Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rival Kuswandi melangkah ke dalam lift gedung kantor seperti biasa, tangannya secara otomatis menekan tombol lantai 10. Pagi itu tidak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya—rutinitas yang monoton, secangkir kopi di tangan, dan pikiran yang masih setengah mengantuk. Lift bergerak naik dengan dengungan pelan, lampu indikator berkedip dari lantai ke lantai. Namun, saat pintu terbuka, sesuatu terasa tidak beres.
Di depannya bukan lantai 10 yang biasa ia datangi. Tidak ada meja-meja kerja yang berderet, tidak ada suara telepon berdering, juga tidak ada rekan kerja yang sibuk dengan tugas mereka. Sebaliknya, ia melihat lorong kosong yang diterangi lampu neon berkedip-kedip, dengan udara dingin yang menusuk tulang. Rival melirik panel lift—angka "13" menyala merah di atas pintu.
"Lantai 13?" gumamnya, kebingungan terpancar di wajahnya. Gedung ini seharusnya hanya memiliki 12 lantai. Ia pernah mendengar cerita iseng tentang lantai yang hilang di antara karyawan, tapi ia selalu menganggapnya sebagai lelucon. Dengan ragu, ia menekan tombol lantai 10 lagi, tetapi lift tidak bergerak. Pintu tetap terbuka, seolah menantangnya untuk melangkah keluar.
Akhirnya, Rival memutuskan untuk keluar. Begitu kakinya menyentuh lantai, pintu lift tertutup dengan cepat di belakangnya, dan suara mesin lift menghilang ke bawah. Ia menoleh, tapi panel tombol di dinding kosong—tidak ada cara untuk memanggil lift kembali. Jantungnya mulai berdegup kencang. "Tenang," pikirnya, "pasti ada tangga darurat di sini."
Ia mulai menyusuri lorong yang sepi. Dindingnya dilapisi wallpaper yang sudah pudar, dan karpet di bawah kakinya terasa lembap. Beberapa pintu yang ia coba buka ternyata terkunci. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Di dalam, meja-meja berderet rapi, masing-masing dilengkapi komputer tua dengan layar hitam. Di sudut ruangan, sebuah lemari arsip besar menarik perhatiannya.
Dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan, Rival mendekati lemari itu. Laci-laci di lemari itu diberi label nama-nama yang asing baginya, tapi satu laci membuatnya tersentak: "Rival Kuswandi." Napasnya tertahan. Dengan tangan gemetar, ia membuka laci itu dan menemukan tumpukan dokumen tebal. Di halaman depan salah satu file, fotonya terpampang jelas.
Ia membaca isi file itu. "Proyek Memori: Subjek 27 - Rival Kuswandi. Riwayat hidup: lahir di Jakarta, 1990. Pekerjaan: analis data. Rahasia: terlibat dalam kecelakaan mobil yang menewaskan seseorang pada tahun 2015, melarikan diri dari tempat kejadian."
Rival terhuyung mundur, file itu terjatuh dari tangannya. Bagaimana mereka tahu? Kecelakaan itu adalah rahasia yang ia kubur dalam-dalam, bahkan dari keluarganya sendiri. Ia masih ingat malam itu—hujan deras, jalan licin, dan tubuh tak bergerak di tengah jalan. Ia terlalu takut untuk menghadapi konsekuensinya, jadi ia melarikan diri. Tapi bagaimana perusahaan tempatnya bekerja bisa memiliki informasi ini?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong. Rival buru-buru bersembunyi di balik meja, mengintip dari celah kecil. Seorang pria berjas hitam masuk, membawa clipboard. Wajahnya asing, tapi matanya tajam, seolah mencari sesuatu.
"Subjek 27 telah memasuki lantai," kata pria itu ke walkie-talkie di tangannya. "Mulai fase pengujian."
Rival merinding. Pengujian? Apa yang sedang terjadi? Ia harus keluar dari sini. Dengan hati-hati, ia merangkak menuju pintu lain di ruangan itu, berharap menemukan jalan keluar. Namun, saat ia membuka pintu, ia terpaku. Ruangan di depannya adalah replika kamar tidurnya di rumah—lengkap dengan ranjang, meja kecil, dan foto keluarga di dinding.
Di atas ranjang, sebuah buku harian terbuka. Rival mendekat dan membaca tulisan di halaman itu: "Hari ini, aku tidak bisa tidur. Rasa bersalah itu kembali. Aku tidak bisa melupakan wajah orang yang kulihat di kaca spion, tergeletak di jalan. Aku pengecut."
Tulisan itu mirip tulisan tangannya sendiri. Tapi ia tidak pernah menulis buku harian. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang sedang terjadi?
Suara langkah kaki kembali mendekat. Rival berlari ke pintu lain, dan kali ini ia memasuki ruangan yang penuh dengan monitor. Setiap layar menampilkan rekaman dari kehidupannya: saat ia bekerja, saat ia makan malam bersama keluarga, bahkan saat kecelakaan itu terjadi. Ia melihat dirinya sendiri di layar, melarikan diri dari tempat kejadian dengan wajah pucat dan ketakutan.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" teriak Rival, suaranya penuh keputusasaan.
Sebuah suara dari speaker di sudut ruangan menjawab, "Kami ingin kau menghadapi apa yang kau hindari, Rival. Hanya dengan begitu, kau bisa bebas."
Rival menoleh ke jam dinding di ruangan itu. Jarumnya bergerak mundur—dari pukul 12 ke 11, lalu 10. Waktu berjalan terbalik. Kepalanya terasa pusing, seolah ia terjebak dalam loop yang tak berujung.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu dari file yang ia baca tadi: "Proyek Memori." Mungkinkah ini adalah percobaan perusahaan untuk memanipulasi kenangan karyawan? Mungkin mereka ingin mengendalikan pikiran karyawan dengan menggali rahasia terdalam mereka. Tapi untuk apa?
Dengan tekad baru, Rival kembali ke ruangan arsip. Ia mencari file tentang proyek itu, dan setelah beberapa saat, ia menemukan dokumen yang menjelaskan semuanya: "Proyek Memori: Meningkatkan produktivitas dengan menghilangkan gangguan emosional dari masa lalu. Subjek yang berhasil akan 'dibersihkan' dari kenangan traumatis."
Rival tersentak. Mereka ingin menghapus memorinya—mengubahnya menjadi mesin tanpa emosi. Tapi ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia harus menghancurkan sistem ini.
Di sudut ruangan, ia melihat panel kontrol dengan tombol darurat berwarna merah. Tanpa ragu, ia menekannya. Alarm berbunyi nyaring, dan layar-layar monitor mulai berkedip-kedip sebelum mati. Suara dari speaker berdering, "Pengujian dihentikan. Subjek 27 akan dikembalikan."
Lift di lorong tiba-tiba terbuka. Rival berlari masuk, menekan tombol lantai dasar berulang kali. Lift bergerak turun, dan saat pintu terbuka di lobi, ia terengah-engah, langsung berlari keluar gedung secepat mungkin.
Udara segar di luar menyambutnya. Rival menoleh ke gedung, hatinya masih berdebar kencang. Ia selamat, tapi ia tahu ini belum selesai. Saat ia berjalan menjauh, ia melihat lift terbuka lagi di lantai dasar. Seorang karyawan lain masuk, dan panel lift menunjukkan angka "13."
Rival menggertakkan gigi. Ia bukan satu-satunya yang menjadi korban. Perusahaan itu sedang memainkan permainan berbahaya, dan ia tidak akan tinggal diam. Dengan rahasia yang kini ia ketahui, ia bertekad untuk mengungkap kebenaran dan menghentikan proyek mengerikan itu.
Namun, saat ia melangkah lebih jauh dari gedung, sebuah kilasan kenangan dari kecelakaan itu kembali menghantuinya. Ia teringat wajah korban—seorang pria paruh baya dengan tatapan kosong di tengah hujan. Rival berhenti sejenak, menutup matanya, mencoba menyingkirkan gambar itu dari pikirannya. Tapi semakin ia mencoba melupakannya, semakin jelas wajah itu menjadi, seolah lantai 13 telah menanamkan kenangan itu lebih dalam ke dalam dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang telah berubah di dalam dirinya, seolah bagian dari dirinya masih terjebak di lantai itu.
Rival mempercepat langkahnya, berusaha menjauh dari gedung itu secepat mungkin. Tapi di setiap sudut jalan, ia merasa ada mata yang mengawasinya. Suara samar dari speaker di lantai 13 seolah bergema di kepalanya, mengulang kata-kata, "Hanya dengan begitu, kau bisa bebas." Ia menggenggam tangannya erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menemukan cara untuk mengakhiri proyek ini—bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang yang mungkin menjadi korban berikutnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa melawan kekuatan di balik lantai 13 tidak akan mudah, dan ia mungkin harus menghadapi lebih banyak rahasia gelap dari masa lalunya.
***
Beberapa hari kemudian, Rival duduk di sebuah kafe, merencanakan langkah selanjutnya. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal. Ia menjawab, dan suara yang pernah ia dengar dari speaker di lantai 13 bergema di telinganya, "Selamat, Subjek 27. Kau lulus ujian. Tapi ingat, kami selalu mengawasi."
Rival menutup telepon, matanya menyipit penuh tekad. Permainan baru saja dimulai.
-Tamat