Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1:Ritual Sunyi di Aroma Waktu
Namaku Lara, dan duniaku beraroma kopi. Bukan sekadar metafora, tapi kenyataan harfiah. Aku mewarisi sebuah kedai kopi kecil dari kakekku, sebuah tempat yang terjepit di antara toko buku antik dan butik bunga yang selalu wangi. Kakek menamainya "Aroma Waktu", nama yang puitis dan sedikit melankolis, sama seperti beliau. Bagiku, tempat ini adalah segalanya: rumah, pekerjaan, dan benteng pertahananku dari riuh rendah dunia luar.
Hidupku berjalan dalam ritme yang teratur, nyaris seperti mesin jam. Pukul tujuh pagi, aku membuka pintu kayu berat kedai, membiarkan aroma biji kopi yang baru digiling menyapa jalanan yang masih setengah tertidur. Siang hari diisi dengan obrolan ringan para pelanggan, suara denting cangkir, dan desis mesin espresso yang menjadi musik latarku. Lalu, saat sore mulai merayap, kedai akan kembali lengang. Hanya menyisakan aku, Rian—barista muda yang lebih banyak tersenyum daripada bicara—dan beberapa pelanggan setia yang mencari ketenangan.
Di antara semua ritme itu, ada satu yang paling kunanti, sebuah ritual sunyi yang hanya aku yang menyadarinya.
Setiap hari, tanpa pernah meleset satu detik pun, tepat saat jarum jam di dinding kedai menunjuk angka tiga, seorang pria akan berjalan melewati jendela besar Aroma Waktu.
Dia bukan pelanggan. Dia tidak pernah menoleh, tidak pernah melirik ke dalam. Dia hanya berjalan lurus, dengan langkah yang mantap namun tidak tergesa-gesa, seolah sedang mengikuti jejak tak kasat mata yang hanya bisa ia lihat.
Aku memanggilnya "Pria Jam Tiga Sore". Tentu saja, hanya di dalam kepalaku.
Sosoknya tinggi dan tegap, meski bahunya tampak sedikit membungkuk, seolah memikul beban yang tak terlihat. Rambutnya hitam legam, sedikit panjang dan sering kali tampak acak-acakan ditiup angin sore. Pakaiannya selalu sederhana: kemeja flanel yang warnanya sudah sedikit pudar atau kaus polos berwarna gelap, dipadu dengan celana jins dan sepatu bot kulit yang tampak sudah menempuh ribuan langkah.
Namun, yang paling menarik perhatianku adalah ekspresinya. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas, tetapi matanya... matanya selalu menatap lurus ke depan dengan sorot yang kosong, seolah menembus semua yang ada di hadapannya. Ada semacam kesedihan purba di sana, kesedihan yang begitu dalam hingga seolah telah menyatu dengan dirinya. Dia tidak tampak marah atau frustrasi, hanya... hampa.
Selama hampir setahun aku mengamatinya. Aku tahu kebiasaannya seperti aku tahu cara membuat secangkir latte yang sempurna. Aku tahu kemeja flanel mana yang paling sering ia pakai (yang kotak-kotak hijau lumut). Aku tahu saat rambutnya butuh dipotong. Aku tahu di hari hujan, ia akan mengenakan jaket bertudung dan langkahnya akan sedikit lebih cepat, seolah ingin segera lari dari dinginnya air yang menerpa.
"Mbak Lara lihatin dia lagi, ya?" suara Rian memecah lamunanku suatu sore. Aku sedikit tersentak, memalingkan wajah dari jendela. Rian berdiri di belakang meja bar, mengelap gelas sambil tersenyum jenaka.
"Siapa?" tanyaku, berpura-pura bodoh.
Rian terkekeh. "Si Mas-Mas Misterius. Pria Jam Tiga Sore-nya Mbak Lara. Tiap hari, jam segini, pasti Mbak Lara bakal berdiri di dekat jendela, kayak lagi nungguin penampakan."
Pipiku terasa sedikit hangat. Aku tidak menyangka kebiasaanku begitu kentara. "C...