IPS. Kelas XIF3 dan XI4 juga. Pada kurikulum merdeka ini murid bisa memilih mata pelajaran tambahan IPA saja atau IPS saja. Atau campuran keduanya. Kalau yang sudah pasti mau ambil jurusan apa nantinya kuliah, bisa langsung memutuskan ambil mata pelajaran IPA saja atau IPS saja. Seperti Tiwi, Tiwi anaknya lumayan pintar, Tiwi ingin menjadi seorang psikolog sudah besarnya. Jadi Tiwi berdasarkan nilai dan minat perkuliahan dan masuk ke kelas XIF1. Tiwi mengambil mata pelajaran tambahan IPA. Walau fakultas psikologi bisa juga dari peminatan IPS, tapi Tiwi mengambil yang IPA. Itu sedikit perkenalan kita tentang kurikulum merdeka anak sekolah SMA Negeri sekarang.
Kembali ke kelas XIF5, seorang anak perempuan yang sangat cupu duduk sendiri di sudut ruangan ketika jam istirahat berbunyi. Bunga duduk sendiri membuka bekalnya. Teman sebangkunya sangat ramah dan baik kepada Bunga. Sebut saja Indah, Indah mengajak Bunga ke kantin tapi Bunga si cupu demikian panggilan anak–anak ke Bunga. Selalu menggelengkan kepalanya keras–keras.
Sebenarnya panggilan si cupu selalu membuat Bunga menjadi semakin minder dan merasa tidak diterima oleh teman satu kelasnya. Bunga merasa diolok–olok oleh teman sekelasnya. Padahal teman–teman sekelasnya tidak mengejek Bunga. Cuma mereka suka menggoda Bunga yang pendiam. Dan tidak pernah mau ngobrol apalagi main bersama, misal jajan bareng atau makan bekal bareng. Bunga selalu sendiri, kalau ditanya Bunga selalu menjawab pendek–pendek dan gagap.
Bab 2 Halaman Depan Sekolah SMA N Nusantara Indah
Setiap pagi dan sore Tiwi selalu diantar dan dijemput Ayah. Kalau Ayah kadang–kadang bepergian karena tugas, Tiwi baru dijemput oleh Bunda. Suasana halaman sekolah selalu ramai di pagi dan di sore hari. Adek Bima jarang ikut jemput, karena adek Bima kan baru kelas empat SD, jadi adek Bima pulangnya cepat. Dan sudah dijemput duluan.
Biasanya Tiwi sering janjian dengan gank pelangi, teman–teman dekat Tiwi. Mereka janjian di malam hari. Jadi pagi pas diantar, mereka bertemu dulu dan ngobrol–ngobrol sambil berjalan ke kelas masing–masing. TIwi sendiri di kelas XIF1, Lina, Nadin dan Arum di kelas XIF2. Kelas XIF1 memiliki pelajaran tambahan khusus IPA semua. Kalau kelas ketiga teman dekatnya gank pelangi di kelas XIF2, kelas XIF2 memiliki pelajaran tambahan semuanya pelajaran IPS. Nanti pas mau ujian masuk kuliah Tiwi milihnya yang jurusan IPA, kalau ketiga teman dekatnya ujian masuk kuliah milihnya jurusan IPS.
Tiwi cukup popelar diantara anak SMA N Nusantara Indah, karena Tiwi itu anak yang ramah, pintar, cantik. Dan terutama karena Biro Psikologinya. Hampir tiap pagi Bunga sering bertemu dengan Tiwi. Jam mengantar orang tua Bunga sama dengan jam mengantar orang tua Tiwi. Makanya Bunga sering bertemu dengan Tiwi. Bunga melihat Tiwi hampir tiap pagi tertawa gembira bermain bersama teman–temannya. Berjalan menuju kelas masing–masing. Setelah melihat itu Bunga biasanya kembali menundukkan wajah dan berjalan ke kelasnya, sendiri.
Ternyata kejadian yang mereka alami tiap pagi itu diperhatikan oleh orang tua Bunga.
Bab 3 Rumah Bunga
Rumah Bunga malam hari. Di kamar Ayah dan Ibu Bunga sedang mengobrol.
“Ibu, terkadangkan Ibu ada juga menggantikan Ayah mengantar Bunga ke sekolah. Apa Ibu memperhatikan sekelompok anak muda yang selalu diperhatikan Bunga di pagi hari? Biasanya Bunga akan berhenti sejenak khusus untuk memperhatikan sekelompok anak itu. Kalau anak–anak lain tidak ada yang membuat Bunga menoleh dan berhenti untuk melihat meraka. Siapa ya sekelompok anak itu. Tapi anak–anak itu sekelompok anak muda yang benar–benar anak remaja tanpa beban. Mudah tersenyum dan tertawa serta ramah kepada teman–temannya yang lain. Coba deh besok pagi Ibu perhatikan. Ayah besok keluar kota satu minggu. Urusan perusahaan yang diminta direktur itu.”
“Baiklah. Besok akan Ibu perhatikan. Memang kenapa Yah?”
“Ibukan tahu, Ayah memang bukan Ayah kandung Bunga. Tapi Ayah menyanyanginya layaknya anak kandung. Tapi Bunga seperti belum bisa menerima Ayah, walau Bunga juga tidak menolak Ayah. Ayah suka memperhatikannya setiap mengantarnya sekolah. Mulai dari SMP kelas 3 semenjak kita menikah. Tidak ada satu pun yang mampu membuat Bunga tertarik dengan teman–temannya. Beda dengan sekelompok anak yang Ayah bilang tadi. Semenjak kita pindah rumah dan Bunga sekolah di SMA N Nusantara Indah ini Bunga memperlihatkan ke tertarikannya kepada sekelompok anak–anak itu. Mudah–mudahan itu pertanda baik, agar Bunga bisa bergaul.”
Diakhir kalimatnya yang sengaja diucapkan perlahan, Ayah melihat ke Ibu. Takut salah omong. Karena Ayah sadar kalau Ayah bukanlah Ayah kandung Bunga.
Ibu berdiri dari meja hias, menghentikan aktifitasnya membersihkan wajah. Dan duduk di samping Ayah di tempat tidur. Seakan tahu maksud Ayah yang bicara perlahan tadi, Ibu bicara.
“Ayah, Bunga itu anak Ayah juga. Terima kasih Ayah sudah sangat perhatian sama Bunga. Terima kasih ya Yah….”
Bab 4 Halaman Sekolah SMA N Nusantara Indah
Pagi hari seperti biasa di halaman sekolah SMA N Nusantara Indah, Tiwi turun mobil setelah berpamitan dengan Ayah, tidak lama Lina turun dari motor diantar Bapaknya, kemudian Nadin turun diantar mobil oleh Papanya, terakhir Arum turun dari mobil diantar Papinya. Seperti biasa, mereka saling menunggu di halaman sekolah. Di halaman setelah Nadin diantar Papanya. Bunga turun dari mobil diantar oleh Ibu. Setelah pamit dengan Ibu, Bunga seperti biasa melihat ke rombongan Tiwi yang sedang menunggu Arum. Bunga akan memperhatikan sampai Arum datang dan mereka berjalan ke kelas masing–masing. Setelah mereka berempat berjalan, baru Bunga berjalan ke kelas dengan menundukkan kepala seperti biasa. Semua itu diperhatikan oleh Ibu Bunga.
Bab 5. Bandar Udara Husein Sastranegara
Ibu Bunga tidak masuk ke Bandara, Ibu Bunga hanya menunggu Ayah Bunga tidak jauh dari Bandara, di tempat penjemputan. Setelah Ayah Bunga melihat mobil mereka. Ayah Bunga menghampiri mobil, Ibu turun dari mobil mencium tangan suaminya dan Ayah Bunga mencium pipi isterinya. Mereka masuk ke dalam mobil.
“Sudah lama, Bu?”
“ Belum lama Yah.”
Ayah menyetir mobil meninggalkan Bandara.
“Apa Ayah mau kita berhenti cari makan dulu?”
“Tidak usah, Bu. Ayah kangen masakan Ibu.”
Ibu tersenyum senang.
“Ah, Ayah bisa saja....”
Ayah tersenyum menatap isterinya, sementara Ibu Bunga senang sekali. Tidak lama setelah itu Ayah memulai percakapan lagi.
“Kabar Bunga bagaimana?” Sudah Ibu perhatikan sekelompok anak muda di sekolahnya yang membuat Bunga tertarik?”
“Iya, Yah. Ayah benar, Ibu sudah memperhatikannya. Kalau saja Bunga bisa berteman dengan anak–anak itu mungkin cerianya bisa seperti remaja lainnya. Apa kita bawa saja ke psikolog ya yah? agar Bunga bisa seperti anak–anak lain tidak minderan, ceria?”
Ayah diam sebentar sambil mengemudi mobil. Lalu kata Ayah.
“Boleh juga, coba Ibu bicarakan dulu dengan Bunga. Bicarakan dulu baik–baik, nanti Bunga tidak mau.”
Ibu mengangguk.
“Baik Ayah....”
Bab 6. Kamar Bunga
Bunga di kamarnya asik bermain handphone. Bunga sedang menyanyi mengikuti alunan suara di handphonenya. Gadis SMA kelas XI itu membenarkan kacamata tebalnya. Rambutnya yang biasa dikucir dua itu dibenarkannya juga. Ibu Bunga masuk ke kamar Bunga dengan terlebih dahulu mengetuk pintu Bunga.
Bunga yang asik bernyanyi, tidak mendengarkan suara ketukan di pintu kamarnya. Ibu masuk dan memegang pundak Bunga. Bunga terloncat terkejut. Lalu menoleh ke belakang.
“Maaf, Ibu mengejutkan ya. Padahal Ibu sudah ketuk pintu.”
Kata Ibu lembut.
“I...Ibu... Mengagetkan saja.”
Ibu mengatupkan kedua tangannya, minta maaf.
“Lagi ngapain Nak?”
“Lagi dengerin musik, Bu.”
“Lagu apa ?”
“Lagu barat Bu, Taylor Swift.”
Ibu tersenyum.
“Ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Bunga.”
“Iya Bu, ada apa?”
Ibu lalu bercerita tentang seorang psikolog itu apa, dimana bisa ditemui, dan kenapa Ibu membahas tentang psikolog ini. Kemudian pelan-pelan Ibu berkata.
“Kalau kita ke psikolog Bunga mau tidak?”
“Ke psikolog, kenapa Ibu ?”
Tanya Bunga kepada Ibunya.
“Maaf, apa Bunga merasa baik-baik saja? Tidak butuh bantuan siapa–siapa untuk hidup Bunga.”
Bunga diam saja. Tapi hatinya membenarkan perkataan Ibu. Bunga merasa kalau dirinya mulai ada sesuatu yang salah, Bunga tahu dia itu anaknya pendiam, minderan, tidak bisa gaul. Tapi ke psikolog Bunga tidak mau. Tiba–tiba Bunga ingat Tiwi dan teman–temannya. Ada Anak sekelas Bunga, pernah bercerita ke salah satu temannya, kalau dia baru dibantu tiwi. Semenjak itu Bunga tahu kalau Tiwi itu buka biro konsultasi.
“Sama teman SMA Bunga saja Ibu. Tidak usah ke Psikolog orang dewasa. Di Sekolah Bunga ada anak kelas XI juga, tapi lain kelas. Namanya Tiwi, Tiwi ini membuka biro konsultasi di sekolah. Sama Tiwi saja ya ibu....”
Ibu menatap Bunga dan mengangguk. Di dalam hati Ibu berkata, sepertinya anak yang bernama Tiwi itu bisa membantu Bunga, Bunga berminat berteman dengan anak ini. Setahu Ibu, Bunga tidak berminat dengan teman sebaya. Bunga itu minatnya cuma dengan musik barat. Yang mana ya anaknya?
Ibu bertanya perlahan.
“Seperti apa Tiwi itu?”
Bunga menjawab dengan spontan.
“Anaknya cantik Ibu, pakai jilbab. Ramah dan punya banyak teman. Tiwi punya tiga orang teman akrab. Tiwi juga aktif di organisasi sekolah. Koran sekolah apa namanya? Bunga tidak begitu paham....”
Ujar Bunga dengan mata berbinar.
Ibu mengerti, Bunga ingin berteman dengan Tiwi ini. Dan Ibu berdoa dalam hati semoga Bunga bisa berteman dengan Tiwi, sehingga Bunga bisa banyak teman dan tidak minderan lagi.
Bab 7. SMA N NUSANTARA INDAH
Jam istirahat kedua berbunyi, Tiwi ada di kelasnya. Tiwi hanya ingin di kelas makan bekal buatan Bunda bersama Ria dan teman–teman yang lain yang membawa bekal. Tiba–tiba ada seorang murid perempuan berdiri di samping Tiwi yang asik ngobrol dengan teman–temannya. Dan Tiwi tidak melihat kedatangan anak perempuan itu.
Murid perempuan itu adalah Bunga. Dia bicara terbata–bata ke Tiwi.
“Ti... wi...Bisa bicara se...bentar?”
Tiwi menoleh ke asal suara, Tiwi melihat Bunga menundukan wajah ketika bicara. Menggengam tangan erat–erat.
“Ya, boleh....” Ujar Tiwi.
Bunga berjalan menjauhi teman–teman Tiwi, Tiwi mengikuti dari belakang. Setelah agak jauh, Bunga memutar badannya. Memasukan tangannya ke saku baju. Lalu menyerahkan secarik kertas. Lalu Bunga bicara.
“Tolong Aku Tiwi, terima kasih.”
Setelah memberikan kertas itu, Bunga langsung putar badan dan berjalan cepat setengah berlari meninggalkan Tiwi. Tiwi membuka kertas itu dan membacanya. Bunyinya seperti ini.
Ibu aku mau membawa aku ke psikolog, tapi aku bilang teman sekolah ku juga ada yang buka biro konsultasi di sekolah. Aku bilang ke dia saja, Ibu. Ibuku bersedia. Aku mau minta tolong. Bantu aku memperbaiki penampilanku menjadi cantik, menghilangkan minder dan grogimu di depan teman-teman yang lain. Aku murid kelas XIF5. Kita sering sampai bareng diantar ke sekolah, kalau kamu bersedia bantu bisa temui aku atau telepon aku. Ini nomor telepon aku. Please bantu aku.
Tiwi melipat kertas tadi menyimpannya di saku bajunya. Sambil bergumam dalam hati. Kata Ayah dan Bunda, kalau seseorang ingin berubah, perubahan itu bisa cepat kalau Tiwi bantu. Karena yang dibantu menginginkannya. Tiwi tersenyum mengingatnya dan berucap dalam hati. Insya Allah bisa dibantu dan akan terjadi perubahan tidak terlalu lama.
Lalu Tiwi melanjutkan makan bekalnya, namun belum habis, bel pelajaran telah berbunyi. Jadi Tiwi menyimpan bekalnya kembali.
Bab 8 Kamar Tiwi
Sehabis makan malam dan duduk–duduk sebentar di ruang keluarga bersama Ayah, Bunda dan Dek Bima. Tiwi ke kamarnya. Yang pertama Tiwi lakukan adalah mengambil handphone, menghubungi Bunga.
Bunyi telepon berdering.
Bunga mengangkat telepon.
“Ya, hallo.”
Tiwi dari seberang menjawab.
“Ini aku Tiwi”
Bunga dengan suara antusias menjawab.
“Senangnya mendengar suara Tiwi, jadi apa yang harus dilakukan Tiwi?”
Bunga langsung kepada isi pembicaraan.
“Besok pagi sesudah diantar orang tua kamu, kita barengan masuk sekolah ya....”
Bunga tiba–tiba langsung gagap lagi.
“A...a...ku... ti...dak... pe...de....”
“Bagaimana kalau kita coba dulu....”
“Ja...ja...ngan... se...ka...rang....”
“Ok, baiklah. Aku buat jadwalnya buat kamu. Bersedia ya....”
Bunga lancar kembali bicaranya.
“Baiklah, apa yang harus kita lakukan?”
“Sabtu pagi kita ke salon bareng Arum. Minta alamat rumah kamu ya....”
Bunga belum menjawab. Tiwi cepat bicara lagi.
“Salonnya bagian vip saja, nggak rame kok. Mau ya....?”
Bunga menjawab dengan terbata–bata.
“Ba...ik...lah....”
Bab 9. Ke salon
Sabtu pagi yang cerah, Tiwi diantar Ayah ke rumah Arum. Gank pelangi ngumpul di rumah Arum. Mereka janjian akan ke salon. Arum sangat hobi dengan perawatan kencantikan, orangnya juga sangat fashion. Karena sangat hobi perawatan kecantikan Arum meminta orang tuanya membuka sebuah salon kecantikan khusus untuk Arum perawatan. Tapi akhirnya dibuka juga untuk umum, artinya selain Arum dan keluarga serta gank pelangi boleh juga ke salon itu. Pelanggan salon Arum super vip. Mereka bahkan bisa booking salon untuk perawatan sendiri atau bareng keluarga. Jadi benar–benar privasi terjaga. Untuk Arum, salon itu setiap minggu di hari sabtu. Biasa Arum ke salon bareng Mami dan kakak perempuannya. Dan gank pelangi juga boleh ikutan. Tapi terkadang kalau Mami dan Kakaknya sibuk, dan gank pelangi pada tidak bisa, maka hanya Arum yang dilayani di Salon itu.
Setelah semua gank pelangi ngumpul, mereka diantar supir menuju rumah Bunga. Dan sekarang mereka sudah di rumah Bunga. Rumah Bunga walau pun sederhana tapi terlihat asri. Supir memarkirkan mobilnya di halaman rumah Bunga. Lalu Tiwi turun sendiri, Tiwi telah mengatakan tentang Bunga kepada gank pelangi beberapa hari yang lalu. Dan mereka siap membantu Bunga.
Tiwi mengetuk pintu rumah Bunga.
“Assalamualaikum, Bunga....”
Tiwi memanggil beberapa kali, lalu ada jawaban dari dalam.
“Waalaikum salam,”
Pintu terbuka, seorang wanita separo baya keluar. Lalu dia bicara.
“Nak Tiwi ya...?”
Sapa wanita itu.
Tiwi mengangguk sopan, lalu Tiwi berkata.
“Iya, Te. Bunganya ada?”
“Masuk Nak Tiwi. Duduklah dulu, Tante panggilkan Bunga dulu.”
Twi duduk di kursi tamu sambil menunggu Bunga.
Ibu mengetuk kamar Bunga, lalu membuka pintunya masuk ke dalam kamar. Dilihatnya Bunga duduk di tempat tidur.
“Kenapa Nak?”
“I...bu, Bu...bunga pakai baju apa ya?”
Ibu Bunga berdiri membuka lemari. Diambilnya beberapa baju model anak muda yang di belinya di mall tapi tidak pernah dipakai Bunga. Bunga anaknya memang tidak gaul, Bunga tidak punya teman. Bunga selalu sendirian. Ibu sering juga mengajaknya ke mall tapi Bunga tidak mau. Bunga lebih suka di rumah dalam kamar mendengarkan musik.
“Bagaiman kalau yang ini ? Cantik loh....”
Bunga menggeleng. Baju favoritnya cuma kaos oblong dan celana pendek. Itu yang selalu dipakainya di rumah. Lalu Bunga berkata.
“Ya...ng ini sa...ja ya I...bu”
Bunga grogi sekali, kalau sedang grogi bicaranya suka gagap. Ibu paham sekali itu.
Sebelum keluar, Bunga sempat merapikan kuncir duanya.
Ibu Bunga berkata.
“Dilepas saja kuncirnya, mau...?”
“I...bu... ja...ngan....”
Ibu Bunga, tersenyum. Lalu katanya.
“Iya, ayo Tiwi sudah menunggu di luar.”
Ibu dan Bunga berjalan keluar. Tiwi tersenyum menyambutnya. Mereka langsung berangkat. Ibu Bunga berkata ke Tiwi.
“Titip Bunga ya, Nak....”
Tiwi mengangguk, lalu mencium tangan Ibu Bunga.
Bunga masih kelihatan gugup berdiri di samping Ibunya.
Setelah berpamitan, Tiwi memegang tangan Bunga.
“Ayo, Bunga. Aku kenalkan dengan teman–teman aku. Gank pelangi. Mereka sudah menunggu dari tadi di mobil.”
Bunga yang tadi hampir jalan, berhenti dan mundur perlahan.
Tiwi memutar badannya, menatap Bunga dengan tersenyum.
“Tapi Bunga sudah janji mau ke salon bareng. Ayo, mereka teman–teman yang menyenangkan kok. Salonnya juga tidak rame. Cuma kita–kita saja.”
Tiwi kembali memegang tangan Bunga. Bunga melihat ke Ibu. Ibu tersenyum dan mengangguk.
Nggak apa–apa kok Nak. Nanti pasti menyenangkan, ya kan Nak Tiwi...?” Tanya Ibu.
Tiwi menganggukkan kepala.
“Iya, di salon itu selalu menyenangkan. Kita selalu seperti dimanjakan. Keluarnya kita jadi cantik deh.”
Ucap Tiwi dengan mimik melucu. Mencoba membuat Bunga berminat. Dan berhasil. Bunga mau ikut. Tapi iya, Tiwi mengenggam tangan Bunga agar melangkah mengikuti langkah Tiwi menuju mobil Arum.
Begitutu sampai mobil, teman–teman Tiwi menyambutnya dengan gembira. Mereka berebut memperkenalkan diri. Awalnya Bunga mundur ke belakang dan rasanya ingin berlari ke rumah lagi. Tapi Bunga tidak bisa melakukan itu, Tiwi memegang tangannya. Maka akhirnya acara perkenalan berjalan dengan lancar. Lalu Tiwi dan Bunga masuk ke dalam mobil.
Ibu Bunga memperhatikan sampai Bunga dan Tiwi naik ke dalam mobil. Ayah yang sedari tadi mengintip dari jendela dalam keluar ketika Ibu sudah masuk dan menutup pintu rumah. Ibu kaget melihat Ayah yang tiba–tiba ada di belakangnya dan bicara.
“Ibu, itu anak–anak yang sering diperhatikan Bunga di sekolah....”
”Iya Ayah. Rupanya Tiwi itu dan teman–temannya itu adalah murid yang Bunga bilang psikolog itu. Mudahan–mudahan bisa membuat Bunga hilang minder dan groginya itu serta mau jadi berteman dengan anak–anak sebayanya. Aamiin....
“Aamiin....”
Ucap Ayah pula.
Bab 10. Salon Arum Kania Cantika
Salonnya sangat cantik, bernuansa merah muda. Itu khusus salon cewek, tapi kalau lagi diboking satu keluarga, dan ada laki–lakinya yang mesti dilayani, bisa ditambah pelayan laki–lakinya. Sepanjang hari mereka di salon. Walau awalnya Bunga susah sekali membujuknya. Bunga tidak mau, Bunga duduk saja di kursi. Karena Bunga tidak mau memilih perawatan kecantikan, gank pelangi pun duduk saja di kursi. Macam–macam ulah mereka membujuk Bunga. Mereka joget–joget, main game, juga sambil nyanyi–nyanyi . Berbagai lagu mereka nyanyikan bagaikan sedang konser. Ketika mereka menyanyikan lagu–lagu taylor swift, tanpa disadarinya Bunga ikut menyanyi. Bunga merasa seakan ada di kamarnya. Bunga ikut menyanyi dan berjoget–joget. Tiwi terkejut, tapi senang hatinya. Arum, Lina, Nadin malah diam melihatnya. Tidak disangka suara Bunga merdu sekali.
Gerakan joget mereka terhenti. Kecuali Tiwi, Tiwi masih bernyanyi bersama Bunga. Walau Tiwi sudah memberi kode terus bernyanyi, ketiga temannya masih saja diam membisu. Mereka masih kaget dan juga senang, usaha mereka berhasil membuat Bunga gembira dan ceria seperti mereka saat ini.
Melihat Arum, Lina, Nadin diam dan suara menyanyi cuma tinggal sedikit. Bunga dan Tiwi saja. Bunga jadi diam lagi. Tiwi mencoba mencairkan suasana.
“Suara kamu bagus, Bunga. Kamu suka Taylor ya? Sama, kami juga. Ya kan guys... nyanyi lagi yuk, kali ini album Taylor saja.”
Teman Bunga sadar dengan tingkah mereka. Lalu Arum ikut bicara.
“Iya, cocok. Kali ini pakai musik ya.”
Arum minta pelayannya untuk menghidupkan musik. Dan Arum mulai menyanyi, teman-teman tetap diam, Nadin menutup telinga demikian juga dengan Lina dan Tiwi. Suaranya jelek banget. Kalau nyanyi ramai–ramai tidak terlalu terdengar. Arum itu kalau nyanyi suaranya cempreng, kalau bicara sih nggak. Melihat mereka semua terdiam, Arum tertawa.
“Iya, tahu. Suara aku super merdu....”
Arum tertawa–tawa. Teman–temannya ikut tertawa. Termasuk Bunga. Kemudian suasana mencair. Mereka merubah penampilan Bunga. Rambutnya kuncir duanya dilepas. Lalu rambutnya di potong sedikit dan dimodelkan model anak muda sekarang. Mereka di salon dari pagi sampai malam, karena susah sekali membujuk Bunga.
Bab 11. Perubahan Bunga
Pelan namun pasti Bunga berubah. Tiwi sering main ke rumah Bunga, Bunga pun kadang – kadang berkunjung ke rumah Tiwi. Baik Tiwi yang ke rumah Bunga, ataupun Bunga yang berkunjung ke rumah Tiwi. Tiwi mengajarkan Bunga untuk percaya diri. Jangan minder dengan orang, tidak usah takut, tidak usah grogi. Kalau mendadak cemas tarik nafas panjang lalu berucap. Insya Allah bisa... Insya Allah bisa... Lau bilang dalam hati. Aku dan mereka sama saja. Sama–sama ciptaan Tuhan. Sama–sama masih belajar, sama–sama terserah apa lagi yang mau dikatakan sebagai penyemangat dalam hati.
Soal penampilan pun sudah mau berubah. Padahal Ibu dan Ayah Bunga sudah lama meminta Bunga untuk melepaskan kaca mata minusnya dan di lasing matanya. Diobati, tapi dasar Bunga, kemaren–kemaren Bunga tidak mau. Pakaiannya pun sudah tidak lagi celana pendek dan kaos oblong ke semua acara. Sekarang sudanh bervariasi.
Karena sudah bisa gaul dengan teman-teman yang lain, jadi bisa diskusi dengan teman–teman dan guru–guru yang mengajar, nilai pelajarannya jadi meningkat, dia jadi lebih pintar dan sekarang juga sudah bergabung di osis di bawah group paduan suara dan band SMA N Nusantara Indah.
II. Klien dua
Bab 1. Kamar Dayat
Malam itu Dayat terlihat termenung di kamarnya. Dayat duduk di atas tempat tidur. Kakinya digoyang-goyangkannya. Satu Minggu lagi hari jadi hubungan pacarannya dengan Lala. Dayat bingung ingin memberikan kado apa ke Lala. Dayat sudah survey kemaren di salah satu mall. Tapi di mall itu, Dayat teringat lagi akan kejadian kemaren.
Sore itu Dayat pergi ke salah satu mall di Bandung. Dayat menyusuri mall seorang diri. Sambil melihat-lihat berbagai asesoris wanita. Lalu Dayat pergi lagi ke pakaian wanita. Dipakaian wanita, Dayat melihat sepasang kekasih sedang membeli baju. Walau wajahnya tidak kelihatan, tapi Dayat mengenal suara yang wanita. Itu seperti suara Lala kekasihnya. Dayat mengikuti dan mengintip dari kejauhan, wanita itu membawa pakaian yang mau dibelinya ke ruangan pengepasan, setelah mencoba bajunya, wanita itu membuka ruang pas pakaian dan berkata.
"Bagus nggak, kak Cecep?"
Dayat mencuri pandang wanita itu.
"Benar itu Lala."
Jadinya sepanjang hari itu Dayat mengikuti Lala dan Cecep kekasih Lala yang lain.
Dayat mengikuti mereka untuk menyakinkannya kalau Lala memang selingkuh dengan anak kuliahan. Cecep itu jauh tua di atas mereka. Mereka baru kelas XI, Cecep sudah kuliah. Dan yang Dayat dengar anak orang kaya. Sudah beberapa kali Dayat melihat Lala berselingkuh. Tetapi hati Dayat terus meyakinkan kalau Lala itu hanya pergi dengan seorang teman biasa. Hati Dayat tidak mau terima kalau Dayat telah diselingkuhi oleh Lala. Tetapi bukti–bukti telah banyak yang memperlihatkan kalau Lala berselingkuh.
Karena itulah, Dayat malas sekali membeli kado untuk Lala. Tapi hati kecilnya masih mencintai Lala. Dan Dayat takut untuk mengatakan ke Lala pilih dia atau Cecep. Karena Dayat merasa jauh kalah dibanding Cecep. Dayat tidak seganteng Cecep dan tidak sekaya Cecep. Orang tua Dayat hanya orang biasa saja. Dayat takut kalau Dayat mengatakan ke Lala kalau Dayat sudah tahu Lala selingkuh nanti Lala memutuskan Dayat dan memilih Cecep. Dayat belum siap kehilangan Lala. Tapi pura–pura tidak tahu itu membuat hidupnya makin tidak nyaman. Makan kurang, tidur kurang. Belajar malas, apa–apa bawaannya mager (malas gerak) saja. Akibatnya badannya mulai mengurus.
Dengan malas–malasan Dayat membaringkan badannya di tempat tidur. Karena lelah, akhirnya Dayat tertidur juga.
Bab 2. Lala
Lala adalah gadis yang manis, dia sangat imut. Lalu juga agak manja. Lala baru kelas XI SMA. Lala mengakui dalam hatinya kalau Lala mempunyai dua cinta. Yang pertama Dayat dan Lala sudah pacaran dengan Dayat selama hampir dua tahun. Tapi beberapa bulan lalu Lala jatuh cinta kepada Cecep. Seorang pria yang ditemuinya tanpa sengaja disebuah mall di Bandung. Lala membanding – bandingkan Dayat dan Cecep. Setiap Lala bandingkan selalu Cecep yang jadi pemenangnya. Cuma Lala belum ingin memutuskan Dayat atau hanya punya satu kekasih.
Lala menyukai permainan cinta ini, Lala merasa sangat berharga bisa punya dua kekasih dalam satu waktu sekaligus.
Bab 3. Kelas Dayat
Pagi itu sebelum kelas dimulai Lala bermain ke kelas Dayat.
“Dayat kenapa nggak ke rumah semalam, aku tungguin loh....”
Dayat senang melihat Lala datang, tapi sebagian hatinya jadi sedih mengingit Lala telah menduakan dirinya.
“Hai, kok begong. Ini makanan Lala buatkan untuk Dayat. Ini buku tugas Lala tolong kerjakan ya. Nanti jam istirahat Lala ambil. Lala belajar mata pelajaran itu selepas istirahat kedua. Ma kasih ya.”
Sebelum ke kelas nya Lala mengucek sedikit kepala Dayat.
Dayat hanya melihat Lala pergi keluar kelasnya. Merapikan rambutnya dan melihat pada buku yang diberikan Lala. Bel masuk berbunyi. Dayat teringat biasanya Lala kalau ke kelasnya cukup lama dan setiap istirahat akan bermain ke kelasnya atau pun Dayat yang main ke kelas Lala. Tapi semenjak Lala selingkuh, Lala kalau main ke kelasnya cuma sebentar. Pulang sekolah juga jarang bersama Dayat lagi. Lala suka dijemput oleh orang tuanya. Mulanya Dayat tidak terlalu curiga, tapi lama–lama Dayat merasa porsinya sebagai pacar Lala mulai berkurang.
Dari penyelidikan yang Dayat lakukan, rupanya orang tua Lala lebih suka Lala pacaran dengan Cecep. Seharusnya Dayat tahu diri dan mundur dengan perlahan jadi kekasih Lala. Tapi ya itu hatinya belum mau kehilangan Lala. Nanum sebagian hati Dayat merasa ini salah. Hubungan ini sudah tidak benar, sudah menyakitkan dan membuat berat badannya berkurang.
Istirahat kedua, Lala masuk lagi ke kelas Dayat.
“Hai Dayat, aku datang lagi nih. Tugas aku udah belum?”
Dayat menyerahkan buku yang diberikan Lala tadi.
Lala mengambilnya dan mengucapkan terima kasih.
“Nanti pulang barengkan?” tanya Dayat.
“Aku dijemput Papa. Sampai ketemu besok ya?”
Setelah Lala pergi, Dayat kembali terdiam.
Bab 4. Kantin Bu Lusi
Siang itu Tiwi dan ganknya sedang makan di kantin sekolah. Mereka tertawa–tawa gembira sambil makan jajanan. Dayat yang juga sedang dikantin memperhatikan mereka. Dayat tahu kalau Tiwi itu buka biro konsutasi di sekolah. Timbul pikiran Dayat apa konsul dengan Tiwi saja ya? Atau terus terombang–ambing sendiri dengan perasaannya.
Anak–anak di kantin cukup ramai.
Bab 5. Kelas Tiwi
Seperti biasa kelas Tiwi terlihat mengikuti pelajaran dengan serius. Guru menerangkan pelajaran dan beberapa murid bertanya. Pelajaran pertama lalu kedua dan selanjutnya setelah ltu jam istirahat berbunyi. Tiwi sedang membereskan buku–buku pelajaran tadi dan memasukkannya ke tas. Seorang pria berdiri dekat Tiwi.
“Tiwi, bisa konsul sebentar apa harus ke ruang BK?”
Tiwi menatap sumber suara, lalu katanya.
“O, boleh. Disini saja nggak apa–apa kok....”
“Nama aku Dayat, aku anak kelas XIE4.”
Lalu Dayat mulai bercerita tentang apa yang dihadapinya.
Tiwi mendengarkan dengan seksama.
Selesai bercerita, Dayat berkata.
“Itulah Tiwi yang aku alami. Menurut kamu yang aku jalani sekarang sudah benar atau salah? Dan apa yang harus aku lakukan?”
Tiwi menatap Dayat.
“Menurut aku, kamu harus tegas ke diri kamu sendiri, mau terus menjalini ini maka kamu sudah tahu apa yang akan kamu alami ya seperti sekarang ini. Coba kamu bayangkan keadaannya kalau misalnya kamu putus saja dengan Lala. Apa yang akan kamu rasakan kira–kira?”
“Aku nggak bisa membayangkan hal itu, membayangkan jauh dari Lala saja sudah membuat aku sedih Tiwi. Jadi harus bagaimana ya?”
“Maaf, aku bertanya. Kamu islamkan? Kamu sering sholat nggak?”
“Iya, aku islam. Sholat? Iya, tapi kadang sering lupa juga.”
“Coba deh kamu perbaiki sholat kamu. Sholat yang teratur pas masuk waktunya sebaiknya cepat lakukan. Perbanyak zikir. Kalau belum tenang juga kamu bisa tambahkan sholat malam, itu sholat tahajud dan kalau belum tenang lagi lakukan sholat istkharah. Tanya disana, mau lanjut sama pacar kamu atau putus? Mudah–mudahan nanti kamu ketemu jawabannya.”
“Kok sholat sih solusinya?”
“Iya, sholat bisa membuat hati dan jiwa menjadi tenang dan jadi bisa berpikir dengan jernih. Coba deh kamu lakukan dulu yang aku sarankan tadi.”
“Oke deh kalau gitu....”
“Lakukan rutin minimal 40 hari ya. Nanti kamu jangan lupa kasih tahu aku perkembangannya ya.”
“Baiklah, Tiwi. Akan kulakukan.”
“Kalau kamu butuh aku selama proses perbaikan sholat kamu, kamu bisa hubungi aku. Ini nomor handphone aku.”
Bab 6. Tiwi
Tiwi semenjak bicara dengan Dayat belum ada bertemu lagi, tapi Dayat sering telpon Tiwi bertanya tentang jenis–jenis sholat dan cara mengerjakannya. Dan selama proses itu Tiwi meminta Dayat untuk meminta waktu ke Lala agar Dayat jangan diganggu dulu. Baik itu telepon atau pun ketemuan. Itu Tiwi sarankan agar Dayat fokus berbaikan sholatnya dan agar Dayat benar–benar bisa tenang dan berpikir jernih. Untungnya Dayat bersedia menerima saran Tiwi agar Dayat tidak bertemu dulu dengan Lala. Dari cerita Dayat, walau keberatan tapi pada akhirnya Lala setuju untuk tidak menghubungi atau pun ketemuan selama empat puluh hari.
Dan selama itu Tiwi juga sibuk belajar dan telah pula membantu klien yang lain menyelesaikan masalah klien tersebut.
Bab 7. Kelas Tiwi
Setelah empat puluh hari Dayat menemui Tiwi di kelasnya. Pada waktu itu jam istirahat kedua. Tiwi sedang membereskan buku–bukunya dan memasukkan ke dalam tas. Lalu Tiwi dikagetkan oleh suara Dayat yang sudah berdiri di sampingnya Tiwi.
“Assalamualaikum Tiwi....”
Tiwi terlompat sedikt.
“Waalaikum salam, Dayat... Kamu ngangetin aku. Eh, udah empat puluh hari ya?”
“Maaf kalau ngagetin. Iya, nih. Udah habis masa dukanya.”
“Kok masa berduka ? Maksudnya apa?”
“Bercanda... He...he....”
Dayat terlihat gembira, jadi Tiwi bisa merasakan semoga Dayat membawa kabar baik.
“Gembira amat?”
“Iya, berkat kamu Tiwi. Gembira aku kembali lagi. He... he.... “
Setelah tertawa Dayat melanjutkan pembicaraannya.
“Aku udah terapkan semua yang kamu sarankan. Dan alhamdulillah aku berasa tenang dan bisa berpikir jernih. Ternyata apa yang aku jalani kemaren itu salah, ya. Aku jadi kacau sekali dibuatnya. Setelah itu, selama empat puluh hari ini aku jauh dari Lala, aku merasakan kalau aku masih bisa hidup dan baik–baik saja. Aku juga jadi bisa fokus belajar lagi. Dan karena rajin sholat aku jadi lebih bisa berpikir jernih. Jadi beberapa hari yang lalu aku temui Lala dan bilang putus ke dia. Dan Lala ternyata setuju. Lala pun mulai terbiasa tanpa keberadaan aku yang sudah empat puluh hari tidak dihubunginya. Jadi ya udah, disini aku sekarang. Di depan psikolog aku. Ma kasih ya Wi.”
Tiwi Tersenyum.
“Ya, sama–sama. Tapi kamu benaran baik- baik saja sudah putus dengan Lala?”
“Awalnya sedih juga dikit. Tapi aku tahu itu lah yang terbaik untuk kami berdua. Ya nggak?”
“Aku rasa juga begitu.”
Suara azan berkumandang.
“Eh, udah azan tu. Kamu lagi sholat nggak? Ke mushola yuk....”
“Oke, yuk....”
S e l e s a i