Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
0
Suka
837
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suasana desa di kaki perbukitan Menoreh selalu membawa kedamaian yang asing bagi Ratna. Hawa sejuk menusuk kulit, semilir angin membawa aroma tanah basah dan daun-daunan, berpadu dengan bisikan mantra alam yang tak pernah ia dengar di hiruk pikuk kota. Sebagai mahasiswi pendidikan biologi, liburan di rumah Mbah Kinanti ini seharusnya menjadi oase penelitian. Otaknya dipenuhi ide-ide tentang keanekaragaman hayati yang melimpah, terutama di hutan Alas Pring Ireng yang angker, membentang di ujung pandangannya.

"Mbah, hutan di sana itu... benar-benar angker, ya?" Ratna bertanya suatu sore, tatapan matanya terpaku pada rerimbunan bambu yang menghitam, seolah menelan cahaya senja. Mbah Kinanti, yang sedang menganyam keranjang bambu di teras, hanya mendengus pelan. Wajah tuanya berkerut dalam, memancarkan keteguhan khas orang desa.

"Angker atau tidak, bukan urusanmu, Nduk. Yang jelas, jangan sekali-kali masuk ke sana," jawab Mbah Kinanti, tanpa menoleh. Suaranya datar, namun terselip ketegasan yang tak terbantahkan. Ia berhenti menganyam, jemarinya yang keriput perlahan mengusap punggung tangan Ratna. "Orang-orang punya alasannya sendiri kenapa tidak pernah menyentuh Alas Pring Ireng. Dengarkan mereka."

Ratna mendesah, rasa penasaran ilmiahnya bergejolak. Ia membayangkan ratusan spesies tanaman obat yang mungkin tersembunyi di balik kerapatan bambu itu. Potensi pengembangan obat herbal, penelitian botani, atau sekadar observasi ekosistem. Baginya, "angker" adalah label masyarakat yang belum terbukti secara ilmiah. Ia tidak percaya tahayul. Namun, setiap kali ia mencoba melangkah mendekat, entah kenapa, sebuah keraguan halus selalu mencengkeram kakinya. Bukan rasa takut, melainkan semacam penghormatan tak kentara pada larangan yang telah ia dengar sejak kecil.

Warga desa pun demikian. Mereka seolah memiliki kesepakatan tak tertulis untuk tidak pernah mendekati Alas Pring Ireng. Pagi hari, para petani melewati jalan setapak di pinggir hutan dengan langkah tergesa, pandangan mereka menghindari rimbunan bambu yang menjulang tinggi. Anak-anak kecil dilarang bermain di sekitar sana, dan kisah-kisah seram tentang penampakan, suara tangisan, atau orang hilang sudah menjadi bagian dari cerita pengantar tidur. Bagi Ratna, ini adalah fenomena sosial yang menarik untuk dipelajari, namun juga sangat membatasi keinginannya untuk menjelajah.

"Tapi Mbah, kalau tidak ada yang pernah masuk, bagaimana bisa tahu kalau di sana angker? Mungkin cuma... kebetulan?" Ratna mencoba lagi, hati-hati memilih kata-kata.

Mbah Kinanti akhirnya menoleh, menatap cucunya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kadang, Nduk, ada hal-hal yang tidak perlu kau buktikan dengan mata kepala sendiri. Cukup percaya pada yang lebih tua. Hutan itu punya sejarahnya sendiri. Sejarah yang tidak bisa diukur dengan mikroskopmu."

Kata-kata Mbah Kinanti seperti cambuk halus yang menyentuh akal sehat Ratna sekaligus mengusik sisi emosionalnya. Ia tahu Mbah Kinanti bukanlah tipe orang yang mudah percaya takhayul, namun larangannya sangat mutlak. Firasat aneh merayap, mengatakan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar cerita hantu biasa. Rasa ingin tahu Ratna tidak hanya semakin kuat, tetapi juga mulai bergeser dari sekadar ilmiah menjadi personal, seolah-olah hutan itu memanggilnya secara langsung.

Beberapa hari berlalu, Ratna masih tetap memendam rasa ingin tahunya. Ia menghabiskan waktunya membantu Mbah Kinanti di kebun, membuat ramuan tradisional dari tanaman-tanaman yang tumbuh di pekarangan. Namun, setiap kali ia mendongak, tatapannya selalu jatuh ke Alas Pring Ireng, yang gelap dan misterius. Ia merasa ada rahasia besar yang tersembunyi di sana, menunggu untuk diungkap. Perasaannya ini, perpaduan antara kecamuk ilmiah dan dorongan intuitif, membuatnya gelisah. Ia tahu liburannya tidak akan lengkap sebelum ia menemukan jawaban atas misteri hutan terlarang itu.

Malam harinya, lampu teplok menari-nari di ruang tengah, bayangannya meliuk-liuk di dinding, menciptakan kesan angker yang pas. Suasana desa menjelang gelap memang selalu begitu, seolah-olah ada tabir yang menipis antara dunia nyata dan dunia lain. Ratna sedang asyik membaca buku botani ketika suara motor di kejauhan mengusiknya. Tak lama kemudian, sosok tinggi dengan senyum ramah muncul di ambang pintu.

"Assalamualaikum!" sapanya, membuat Mbah Kinanti tersenyum hangat.

"Waalaikumsalam! Eh, Lik Bowo! Tumben sudah sampai?" Mbah Kinanti menyambutnya dengan gembira.

Pak Lik Bowo, adik bungsu Mbah Kinanti, memang jarang pulang kampung. Ia bekerja di kota dan hanya sesekali menjenguk. Kedatangannya selalu membawa cerita dan suasana baru. Malam itu, ia duduk bersila di tikar pandan, menghisap rokok kreteknya pelan. Setelah berbincang tentang kabar keluarga, mata Pak Lik Bowo beralih pada Ratna yang tampak tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya terhadap Alas Pring Ireng.

"Sepertinya kamu penasaran sekali dengan Alas Pring Ireng, Nduk Ratna?" tanya Pak Lik Bowo, tersenyum tipis. Ia bisa melihat kilatan di mata keponakannya itu.

Ratna mengangguk cepat. "Iya, Lik. Dari dulu penasaran. Apa benar seangker yang diceritakan?"

Pak Lik Bowo mengembuskan asap rokoknya, matanya menerawang jauh. "Lebih dari angker, Nduk. Alas Pring Ireng itu saksi bisu sebuah kisah kelam. Kisah yang tidak hanya membuat hutan itu berhantu, tapi juga mengikat takdir keluarga kita."

Mbah Kinanti yang tadinya diam, mendadak menatap adiknya dengan tatapan memperingatkan. "Bowo, sudah kubilang jangan diungkit-ungkit lagi."

"Sudahlah, Mbak. Ratna sudah besar. Biar ia tahu sejarahnya. Lagipula, siapa tahu ini memang saatnya ia tahu," Pak Lik Bowo berkata, suaranya pelan namun penuh makna.

Ratna menegang. Hatinya berdebar. Ia mendekat, siap menelan setiap kata yang keluar dari bibir Pak Lik Bowo. Lampu teplok berkelip, seolah menambah dramatisasi pada cerita yang akan ia dengar.

"Dahulu kala, di desa ini, hiduplah seorang pemuda gagah bernama Yudha Kusuma. Dia putra dari seorang bangsawan kaya, Pak Dananjaya. Yudha adalah pemuda yang baik hati, santun, dan sangat dicintai rakyat. Namun, hatinya tertambat pada gadis desa biasa yang cantik jelita, Chandrakanti namanya," Pak Lik Bowo memulai kisahnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.

Yudha dan Chandrakanti menjalin cinta terlarang. Masyarakat tahu, mereka saling mencintai, tapi adat dan strata sosial memisahkan mereka. Pak Dananjaya, ayah Yudha, sangat menentang hubungan mereka. Baginya, Chandrakanti tidak pantas mendampingi putranya. Di sisi lain, ada seorang pemuda bernama Darsono. Darsono adalah pengawal setia Pak Dananjaya, namun diam-diam ia juga mencintai Chandrakanti. Cintanya buta dan posesif.

"Suatu malam, Darsono yang diliputi cemburu buta, membuntuti Yudha dan Chandrakanti yang sedang bertemu rahasia di dalam hutan Alas Pring Ireng. Hutan yang dulu tidak disebut angker, hanya tempat biasa untuk berkebun atau mencari kayu bakar," lanjut Pak Lik Bowo. "Darsono melihat mereka berpegangan tangan, saling mengucapkan janji setia. Hatinya membara. Ia kembali ke desa, menemui Pak Dananjaya, dan memutarbalikkan cerita. Ia bilang Chandrakanti adalah dukun santet yang mencoba mengguna-guna Yudha, anak semata wayangnya."

Pak Dananjaya yang sudah tidak menyukai Chandrakanti, semakin gelap mata mendengar fitnah keji Darsono. Ia memerintahkan Darsono dan beberapa pengawal untuk menangkap Chandrakanti. Malam itu juga, mereka membawa obor dan senjata, menuju ke dalam Alas Pring Ireng. Mereka menemukan Chandrakanti sedang menunggu Yudha di bawah rumpun bambu hitam yang paling tua.

"Tanpa ampun, Darsono menikam Chandrakanti tepat di perutnya," Pak Lik Bowo berkata, nada suaranya berubah berat. "Chandrakanti terkapar, darah membasahi tanah hutan. Sebelum ia mengembuskan napas terakhir, dengan sisa-sisa kekuatannya, ia menunjuk ke arah Darsono dan Pak Dananjaya."

Mata Ratna membelalak. Ia membayangkan adegan keji itu dengan jelas. Aroma darah, jeritan kesakitan, dan pengkhianatan yang mendalam.

"Dengan suara yang terbata-bata, Chandrakanti mengucapkan sebuah kutukan. Ia bilang, siapa pun yang bukan keturunannya, jika berani menginjakkan kaki ke Alas Pring Ireng, tidak akan pernah kembali selamat. Jiwa mereka akan terperangkap di sana, selamanya. Dan kutukan itu hanya akan patah, jika ada keturunannya yang membawa bagian tubuh suaminya dan menanamnya di jantung hutan, di bawah rumpun bambu hitam itu," Pak Lik Bowo mengakhiri bagian yang paling mengerikan dari kisahnya.

Ratna merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. "Lalu... Yudha Kusuma bagaimana, Lik?"

Pak Lik Bowo menghela napas panjang. "Yudha datang terlambat. Ia menemukan kekasihnya sudah tak bernyawa. Hatinya hancur. Ia marah besar pada ayahnya dan Darsono. Malam itu, terjadi perkelahian hebat. Yudha yang kalut, melarikan diri ke hutan, membawa serta gelang perak yang diberikan Chandrakanti. Gelang yang seharusnya menjadi tanda ikatan mereka. Ia lari, tanpa tahu harus ke mana, sampai akhirnya ia hanyut di sungai yang meluap karena hujan deras."

"Dan Pak Dananjaya? Darsono?" Ratna bertanya, tak sabar.

"Beberapa hari setelah itu, Pak Dananjaya ditemukan tewas mengenaskan. Tubuhnya tertusuk bambu runcing di tengah hutan. Sedangkan Darsono... ia menghilang tanpa jejak. Ada yang bilang ia gila dan masuk ke hutan, lalu tidak pernah kembali," Pak Lik Bowo menjelaskan. "Sejak saat itu, Alas Pring Ireng menjadi angker. Banyak warga yang mencoba masuk untuk mencari Yudha atau sekadar mencari kayu, tapi tidak pernah ada yang kembali. Bahkan, beberapa orang yang hanya lewat di pinggirnya, sering mendengar tangisan dan melihat penampakan."

Ratna terdiam, terkejut dan terguncang oleh detail kekejaman dalam kisah tersebut. Kutukan itu. Bagian tubuh suaminya. Gelang perak. Semua kepingan informasi itu mulai membentuk gambaran yang lebih besar dari sekadar cerita hantu. Desas-desus "angker" yang ia dengar sepanjang hidupnya, kini terhubung dengan sejarah keluarga yang tragis dan penuh dendam. Ia merasa ketertarikannya pada hutan menjadi lebih personal, lebih intens, seolah-olah ia adalah bagian dari takdir yang terlukis di sana. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sabar untuk kembali berhadapan dengan Alas Pring Ireng.

Pagi menjelang. Ratna merasakan kantuk yang luar biasa. Ia berguling di ranjang, mencoba mengusir bayangan-bayangan mengerikan dari kisah semalam. Namun, tak bisa. Gambaran Chandrakanti yang tertikam, Yudha yang hanyut, dan Pak Dananjaya yang tewas tertusuk bambu, terus menghantuinya. Ia bangun dengan perasaan campur aduk, antara takjub dan ngeri.

"Ratna, cepat mandi! Kita ke rumah Bu Marto!" suara Mbah Kinanti memanggil dari dapur.

"Ada apa, Mbah?" Ratna bertanya, sambil menyeret langkahnya menuju kamar mandi.

"Bu Marto punya hajat, selamatan cucunya. Kita bantu-bantu di sana," jawab Mbah Kinanti.

Setibanya di rumah Bu Marto, suasana riuh rendah menyambut mereka. Banyak warga desa yang sudah berkumpul, saling membantu menyiapkan makanan dan minuman. Ratna yang biasanya canggung dalam keramaian desa, kali ini merasa sedikit lebih nyaman. Ia melihat Sinta, teman sebaya yang pernah ia temui saat kecil, sedang sibuk menata gelas di meja.

"Sinta!" sapa Ratna, mendekat.

Sinta menoleh, matanya berbinar. "Ratna! Astaga, kaget aku! Kapan sampai?"

"Sudah dari kemarin-kemarin. Tumben ramai sekali," Ratna tersenyum.

"Iya, ini selamatan cucuku yang baru lahir. Makanya sekalian syukuran," jawab Sinta. "Bantuin, yuk!"

Ratna dan Sinta kemudian membantu mengantarkan minuman ke para tamu. Mereka bercanda, tertawa ringan, suasana terasa hangat dan akrab. Obrolan mereka mengalir santai, dari kehidupan desa hingga impian masa depan. Namun, di tengah obrolan itu, Sinta secara tidak sengaja mengungkit sesuatu yang membuat jantung Ratna mencelos.

"Eh, tahu tidak, Ratna? Katanya, Mbah Kinanti itu masih keturunan langsung dari Yudha Kusuma dan Chandrakanti, lho," Sinta berbisik, seolah itu adalah rahasia besar. "Makanya ia paling tahu sejarah Alas Pring Ireng. Dari dulu ia juga paling keras melarang siapa pun masuk hutan."

Ratna terdiam, sirup di tangannya nyaris tumpah. Ia merasakan kejutan besar yang menghantamnya. Jadi, ia adalah keturunan mereka? Itu berarti, ramalan Chandrakanti, tentang "keturunannya dengan kemampuan serupa yang membawa bagian tubuh suaminya" itu, bisa jadi mengacu pada dirinya! Otaknya berputar cepat. Ia mencoba menyembunyikan keterkejutannya, namun ekspresi wajahnya tak bisa berbohong.

Tiba-tiba, Sinta berseru kaget. "Aduh, Ratna! Sirupnya tumpah ke bajumu!"

Ratna tersadar dari lamunannya. Seketika, ia melihat noda merah di bajunya. Ia menghela napas. "Yah, mau bagaimana lagi. Ini memang bajuku yang paling bersih. Aku harus pulang ganti baju dulu, Sin."

"Ah, maafkan aku, Ratna. Gara-gara aku terlalu banyak cerita, jadi begini kan," Sinta merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Sin. Memang sudah waktunya ganti," Ratna tersenyum tipis. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia sedikit kesal karena bajunya kotor. Di sisi lain, ia bersyukur. Insiden ini memberinya alasan untuk kembali ke rumah sendirian, untuk merenungkan semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Ia harus pulang, dan ia tahu, di rumah itu, ia harus menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar noda sirup.

Selama perjalanan pulang, jalan setapak yang biasa terasa akrab kini terasa asing. Semilir angin yang biasanya menenangkan, kini terasa dingin dan penuh bisikan. Setiap langkahnya dipenuhi keraguan dan rasa ingin tahu yang semakin membuncah. Ia adalah keturunan Yudha Kusuma dan Chandrakanti. Sebuah takdir yang tiba-tiba menimpa dirinya, mengubah liburan ilmiahnya menjadi sebuah misi mistis. Ia tidak lagi mencari tanaman herbal, tetapi menjadi bagian dari warisan herbal itu sendiri.

Setibanya di rumah Mbah Kinanti, pintu depan terbuka sedikit, seolah menunggunya. Aroma melati menyeruak dari dalam, harum namun entah mengapa terasa menyesakkan. Ratna melangkah masuk, memanggil-manggil Mbah Kinanti, namun tidak ada jawaban. Rumah itu kosong. Hanya kesunyian yang menjawab, ditemani detak jantung Ratna yang berirama tak karuan. Ia langsung menuju kamar untuk berganti pakaian.

Saat ia membuka lemari, udara di ruangan itu terasa berubah. Tiba-tiba, suhu menurun drastis, membuat bulu kuduknya meremang. Sebuah bayangan samar melintas di sudut matanya. Ia menoleh, jantungnya serasa berhenti berdetak. Di hadapannya, berdiri seorang perempuan. Wajahnya cantik, namun pucat pasi, dan sepasang matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Yang paling mengerikan adalah, di perut perempuan itu, terlihat luka robek menganga, mengeluarkan darah hitam yang menetes ke lantai.

"Chandrakanti?" bisik Ratna, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tidak bertanya, ia tahu. Sosok itu mengangguk pelan, bibirnya bergerak tanpa suara, namun Ratna bisa mendengar bisikannya langsung di benaknya.

*“Kau... adalah keturunanku. Pewaris senja yang kupilih.”*

Ketakutan memuncak, namun Ratna tidak bisa lari. Kakinya terpaku. Ia menatap Chandrakanti, yang kini perlahan mendekat. Setiap langkahnya tidak menghasilkan suara, namun terasa berat, seolah menekan udara di sekeliling Ratna. Cahaya redup lampu minyak di meja seperti ikut meredup, menambah kesan mencekam.

Kemudian, Chandrakanti mengulurkan tangannya yang tembus pandang ke arah Ratna. Begitu telapak tangannya menyentuh kening Ratna, sebuah gelombang kejut energi dingin mengalir melalui tubuhnya. Ratna memejamkan mata, merasakan kepalanya berdenyut hebat, dan serangkaian penglihatan menembus pikirannya seperti kilat.

Ia melihat Pak Dananjaya, ayahnya Yudha, tergeletak tak bernyawa di tengah Alas Pring Ireng, tubuhnya tertusuk bambu runcing yang menjulang tinggi, darah membasahi tanah. Wajahnya menunjukkan ekspresi penyesalan dan ketakutan yang mendalam. Kemudian, penglihatan berganti. Ia melihat Yudha Kusuma, kekasih Chandrakanti, yang menatap sungai yang meluap dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya tubuhnya tersapu arus deras, menghilang tanpa jejak di antara bebatuan dan pusaran air.

Dua jiwa. Dua kematian tragis yang tidak tenang.

Ketika penglihatan itu memudar, Ratna merasakan air mata mengalir di pipinya, bukan air matanya sendiri, melainkan kesedihan Chandrakanti yang tertanam dalam dirinya. Sosok arwah itu kembali berbicara, kali ini dengan suara yang sedikit lebih jelas, masih dalam benak Ratna.

*“Jiwa kami... terpecah. Terikat pada dendam dan kutukan yang tak kunjung usai. Aku terikat pada tempat di mana aku mengembuskan napas terakhir. Yudha... jiwanya tersesat. Dan ayah Yudha, Pak Dananjaya, jiwanya terperangkap dalam penyesalan.”*

Chandrakanti mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Alas Pring Ireng yang terlihat dari jendela kamar. *“Kutukan ini... hanya bisa patah jika kalian bersatu kembali. Jiwa yang mencintai... dan jiwa yang mengkhianati. Hanya dengan menyatukan kepingan itu, kami bisa beristirahat dengan damai.”*

*“Kau... adalah pewarisnya. Darah kami mengalir dalam dirimu. Kemampuanmu untuk melihat dan mendengar kami, adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. Purnama sebentar lagi tiba. Sebelum itu, kau harus menemukan gelang perak. Gelang yang kuberikan pada Yudha sebelum ia pergi. Gelang itu... adalah bagian tubuh suaminya yang masih tertinggal. Temukan, dan tanamlah di jantung Alas Pring Ireng, tepat di bawah rumpun bambu hitam yang paling tua. Di sanalah aku dulu meregang nyawa.”*

Ratna menelan ludah. Gelang perak. Bagian tubuh suaminya. Misi itu begitu jelas, namun juga begitu menakutkan. Keraguan ilmiahnya kini luntur digantikan oleh kesadaran akan tanggung jawab mistis yang diembannya. Ia merasakan getaran aneh, semacam panggilan dari alam gaib yang tidak bisa ia tolak. Ia melihat Mbah Kinanti, yang selalu keras melarangnya masuk hutan. Kini, ia mengerti alasannya. Bukan hanya karena angker, tapi karena ada takdir yang tersembunyi.

*“Jangan takut, Nduk. Kau tidak sendiri. Aku akan menuntunmu,”* bisik Chandrakanti, sosoknya mulai memudar, namun kehangatan aneh menyelimuti hati Ratna.

Ratna merasakan denyutan aneh di pergelangan tangannya. Seolah-olah ada sesuatu yang memanggilnya. Ketakutan yang tadi mencengkeramnya kini berganti dengan determinasi yang kuat. Ia harus melakukannya. Untuk Chandrakanti, untuk Yudha, dan untuk desanya. Ia harus mematahkan rantai kutukan berusia seabad.

Meskipun arwah Chandrakanti telah memudar, kehadirannya masih terasa kuat di sekeliling Ratna, seperti embusan napas dingin di lehernya. Ratna merasakan pandangannya menjadi sedikit kabur, seolah bukan lagi dirinya yang sepenuhnya mengendalikan diri. Ada kekuatan tak terlihat yang menariknya, menuntunnya, bukan dengan paksaan, melainkan dengan bisikan halus yang mengarahkan setiap gerakannya. Ia tahu ia harus mencari gelang perak itu, dan ia tahu ke mana ia harus pergi.

Kamar Mbah Kinanti.

Dengan langkah ragu namun pasti, Ratna berjalan menuju kamar neneknya. Kamar itu sederhana, dengan tempat tidur kayu tua, lemari pakaian dari jati yang sudah usang, dan sebuah meja rias kecil dengan cermin berbingkai ukiran. Biasanya, kamar ini terasa hangat dan penuh aroma minyak kayu putih Mbah Kinanti. Namun, malam ini, aura mistis menyelimuti, membuat setiap sudut terasa asing dan penuh rahasia.

Ratna berdiri di tengah ruangan, matanya menatap berkeliling. Di mana kira-kira Mbah Kinanti menyimpan benda sepenting itu? Sebuah pusaka keluarga yang mungkin telah diturunkan dari generasi ke generasi. Ia teringat cerita Pak Lik Bowo tentang Pak Dananjaya yang kaya. Mungkin benda itu disimpan dengan sangat rahasia.

*“Laci paling bawah... di lemari itu,”* sebuah bisikan samar terdengar di benaknya, bukan dari Chandrakanti, tetapi seperti resonansi dari kehadirannya yang masih ada.

Ratna menoleh ke arah lemari kayu jati yang berdiri kokoh di pojok ruangan. Lemari itu tampak tua, catnya sudah banyak terkelupas, namun ukirannya masih terlihat jelas. Ia mendekat, menyentuh permukaan kayunya yang kasar. Jemarinya merasakan dingin, seolah lemari itu telah menjadi penjaga rahasia selama bertahun-tahun.

Ia membuka laci pertama. Isinya adalah kain-kain batik usang, beraroma kamper. Bukan di sini. Laci kedua, penuh dengan buku-buku doa dan resep ramuan tradisional Mbah Kinanti. Bukan juga. Laci ketiga, berisi perhiasan imitasi dan surat-surat lama.

Akhirnya, ia sampai pada laci paling bawah. Laci itu terasa lebih berat dari yang lain, dan sedikit seret saat dibuka. Dengan sedikit tenaga, Ratna menariknya. Tercium aroma kayu lapuk yang kuat, bercampur dengan bau rempah-rempah kering. Di dalamnya, terhampar beberapa benda tua yang terbungkus kain beludru hitam.

Tangan Ratna gemetar saat ia menyentuh salah satu bungkusan itu. Perasaannya mengatakan bahwa ini dia. Ia perlahan membuka kain beludru itu. Di dalamnya, terbaring sebuah gelang. Bukan gelang biasa.

Gelang itu terbuat dari perak, namun telah menghitam dimakan usia, menunjukkan jejak waktu yang panjang. Ukirannya sangat halus dan rumit, membentuk pola-pola yang misterius, seolah menceritakan kisah tersendiri. Di bagian tengahnya, terdapat sebuah liontin kecil berbentuk bunga melati, yang terlihat begitu mungil namun penuh detail. Ratna merasakan dinginnya logam itu di ujung jarinya, dingin yang menembus hingga ke tulang. Gelang itu terasa berat, bukan hanya karena materialnya, tetapi karena sejarah dan takdir yang melekat padanya.

*“Itu dia, Nduk. Gelang Yudha Kusuma. Gelang yang kuberikan padanya sebagai tanda cintaku. Gelang yang menjadi harapan terakhir kami,”* bisikan Chandrakanti kini terdengar lebih jelas, penuh kelegaan dan harapan.

Ratna mengambil gelang itu. Begitu gelang itu berada dalam genggamannya, ia merasakan aliran energi yang aneh. Bukan energi yang menakutkan, melainkan energi yang terasa purba, penuh cinta dan kesedihan yang terpendam. Rasanya seperti memegang sepotong sejarah hidup dua orang yang takdirnya tragis. Ia bisa merasakan denyutan halus dari gelang itu, seolah-olah gelang itu masih menyimpan sisa-sisa kehidupan Yudha Kusuma.

Pandangan Ratna mulai terasa kosong, tubuhnya seperti boneka yang digerakkan oleh benang tak terlihat. Ia tidak lagi merasakan ketakutan, hanya sebuah ketenangan aneh, seolah-olah jiwanya telah menyatu dengan tujuan yang lebih besar. Ia merasa seperti kapal yang sedang berlayar, mengikuti arah angin, tanpa kendali penuh atas dirinya sendiri. Ini adalah kelegaan karena telah menemukan gelang itu, sekaligus kekosongan saat ia menyadari bahwa ia semakin dekat dengan puncak misinya, semakin terperangkap dalam takdir yang telah ditentukan. Ia tidak hanya mencari tanaman herbal, tetapi menjadi bagian dari warisan herbal itu sendiri.

Malam telah larut, bulan purnama tergantung tinggi di langit, memancarkan cahaya perak yang pucat. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga melati yang makin kuat dan bisikan pepohonan. Alas Pring Ireng di kejauhan tampak lebih gelap, lebih misterius dari biasanya, seolah menunggu kedatangan Ratna.

Ratna memakai gelang perak itu di pergelangan tangannya. Dinginnya logam menyentuh kulitnya, dan ia merasakan gelombang energi yang aneh mengalir melalui pembuluh darahnya. Pandangannya menjadi kosong, matanya menatap lurus ke depan tanpa fokus, seolah bukan lagi dirinya yang melihat. Ia sepenuhnya mengikuti arwah Chandrakanti, yang kini terasa begitu dekat, begitu menyatu dengannya, membimbing setiap langkahnya.

Tanpa sadar, kakinya mulai melangkah. Bukan ke arah jalan desa yang biasa, melainkan menuju jalan setapak yang jarang dilewati, menuju Alas Pring Ireng. Ia berjalan melewati semak-semak yang rimbun, melewati pepohonan tua yang menjulang tinggi, dan akhirnya, menembus batas hutan yang selama ini terlarang.

Begitu masuk ke dalam hutan, udara terasa berbeda. Dingin dan lembap, namun juga dipenuhi keharuman tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Suara jangkrik dan serangga malam seolah meredup, digantikan oleh keheningan yang mencekam. Hanya ada suara langkah kaki Ratna yang memecah keheningan, meskipun ia berjalan dengan ringan, seolah tanpa bobot.

Rumpun bambu hitam menjulang tinggi di sekelilingnya, batangnya pekat seperti arang, menari-nari dalam cahaya bulan. Semakin jauh ia melangkah, semakin rapat rumpun bambu itu, menciptakan terowongan alami yang gelap dan menyesakkan. Ratna tidak merasakan takut, hanya sebuah rasa ketenangan dan tujuan yang kuat. Jiwa Chandrakanti yang menuntunnya, memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Akhirnya, mereka tiba di jantung Alas Pring Ireng. Di sana, di tengah-tengah rumpun bambu hitam yang paling tua dan besar, terdapat sebuah tanah lapang kecil. Di tengah tanah lapang itu, tumbuh sebuah rumpun bambu hitam raksasa, batangnya lebih tebal, lebih gelap, dan lebih tinggi dari yang lain. Inilah tempatnya. Tempat di mana Chandrakanti mengembuskan napas terakhir, dan tempat di mana kutukan itu dimulai.

Ratna berlutut di bawah rumpun bambu raksasa itu. Tangannya yang memakai gelang perak, terangkat. Gelang itu terasa berdenyut, seolah bersemangat untuk kembali ke tempat asalnya. Ia mulai menggali tanah dengan jemarinya, meskipun tanahnya keras dan berbatu. Kekuatan tak terlihat membantunya, memberinya kekuatan yang luar biasa.

Setelah menggali cukup dalam, Ratna menanam gelang perak itu di bawah akar Pring Ireng yang paling besar. Begitu gelang itu terkubur, sebuah getaran hebat melanda seluruh hutan. Batang bambu hitam yang raksasa di hadapannya tiba-tiba terbelah menjadi dua, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang merobeknya dari dalam.

Dari celah yang tercipta, muncul dua sosok. Yang satu, seorang wanita cantik dengan gaun putih yang compang-camping, luka robek di perutnya masih terlihat jelas, namun kini ia tersenyum. Dialah Chandrakanti. Yang lain, seorang pemuda gagah berwajah tampan, mengenakan pakaian bangsawan, namun dengan ekspresi duka yang mendalam di matanya. Dialah Yudha Kusuma.

Mereka berdua menatap Ratna, dan senyuman Chandrakanti melebar. "Terima kasih, Nduk. Kau telah membebaskan kami."

Yudha Kusuma mengangguk, matanya yang tadi sendu kini memancarkan kelegaan yang luar biasa. "Rantai takdir ini akhirnya patah."

Kemudian, dari dalam hutan, muncul sosok lain. Seorang pria tua dengan wajah penuh penyesalan, tubuhnya terlihat transparan. Pak Dananjaya. Ia memandang Chandrakanti dan Yudha dengan tatapan memohon maaf. Chandrakanti mengangguk kecil, tanda bahwa ia telah memaafkan.

Kehadiran ketiga arwah itu memancarkan cahaya lembut yang memenuhi Alas Pring Ireng. Mereka perlahan mendekat satu sama lain, Chandrakanti mengulurkan tangannya pada Yudha, dan mereka berpegangan tangan. Sebuah cahaya keemasan menyelimuti mereka berdua, lalu meluas hingga meliputi Pak Dananjaya.

"Selamat tinggal, Nduk Ratna," bisik Chandrakanti dan Yudha bersamaan. "Jagalah Alas Pring Ireng. Jadikan ia sumber kehidupan, bukan lagi sumber ketakutan."

Cahaya itu semakin terang, semakin memudar, dan perlahan-lahan, ketiga arwah itu terbang ke angkasa, menembus rerimbunan bambu hitam, menuju ke bulan purnama yang bersinar terang. Kutukan Alas Pring Ireng telah patah. Jiwa-jiwa yang terperangkap telah menemukan kedamaian.

Ratna merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya limbung. Ia jatuh terduduk di tanah, pandangannya kembali fokus. Ia tidak mengingat detail tepatnya apa yang terjadi, namun ada perasaan damai yang mendalam menyelimuti hatinya, seolah beban berat telah terangkat. Ia menatap bekas galian di tanah, di mana gelang perak itu terkubur. Ia tahu bahwa ia telah memenuhi takdirnya. Ia telah memutus rantai penderitaan.

Pagi menyingsing, cahaya matahari menembus celah-celah daun dan batang bambu, menciptakan pola-pola indah di lantai hutan. Ratna terbangun. Kepalanya terasa pening, dan seluruh tubuhnya pegal. Ia menatap sekeliling. Ia berada di Alas Pring Ireng, namun hutan itu terasa berbeda. Bukan lagi dingin dan mencekam, melainkan hangat dan damai. Burung-burung berkicau riang, dan aroma tanah basah terasa menenangkan.

Ia berdiri, merasa sedikit bingung. Ia tidak ingat bagaimana ia sampai di sana, atau apa yang sebenarnya terjadi setelah ia menanam gelang itu. Namun, perasaan damai di hatinya adalah bukti nyata bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.

"Ratna! Ratna! Kamu di mana, Nduk!"

Suara panik Mbah Kinanti memecah keheningan. Ratna menoleh, dan tak lama kemudian, ia melihat Mbah Kinanti berlari tergesa-gesa, diikuti beberapa warga desa yang membawa obor dan tongkat. Wajah Mbah Kinanti tampak tegang dan khawatir.

"Mbah!" Ratna berseru, melambaikan tangannya.

Mbah Kinanti terhenti, napasnya tersengal. Ia langsung menghampiri Ratna, memeluk cucunya erat-erat. "Astaga, Nduk! Ke mana saja kamu? Kami semua mencarimu semalaman! Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Aku... aku tidak tahu, Mbah," Ratna mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terasa tidak lengkap. "Aku merasa ada yang menarikku ke sini. Tapi, Mbah, lihatlah! Hutan ini... tidak lagi angker."

Mbah Kinanti menatap Alas Pring Ireng. Ia mengernyitkan dahi. Ia merasakan perubahan, aura yang berbeda dari hutan itu. Ada kehangatan, kehidupan, dan bukan lagi aura kematian yang mencekam. Warga desa pun ikut merasakan hal yang sama. Mereka saling berpandangan, bingung.

"Kutukan itu sudah patah, Mbah," Ratna melanjutkan, suaranya kini lebih yakin. "Arwah Chandrakanti dan Yudha Kusuma sudah bebas. Mereka sudah pergi."

Mbah Kinanti menatap Ratna, matanya memancarkan campuran antara keheranan dan kebanggaan yang mendalam. Ia mengangguk perlahan, seolah semua yang terjadi sudah ia duga sejak lama. "Jadi, kamu... adalah orang terpilih itu, Nduk."

Ratna tersenyum. "Sekarang, warga tidak perlu takut lagi, Mbah. Mereka boleh masuk hutan ini. Untuk mencari tanaman obat, mencari kayu bakar, atau apapun itu."

Warga desa saling berbisik, tidak percaya. Namun, melihat ketenangan di wajah Ratna dan aura damai yang kini menyelimuti Alas Pring Ireng, keraguan mereka mulai luntur. Seorang warga, Pak Kardi, dengan ragu melangkah masuk lebih jauh ke dalam hutan. Ia menguji, mencari tanda-tanda keangkeran yang biasa ia rasakan. Tapi tidak ada. Hanya keheningan yang menenangkan.

Beberapa hari kemudian, kabar tentang pematahan kutukan Alas Pring Ireng menyebar ke seluruh desa dan bahkan desa-desa tetangga. Perlahan tapi pasti, warga mulai memberanikan diri masuk ke dalam hutan. Mereka menemukan beragam jenis tanaman obat yang langka, kayu-kayu berkualitas tinggi, dan pemandangan alam yang indah. Alas Pring Ireng, yang dulu menjadi sumber ketakutan, kini berubah menjadi sumber kehidupan dan kemakmuran bagi masyarakat.

Ratna, dengan ilmu biologinya, menjadi pelopor. Ia memadukan pengetahuannya tentang keanekaragaman hayati dengan warisan leluhurnya. Ia membantu warga mengidentifikasi tanaman herbal yang berpotensi, mengembangkan resep-resep ramuan tradisional, dan bahkan merintis sebuah program wisata alam kecil untuk memperkenalkan keindahan Alas Pring Ireng. Ia tidak hanya mencari tanaman herbal, tetapi menjadi bagian dari warisan herbal itu sendiri.

Mbah Kinanti sering tersenyum melihat cucunya. Ia tahu, Ratna telah menemukan takdirnya, sebuah tujuan baru yang menyatukan dunia ilmiah dan spiritual. Ratna, sang mahasiswi skeptis, telah bertransformasi menjadi pewaris takdir yang berani, pemutus rantai penderitaan, dan pembawa harapan baru bagi desanya.

Namun, di balik semua kebahagiaan dan kemakmuran, Ratna tahu, bahwa hubungannya dengan Alas Pring Ireng belum sepenuhnya berakhir. Kadang, di malam hari, saat bulan purnama bersinar terang, ia masih merasakan embusan angin dingin yang membawa aroma melati. Bukan lagi aroma kesedihan, melainkan bisikan lembut dari dua jiwa yang telah menemukan kedamaian. Bisikan yang mengingatkannya, bahwa warisan leluhurnya, kekuatannya, dan tanggung jawabnya untuk melindungi Alas Pring Ireng, akan selalu menjadi bagian dari dirinya, selamanya. Ia tahu, perjalanannya sebagai jembatan antara dua dunia ini, baru saja dimulai. Sebuah janji yang ia sematkan dalam hatinya, untuk selalu menjaga rahasia dan keindahan Alas Pring Ireng.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Flash
Bronze
Kereta Terakhir
Risti Windri Pabendan
Flash
Lembur
Lovaerina
Novel
Keluarga Darayan, Misteri Rumah Gadai
Sisca Wiryawan
Cerpen
Bronze
Dinding Tertawa
Christian Shonda Benyamin
Novel
The 5th Sense 2
Iqsal Anaqi Santosa
Novel
Kereta Terakhir
Novita Ledo
Novel
TAKKUT
zainab najmia
Komik
SANDEKALA
Akhmad Kuncoro
Cerpen
Bronze
PASAR SLOKEN
Wafa Nabila
Cerpen
Mereka Ingin Aku Percaya
Riana Dewi
Novel
Jangan Tinggal Sendiri di Asrama
Firyal Fitriani
Cerpen
Bronze
MISTERI PETI KACA
Eddy Cahyo Tutuko
Cerpen
Possessed
Samuel Fetz
Cerpen
Bronze
Aku Mencium Melati
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RANTAU RAMADHAN PERTAMA
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
URBAN LEGEND DESA ARUMDALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RENDANG UNTUK IBU MERTUA
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JALAN HIDAYAH DI BALIK SENJA
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum