Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Proposal Hati (Series 2)
0
Suka
3,049
Dibaca

"Sesederhana bertemu lalu bersama, selamanya."

~ Proposal Hati ( Series 2 ) karya airunatnis ~

___***___

“Na, kamu antar ini ke tetangga depan ya.” Pinta Mama tiba-tiba padahal aku sedang asik menggambar di Ipad-ku. Mama meletak tupperware berukuran sedang yang aku tidak tau isinya apa, tepat di samping Ipad-ku.

Aku baru saja hendak menolak dan berkata ‘ah’, namun urung saat mengingat kajian sore kemarin yang kuikuti. Ustadz Fariz bilang, berkata ‘ah’ termasuk durhaka kepada orang tua.

Dengan menahan sedikit kekesalan, aku menghela nafas. Arina, ayo jangan malas. Ini cuma ngantar ke depan doang, terus pulang, batinku.

Aku mematikan Ipad-ku, kuambil tupperware itu lalu berdiri. “Gak sekalian tetangga sebelah, Ma?” tanyaku.

“Keluarga Tante Dewi lagi ga di rumah, kalau untuk Om Wisnu tadi udah ibu antar soalnya ga sengaja ketemu pas angkat jemuran di belakang.” Jelas Mama dengan menyebut nama tetangga kanan dan kiri rumah kami.

“Owh, yaudah, Arina antar dulu ya. Assalammu’alaikum,” Aku pun beranjak pergi setelah mendengar balasan salam dari Mama.

Sampai di depan pintu rumah tetangga ku itu, aku baru ingat sedang tidak memakai kaos kaki. “Ya ampun, kaos kaki, lupa lagi! Arggh,”celetukku seraya berlari pergi kembali ke rumah.

“Loh, kok cepat banget? Keluarga Tante Mira ga di rumah juga?” tanya Mama begitu melihatku terbirit masuk ke rumah.

“Bukan, Arina lupa pake kaos kaki,” jawabku seraya mengengir.

Mama kemudian tertawa renyah. “Ada yang liat ga tadi?” ledeknya.

“Semoga aja cuma Allah yang liat, Ma.” Balasku sambil memakai kaos kaki.

Sejak SMP Mama selalu berpesan agar aku selalu memakai kaos kaki, ia bilang menutup aurat itu harus sempurna walaupun beberapa ulama mengatakan dalam beberapa kondisi tidak masalah jika perempuan tidak memakai kaos kaki.

Namun, karena sudah terbiasa keluar rumah memakai kaos kaki, aku jadi merasa aneh bila tidak memakai kaos kaki. Rasanya sama seperti makan tanpa minum.

“Yaudah, Arina pergi dulu. Assalammu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam,” jawab Mama.

Aku kembali berdiri di depan pagar yang tingginya hampis sama dengan tubuhku. Celingak-celinguk melihat apakah ada orang di dalam.

“Ini rumah gada satpamnya atau gimana sih?” sungutku, “Bell rumahnya dimana coba?”

Mataku sudah lelah menelusuri pilar kanan dan kiri dari pagar rumah tersebut, mencari tombol bell yang tak kunjung kutemukan.

“Assalammu’alaikum,” ucapku sedikit berteriak. Aku menyerah mencari bell rumah itu, entah memang rumah ini tidak memiliki bell atau aku yang terlalu katrok sampai tidak tau bell-nya yang mana atau letaknya dimana.

“Assa—” baru saja hendak memberi salam yang kedua seseorang bersua dari dalam.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” balas seseorang dengan suara parau, eh bukan parau. Suaranya terlalu khas, sepertinya aku pernah mendengar suara ini, tapi dimana ya, pikirku menerawang ingatan.

Shhh,

Pagar tersebut berdesis pelan terbuka, mulus sekali tanpa suara nyilu seperti yang biasanya kudengar ketika aku menggeser pagar rumahku.

Aku menundukkan pandangan dengan tangan terulur memberikan titipan Mama. “Ini dari Mama saya untuk keluarga Tante Mira.”

“Jazakillah,” ucap pria itu lalu mengambil tupperware tanpa bersentuhan dengan tanganku.

“Emm, assalammu’alaikum,” ucapku sembari lekas-lekas pergi, dan sempat mendengar suara pria itu membalas salam dari kejauhan.

___***___

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawabku membalas salamnya dan baru berani mendongakkan kepala setelah yakin siluet tubuh gadis itu sudah tidak terlihat lagi.

“Astaghfirullah, bisa hilang hafalanku kalau begini.” Celetukku sambil menghela nafas dan mengusap wajah gusar.

“Loh, Den Dirga? Kok ada di sini?” Pak Rusli—satpam rumahku datang menghampiri.

“Tadi ada tamu datang,” jawabku.

“Waduh, maaf ya. Bapak tadi ke tandas,” jelas Pak Rusli.

“Iya, gapapa, Pak.”

“Ada masalah Den? Kok wajahnya kaya gusar begitu?” tanya Pak Rusli karena mungkin ini pertama kalinya ia melihat wajahku selain ekspresi datar dan senyum.

“Bukan apa-apa, Pak.” Aku baru hendak beranjak pergi namun urung saat Pak Rusli tiba-tiba bersua.

“Mau kemana, Neng Arina?” tanya Pak Rusli sambil hendak menutup pagar.

Aku repleks menoleh ke arah gadis itu.

“Ke supermarket, Pak.” jawabnya sambil tersenyum sembari menstarter motor maticnya.

Mata kami sempat beradu, sepersekian detik, lalu saling menundukkan pandangan. Dengan hati yang tanpa kami sadari mengucapkan istighfar di waktu yang bersamaan.

“Hati-hati, Neng.” Peringat Pak Rusli beramah-tamah.

“Iya, Pak. Assalammu’alaikum.” Ujarnya, mengucap salam.

Pak Rusli menjawab salam itu dengan lantang sementara aku hanya menjawabnya lirih dengan menahan debaran yang tidak bisa kukendalikan.

Astaghfirullah, tahan Dirga, boleh jadi dia sudah menikah.

“Neng Arina itu udah cantik, sholehah pula, kalau Bapak punya anak laki-laki, udah bapak suruh ta’aruf sama gadis itu.” Ujar Pak Rusli tiba-tiba.

Aku spontan terbatuk, “Dia belum nikah, Pak?” tanyaku repleks.

“Belum. Kenapa? Den Dirga tertarik sama Neng Arina? Kalau iya, biar saya tanyain ke Pak Danu, udah siap atau belum nerima ta’aruf untuk anaknya.”

“Astaghfirullah,” aku terperanjat kaget. “Bukan, Pak. Eh, itu maksudnya … emm, saya masuk dulu, Pak!”

Aku segera pergi memasuki rumah, meninggalkan Pak Rusli yang tampak kebingungan.

“Tumben Den Dirga pergi gak pake salam ... itu juga telinganya kenapa memerah?” Pak Rusli kemudian acuh-tak acuh lalu mengunci pagar yang sudah sempurna tetutup.

___***___

Televisi 32 inch di depanku sedang menyiarkan berita, siapa lagi penontonnya kalau bukan Papa. Sementara Mama sedang menjahit gorden dan aku sibuk menyiapkan gambar digitalku yang belum selesai-selesai juga. Padahal deadline tinggal besok pagi. Harusnya semalam aku tidak mengiyakan Najwa untuk menemaninya ke festival, aku harusnya tidak percaya dengan janjinya yang hanya dua jam tapi malah sampai lima jam. Ah, sudahlah, tak berguna lagi mengeluhkan hal yang sudah berlalu.

“Tadi Papa ketemu sama anaknya tetangga depan di masjid, jadi imam pas sholat isya tadi.” Tutur Papa tiba-tiba.

“Yang baru pulang dari Mesir itu, Pa?” sahut Mama, bertanya.

“Iya, kelihatannya anaknya sopan.” Papa melirik kearahku dan kubalas dengan endikan bahu.

“Kamu ga kenal, Na?”

“Enggak,” jawabku datar.

“Kalau sekarang mana kenal, kalau waktu kecil kamu pasti kenal.”

“Waktu kecil?” aku mencoba mengingat. Aku lupa, ingatanku kadang buruk sekali.

“Iya, itu loh yang dulu bantuin kamu pas kamu jatuh ke selokan, waktu kamu main sepeda. Kan ada tuh, anak laki-laki yang bantuin kamu sampai baju dia ikutan kotor.” Jelas Mama.

Aku mencoba mengingat kembali namun hasilnya nihil.

“Enggak ingat, Ma.”

“Mungkin kalau kamu tau wajahnya kamu bakal ingat,” cetus Papa.

Aku mengangguk hikmat.

“Tapi ga boleh di tatap juga, bukan mahram.” Titah Papa lalu menyengir.

“Jadi, gimana caranya tau wajahnya?” tanyaku walaupun sebenarnya tak terlalu tertarik.

“Nanti ada waktunya,” jawab Papa.

“Entar juga tau.” Mama menimpali.

“Enggak tau juga gapapa sih,” ujarku enteng sambil kembali menggambar tanpa menyadari Mama dan Papa saling melirik, ganjil.

___***___

Aku berjalan riang menuju rumah, baru saja selesai dari kajian di masjid yang tak jauh dari rumah. Cuaca sore hari ini cukup sejuk, pohon yang beriringan berdiri di pinggiran jalan sangat berjasa padaku sore ini.

Langkahku terhenti saat melihat seorang pria berdiri di depan rumahku. Aku rasa itu pria yang sama dengan pria yang mengambil tupperware di pagar rumah Tante Mira kemarin.

“Cari siapa, Mas?” tanyaku.

Pria itu terkaget, ia berbalik badan kearahku yang berdiri sejauh tiga meter di belakangnya. Ia menggaruk lehernya dengan kepalanya yang tertunduk.

“Saya mau mengembalikan tupperwarenya,” jawab pria itu dengan tangan menenteng tupperware.

“Owh, gitu. Sama saya aja, Mas.” Aku mengambangkan tangan dan pria itu pun mengulurkan tupperware tersebut.

Pria itu kemudian berjalan menjauhi pagar, mungkin ia peka bahwa aku ingin masuk ke rumah. Aku segera melangkah dan langsung membuka pagar rumah.

Kreek…

“Saya ingin mengkhitbah kamu. Apa kamu bersedia?” tanyanya tiba-tiba bersamaan dengan suara nyilu dari gesekan pagar.

“Ha?” aku terkejut bukan main.

“Jangan berbalik badan, kita berbicara dengan posisi seperti ini saja.” Pintanya aneh.

Dan lebih anehnya lagi, aku mengindahkan permintaannya itu. Jadilah kami berbicara dengan saling membelakangi dengan jarak yang kurasa sekitar satu sampai tiga meter.

Emm, perlu saya ulangi pertanyaannya?” suara pria itu sedikit bergetar. Aku mati-matian menahan senyum. Apa dia tidak pernah berbicara pada wanita?

“Saya mendengarnya. Tidak perlu diulangi,” jawabku tegas. Papa selalu berpesan bahwa seorang wanita tidak boleh berbicara mendayu-dayu pada pria yang bukan mahramnya, karena pria pada dasarnya lemah sekali, intonasi lembut pada suara wanita bisa begitu mempengaruhi mereka.

“Saya bisa memberi kamu waktu kalau kamu tidak bisa menjawab sekarang.” Cetusnya.

Aku terdiam sejenak, “Bukankah seharusnya ta’aruf dulu sebelum khitbah?”

“Saya sudah cukup mengenal kamu, saya juga sudah mencari tau tentang kamu dari orang-orang terdekat kamu. Secara garis besar, saya sudah tau pekerjaan dan latar pendidikan kamu serta hobi kamu. Tentunya semua informasi tersebut saya dapatkan dari keluarga kamu dan mendapat izin dari mereka. Kalau kamu ingin ta’aruf dulu, saya akan menyetujuinya. Namun, untuk permintaan khitbah sebenarnya saya sudah mendapat izin dari Papa kamu.” Pria itu menjelaskan panjang lebar.

Aku masih memproses setiap kalimatnya. Apa dia bilang tadi? Sudah mendapat izin dari Papa? Izin atau termasuk restu yang dia maksud sebenarnya?

Aku terdiam cukup lama, beberapa orang melintas di jalan tersebut. Bahkan ada yang menyapa pria tersebut dan dari sapaan tersebut aku langsung tau bahwa beberapa warga sudah mengenal dirinya padahal setahuku pria itu belum lama pulang dari Mesir.

“Ini mendadak bagi saya,” ujarku. Mungkin aku perlu seminggu untuk memikirkannya, pikirku, soalnya pria ini juga sudah diizinkan Papa.

“Berapa waktu yang kamu butuhkan? Apa sebulan atau setahun, cukup?” tanyanya dengan pelan dengan berhati-hati, mungkin takut pertanyaannya itu akan menyinggung diriku.

Tawa ku hampir saja lepas. Kalau setahun kelamaan deh kayanya.

“Baiklah, begini saja. Saya butuh proposal pernikahan dari kamu dan juga saya perlu berbicara dengan anggota keluarga kamu. Besok pagi saya akan kirimkan beberapa pertanyaan yang jawabannya bisa kamu lampirkan di proposal. Apa kamu setuju?”

“Saya sangat setuju. Besok saya akan meminta Mami untuk datang mengambil pertanyaan dari kamu sekaligus berbicara dengan kamu.” Cetusnya antusias.

“Baiklah.” balasku datar.

“Kalau begitu saya permisi. Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.”

Setelah menjawab salamnya tersebut, barulah kudengar langkah kakinya.

Aku masih menunduk, menatap lamat sepatu putihku yang tepiannya kotor terkena tanah.

Sepasang sepatu putih.

Ah, aku ingat. Pria itu yang dulu membantuku keluar dari selokan saat terjatuh dari sepeda.

Aku tertawa kecil saat mengingat bagaimana kerasnya lengkingan tangisku, namun tidak ada satupun orang yang menolong. Lalu, tiba-tiba pria itu datang dan melepas sepatunya yang berwarna putih dan melompat ke dalam selokan, ia kemudian membantuku keluar dari sana dengan cara menjadikan bahunya sebagai undakan agar aku bisa naik.

Baju pria itu kotor-sekotor-kotornya, melebihi bajuku dan ada satu obrolan kami yang kembali aku ingat.

“Kenapa kamu nangis?” tanyanya.

 “Baju aku kotor, aku takut nanti dimarahi Mama.” Jawabku lalu kembali menangis.

“Kamu pernah jatuh lalu dimarahi?”

Aku menggeleng lemah.

“Kalau begitu jangan takut, bisa jadi Mama kamu justru sedih dan khawatir sama kamu. Sebaiknya kamu pulang. Mama kamu pasti nungguin kamu di rumah atau mungkin udah nyariin kamu.”

Akupun bangkit dan bersiap mendorong sepedaku, kakiku sakit jadi tidak bisa mengayuhnya lagi.

“Hati-hati ya, kalau lain kali jatuh, jangan nangis aja tapi harus bangun, kan aku ga selalu ada pas kamu jatuh.” Pesannya sebelum aku beranjak pergi.

Aku masuk ke perkarangan rumah dan menutup pagar kembali. Rumah pria itu tepat berdiri di depan rumahku. Setelah dia menolongku hari itu, kami tak pernah bertemu lagi hingga kemarin.

___***___

~Bertemu denganmu adalah interpretasi bertemu dengan orang yang tepat diwaktu yang tepat~

~Fin~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Proposal Hati (Series 2)
Airun Atnis
Novel
Gold
Pemimpin yang Tuhan
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Humairahku dan Ranah Minang
Salfia afriadi
Novel
Madah Rindu Maria
Hadis Mevlana
Novel
Gold
Psikologi Kebahagiaan
Noura Publishing
Novel
Gold
Sukses di Usia Muda, Harga Mati
Mizan Publishing
Novel
Gold
Ali ibn Abi Thalib
Mizan Publishing
Novel
Gold
Reclaim Your Heart
Noura Publishing
Novel
Mujarabat
M Musa Al Hasyim
Novel
Ketika Embun Merindukan Cahaya
Hadis Mevlana
Novel
Gold
Kambing dan Hujan
Bentang Pustaka
Skrip Film
Wanita Surga
Dwi Kurnialis
Novel
Gold
Dear Allah
Coconut Books
Novel
Gold
Hijrah Itu Cinta
Bentang Pustaka
Cerpen
Kekurangan adalah kelebihan yang indah
Windi Liesandrianni
Rekomendasi
Cerpen
Proposal Hati (Series 2)
Airun Atnis
Cerpen
Bronze
Proposal Hati (Series 3)
Airun Atnis
Cerpen
Proposal Hati
Airun Atnis