Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebanyak apa pun ia memohon, Awanama tetaplah sosok yang tidak akan melepaskan mangsanya. Aroma ketakutan, kental darah merebak akibat goresan berulang kali senjata tajam di wajah, adalah duet terbaik menciptakan irama kematian. Rintihan tertahan akibat lakban hitam merekat di mulut, juga sorot mata memohon si mangsa kendati napas sudah tersendat adalah satuan yang bikin Awanama tambah bergairah.
Air mata, raut putus asa, Awanama menikmati seluruhnya. Oh dan, yang paling dia nikmati; kepuasan membara dalam dada. Nikmat, senang, seperti melayang.
Setelahnya, sudah bisa ditebak. Korban terkapar, tanpa embus napas. Harapan? Pupus ikut nyawa.
Berselang empat puluh delapan jam, mayat itu ditemukan dekat ilalang yang menghuni waduk Yongsu. Tidak ada yang tertinggal dari sang predator selain korban mengenaskan. Sidik jari, bekas keringat, tak ada jejak yang bisa dilacak.
Bagaimana bisa?
Wanita di waduk adalah korban keempat dengan jenis kematian serupa: cedera pada leher—diduga aliran pembuluh darah yang berfungsi mendistribusikan oksigen ke otak terhambat, banyak luka di muka, dan jangan lupakan posisi mayat diletak; tengkurap, pasang tangan menyilang di punggung, terikat manset lengan. Simpulnya memang tidak kencang, menimbulkan asumsi tim penyidik bahwa setelah meninggal, korban baru diikat rapi bak kotak kado istimewa.
Satu minggu sebelum ini, ulzzang lelaki yang tiap hari memamerkan paras pada ribuan pengikutnya di Instagram ditemukan tewas bertempat belakang kediaman sendiri. Ciri-ciri jenazah saat ditemukan sama, berarti pelakunya juga.
Tetapi sampai detik ditemukan korban lain, para polisi bahkan penyelidik yang bertugas tidak menemukan titik terang. Tim forensik cuma dapat menyimpulkan mengapa orang-orang itu meninggal; tekanan kuat di area leher.
Dalam satu setengah bulan, sudah ada empat korban. Ini akan ditetapan sebagai pembunuhan berantai Distrik Gangseo. Banyak masyarakat mencibir kepolisian yang lambat dalam menemukan pelaku, meski pihak hukum bilang, mayat-mayat itu tidak saling terkait. Jelas saja penyangkalan semata.
"Jadi, siapa pembunuhnya?"
"Awanama."
"Saya tahu. Maksud saya, siapa Awanama sebetulnya? Nama asli, latar belakang. Semua itu mesti jelas. Di semesta fiksi, harus punya benang merah. Ada sebab akibat." Terus terang, Park Jian sudah jemu mendengar ide cerita dari mulut Nan Segye; klien barunya.
"Bukankah harus berurut? Penyanyi punya pendengar, penulis punya pembaca. Pembunuh, sudah pasti punya korban. Park Jagga-nim ternyata penulis yang tidak sabaran, ya? Jika saya menjadi Park Jagga-nim, saya pasti sabar lho."
Selain tidak langsung pada inti, Segye suka menambahkan kata yang tidak perlu, seperti penyanyi punya pendengar dan lainnya itu. Jian jadi prihatin pada diri sendiri atas keadaan yang tengah berlangsung. Tidak sabaran? Omong kosong. Jian tidak cocok menjadi penulis jika memang benar demikian.
"Kalau begitu mengapa tidak Nona Nan saja yang menulis? Saya yakin Anda tidak terlalu sibuk untuk diam menyusun alur cerita. Mengapa harus meminta cerita Anda ditulis oleh ghost writer seperti saya?"
"Park Jagga-nim, bolehkan saya menyarankan? Jangan pernah sembarangan menilai orang." Ekspresi tawar perempuan itu kemudian antusias, terlihat janggal. "Nah, bagaimana kalau saya beritahu motif Awanama membunuh orang-orang itu? Padahal dari sudut pandang awam, termasuk Park Jagga-nim tentunya, para korban tidak punya salah."
Jian berdecap samar. Supaya dia cepat mengeksekusi cerita Segye, maka Jian harus kembali pasang telinga. Memang ya, manusia harus punya ketelatenan mendengarkan. Padahal Jian cuma perlu gambaran besar ide Nan Segye, bukan detail. Hei, Park Jian juga punya hak menghidupkan dunia imajinasi sendiri kendati idenya dari orang lain.
"Anda percaya tidak soal ungkapan ini, jika kau lahir dengan wajah rupawan, maka sebagian masalah hidupmu akan otomatis terselesaikan. Jika kau terlahir kaya? Bisa jadi seluruh masalah hidupmu terselesaikan. Pernah?
"Awanama tidak suka melihat orang-orang berwajah rupawan. Iblis dalam dirinya selalu bangkit jika bertemu seseorang yang punya tampang bagus. Makanya, korban-korban Awanama adalah orang yang memiliki standar cantik. Park Jagga-nim pasti tahu, standar kecantikan masyarakat kita bagaimana."
"Alasan yang dibuat-buat." Jian berkomentar spontan usai Segye mengakhiri kalimat. Persetan kalau ia belum benar-benar selesai bicara. "Walau fiksi, alasannya tidak masuk akal jika tidak punya backstory. Mana bisa itu menjadi alasan untuk membunuh? Korban Awanama tidak layak untuk menerima kejahatan begitu."
Gelakak Segye terdengar, agak keras. Suara tawanya aneh bagi Jian, apalagi tanpa tendensi lucu begini. Untung saja aksi itu tidak lama.
"Mereka juga tidak layak hidup, Park Jagga-nim. Backstory? Apakah jika ada, Park Jagga-nim akan sependapat bahwa mereka layak mati?" Tatapan Segye tanpa binar jelas itu bikin Jian waswas—entah dengan alasan apa, tapi seorang Park Jian selalu mengemukakan pendapatnya secara tersuara. Jian bukan tipe yang ngikut saja.
"Apa pun alasannya, membunuh tidak dibenarkan. Tetapi karena ini dalam cerita, harus ada yang melatarbelakangi suatu tindakan. Apakah Awanama ... seseorang yang tidak suka direndahkan? Dari caranya membunuh, dia butuh kepuasan, dia juga iri oleh kemerdekaan orang lain."
Tanpa terencana, Segye meremas punggung tangan yang bertumpu atas paha. Ia duduk berlutut di lantai beralas karpet cokelat. Jian cuma punya satu kursi. Itu pun pasangannya meja kerja.
"Dia bukan orang yang akan menggemari artis atau idola karena tidak akan tahan dengan overhype para penggemar si pesohor itu sendiri. Ya, dia memang membenci standar kecantikan di sini, tapi dia juga senang mengendalikan."
Bagian kaus yang terbalut kardigan Segye basah. Udara panas, kipas angin mini dekat mereka yang terus berputar baling-balingnya tidak cukup menyejukkan Segye.
"Awanama senang jika orang berada dalam pengendaliannya. Awanama juga mengalami kegelisahan yang kuat ketika melihat kerupawanan orang. Itu artinya, Awanama tidak akan bisa duduk tenang menonton film. Dia bukan penikmat film."
Memisahkan belah tangan, Segye tersenyum kaku sebagai apresiasi dari kalimat-kalimat Jian.
"Bagus sekali, Park Jagga-nim. Analisismu itu luar biasa. Saya memang tidak salah pilih menyewa Anda sebagai penulis saya."
Hanya saja Jian yang tidak mampu merasa selayaknya Nan Segye. Tidak tahu mengapa, Jian justru merasa dia salah bertemu klien. Di sudut hati, ada gelenyar tidak enak sejak bersemuka kliennya ini. Mana minta bertemu di tempat Jian tinggal lagi.
"Park Jagga-nim. Sebelum menulis ide cerita dari saya, renungkan ini. Dunia menjadi tempat tidak adil hanya karena mereka terlahir membawa wajah rupawan. Awanama muak. Dia ingin keadilan. Anda tahu sendiri, yang tidak punya standar keelokan muka selalu diinjak-injak, mendapat perlakuan tidak adil. Bukankah begitu?" Segye mengambil kaleng soda yang sempat Jian suguh. Meminumnya sebentar sesudah dibuka.
"Lagi pula, Park Jagga-nim hanya tinggal tulis. Tolong jangan terlalu banyak berpikir tentang logis atau tidak."
"Kalau begitu langsung saja. Siapa Awanama? Awanama yang Nona Nan sebutkan menjadi tokoh utama masalahnya. Saya tidak mungkin mulai menulis tanpa tahu latar belakangnya, bukan cuma soal logis dan tidak. Juga, polisi di negara kita tidak sebodoh itu sampai belum menemukan pelaku."
"Mau percaya? Tersangka saja tidak didapat, apalagi pelakunya? Benar. Polisi memang tidak bodoh, tapi mereka juga tidak mau harga diri tercoreng." Segye lantas bersuara berbisik. "Gengsi mereka besar."
Pening mendera Jian seketika. Ya ampun, klien Jian banyak dan rupa-rupa, tapi baru pernah bertemu klien macam ini.
"Semakin lama kasus tidak terungkap, para penegak hukum akan membiarkannya jadi kasus dingin dan dilupakan. Saya berani bertaruh, Awanama tidak akan tertangkap. Tulis saja dulu. Ceritakan bagaimana kejamnya pembunuhan itu. Jika sudah, saya akan memberitahu Park Jagga-nim. Siapa Awanama."
"Lalu ... Anda tidak memikirkan bagaimana pendapat pembaca? Pembaca tentu ingin kepastian soal pembunuhnya dan mengapa sampai tidak bisa ditangkap polisi."
"Mungkin Park Jagga-nim butuh pembaca walau nama Park Jagga-nim tidak pernah tercetak di karya tulis sendiri. Tapi bagi saya? Cukup diri saya yang menjadi pembaca. Pokoknya, tentang siapa Awanama soal belakangan."
Itu kalimat terakhir Nan Segye yang membuat hidup Park Jian susah. Waktu berjalan lebih cepat tanpa ada yang mengejar. Angin terus mengamuk menerbangkan apa saja yang ia jamah.
Park Jian mulai tidak bisa bernapas leluasa di tempat tinggal yang sebelumnya dia anggap tenteram, kendati orang-orang bilang tinggal di situ bisa membuatmu hilang kewarasan.
Begitu pengap, aroma magis menguntit. Wajah-wajah berlumur darah tetap menjadi pemandangan tidak biasa di kamar Jian yang sempit, walau puluhan hari sudah mengalir. Jangan tanya kapan terakhir kali Jian bisa tidur nyenyak. Dia tidak ingat.
Mereka meraung, menangis, sebagian lagi merayap di dinding sambil mencakar-cakar ganas. Mereka merongrong minta pertanggungjawaban.
Salah satunya ada Lee Yeon, wanita di waduk Yongsu. Juga Kang Ji Dan, si pria ulzzang.
Paling berani dari semuanya adalah Kang Ji Dan. Hari ini ia merangkak, memojokkan Jian di antara ranjang dan meja yang biasa digunakan untuk mengetik susunan kata. Wajah rusak penuh goresan dicondongkan, hidungnya yang sobek hampir mengenai hidung Jian. Bau busuk terhirup.
"Kau menceritakan perasaanku begitu rinci dalam karangan yang kautulis. Bukan cuma itu, apa yang kulakukan, apa yang kumakan ....
"Kau seolah-olah Tuhan. Tahu segalanya. Di hari kematianku, apakah pernah kau merasakan sepertiku?
"Benar-benar ... merasakan ketakutan itu? Ketakutan ketika dia mulai merenggut napasku secara paksa. Siapa pembunuhnya? Kau belum menguak siapa pembunuhnya! Siapa orang di balik Awanama?!"
Oke, Jian memang tidak merasakan ketakutan serupa ketika menyusun per paragraf bagaimana mereka dibunuh. Namun, sekarang ketakutannya lebih besar dari ketika dia menuliskannya.
Jika Jian tahu siapa pembunuhnya, pasti akan segera ditoreh dalam aksara, agar naskah Segye juga tuntas. Tidak setengah-setengah seperti yang sudah dikirim ke alamat surel Nan Segye.
Sumpah, apa yang menimpa Jian lebih gila dari dirinya yang memilih tinggal di goshiwon. Tokoh fiksi yang Jian ciptakan tidak senang, mereka menampakkan diri secara nyata. Seharusnya mereka minta tanggung jawab kepada yang punya ide cerita, si Nan Segye itu.
Hubungi Segye? Sudah berulang kali, tapi tiada jawab. Segye juga tidak mengunjungi kediaman Jian lagi. Pun, tak ada balasan surel darinya.
Masih dalam rangkap yang memicu bulu roma berdiri, radio rusak tidak dipakai lagi—terletak di tepi lemari pakaian, tiba-tiba bersuara, menyiarkan berita bahwa ada mayat ditemukan di bawah jembatan Jugyeong. Lalu bunyi kresek-kresek nyaring terdengar sebelum ucapan tanpa nada memberitakan hal serupa, tapi beda konteks; ditemukan mayat di tanah bekas bangunan, belakang rumah, setelahnya, di Yongsu. Itu persis seperti yang Jian tulis dari idenya Segye. Tanggal ditemukan mayat sama, nama-nama korban ... serupa yang Segye minta!
Apa ini sebenarnya?
Aroma anyir yang bikin mual kembali menyeruak. Pintu kamar Jian menguak lebar. Hujan di luar menjelma melodi paling berisik. Segye ada di ambang pintu, matanya menyorot arah tubuh yang terkapar atas karpet berdebu. Warna cokelatnya memudar, berganti merah.
Bibir yang tidak terhalang masker mengembang senyum sedikit, mengerikan.
"Terima kasih sudah menuliskan cerita saya, Park Jagga-nim. Tulisan Anda akan menjadi suvenir dan sejarah paling berarti untuk saya. Sebagai tanda senang, saya akan memberitahu Anda siapa Awanama. Ah, Anda pun pasti sudah tahu. Benar, 'kan?"
Jian menatap bergantian antara tubuhnya sendiri di sana yang bergenang darah dan Segye. Wajah orang yang tergeletak itu hampir tidak dapat dikenali sebab banyak luka koyak.
"Jika Park Jagga-nim bertanya apa kesalahan Anda sampai harus ada di situ ... Anda jelas paham, kalau Awanama tidak tahan sama wajah rupawan seseorang."
Mustahil.
Jian pasti sedang kelelahan sampai bermimpi hal mengerikan begini.
Namun, ideologinya tertangkis sesaat perempuan bersetelan hitam; hoodie bertudung, celana panjang, tangan bersarung itu mendekat. Ia menelungkupkan badan tanpa nyawa yang sempat ditinggal. Disilangnya kedua tangan mayat yang belum kaku ke arah punggung, diikat dengan manset.
"Aku hampir lupa," gumamnya, kemudian bersenandung lirih. Gerak mengikatnya amat santai.
Selesai dengan finishingnya, sang predator kembali ke posisi awal dan menutup pintu kamar Jian. Mayat itu, sekarang terlihat seperti korban Awanama yang pernah ditemukan. Bedanya, lakban. Di mulut tidak ada lakban guna meredam jeritan.
Sementara, para tokoh yang Jian ciptakan menatap nyalang orang yang baru saja hengkang.
Sebentar, sebentar.
Karakternya bukan keluar dari cerita, tapi memang menghantui yang bikin cerita nyata. Park Jian. Arwah-arwah itu berharap dengan kisah yang Jian tulis, mereka bisa tahu identitas Awanama.
Hanya saja, hal ini masih tidak mampu Jian nalar.
Jika memang benar Nan Segye adalah Awanama, bagaimana bisa ia punya begitu banyak tenaga untuk membunuh? Tubuhnya bahkan terlihat ringkih jika dihadapkan dingin. Juga, ada pembunuhan di sini, dan penghuni kamar seberang atau sebelah tidak ada yang keluar. Apakah karena hujan yang mengalahkan raungan kematian?
Terlepas dari itu, Jian pun tidak tahu bagaimana dirinya bisa kehilangan nyawa, berdiam di samping tubuh sendiri, dan menjadi korban Nan Segye. Yang kelima.